بسم الله الرحمن الرحيم

Kamis, 27 November 2008

Waria dan "Ulama"

WARIA DAN "ULAMA"
Daden Robi Rahman


Arus liberalisasi pemikiran Islam mengayun berjalan dengan dinamis. Salah satu produk kebanggaanya, faham feminisme dan gender menghasilkan "ijtihad" bahwa homoseksual, baik gay, lesbian, atau pun waria adalah realitas yang mendapat legalitas agama, –meminjam istilah Musdah mulia- sesuatu yang "given" atau dalam bahasa fiqih disebut sunnatullah. (Musdah Mulia, Islam Agama Rahmat Bagi Alam dalam Majalah Tabligh, Muhammadiyyah, Mei, 2008).

Kebebasan dan Hak Asasi Manusia menjadi dasar argumentasi terwujudnya sesuatu yang menentang agama dan kodrat itu. Wacana yang sudah berkembang di negara berpenduduk Islam terbesar ini, menjadi proyek pemasaran budaya barat yang berseberangan dengan wahyu yang menjunjung moral. Sebuah peradaban yang menjadikan realitas sebagai hukum hidup yang disebut empirisisme. Kampanye besar-besaran pun terkoordinasi dengan dukungan penuh media cetak atau pun televisi yang menggembar-gemborkan dagangan barat.

Tayangan televisi yang didominasi hiburan berbau sinetron telah membentuk prilaku masyarakat. Dari anak-anak sampai orang tua sangat menikmati tayangan penghibur nafsu, pembangkit syahwat, pembentuk pola pikir hedonis, dan syarat kepentingan pemilik kekuasaan.

Tidak aneh ketika sebuah sinetron selalu diwarnai peran waria, bahkan kurang menarik kiranya ketika sosok "cewek" berbasis cowok ini tidak ada dalam sinetron. Pada akhirnya, pelan tapi pasti image waria yang negative di masyarakat, menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan.

Baru-baru ini, tepatnya 26 Juli 2008 warga pesantren mesti merasa tertampar ketika mendengar dan menyaksikan sebuah "pesantren" di Notoyudan, kecamatan Ngampingan, Jogyakarta berdiri dengan santri 100% waria, didirikan oleh seorang waria, dan dikepalai waria pula.

Maryani, waria 48 tahun , mantan ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) pencetus sekaligus pemimpin "ponpes" senin kamis waria satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia. Berawal dari keikut sertaannya dalam pengajian KH. Hamrolie Harun MSc di Pathuk, Jogyakarta sepuluh tahun silam. Gagasan mendirikan "pesantren" waria pun muncul dan terlaksana. Sosok KH. Hamrolie tak luput dari pendirian "pesantren" ini dan bahkan beliau mengirim murid-muridnya sebanyak 25 ustadz untuk mengajar di "pesantren" ini. (Surya, 16/11/2008).

Namun orientasi pesantren jadi bias ketika sang pencetus dan pemimpin "pesantren" yang konon telah begitu lama menggeluti dunia pengajian KH Hamrolie masih tetap betah dengan status waria meskipun naik jabatan jadi pemimpin "pesantren". Terlebih dia katakan sebagaimana dikutif Koran Surya 16/11/08 bahwa sebagai waria senior Maryani memiliki pengalaman hidup yang panjang. Termasuk keluar malam alias mencari pelanggan laki-laki hidung belang, mulai dari Yogyakarta, Semarang, Surabaya (kawasan ketabang kali), Solo (kawasan lapangan Manahan), hingga ke Jakarta (Taman Lawang). Pengalamannya itu memberikan toleransi kepada "santri" dipondoknya belum dapat meninggalkan buruk "keluar malam". Dia katakan, "Biar saja masih keluar malam meskipun mereka sudah menjadi santri disini.."

Tujuan mulia pesantren mengarahkan orang berlaku normal dan beradab bergeser jauh menjadi sarana legalisasi prilaku terlaknat waria. Sebuah riwayat hadits mengatakan,

Rasulullah saw. telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad).

Kharisma "Kyai Haji" dan "ustadz" pun perlu dipertanyakan, dengan waktu sepuluh tahun membina pengajian dan membantu pendirian dan pengajaran "santri" waria dibawah orientasi bias pesantren. Mana yang patut disalahkan, apakah kyai yang membina atau waria yang seakan dicetak jadi "kyai"? Apakah waria yang butuh pembinaan atau malah kyainya yang butuh pengajaran orientasi pesantren?

Sebelumnya invasi liberalisme barat ini pun menjadi-jadi di Indonesia, ketika negara ini sudah dua kali mengadakan miss waria Indonesia. Yang pertama berlangsung tertutup dan dijaga ketat puluhan aparat kepolisian Resort Jakarta Pusat dan Kepolisian Sektor Menteng.

Ahad 26 Juni 2008, komunitas banci, bencong, waria, atau wadam berani menggelar hajatan gede-gedean dalam acara pemilihan Miss Waria Indonesia 2005 kedua di Gedung Sarinah Lt. 14, Jakarta. Sebanyak 30 waria dari berbagai daerah mengikuti kontes ini. Mereka menunjukkan kebolehan masing-masing seperti bernyanyi, menari, dan tentunya berperilaku plus berdandan seperti wanita. Olivia, kontestan dari Jakarta, akhirnya terpilih sebagai Miss Waria Indonesia 2005 . Penyematan mahkota langsung dilakukan Miss Waria Indonesia 2004 Megi Megawati. Menurut ketua dewan juri Ria Irawan, salah satu penilaian adalah kesempurnaan fisik peserta yang menyerupai wanita. ( Liputan 6, 27/06/05 ).

Merlyn Sopjan, seorang penulis buku Jangan Lihat Kelaminku . Waria lulusan Institut Teknologi Nasional Malang ini pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif Kota Malang mewakili Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia pada 2003. Waria "cantik" kelahiran Kediri ini bahkan dianugerahi gelar Doktor HC dari Northern California Global University Amerika karena keterlibatannya sebagai aktivis sosial HIV/AIDS. Ketua Ikatan Waria Malang yang pernah menjadi Ratu Waria Indonesia 1995 ini akan mengikuti kontes Miss Internasional Waria di Thailand November mendatang. ( Suara Merdeka, 12/05/2005 ).

Shunniyah Ruhama Habiballah, Sekjen Yayasan Putri Waria Indonesia, waria berkerudung (atau sengaja dikerudungin untuk mengesankan simbol islami?) menulis buku berjudul Jangan Lepas Jilbabku . Waria ini adalah alumni UGM Yogyakarta jurusan sospol dengan predikat cum laude dalam waktu 3 tahun 40 hari. Di Polewali, Agustus lalu, dia menggelar ajang putri-putrian versi waria. Acara Top Model Waria ini merupakan turunan kegiatan dari Yayasan Putri Waria Indonesia.

Di Yogyakarta, kelompok waria melakukan aksi menuntut kesetaraan orientasi seksual dan identitas gender. Aksi yang dilakukan Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan dan Diskriminasi ini, menolak segala tindak kekerasan dan bentuk diskriminasi maupun stigma yang berbasis orientasi seksual dan identitas gender pada Rabu (13/8/08).

Belasan orang yang menutup wajahnya dengan kain hitam itu berunjuk rasa di depan Gedung Agung (Istana Negara) Yogyakarta. Di leher mereka tergantung poster yang bertuliskan `homo seksual bukan kriminal`, `homo seksual bukan penyakit jiwa`, dan `homoseksual = HAM`. Mereka menuntut perlakuan sama dengan lainnya, seperti penerimaan bekerja di sektor formal.

Menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-63, digelar aksi tanding voli antara kaum ibu dan waria di Samarinda. Untuk menarik perhatian, pawai bencong dan lomba-lomba dengan mengenakan pakaian wanita juga digelar.
Realitas yang menghenyak hati menunjukan begitu jauh umat ini dari tuntutan agama. Tidak salah kiranya, berabad-abad lalu Rasul saw. mengatakan bahwa Islam datang dengan asing diterima masyarakat dan akan kembali asing menjelang kiamat, walau umat ini masih berteriak mengaku umat Nabi Muhammad saw.

Islam telah jauh hari dari A sampai Z telah menegaskan bahwa Islam tidak memberikan tempat untuk waria sebagai representasi homoseksualitas. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.'' (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Laknat Rasul saw, pun telah begitu jelas termaksud bahwa waria tidak punya lahan dalam Islam,

Rasulullah saw. telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad).

Dengan melegalkan eksistensi waria, maka keberlangsungan manusia untuk tumbuh berkembang mempunyai keturunan pun terhambat. Islam pun datang dengan tujuan menjaga keturunan (hifzh an-nasl) supaya manusia selalu berada pada rel fitrahnya.

Begitupun dengan rawannya penyakit yang akan ditimbulkan dari kegiatan free sex abnormal yang selalu terdengar dari kaum “cewek” berbasis cowok ini menjadikan resah masyarakat. Dengan mengidap penyakit seperti ini, tidak menutup kemungkinan tersebarnya penyakit yang belum ditemukan obat mujarrabnya sampai kini –HIV aid-.

Anak-anak pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang menjadi pengonsumsi media televisi yang selalu disuguhi tayangan sinetron, komedi, reality show yang tidak luput dari peran-peran waria yang menarik untuk ditonton dan mengundang gelak tawa akan menjadi korban empuk kampanye waria, ketenaran menjadi waria, dan kemudahan mencari uang menjadi waria.

Kepentingan barat dalam menginvasi Islam di jalur pemikiran kentara terlihat dengan berbagai media yang dimiliki, televisi yang dikuasai, dan modal materi yang luar biasa. Gerakan mereka para waria begitu sistematis dipasarkan dengan berbagai event pertunjukan. Beberapa hal menguatkan asumsi ini dan proyek barat ini begitu terkesan terbentuk kokoh di masyarakat.

Pertama , setelah keberadaan mereka dipopulerkan televisi dalam sinetron atau iklan komersil, masyarakat jadi penasaran pengen tahu banyak dengan kehidupan waria. Dari asal-usulnya, suka-dukanya, kesehariannya, sampe masa depan mereka. Liputan tentang diskriminasi terhadap waria dikemas sedemikian rupa untuk memancing emosi dan perasaan kasian pemirsa. Ujung-ujungnya, informasi seputar waria yang disuguhkan lebih diarahkan kepada legalisasi waria di mata masyarakat.

Kedua , maraknya ekspos media terhadap waria menjadi cara yang jitu yang dilakukan musuh-musuh Islam untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kampanye penerapan syariat Islam yang tengah gencar di berbagai daerah di nusantara ini. Aktivitas amar makruf nahyi munkar pun terlupakan. Masyarakat semakin cuek dengan berbagai permasalahan yang muncul akibat diterapkannya sistem sekuler. Jika dibiarkan, boleh jadi negeri kita akan semakin liberal dan mungkin suatu saat nanti legalisasi perkawinan sejenis nggak cuma terjadi di Belanda, Spanyol atau Kanada. Tapi juga di negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini.

Menjadi kewajiban setiap muslim untuk merubah segala bentuk kemunkaran. Hari ini betapa banyak PR yang mesti diselesaikan untuk membumikan ketenangan dan kenyamanan yang membuahkan kemaslahatan dunia akhirat. Setiap orang dituntut untuk merubah kemungkaran tersebut sesuai dengan kemampuannya. Seandainya kita hanya punya kemampuan seperti jari kelingking, maka manfaatkan jari kelingking tersebut untuk mengorek kuping supaya terbebas dari kotoran didalamnya, mengorek kotoran yang ada didalam hidung, ataupun hanya untuk menggaruk. Yang penting ada gerakan untuk mengubah kondisi lebih baik. Rasul saw bersabda,

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وهو أضعف الإيمان

”Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Kalau tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Tetapi merubah kondisi kemungkaran dengan lisan menunjukan lemahnya iman.”

Ancaman diamnya kita terhadap kemunkaran itupun akan mengundang bencana. Maka tidak aneh sampai hari ini, bangsa tercinta kita selalu dilanda bencana tak berkesudahan. Rasul bersabda,

ما ترك قوم الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر إلاّ عامتهم الله العذاب

”Tidaklah suatu kaum meninggalkan amar makruf nahyi munkar,kecuali Allah akan menghinakan kaum tersebut dan menurunkan adzab kepada mereka.”

Terlebih Ulama sebagai sosok kharismatik masyarakat Islam, mesti lebih sistematis membina masyarakat dengan kadar keilmuan yang memadai dan mengejewantahkannya dalam pribadi bermoral istimewa. Karena tuntuna al-Qur’an menjelaskan bahwa Ulama bukan hanya sekedar mempunyai banyak ilmu, tapi yang lebih penting mempunyai rasa takut (khauf/khasyyah) kepada Allah swt. Allah swt. berfirman,

إنما يخشى الله من عباده العلماء

”Sesungguhnya dari hamba-hambanya yang takut kepada Allah adalah Ulama..”

0 komentar: