بسم الله الرحمن الرحيم

Jumat, 20 Februari 2009

Pembaruan Interpretasi Fazlur Rahman dalam Studi Al-Qur'an (tinjauan kritis)

Pembaruan menjadi ikon penting bagi sejumlah harakah Islamiyyah (pergerakan umat Islam) saat ini. Semua harakah sepakat dengan pembaruan tersebut, tetapi terjadi perbedaan dalam memandang bagaimana pembaruan tersebut diaplikasikan. Metodologi pembaruan yang digunakan bermacam-macam, bahkan ada pula pergerakan pembaruan yang menggunakan epistemologi yang berbasis worldview (pandangan dunia) di luar Islam (baca: Barat), yang menyebabkan kesimpulan-kesimpulan interpretasi al-Qur'an misalnya, berseberangan dengan prinsip-prinsip dan mainstereem Islam.

John L. Esposito dalam karyanya, Islam: The Straight Path, menjelaskan kategori dan klasifikasi pergerakan pembaruan kedalam empat aliran. Pertama, kaum sekuler yang mendukung agama hanya untuk urusan pribadi dan pengucilannya dari kehidupan publik. Kedua, konservatif yang bergerak untuk kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah dengan penekanan mengaplikasikan hukum tradisional, bukan reinterpretasi yang membuka peluang perubahan dalam hukum. Mereka memandang tidak begitu penting merujuk langsung kepada al-Qur'an dan al-sunnah untuk memperoleh jawaban-jawaban baru. Ketiga, neotradisionalis, yang dominan sama dengan konservatif. Tetapi kaum ini disatu sisi menghormati rumusan-rumusan hukum klasik, tetapi tidak terikat dengan rumusan-rumusan tersebut. Mereka merujuk langsung kepada sumber-sumber Islam utama, guna berijtihad dan menerapkan kembali sumber-sumber dimaksud pada kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi kontemporer. Keempat, neomodernis yang membedakan secara tajam antara substansi dan bentuk, antara kaidah dan nilai-nilai wahyu dengan lembaga dan praktik yang terkondisikan oleh sejarah dan kemasyarakatan yang dapat dan harus diubah untuk memenuhi kondisi-kondisi kontemporer.[1]

Terlepas tepat tidaknya pengklasifikasian diatas, yang jelas yang menjadi permasalahan paling signifikan penting bukan pada ragam penafsiran yang dihasilkan, melainkan pergeseran dan perbedaan worldview. Dari keempat aliran diatas, jika dilihat dari kacamata worldview bisa disederhanakan menjadi dua. Pertama, yang masih berada pada jalur worldview Islam dengan realitas tidak ada penyimpangan dari mainstreem Islam, yakni yang disebut Esposito dengan kaum konservatif dan neomodernis. Kedua, yang sudah di luar jalur worldview Islam, yakni sekuler dan neomodernis. Keduanya menggunakan pendekatan interpretasi dengan worldview Barat yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan hukum yang sudah tidak relevan lagi dengan suara Islam.

Klaim pembaruan yang diusung kaum liberal mengarahkan konsentrasinya dalam studi al-Qur'an melalui interpretasi. Hermenutika sebagai teori dijadikan pisau pembedah bahkan pendekonstruksi syari'ah. Menurut mereka fiqih yang selama ini dipakai, dinilai sebagai faktor kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini.[2] Salah satu kritik terhadap fiqih adalah bahwa fiqih bersikap diskriminatif terhadap non Muslim. Diantaranya mengatakan, "Banyak konsep fiqih yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang umat Islam, sehingga berimplikasi meng-exclude atau mendiskreditkan mereka."[3] Sejumlah pemikir liberal muslim menilai bahwa proses pembaruan ini tidak bisa dilakukan selama perangkat teoritiknya, yaitu ushul fiqih tidak diperbaharui. Oleh karena itu pembaruan ushul fiqih menjadi agenda utama. Diantara mereka yang mengusung pembaruan ini adalah Hasan at-Turabi yang menilai bahwa ushul fiqih tidak relevan lagi untuk sekarang ini.[4] Kemudian ada Abdul Hamid Abu Sulayman yang mensinyalir beberapa kelemahan ushul fiqih klasik. Diantaranya textual dan linguistic oriented sehingga cenderung melupakan unsur historisitas teks, dimensi waktu dan tempat.[5]

Agenda dekonstruksi ushul fiqih ini merupakan salah satu program dari grand program liberalisai Islam di Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan Greg Barton bahwa program liberalisasi Islam di Indonesia meliputi empat hal yang meliputi pentingnya kontekstualisasi ijtihad, komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, penerimaan terhadap pluralisme agama, dan pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non sektarian negara.[6] Senada dengan itu, hasil penelitian dari salah seorang peneliti INSIST menyatakan program liberalisasi meliputi tiga hal, yakni liberalisasi dalam aqidah Islamiyyah- Pluralisme agama-, liberalisasi konsep wahyu –menggugat otentisitas mushaf Utsmani-, dan liberalisasi syaria't dan akhlak Islam.[7] Ternyata dalam realitas dan prakteknya, pemikir liberal Indonesia lebih liberal ketimbang pendahulunya, bahkan lebih liberal ketimbang Barat liberal.

Plagiatisasi terhadap pemikiran Barat yang membabi buta, telah membuat pencemaran nama baik Islam di panggung dunia. Secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, meskipun dengan dalih pembaruan, mereka -cendekiawan liberal- telah merendahkan martabat kaum muslimin. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, tidaklah mensyaratkan peradaban Barat yang beradab, karena peradaban itu hakikatnya pemberontakan terhadap agama dan anti wahyu. Fazlur Rahman (1919-1988) asal Pakistan[8], pengajar di Universitas Chicago Amerika Serikat sebagai salah satu tokoh rujukan kaum liberal Indonesia telah mengingatkan akan kelemahan gerakan kaum modernis Muslim yang menyebabkan mereka gagal untuk membawa masyarakat kepada apa-apa yang mereka idamkan. Ia menjelaskan, "Isu-isu khusus yang dipilih kaum modernis pada dasarnya adalah isu-isu yang menjadi persoalan di dan bagi masyarakat di Barat. Meskipun kaum modernis tersebut jujur dalam mengadopsi persoalan tersebut, sikap ad-hoc (pilih bulu) mereka ini bagaimanapun juga telah meninggalkan kesan yang sangat kuat bahwa kaum modernis tersebut adalah mereka yang terbaratkan ataupun telah menjadi orang Barat."[9]

Tetapi realitanya, Rahman pun terjebak dalam kelemahan ini. Dalam praktiknya, dia terlibat aktif mengangkat isu-isu Barat. Teori double movement Rahman misalnya, merupakan salah satu bukti bagaimana ia merepresentasikan gaya Barat dalam melakukan liberalisasi pada syari'at Islam atas nama pembaruan.

Dalam mengaplikasikan teorinya tersebut, sebelumnya Rahman mempunyai pandangan yang perlu dicermati ketika mendengungkan pembaruan dalam Islam. Pandangannya terhadap pembaruan, dia sikapi dengan prinsip kesesuaian wahyu dengan realitas. Ia mengusulkan supaya pembaruan (reformasi/tajdid) mestilah kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah. Tetapi al-Qur'an yang ia pahami tidaklah seperti yang diyakini oleh kaum muslimin pada umumnya. Ia menyatakan bahwa al-Qur'an merupakan firman Allah yang pada dasarnya adalah satu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia, dan bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa, dan haji.[10] Dari awal hingga akhir menurutnya, al-Qur'an selalu memberikan penekanan pada semua aspek-aspek moral yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karenanya, kepentingan sentral al-Qur'an adalah manusia dan perbaikannya.[11]

Begitu pula dengan pandangannya terhadap sunnah Nabi saw., dimana pada intinya sunnah Nabi merupakan substansi perbaikan manusia. Oleh karena itu, menghidupkan al-sunnah adalah keniscayaan dalam melakukan pembaruan. Sunnah yang hidup adalah praktik aktual yang dilakukan umat Islam yang secara ideal bersumber dari teladan Nabi. Oleh karena itu, konsep ini bersifat dinamis dan berkembang sesuai tuntutan lingkungan dan masanya.[12] Dengan kata lain, sejumlah aturan-aturan hukum didalam al-Qur'an dan al-hadits tidak bersifat final dan berlaku untuk selamanya. Tetapi senantiasa berubah dengan landasan utama kesesuaiannya dengan alam realitas yang selalu berubah pula, baik waktu atau tempatnya.

Teori double movement Fazlur Rahman menjadi salah satu referensi muslim liberal Indonesia. Ia gunakan teorinya ini untuk memahami dan menginterpretasi al-Qur'an, khususnya hukum Islam.[13] Hubungan timbal balik antara wahyu ketuhanan (divine relation) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) yang profane menjadi tema sentral. Gerak pertama dari teori ini adalah dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur'an, yakni upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al-Qur'an diturunkan. Dengan pemahaman itu akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat itu. Penelitian dan pemahaman tersebut, akhirnya menghasilkan rumusan narasi atau ajaran al-Qur'an yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistemik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedang gerak kedua dari teori double movement adalah dari masa turunnya al-Qur'an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur'an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman yang baik pula tentang sejarah.[14]

Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu "ideal moral" dan ketentuan "legal spesifik" al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, dalam berbagai penjelasannya, Rahman mengusulkan agar dalam memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga al-Qur’an dapat dipahami dalam konteks yang tepat.[15] Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan akan pentingnya tujuan atau ideal moral al-Qur’an dengan legal spesifiknya. Ideal moral yang dimaksud al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik.[16] Dengan kata lain, dalam teorinya ini, ia melakukan tiga langkah dalam memahami dan menginterpretasi ayat-ayat ahkam, sebagaimana dijelaskan Birt dalam "The Message of Fazlur Rahman". Pertama, memahami dan memaknai pernyataan dengan melihat situasi sosio-historis pada saat pernyataan itu muncul. Kedua, membuat kesimpulan terhadap pernyataan tersebut dengan mengklasifikasikan aspek ideal moral dan legal formal yang spesifik. Ketiga, ideal moral yang didapatkan sebagai kesimpulan terhadap pemaknaan dan pemahaman pernyataan tersebut dibawa ke konteks sekarang sesuai dengan sosio-historisnya.[17]

Rahman berkeyakinan bahwa sebuah pemahaman dan ilmu pengetahuan tidaklah bersifat final, tetapi akan selalu berubah menyesuaikan dengan waktu yang relatif dinamis. Hal ini pun ditegaskan Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya "The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas", bahwa Fazlur Rahman menggunakan pendekatan terbuka -yakni sekuler- terhadap isu mengenai validitas ilmu pengetahuan.[18] Terlihat dalam salah satu stetemen Fazlur Rahman, ia mengatakan,



"Adalah jelas bahwa sekali suatu penafsiran diterima, tidak seharusnya terus menerus diterima; disini selalu ada ruang dan keperluan akan penafsiran-penafsiran baru, dan ini merupakan proses yang berlangsung terus dalam kebenaran"[19]



Oleh karena itu, Fazlur Rahman menolak ide Islamisasi ilmu pengetahuan dengan alasan akan membelenggu intelektualitas, karena menurutnya keilmuan keislaman yang dipahami, berorientasi masa lalu. Ia mengajukan perlunya penggunaan intelek yang bebas dari dogma dan batas-batas kultural yang membelenggu.[20]

Hal ini dibantah oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menjelaskan bahwa penafsiran-penafsiran yang berkembang dan terjadi perubahan hanya terbatas untuk penafsiran aspek-aspek saintifik al-Qur'an dan fenomena alam. Menurutnya, ilmu pengetahuan adalah universal dalam hal kepastiannya dan bukan dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan keraguan atau prasangka, maka karena itu bersifat final. Ia tidak terbuka untuk di revisi oleh generasi sesudahnya, kecuali hanya untuk pembahasan dan pelaksanaan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan mengenai masalah kepercayaan yang mendasar, seperti hakikat Tuhan, wahyu, agama, manusia takdirnya, masalah etika dan hukum-hukum mendasar seperti yang telah dtetapkan oleh al-Qur'an (muhkamät) dan hadits-hadits Nabi serta penjelasan-penjelasan ulama yang memiliki otoritas di bidangnya, tidak terbuka lagi untuk di revisi dan di koreksi lebih lanjut. Al-Attas menganggap dimensi saintifik al-Qur'an termasuk dalam kelompok mutasyäbihät dan karena itu terbuka untuk dapat ditafsirkan dan direvisi kembali berdasarkan makna-makna yang telah dijelaskan oleh sumber-sumber yang diwahyukan.[21]

Ada klaim, bahwa teori double movement Rahman sebagai kesinambungan antara peran akal dan teks pada periode kontemporer,[22] memunculkan wacana dan klaim bahwa teori ini sama dengan teori qiyas dalam hal memperlakukan teks agama, yaitu mengarahkan suatu pemikiran tentang substansi teks dengan menemukan rasio legis ('illat hukum) atau ideal moral.[23]

Hakikatnya jauh panggang dari api ketika teori double movement disamakan dengan qiyas. Konsep qiyas merupakan solusi yang dijadikan landasan pengambilan hukum (istibath al-ahkam) ketika sebuah kasus yang menuntut ketegasan hukum amali tidak didapatkan di dalam nash, baik al-Qur'an maupun al-hadits dan tidak ditemukan pula ijma' tentang penegasan hukum kasus tersebut dengan cara menemukan 'illat hukumnya yang sama dengan semangat kasus tersebut. Statemen ini seiring dengan penjelasan para ulama ushul seperti Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khallaf, dan lain sebagainya dalam buku-bukunya yang menyatakan bahwa qiyas diartikan dengan menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nashnya tentang suatu hukum kepada perkara lain yang ada nash hukumnya, karena keduanya berserikat dalam 'illat hukum.[24] Sedangkan teori Rahman adalah teori yang mendekonstruksi qiyas itu sendiri dengan mendekonstruksi ayat-ayat hukum tersurat dan qath'i dalam nash yang berakibat perubahan hukum-hukum pasti (qath'i) dengan alasan ideal moral sebagai pijakan, bukan legal formal.

Dengan teorinya ini, Rahman bisa saja menganulir hukum tersurat dalam al-Qur'an yang qath'i. Karena yang menjadi pertimbangan utama teori ini adalah realitas dan sosio-historis, ketimbang syari'at tersurat yang disebutnya sebagai legal formal. Meskipun awalnya, ia berpegang kepada teks al-Qur'an yang dianggap sebagai ideal moral saja, tanpa keyakinan legal formal atau hukum tersurat menjadi landasan kemaslahatan, baik untuk dulu ataupun sekarang. Jadi, penjelasan finalitas hukum Islam yang digambarkan al-Qur'an dalam ayat-ayat hukum yang qath'i, sebagaimana termaksud dalam QS. [5]: 3, "..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.." dianggap sebagai bahan rujukan yang tidak mesti sama dalam prakteknya. Ketika berbicara Al-Qur'an sebagai landasan hukum, Rahman menyatakan bahwa hukum dalam al-Qur'an disesuaikan dengan situasi moral dan sosial arab waktu itu. Dia menyatakan, "Al-Qur'an adalah respon ilahi atas masa al-Qur'an, melalui pemikiran Nabi, terhadap situasi moral dan sosial nabi Arab, khususnya permasalahan komersial masyarakat Mekkah pada saat itu."[25]

Hal ini menggambarkan bagaimana Rahman menampilkan teori Hermeneutika yang diaplikasikan Gadamer, dalam upaya menjelaskan bagaimana cara tradisi intelektual muncul ke permukaan dan berkembang dalam sejarah.[26] Dalam pandangan Gadamer manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Efek kesadaran sejarah mengakibatkan kondisi yang non-objektifikasi, meskipun kondisi itu selalu mengiringi proses pemahaman.[27] Jika hermeneutika ontologis Gadamer diterapkan dalam teks, dalam hal ini al-Qur'an, khususnya dalam ayat-ayat ahkam mesti ditinjau dari tiga aktifitas eksistensi manusia, yakni subtilitas intellegendi yang berarti ketepatan memahami (understanding), subtilitas explicandi yang berarti ketepatan menjelaskan atau menguraikan makna tersirat menjadi makna tersurat, dan subtilitas applicandi yang berarti menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks dengan situasi baru dan kini.[28]

Tetapi persamaan relatifitas pemahaman antara Rahman dan Gadamer merupakan satu sisi perhatian. Di lain pihak, bahkan yang menjadi penilaian dasar adalah adanya perbedaan diantara keduanya. Gadamer menyatakan bahwa pemahaman adalah kejadian yang bersifat linguistik, dialektikal, dan historis. Oleh karena itu, tujuan hermeneutika bukanlah untuk mengemukakan aturan-aturan pemahaman yang valid-objektif, namun untuk memahami "pemahaman" itu sendiri sekomprehensif mungkin.[29] Sementara Fazlur Rahman menolak adanya penegasian objektivitas karena menurutnya, pengetahuan yang objektif itu benar-benar ada.[30]

Berangkat dari keyakinan Rahman akan objektivitas pemahaman, maka teori hermeneutikanya cenderung meniru hermeneutika metodologis objektif Emilio Betti (1890-1968) yang sangat perhatian terhadap interpretasi yang objektif, bahkan dengan menggunakan teori yang sama, yakni double movement.[31] Dalam pandangan Betti, interpretasi merupakan sarana dalam memahami. Dalam kaitannya dengan itu, seperti ditegaskan Josef Bleicher dalam Contemporary Hermeneutics, Betti berkeyakinan bahwa interpretasi objektif akan membantu mengatasi kendala pemahaman, dan memberikan ketepatan kembali dari pikiran objektif yang ada pada subjek lain. Selanjutnya, pengetahuan yang relatif objektif mensyaratkan seorang penafsir untuk memasuki hubungan subjek-subjek dan pokok bahasan, misalnya teks yang akan ditafsirkan.[32] Dalam praktek interpretasi objektif dan pemahamannya, Betti memperhatikan empat aspek penting yang bersifat teoritis yang mesti ada dalam proses interpretasi. Pertama, aspek filologi, yakni rekonstruksi terhadap koherensi suatu ungkapan dari sisi gramatikal dan logika. Kedua, aspek kritik yang dihadapkan pada hal-hal yang perlu dipertanyakan seperti statemen yang tidak logis atau adanya gap dalam sekumpulan argumen yang muncul. Ketiga, aspek psikologis yang diberlakukan ketika interpreter meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yakni ketika memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual pengarang. Keempat, aspek morfologi teknis yang ditujukan kepada pemahaman isi (ideal moral) objektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip-prinsip yang digunakannya. Dalam hal ini, objek dipandang apa adanya tanpa dikaitkan dengan sifat atau faktor-faktor eksternal.[33] Setelah keempat teori tersebut terlibat dalam proses penafsiran, maka terdapat tiga jenis penafsiran yang terjadi, yaitu rekognitif untuk memahami kembali pengetahuan pengarang ketika menjabarkan sebuah statemen yang ditulisnya yang dipengaruhi konteks sejarah, reproduksi untuk menghasilkan pengetahuan baru, dan aplikasi normatif untuk menerapkan pemahaman isi objektif dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar (ideal moral).

Dengan teori double movement Rahman sebagai aplikasi dari hermeneutika metodologis Emilio Betti akan berakibat perubahan bahkan dekonstruksi hukum ayat-ayat ahkam yang qath'i dalam al-Qur'an ataupun sunnah nabawiyyah. Perubahan tersebut senantiasa berlanjut mengiringi perbedaan waktu dan tempat sesuai dengan konteks sosio-historisnya yang berakibat terjadinya relatifitas penafsiran. Meskipun dengan metodologi keduanya yang dianggap sistematis, namun relatifitas interpretasi dan subjektifitas penafsir tidak dapat dihindarkan.

Relatifitas penafsiran yang menundukan nash di bawah "telunjuk" akal dan menempatkan akal potensial di bawah telunjuk realitas dan sosio-historis yang berujung pada kebenaran yang bias. Disinilah bagaimana Rahman terjerembab dalam pemikiran Barat yang mengagungkan akal dan mengesampingkan bahkan menegasikan wahyu. Misalnya dalam "ijtihad"nya, dia menyatakan bahwa poligami itu terlarang, meskipun ia mengakui adanya eksistensi dan legalisasi poligami dalam al-Qur'an dalam QS. [4]: 3. Tetapi ia beralasan bahwa ayat tersebut telah di nasakh QS [4]: 129, terlebih lagi bahwa adanya poligami hanya pada zaman awal Islam, dimana struktur sosial Arab tentang kebiasaan hidup berpoligami, tetapi ideal moralnya adalah monogami. Ketika ditarik pada masa sekarang, ayat itu pun dengan sendirinya ternegasikan dengan kondisi realitas sosial. Padahal kalau ia jujur, realitas yang terjadi di tataran sosial sekarang, ketika meruaknya kasus perselingkuhan dan perzinahan ditambah sensus laki-laki dan perempuan yang lumayan tinggi perbandingan kuantitasnya, poligami bisa dijadikan solusi sesuai perspektif ideal moralnya.

Contoh kasus lainnya yang dia angkat dalam interpretasi kritik sosio-historisnya misalnya ketika menafsirkan ayat tentang hukuman bagi pencuri yang tersurat dalam al-Qur'an dengan hadd potong tangan. Ayat ini termaktub dalam QS. [5]: 38,



"Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana"



Menurut Rahman, kata faqtha'u aidiyahuma (potonglah tangan keduanya) sebagai bentuk perintah untuk menghalangi tangan-tangan pencuri melalui perbaikan ekonomi. Dengan demikian, yang menjadi ideal moral dalam kasus ini adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Bahkan ketika Rahman berkunjung ke Indonesia dan diwawancarai majalah Tempo, ia mengatakan, "sangat mengerikan (potong tangan), ia merupakan tradisi yang lahir di Arab Saudi sebelum adanya Islam. Jadi bukan hukum Islam."[34]

Interpretasi tersebut menegasikan hukum tersurat dan menyalahi hadits, para ulama tafsir, baik dari sahabat, tabi'in, dan seterusnya. Karena kata aidiyahuma dalam ayat tersebut adalah hakiki bukanlah majazi (kiasan) yang bisa diganti dengan makna lain. Ibn Jarir al-Thabary meriwayatkan dari Abdul Mukmin dari Najdah al-Hanafi, beliau bertanya kepada Ibn Abbas tentang ayat hukum potong tangan ini, 'Apakah ayat itu bersifat umum atau khusus? Ia menjawab bahwa ayat tersebut bersifat umum. Dengan kata lain ayat tersebut berlaku bukan hanya untuk masyarakat Arab abad ke-7 Masehi saja.[35] Walaupun memang hukum potong tangan telah ada sebelum Islam datang, tetapi hal ini dipertahankan dalam Islam dengan pada masa Islam dengan menambah beberapa pertimbangan dan syarat yang ketat, termasuk ukuran minimal harta curian dan motif pencurian tersebut.[36] Jadi dalam hukum Islam tidak semua pencuri di potong tangan, apalagi kalau mencuri untuk sekedar mempertahankan hidup.

Sebagaimana pendahulunya Fazlur Rahman dengan teori double movement (gerak ganda), Nurcholis Madjid, salah seorang pelopor Islam liberal Indonesia menyerukan pembaruan pemikiran Islam dengan menyatakan, "(untuk)..memberi respon kepada tantangan zaman, harus terlebih dahulu kita menangkap isi pesan dalam kitab suci. Karena (seperti dikatakan)..Fazlur Rahman, kita memiliki kriteria tertentu untuk melangkah, dan kriteria itu dengan sendirinya harus bersumber dari al-Qur'an. Selanjutnya dia katakan, pertama-tama kita harus menilai tradisi kita sendiri, benar dan salahnya, kemudian kita harus menilai tradisi Barat."[37] Pelopor Islam Liberal ini bermaksud melakukan pembaruan dengan menangkap kemajuan Barat yang rasional dan anti wahyu sebagai alat untuk merubah tradisi Islam, yang selama ini dianggapnya beku. Padahal dengan sikapnya tersebut, disadari atau tidak, dia telah melakukan westernisasi (pembaratan) pemikiran dalam dunia Islam.

Diantara pemikir liberal lainnya menyatakan pujian terhadap sosok Nurcholis Madjid yang diklaim sebagai pelopor pembaruan Islam di Indonesia itu, "bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan 'tradisi' (turats) dalam bingkai analisis yang kritis dan sistematis. Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Qur'an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya. Maka hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syari'ah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman."[38]

Padahal hakikatnya, Nurcholis Madjid sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman yang yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur'an.[39] Dari pembuntutan metodologi dari proyek westernisasi ini, lahirlah dari buah pemikirannya buku Fiqih Lintas Agama yang memberikan hukum baru dalam pemahaman mengenai perkawinan beda agama, do'a bersama, mengucapkan salam kepada non-Muslim, menghadiri dan mengucapkan selamat natal, dan persoalan-persoalan yang terkait langsung dengan hubungan umat Islam dengan umat agama-agama lain. Westernisasi melalui hermeneutika dapat dibuktikan dari pernyataan penggagas lain dari munculnya buku ini yang memberi argumentasi bahwa peluncuran 'ijtihad' baru dalam bidang fiqih ini dilandasi realitas sosial yang terjadi, dimana telah terjadinya perkawinan agama, pengucapan selamat natal, do'a bersama, dan lain-lain. Ia mengatakan,



"Tema-tema itu tidak datang dengan sendirinya. Kita mengambilnya dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat kita sehari-hari. Kita sering menyaksikan -misalnya- para pejabat yang menghadiri peringatan natal dan mengucapkan selamat natal. Pembawa acara televisi pun umumnya tak sungkan mengucapkan selamat natal. Kita secara ringan saja mengucapkan salam kepada non-muslim, atau ada juga yang melakukan perkawinan agama. Nah, semua itu merupakan persoalan-persoalan yang real di masyarakat. Tapi sayangnya, belum ada fiqih yang membicarakan persoalan tersebut secara agak tuntas." Nah, ada persoalan-persoalan lain seperti do'a bersama, yang juga perlu dibahas. Saya tidak tahu, apakah pada zaman Nabi dulu, do'a bersama punya preseden atau tidak. Sekarang praktik itu sering dilakukan orang. Kalau kita lihat, yang melakukan itu justru tokoh-tokoh dari semua agama. Itu persoalan real. Perlu ada jawaban konkret."[40]



Maka jelaslah, yang berlaku sebenarnya bukan landasan hukum Islam berdasar al-Qur'an dan as-Sunnah, tetapi realitaslah yang dijadikan pijakan hukum. Rasionalisasi pun jadi bias, karena pada intinya bukan pengoptimalan akal untuk membuat solusi permasalahan masyarakat, tetapi akal dipaksa untuk membenarkan realitas dengan mencari pembenaran dari nash. Metodologi yang ditawarkan kelihatan begitu meyakinkan, hanya karena ditawarkan oleh orang-orang berpendidikan dengan bahasa intelektual. Padahal dibalik itu semua, terkandung kepentingan dekonstruksi syari'at yang menyebabkan runtuhnya eksistensi ajaran tauhid Islam.



[1] John L. Esposito, Islam: The Straight Path. Terjemah Arif Maftuhin, Islam Warna Warni; Jalan Ekspresi Menuju Jalan Lurus, Paramadina: Jakarta, 2004, 283-287

[2] Jamal al-Bannä, Nahw Fiqh Jadid, Där al-Fikr al-Islämï: Kairo, t.th, 8

[3] Mun'im A. Sirry (ed), Fikih Lintas Agama, Yayasan Paramadina: Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004, ix

[4] Lihat Nirwan Safrin, "Konstruk Epistemologi Islam: Tela'ah Bidang Fiqh dan Ūshul Fiqh" dalam Jurnal ISLAMIA, Th II No. 5, April-Juni 2005, 46

[5]Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah al-'Aql al-Muslim, Al-Ma'had al-Älami li al-fikr al-Islämï, 1994, 73

[6] Gagasan Islam Liberal Indonesia, Paramadina: Jakarta, 1999

[7] Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia Fakta dan Data, DDII, 2006, 44. Selanjutnya disingkat Liberalisasi Islam

[8] Lahir 21 September 1919 di Barat Pakistan. Meraih M.A. dari Universitas Punjab, Lahore dalam Bahasa Arab dan Doktor di Oxford tentang Psikologi Ibn Sina. Ia merupakan dosen di Studi Persia dan Filsafat Islam di Universitas Durham, Inggris, 1950-1958, asisten Profesor di Institut Studi Islam, Universitas McGill, Montreal, 1958-1961, Profesor tamu di Central Institute of Islamic Research, Pakistan, 1961-1962 dan Direktur, 1962-1968, Profesor tamu di U.C.L.A. 1969, dan Profesor di Universitas Chicago, 1969

[9] Fazlur Rahman, Islam: Challenges and Opportunities, dalam Alford T. Welch dan Pierre Chachia (eds), Islam: Past Influence and Present Challenge, Edinburgh University Press: Edinburgh, 1979, 324 Dikutip dari Nirwan Syafrin, Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syari'at Islam, dalam Jurnal Tsaqafah ISID- Gontor, Vol. 4, N0. 2, R. Tsani 1429, 276

[10] Fazlur Rahman, "The Message and the Messenger" dalam Marjorie Kelly (ed), Islam: The Religious and Political Life of a World Community, Praeger Publisher: New York, 1984, 46. Dikutip dari Abd A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Paramadina: Jakarta, 2003, 82

[11] Ibid

[12] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Adam Publisher & Distributors: Delhi, 1994, v. Lihat Abd A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Paramadina: Jakarta, 2003, 94

[13] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago and London: The University of Chicago, 1982), hlm. 5

[14] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, Fakultas Syari'ah Press dan Forum Studi Hukum Islam: Yogyakarta, 2004, 142-143. Selanjutnya disingkat Neo Ushul Fiqih. Abd A'la, Dari Neomodernisme Ke Islam Liberal, Paramadina: Jakarta, 2003, 84. Selanjutnya disingkat Dari Neomodernisme

[15] Fazlur Rahman, Interpreting the Qur'an, dalam Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo Modernisme Islam Dewasa Ini, Mizan: Bandung, 1993, 55-56

[16] Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo Modernisme Islam Dewasa Ini, Mizan: Bandung, 1993, 21

[17] Abd A'la, Dari Neomodernisme, 71

[18] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, terjemah Hamid Fahmi dkk, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Mizan: Bandung, 2003, 409. Selanjutnya di singkat The Educational Philosophy

[19] Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method, and Alternatives", International Journal of Middle Eastern Studies I, 1970, 145

[20] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih, 143

[21] Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 409-410

[22] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation og Intellectual Tradition, The University of Chicago: Chicago and London, 1982, 5

[23] Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neo modernisme Islam Fazlur Rahman, cet-5, Mizan: Bandung, 62

[24] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 173. Hal senada dijelaskan Abdul Wahab Khallaf, 'Ilm Ushul, 52 juga Al-Baidhawi, Shadru al-Syari'ah, Abu Hasan al-Basyri, al-Amidi, Ibn al-Hajib, Ibn al-Hummam, Ibn Qudamah, dan Qadhi Abu Bakar seperti dikutip Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2, Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1999, 145-147

[25] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Oxford University Press: Oxford, 1979, p. 2

[26] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih, 145

[27] Joel C. Weinsheimer, Gadamer Hermeneutics: A Reading of Truth and Methode, New Haven: Yale University, 1985, 169

[28] Van A. Harvey, "Hermeneutic" dalam Marcea Eliade, The Enciclopedy of Religions, Mac Milan Publishing: New York, vol. 6, 280. Dikutip dari Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika al-Qur'an ala Pesantren, UII Press: Yogyakarta, 2006, 59

[29] Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University Press: Evanston, 1969, 215. Selanjutnya disingkat Hermeneutics

[30] Abd A'la, Dari Neomodernisme, 86

[31] Richard E. Palmer, Hermeneutics, 56

[32] Abd A'la, Dari Neomodernisme, 85

[33] Ibid

[34] Lihat Hermeneutika al-Qur'an Fazlur Rahman, Jalasutra: Yogyakarta, 2007, 80-81

[35] Ibn Jarir, Tafsir Jami'ul Bayan QS. 5:38

[36] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim QS. 5:38

[37] Nurcholis Madjid, "Ajaran Nilai Etis dalam Kitab Suci dan Relevansinya bagi Kehidupan Modern", dalam "Islam Doktrin dan Peradaban", Paramadina: Jakarta, 1992, 485-486

[38] Lihat Azyumardi Azra dalam pengantar buku Abd A'la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, Paramadina: Jakarta, 2003, xi-xii

[39] Adian Husaini, Liberalisasi Islam, 46-47

[40] Kautsar Azhari Noer yang diwawancarai Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Kamis 17 Oktober 2003. Dikutip dari Parjono Wiro Putro, Membongkar Kesesatan Pemikiran Islam Liberal, Bina Insani Press: Solo, 2004, 180

Studi Kritis Terhadap Interpretasi Muhammad Syahrur

Hegemoni Barat terhadap dunia Islam khususnya, telah menancapkan pengaruh tertanamnya jiwa-jiwa liberal di kalangan muslim. Globalisasi yang menjadi isu kampanye Barat dalam mempromosikan ide-idenya, memaksa bangsa-bangsa dan peradaban lainnya ikut membuntut terkondisikan untuk menerima kultur, tradisi, dan nilai-nilai yang dianggap universal. Padahal hakikatnya, Islam dan Barat merupakan dua peradaban besar yang mustahil ketemu satu meja dalam memandang kehidupan. Barat misalnya, melalui dua masa terakhir dalam untaian sejarah mereka, modern dan postmodern yang mendasarkan worldview-nya pada sekularisme, rasionalisme, empirisisme, desakralisasi, pragmatisme, pluralisme, persamaan, dan lain sebagainya, tidak didapatkan dalam tradisi intelektual Islam. Pandangan hidup (worldview) Islam bersumber wahyu (Al-Qur'an), hadits, akal, pengalaman, dan intuisi dengan pendekatan tauhidi, tidak memiliki pendekatan yang dikotomis sebagaimana Barat. Makna realitas dan kebenaran dalam Islam merujuk kepada empiris dan metafisis, tidak sebagaimana Barat yang hanya merujuk bukti empiris saja. Begitupun peradaban Islam yang dibangun berdasarkan agama yang dibimbing wahyu, lain dengan peradaban Barat yang tidak terbentuk dari agama, dimana agama hanyalah salah satu elemen yang membangun peradaban tersebut.[1]



Liberalisasi pemikiran ini pun berjangkit memberikan pengaruh besar dalam mendekonstruksi hukum-hukum Islam. Melalui salah satu produk kebanggaannya dalam teori interpretasi, pemikir liberal menjadikan hermeneutika sebagai pisau pembedah dan pengubah perangkat teoritik dalam menghasilkan hukum, yakni ushul fiqih. Dengan teori inilah, para cendekiawan liberal muslim mengangkat panji-panji Barat dengan melakukan penafsiran-penafsiran liberal terhadap Al-Qur'an.



Berangkat dari problematika Bibel yang kontras dengan sains, hermeneutika berperan sebagai solusi efektif dalam menafsirkan Kitab suci yang sarat problem tersebut. Sekarang hermeneutika sudah memasuki ranah umum dalam filsafat, dimana dengannya dianggap semua karya termasuk Kitab suci, merupakan produk budaya yang tidak terlepas dari bahasa yang terbatas, relatifitas penafsiran yang berujung relatifitas kebenaran, dan sarat dengan kepentingan pengarang karya dan tradisi sosial historisnya.[2]



Hermeneutika sebagai epistemologi yang mengagungkan akal, dan bahkan menolak kemampuan akal untuk mengetahui kebenaran dengan menundukkannya di bawah telunjuk realitas, melahirkan relatifitas penafsiran yang berujung pada relatifitas kebenaran. Maka tugas utama hermeneutika ketika dipaksakan masuk dalam studi al-Qur'an, akan mendekonstruksi hukum-hukum Islam dengan terlebih dahulu menggeser dan menggantikan epistemologi Islam, 'ulum al-Qur'an dan ushul fiqih. Dalam tulisan sederhana ini, akan dikaji sejauh mana hermeneutika mempengaruhi bahkan mendekonstruksi ushul fiqih. Akibat dari campur tangan terhadap epistemologi ini, akan banyak terkorbankan ayat-ayat hukum yang tetap (qath'i) berubah menjadi zhanni bahkan terhapus tergantikan dengan hukum yang bertolak belakang (dekonstruksi).



Hermeneutika al-Qur'an Muhammad Syahrur (l. 1938) misalnya, menjadi representasi bagaimana westernisasi menggelinding melalui ranah studi al-Qur'an. Syahrur, sarjana Teknik Sipil alumni Saratow Moskow tahun 1964, dan meraih gelar MA dan Ph.D di bidang Mekanika Tanah dan Tehnik Pondasi di University College di Dublin (1968-1972). Kemudian ia diangkat menjadi Profesor jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus (1972-1999) disamping mengelola sebuah perusahaan kecil milik pribadi di bidang tehnik. Ia tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan ia juga tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu keislaman.[3]



Namun dengan dua karya besarnya Al-Kitab wa Al-Qur'an dan Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, telah menjadi rujukan menarik kaum liberal Indonesia dalam mengkaji ulang pemahaman al-Qur'an. Dalam pembacaannya terhadap al-Qur'an, Syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi (fiqh al-lughah).[4] Dimana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinannya kepada anti sinonimitas (ketidaksamaan) istilah dalam al-Qur'an. Sebagaimana jelas terlihat dalam karyanya Al-Kitab wa Al-Qur'an, ia menggunakan metode klasifikasi istilah yang menjadi bahan awal teori interpretasinya. Al-Kitab terbagi kepada al-Qur'an dan Umm al-Kitab. Al-Kitab ia gunakan untuk istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf), yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Nas. Al-Qur'an adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah. Sementara Umm al-Kitab merupakan salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat yang berdimensi al-risalah. Ia juga melakukan pembedaan terhadap sejumlah pasangan atau kelompok istilah, antara lain antara inzal/tanzil, furqan/qur'an, imam mubin/kitab mubin, ummul kitab/ lauh al-mahfuzh, qada/qadar, zaman/waqt, mu'min/muslim, uluhiyyah/rububiyyah, dan manna/salwa. Semuanya didefinisikan secara terpisah.[5]



Kerangka teori yang Syahrur gunakan dalam memformulasi ide-idenya adalah penilaian ajaran Islam yang berdimensi nubuwwah dan risalah. Ia mengklasifikasi kandungan al-Kitab kepada nubuwwah dan risalah. Nubuwwah adalah kumpulan informasi dan pengetahuan tentang kealaman dan kesejarahan yang dengan itu dapat dibedakan antara benar dan salah yang terdapat di alam wujud (realitas empiris). Jadi Nubuwwah bersifat objektif dimana ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar kesadaran manusia. Sementara Risalah adalah kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi manusia berupa ibadah, mu'amalah, akhlak, dan hukum halal haram. Risalah bersifat subjektif yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia didalam berprilaku.[6] Selaras dengan itu, al-Kitab mempunyai sifat hanifiyyah dan istiqamah. Hanifiyyah berarti penyimpangan dari garis lurus, sedang istiqamah berarti kualitas sifat dari garis lurus itu sendiri atau yang mengikutinya. Hukum Islam bersifat hanafiyyah yang bergerak tidak lurus menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Untuk mengontrol gerak perubahan tersebut, maka mesti ada istiqamah. Dialektika yang terus berjalan seiring antara hanafiyyah dan istiqamah mengawal perubahan hukum yang tunduk kepada realitas masyarakat. Dengan kata lain, juga dapat dikatakan al-Kitab menurut Syahrur, didalamnya al-Qur'an yang terdiri dari mutasyabihat dan berdimensi nubuwwah bersifat objektif. Sebaliknya Umm al-Kitab yang terdiri dari muhkamat dan berdimensi risalah bersifat subjektif, dapat berubah dan relatif. Maka proyek hermeneutika Syahrur dari klasifikasi istilah tersebut, membuahkan rumusan dalam menginterpretasi ayat-ayat hukum dengan memaparkan tiga wacana filsafat. Pertama, al-kaynunah (kondisi berada, dasein, being). Kedua, al-sayrurah (kondisi berproses, der prozess, the process). Ketiga, al-Shairurah (kondisi menjadi, das warden, becoming). Ia menyatakan, "Ketiga kata kerja (istilah) itu selalu menjadi pusat pembahasan dalam filsafat dan landasan inti bagi semua pembahasan teologis (Tuhan), naturalistik (alam), dan antropologis (manusia), dengan memandang bahwa kaynunah atau being adalah awal dari sesuatu yang ada, sayrurah (proses) adalah gerak perjalanan masa, dan shairurah (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi keberadaan pertama setelah melalui fase berproses."[7]



Keniscayaan antara tiga kondisi tersebut menunjukan bahwa tidak ada kondisi yang tidak terkait dengan kondisi lainnya. Maka dengan sendirinya, dengan relasi ketiga kondisi ini melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa. Dengan kata lain, yang menjadi pijakan hukum adalah kondisi khusus yang terbatasi dalam setting sosial, bukan nash yang ada dalam ayat tersurat dalam al-Qur'an. Syahrur menyebut kondisi perubahan hukum ini dengan hukum dialektika negatif (qanun al-nafy wa nafy al-nafy; hukum negasi dan penegasian negasi) atau disebut juga dengan dialektika internal.[8] Ayat-ayat hukum dalam al-Qur'an, yang dalam bahasa Syahrur sebagai Umm al-Kitab, walaupun sifatnya qath'i dan dipahami secara dzahir dan maknanya dengan jelas akan pula terjadi penegasian hukum melalui proses waktu yang berputar, dan menghasilkan hukum baru sesuai dengan kondisi dan situasi sosial zamannya yang menyebabkan keniscayaan penafsiran yang relatif. Dia mengatakan,



"Abad ketujuh itu beda dengan abad ke sepuluh, dengan abad kedua puluh atau dengan keempat puluh. Manusia dari masing-masing abad tersebut berbeda-beda dalam hal tingkat pengetahuan, perangkat-perangkat saintifik, problem-problem sosial, ekonomi, dan politik serta problematika pengetahuan. Semua akan membaca al-Tanzil al-Hakim[9] dalam kerangka tingkat pengetahuan dan problematika tersebut diatas yang membatasinya. Mereka mendapati atau memahami dalam al-Tanzil al-Hakim hal-hal yang tidak didapati oleh yang lain. Hal ini menegaskan bahwa al-Tanzil al-Hakim mengandung karakter kehidupan, memilki konsep berada pada dirinya, dan mengandung kondisi berproses dan kondisi menjadi untuk lainnya (yakni: interpretasi). Inilah yang selalu kami maksud, ketika berbicara tentang tetapnya teks dan bergeraknya kandungan makna, dan tentang dialektika teks dan kandungan makna."[10]



"Al-Qur'an yang selalu dijaga oleh kekuatan Ilahi (Tuhan), adalah suatu 'kekayaan' yang telah dimiliki oleh generasi paling awal hingga generasi sekarang. Karena masing-masing generasi menafsirkan al-Qur'an berdasar pada realitas tertentu pada masa mereka hidup, kita yang hidup pada abad 20 ini juga berhak menafsirkan al-Qur'an berdasar 'semangat zaman' yang mencitrakan kondisi pada masa sekarang." [11]



Pandangan Syahrur dalam pengklasifikasian al-Kitab kepada al-Qur'an bersifat tetap, tidak bisa berubah teks atau maknanya, dan tidak ada ijtihad dalam ranah tersebut. Tetapi dalam konteks Umm al-Kitab, ijtihad tersebut terbuka lebar, meskipun kejelasan nash dzahir didapat (qath'i). Dengan konsep itu, Syahrur secara blak-blakan telah mendekonstruksi konsep ijtihad yang dipahami para 'ulama. Dia menyatakan bahwa, "ijtihad hanya terdapat pada teks suci". Adapun kaidah yang mengatakan, tidak (diperkenankan) berijtihad tentang sesuatu yang telah disebutkan dalam teks, tidak kami terima. Seandainya ada seseorang yang mengatakan: 'Berijtihadlah (tentang sesuatu) yang berada di luar teks al-Qur'an (atau hadits)!', maka saya akan mengatakan: Mengapa saya harus berijtihad ketika tidak didapati satu teks (ayat) pun dalam al-Qur'an (atau hadits)? Ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum sesukanya." Lebih lanjut dia menyatakan bahwa ketepatan ijtihad ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas. Jadi hasil sebuah ijtihad bisa dipandang benar dan diterima jika seiring dengan realitas objektif pada saat melakukan pembacaan historis. Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan tolak ukur seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau salah.[12]



Dekonstruksi ijtihad Syahrur ini dapat tergambar juga dalam pemikiran seorang liberal muslim nasional yang menyatakan bahwa ijtihad merupakan telaah kritis, pemikiran yang inovatif, progresif, kreatif, dan dinamis sebagai pemikiran yang benar-benar dan bersifat otonom, dalam arti tidak perlu mengacu kepada al-Qur'an dan al-Sunnah mengenai hal-hal yang bersifat duniawi, karena hal-hal itu tidak bisa ditemukan referensinya yang jelas dalam al-Qur'an dan al-Sunnah.[13]



Hal ini kontra produktif dengan ijtihad yang dikenal dalam Islam. Dimana ijtihad sebagai metode istibath hukum, dijadikan landasan setelah keterangan al-Qur'an dan al-Sunnah tidak secara eksplisit didapatkan. Sebagaimana sebuah riwayat menyebutkan,



"Bahwasanya Rasul saw ketika hendak megutus Muadz ke Yaman bertanya: Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan suatu perkara? Muadz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah. Nabi bertanya lagi: Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam Kitab Allah? Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah. Nabi bertanya lagi: Kalau dalam sunnah Rasulullah engkau tidak temukan begitu pula dalam Kitab Allah? Muadz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra'yu) saya. Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah dengan apa yang diridhai Rasul Allah."[14]



Maka para ulama ushul mendefinisikan ijtihad dengan sebuah upaya menyimpulkan hukum syara' dengan landasan al-Qur'an dan al-sunnah, sebagaimana al-Syaukani mengartikannya dengan "mencurahkan kemampuan untuk memperoleh hukum syara' yang bersifat praktis dengan jalan istinbath (menyimpulkan hukum).[15] Lebih lanjut beliau menjelaskan definisi tersebut diatas, dimana mencurahkan kemampuan berarti mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan pencurahan kemampuan tersebut berarti juga sampai dirinya merasa sudah tidak mampu lagi untuk menambah usahanya. Kemudian hukum syara' berarti mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karena itu, orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera) tadi tidak disebut mujtahid menurut ushul fiqih. Begitupun pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut fuqaha, meskipun menurut mutakallimun dinamakan ijtihad. Selanjutkan maksud dari jalan istinbath adalah mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang zhahir, menghapal masalah-masalah atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal tersebut, meskipun benar mencurahkan kemampuan menurut bahasa, tapi tidak menurut istilah. Bahkan ada sebagian ahli ushul yang mendefinisikan ijtihad dengan "pencurahan kemampuan seorang faqih". Dengan kata lain kalau bukan ahli fiqih, bukan dinamakan ijtihad menurut istilah.[16]



Sebagai pedoman istinbath al-ahkam, ijtihad mesti secara proporsional ditempatkan. Oleh karena itu ijtihad terbagi kepada tiga macam. Pertama, ijtihad bayani yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nash, namun sifatnya zhanni, baik dari segi ketetapannya maupun dari segi penunjukannya. Lapangan ijtihad bayani ini hanya dalam batas pemahaman terhadap nash dan menguatkan salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda. Kedua, ijtihad qiyasi yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali dan menemukan hukum terhadap permasalahan atau suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash –baik qath'i ataupun zhanni- juga tidak ada ijma' yang telah menetapkan hukumnya. Ijtihad dalam hal ini untuk menetapkan hukum suatu kejadian dengan merujuk pada kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu ada kesamaan dalam 'illat hukumnya. Ketiga, ijtihad istishlahi yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menggali, menemukan, dan merumuskan hukum syar'i dengan cara menetapkan kaidah kulli untuk kejadian yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash –baik qath'i maupun zhanni-, dan tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, juga belum diputuskan dalam ijma'. Dasar pegangan dalam ijtihad macam ketiga ini hanyalah jiwa hukum syara' yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umat, baik dalam bentuk mendatangkan manfaat ataupun menghindarkan madharat.[17]



Oleh karena itu, konsep ijtihad yang ditawarkan Syahrur hanyalah merupakan pseudo ijtihad sebagai tandingan dalam mendekonstruksi hukum-hukum Islam, mengesampingkan keterangan muhkamat dan tsawabit menjadi mutasyabihat dan mutaghayyirat.



Lebih jauh lagi, Sunnah Nabi saw. yang selama 15 abad diyakini sebagai sumber hukum, sebagai bayan al-Qur'an dinegasikan posisinya oleh akal yang mempertimbangkan kondisi sosial. Syahrur memandang pemahaman aplikasi Nabi Muhamad saw. terhadap ayat-ayat hukum, yang dikenal al-sunnah al-Nabawiyyah, baik mutawatir atau ahad, yang disebutkan dalam semua kitab hadits maupun yang hanya satu kitab hadits, bukanlah sebagai wahyu kedua[18], melainkan hanya pemahaman awal terhadap ayat-ayat ahkam dalam al-Qur'an (dalam istilah Syahrur: al-Tanzil al-Hakim), yang berarti pemahaman Nabi saw. tersebut bersifat relatif dan terbatas sesuai dengan kondisi saat itu. Keputusan hukum akan senantiasa berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.[19] Ia juga menuduh 'Ulama dan mufassir yang mempunyai pandangan bahwa sabda Rasul saw. termasuk hadits Nabi semata-mata wahyu Allah adalah pandangan yang tidak memiliki argumentasi.[20] Bahkan dengan kasar ia menuduh orang-orang yang meyakini hadits Nabi sebagai wahyu sebagai orang-orang yang menyekutukan Allah swt. Dia berkata,



"Dari sini kami sampai pada satu pendapat bahwa tidaklah mungkin bagi seseorang memiliki pemahaman yang menyeluruh terhadap makna-makna al-Qur'an baik yang bersifat kulli ataupun juz'i. Seorang Nabi atau Rasul sekalipun, tidak mungkin melakukannya karena dengan kemampuannya memahami seluruh makna al-Qur'an berarti dia telah menjadi sekutu Tuhan dalam pengetahuan-Nya yang bersifat kulli dan dalam hal keberadaan-Nya pada Dzat-Nya (kaynunah fi dzatihi). Seandainya Rasulullah Muhammad mengetahui seluruh kandungan al-Qur'an secara kulli dan juz'i, serta kemungkinan-kemungkinan umum dalam hal penafsiran dan ijtihadnya, maka hal itu berarti bahwa dia menjadi sekutu bagi Allah dalam hal pengetahuan, atau bahwa dia adalah pengarang al-Qur'an itu sendiri."[21]



Disisi lain pengingkarannya terhadap hadits/sunnah dikarenakan didalam hadits terdapat bahasan mengenai hal-hal ghaib. Ia beralasan, bahwa hal-hal ghaib hanya tercantum dalam al-Qur'an saja. Ia mengatakan, "Saya tidak beriman kepada hadits Nabi, Allah berfirman, 'Taatlah kalian kepada rasul..'. Maka ketaatan hanya kepada rasul, bukan kepada Nabi. Dan hadits-hadits Nabi adalah hal-hal ghaib, seperti adzab, gambaran kiamat, alam barzakh. Ini semua adalah kenabian, dan rasul tidak mengetahui hal yang ghaib. Cukuplah bagi kita perkara-perkara yang ghaib yang ada dalam al-Qur'an."[22]



Sumber hukum Islam lainnya seperti Ijma' pun didekonstruksi, bukan sebagai kesepakatan para sahabat dan 'Ulama. Bahkan meragukan akan keadilan dan konsensus (ijma') sahabat. Ia mengatakan, "Kitabullah sudah cukup, tidak perlu hal lain untuk memahaminya, kuncinya ada didalam, bukan di luar. Maka kita tidak perlu Abu Hurairah, tidak perlu Ibn 'Abbas."[23] Ia mendefinisikan ijma' sebagai kesepakatan orang-orang yang semasa masih hidup di majlis-majlis perwakilan rakyat dan parlemen-parlemen. Orang-orang yang masih hidup dan bersepakat atas masalah penting bagi mereka dalam lingkup perjalanan sejarah yang mereka alami adalah orang-orang yang mampu memahami dan mengatasi problem-problem mereka. Mereka tidak membutuhkan para sahabat, tabi'in, dan para ulama besar terdahulu.



Ia pun menggugurkan konsep qiyas, yang dikatakannya mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak berarti sama sekali. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif. Pengertian qiyas menurutnya, yakni "mengemukakan dalil-dalil dan bukti-bukti atas kesesuaian ijtihad tentang hal-hal yang dinashkan oleh al-Qur'an dengan kenyataan hidup secara objektif.[24]



Buah dari penelitian yang diakunya tersebut, lahirlah sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a'la/maksimal). Terdapat enam bentuk aplikatif teori batas ini dalam kajian terhadap ayat-ayat hukum. Pertama, yang hanya memiliki batas bawah. Hal ini berlaku pada perempuan yang boleh dinikahi (QS. [4]: 22-23), jenis makanan yang diharamkan (QS. [5]: 3), [6]: 145-156), hutang piutang {QS. [2]: 283-284), dan pakaian wanita (QS. [4]: 31). Kedua, yang hanya memiliki batas atas. Berlaku pada tindak pidana pencurian (QS. [5]: 38) dan pembunuhan (QS. [17]: 33, [2]: 178, [4]: 92). Ketiga, yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus. Berlaku pada hukum waris (QS. [4]: 11-14, 176) dan poligami (QS. [4]: 3). Keempat, ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Berlaku pada hukum zina dengan seratus kali jilid (QS. [24]: 2). Kelima, ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah. Keenam, yang memiliki batas atas dan bawah, dimana batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba, sementara batas bawahnya bernilai negatif berupa zakat.[25]



Sumber landasan hukum Islam yang diyakini kaum Muslimin, sebagaimana yang dikatakan Abdul Wahab Khalaf, yakni Al-Qur'an, al-Sunnah, Ijma', dan Qiyas.[26] Keempat sumber tersebut, dalam prakteknya telah dijadikan sampingan dalam interpretasi hukum bahkan dinegasikan oleh Syahrur. Nyatanya al-Qur'an sendiri sebagai sumber utama, dia klasifikasikan ke dalam nubuwwah dan risalah. Dimana risalah yang mengatur tentang ayat-ayat hukum, dia masukan sebagai hanifiyyah yang dapat berubah dan tidak tetap mengikuti ruang dan waktu. Begitupun dengan kasar Syahrur menunjukan inkar al-sunnah (mengingkari sunnah) sebagai wahyu kedua setelah al-Qur'an, bahkan para Ulama yang mempercayainya, dikategorikan sebagai penganut yang tidak punya argumentasi dan menyekutukan Allah. Padahal kehujahan sunnah tidak diragukan lagi dalam hukum, karena ia sendiri adalah wahyu yang disepakati, sebagaimana argumentasi normatif dalam QS. [3]: 32, [4]: 80, [4]: 59, [33]: 36, [4]: 65, [59]: 7. Ijma' dan qiyas didekonstruksi sedemikian rupa, jauh dengan apa yang disepakati Ulama sebagai sumber ketiga dan sarana istimbat hukum.[27] Dengan demikian Syahrur telah keluar dari epistemologi Islam yang mengugat dan mendekonstruksi ushul fiqih dengan epistemologi berlandaskan worldview (pandangan dunia) Barat yang mengedepankan rasionalitas yang tunduk pada realitas dengan pendekatan hermeneutika. Sebagaimana Schleiermacher yang menggunakan hermeneutika metodologis, dimana dengan teori tersebut dapat memahami teks lebih baik daripada pengarangnya sendiri dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami dirinya sendiri.[28] Dalam hal ini Nabi Muhammad sebagai penerima pertama al-Qur'an. Menurut Syahrur, Nabi Muhammad saw. sebagai penerima al-Qur'an pertama yang memberi pemahaman awal dalam menginterpretasinya, tidak lebih baik ketimbang dirinya dalam menginterpretasi al-Qur'an (ayat-ayat ahkam).



Hermeneutika al-Qur'an Syahrur pun terlihat dominan menggunakan teori hermeneutikan Paul Ricoeur (l. 1913). Dimana Syahrur menggunakan pendekatan bahasa dan hermeneutika filologis, sebagaimana Ricoeur yang mengembangkan hermeneutika pada teks dengan konsentrasi bahasa juga. Ricoeur berpandangan bahwa sebuah teks adalah otonom atau berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Otonomi teks menurutnya, berkisar pada tiga hal, yakni intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Dimana atas dasar otonomi ini, Ricoeur melakukan dekontekstualisasi, yaitu bahwa materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas, dimana pembacaannya selalu berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi.[29] Begitupun yang dilakukan dengan Syahrur dengan kerangka teori kaynünah (kondisi berada), dimana teks turun dengan hukum yang diberlakukan waktu itu, sayrürah (kondisi berproses) yang berarti adanya perubahan waktu dan tempat, dan shayrürah (kondisi menjadi), dimana teks diposisikan otonom yang bisa ditafsirkan dengan subjektifitas penafsir atau konteksnya.



Syahrur juga terkesan senada dengan Ricoeur dalam pandangan keduanya, dimana tugas hermeneutika tidak mencari makna tersembunyi di balik teks, melainkan mengarahkan perhatiannya kepada makna objektif dari teks itu sendiri, terlepas dari maksud subjektif pengarang ataupun orang lain. Karena itu, sebuah penafsiran teks bukanlah mengadakan suatu relasi intersubjektif antara subjektifitas pengarang dan subjektifitas pembaca, melainkan hubungan antara dua diskursus teks dan diskursus interpretasi. Interpretasi dianggap sudah berhasil mencapai tujuannya jika dunia teks dan dunia interpreter (penafsir) telah berbaur menjadi satu.[30]



Tuduhannya atas klaim bahwa hukum Islam mesti disesuaikan dengan semangat zamannya[31] dan penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis,[32] adalah klaim yang tidak berdasar karena bukti di lapangan, al-Qur'an turun merubah kondisi arab yang jahiliyyah menuju tauhidullah dengan syari'at baru yang tidak membuntut, mengikuti dan menyesuaikan dengan mengikuti kebiasaan dan tradisi waktu itu. Termasuk pengakuan Syahrur atas klaim penelitian ilmiah dan pendekatan bahasa, ternyata jauh panggang dari api. Yang terjadi hanyalah pemaksaan konsep Barat dan ideologi Marxisnya ke dalam studi al-Qur'an. Terbukti dengan paparan dan penjelasan Mahir al-Munajjad,[33] mementahkan klaim kebohongan Syahrur. Kekacauannya dalam bahasa ditinjau dari beberapa aspek, baik gramatika, kamus (leksikal), dan sharaf dengan asumsi bahwa karakter bahasa arab tidak terlepas dari ilmu-ilmu dan sistemnya. Termasuk posisinya sebagai mantan mahasiswa lulusan Saratow Moskow Rusia yang menunjukan ideologi Marxismenya dengan penekanan tafsirnya pada filsafat materialisme.[34] Syahrur menegaskan bahwa al-Qur'an memuat konsep dan prinsip dialektikal paradoksal dan kata al-Qur'an sendiri berasal dari qara-a dan istiqra yang berarti eksplorasi teori Marxisme. Ia mengatakan, "Saya menamakan ayat-ayat nubuwwah sebagai al-Qur'an karena berasal dari kata istiqra (eksplorasi). Dengan al-Qur'an kita dapat mengeksplorasi teori ilmiah tentang materi dan sejarah (materialisme dialektis dan materialisme historis)." Lagi-lagi keilmiahan yang dipertanyakan. Melihat bahasa bahwa al-Qur'an berasal dari istiqra. Bagaimana mungkin mashdar mujarrad merupakan derivasi dari mashdar mazid. Dengan kata lain Syahrur dengan pembacaan ideologi Marxis-nya menjelaskan overlapping-nya antara yang ilmiah dan produk pemikiran dan paradoks pada sistem logika. Begitupun pemaksaan ideologinya dalam interpretasi al-Qur'an telah memaksakan pendapatnya bahwa Tuhan mengakui keberadaan filsafat Marxisme yang menegasikan Tuhan dan agama dengan mencantumkan prinsip-prinsipnya dalam al-Qur'an.[35]



Penafsiran subjektif lainnya yang bernada ideologi Marxis Syahrur yang menyimpulkan adanya perubahan tafsir mengikuti ruang dan tempat berdasar klasifikasinya tentang al-Kitab kepada al-hanafiyyah (gerak berubah) dan al-istiqamah (lurus tetap) yang memiliki relasi dialektis. Pengertian kacaunya tentang hal itu dapat dibuktikan bahwa antara hanif dan istiqamah sebenarnya sinonim yang berarti lurus, ketetapan, dan tidak ada penyimpangan, sebagaimana ayat yang banyak berbicara hanif adalah tentang Nabi Ibrahim dan selalu dikaitkan dengan kalimat al-syirk sebagaimana dijelaskan al-Qur'an dan kamus-kamus bahasa arab.[36]



Dengan kerancuan teori tersebut, bagaimana mungkin akan diaplikasikan dalam ayat-ayat hukum. Maka keganjilan dan kerancuan teori dialektis dan materialis sosial historis meruntuhkan teori aplikasinya, teori batas (nazariyyah al-hudud). Tapi untuk lebih jelas melihat kekacauan hermeneutika filologinya, kita ambil contoh aplikasi dalam teori batas mengenai pakaian dan aurat wanita. ketika menafsirkan QS. [24]: 31, "Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita". Syahrur mengartikan aurat dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, "Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat. Kemudian ia mengutip hadits Nabi, "Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya." Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat.[37] Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33]: 59,



"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, 'hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu."



Dia menafsirkan bahwa ayat diatas berbentuk pengajaran, bukan syari'at, dan turun di Madinah yang menunjukan mesti dipahami secara temporal dengan tujuan keamanan dari dua gangguan, yakni gangguan alam atau cuaca dan sosial yang menyesuaikan dengan tradisi setempat sehingga tidak mengundang cemoohan.[38] Maka kesimpulan Syahrur untuk jilbab mempunyai batasan maksimal dan minimal. Batasan maksimalnya yaitu dengan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sedang batasan minimalnya adalah yang hanya menutupi juyüb yang menurutnya meliputi belahan dada, bagian tubuh dibawah ketiak, kemaluan, dan pantat. Selain itu tidak termasuk aurat dan hanya menyesuaikan dengan tradisi masyarakat saja.[39] Dengan kata lain, seorang perempuan yang hanya mengenakan pakaian dalam saja keluar rumah, tidak dipandang melanggar ketentuan Allah.



Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa aurat vital wanita (ketiak, payudara, dan kemaluan) boleh diperlihatkan kepada tujuh golongan lelaki yang disebutkan dalam QS. [24]: 31, yaitu saudara, bapak, anak saudara perempuan, anak saudara laki-laki, orang tua istri dan anaknya. Pendapatnya menyatakan seorang muslimah boleh telanjang bulat didepan lelaki tersebut. Ia mengatakan, "Jika orang tua melihat anak perempuannya telanjang bulat, maka tidak dikatakan bahwa hal itu haram, namun hanya aib saja."[40] Bahkan Ia mengatakan bahwa hubungan remaja lawan jenis tanpa didasari pernikahan, alias kumpul kebo sebagai sesuatu yang "halal". Syahrur mengatakan bahwa apa yang dilakukan para remaja itu, jika hal itu sesuai dengan kemauan mereka, tanpa akad, atau tanpa didampingi seorang syekh atau tanpa mendapat izin, maka hal itu halal. Ia menyatakan, "Bacalah Kitabullah, jangan takut kepadanya, kamu semua bisa melakukan itu tanpa perantara dan tanpa guru, dan pergaulan bebas halal, dengan syarat ada persetujuan diantara kedua pihak," ujarnya. Ia juga menyatakan, bahwa pergaulan bebas antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah ganti atas pernikahan, dan tanpa akad tertulis, adalah "halal, secara syar'i."[41]



Banyak hal yang dapat kita kritisi dari kasus ini. Pertama, aurat yang diartikannya sebagai sesuatu yang malu apabila terlihat dan tidak ada hubungannya dengan halal haram, menunjukan keterpaksaan pendefinisiannya yang mengalah kepada kenyataan, dimana orang-orang disekitarnya yang sudah biasa dengan budaya telanjang. Hal ini tidak berdasar karena kalau malu yang jadi ukurannya, totalitas relatifitas penafsiran tidak ada batasannya. Bahkan telanjang bulat sekalipun, jika itu sudah biasa (mungkin itu sudah terjadi hari ini), tidak disebut sebagai aurat karena mereka sudah tidak malu lagi untuk bertelanjang bulat. Bahkan dalam hal ini, Syahrur tidak konsisten dengan teori batasnya karena ia melanggar batasan aurat minimal yang jelas pada batas kemaluan, pantat, belahan dada, dan ketiak. Dimana malu sebagai pertimbangan bersifat relatif tak berbatas. Keterangan batasan aurat dalam hadits pun telah jelas. Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya: "Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini." Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya."



Kedua, menurut Syahrur QS. [24]: 31 tentang aurat perempuan dengan menafsirkan juyüb yang terdiri dari kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara merupakan argumentasi tidak logis, karena secara historis (teori yang diklaim digunakannya) saja, wanita zaman jahiliyyah telah menutup badan dengan bajunya. Maka tidak masuk akal, kalau ayat ini turun kepada wanita arab untuk keluar ke jalan-jalan dengan menutup auratnya, minimal dengan pakaian dalam saja. Ketiga, seandainya beralasan menutup badan sesuai dengan cuaca dan gangguan, maka kalau cuaca Madinah panas maka perempuannya menutup badan penuh. Justru kalau panas, seharusnya perempuan Madinah memakai pakaian mini, sebagaimana Barat yang dalam kondisi panas, mereka sering setengah telanjang, apalagi di pantai. Gangguan terhadap wanita pun akan rentan jika ia berbusana minim, karena itulah fitnahnya, bukan pada budayanya saja.



Keempat, kesalahan Syahrur dalam mengartikan al-juyüb berasal dari kata jawaba atau a'in fiilnya adalah huruf wawu. Lalu mengambil arti lubang (al-kharqu) dari kata al-jüb, namun ia menisbahkannya sebagai arti dari al-jaib, sehingga lubang al-jaib berarti lubang kemaluan perempuan. Padahal al-juyüb berasal dari kata jayaba atau a'in fiilnya ya, maka kamus arab mengantisipasinya dengan menambahkan bahwa kalimat jabat al-qamis tidak berasal dari al-jaib, tapi dari al-jub. Dapat kita temukan bahwa al-juyüb secara bahasa berarti bagian baju yang terbuka dan saku-saku baju.[42] Kemudian Syahrur menafsirkan ayat, "Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya". Bahwa perhiasan wanita ada dua, yakni perhiasan benda dan perhiasan tempat. Perhiasan benda contohnya pakaian dan aksesorisnya, sedang perhiasan tempat adalah seluruh tubuh perempuan yang lazim terlihat seperti perut, punggung, kepala, dan kaki. Maka seluruh bagian tubuh ini boleh terbuka berdasar ayat tadi. Sedang yang tersembunyi adalah al-juyüb (kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara). Padahal masa jahiliyyah, perhiasan perempuan ada yang nampak dan tersembunyi. Yang nampak seperti cincin, gelang, kalung, anting, dan hiasan kepala. Sedang yang tersembunyi seperti gelang tangan dan kaki. Maka ayat tadi diperkuat dengan lanjutan, "Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan."



Kelima, pendefinisian aurat dengan rasa malu adalah pendapat keliru. Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”. Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafii ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja. Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.”[43]



Apalagi kekacauan pseudo ijtihadnya tentang kumpul kebo yang dilegalkannya, menjelaskan bagaimana kepicikan berpikir Syahrur yang sangat lemah menggunakan akal sehatnya dengan pasrah begitu saja pada kenyataan dan realitas pergaulan bebas dan perselingkuhan, khususnya yang terjadi di Barat. Hal ini menjadi pemikiran Syahrur yang sangat aneh dicerna, karena disatu sisi dia begitu kelihatan ilmiah dan bergairah ketika membahas ayat poligami, disisi lain dia menegasikan sakralitas pernikahan dengan melegalkan perzinahan lewat kumpul kebo. Berulang kali juga dia melanggar teori batasnya, dimana pada bentuk kelima dikatakan batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Bentuk ini berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah. Tetapi dengan statement kumpul kebo dibolehkan sebagai ganti pernikahan, dia sendiri telah melanggar konsepnya tentang pergaulan bebas yang berujung perzinaan.



Hermeneutika Syahrur diatas diamini para pemikir liberal Indonesia, terbukti adanya pujian yang dilontarkan untuknya dan pemikir liberal muslim lainnya yang telah bekerja keras mendekonstruksi epistemologi Islam dengan epistemologi Barat. Diantaranya disebutkan pujian terhadap Muhammad Syahrur, Muhammad Said Asmawi, Fazlur Rahman, Abdullah Ahmad an-Naim, Mahmud Muhammad Toha, dan Muhammad Iqbal yang telah menggagas ushul fiqih kontemporer sebagai rujukan mereka kaum liberal di tanah air.[44] Bahkan muncul sebuah "kaidah ushul" dari kalangan liberal Indonesia dengan pendekatan epistemologi Barat dalam wujud hermeneutika yang berpijak pada spekulasi akal dan kontekstual, Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya dalam teks), Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat), Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama’ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik).[45] Senada dengan kaidah itu pula, muncul pernyataan, "kaidah untuk kehidupan mundan dan duniawi adalah 'semua hal boleh, kecuali yang jelas-jelas dilarang oleh agama' (al-ashl fï al-'ädah al-'afw illä mä dalla al-dalïl 'alä khiläfih-). Kemudian ia mengatakan, "Catatan saya: kaidah ini masih mengandung kelemahan. Menurut saya, kaidah ini seharusnya berbunyi demikian: sesuatu yang bersifat mundan adalah boleh, kecuali yang atas alasan konsensus publik dilarang."[46]



Pseudo "kaidah ushul" diatas telah menundukan nash dibawah telunjuk akal yang salah menilai realitas. Karena tidak selamanya akal yang subjektif menilai sesuatu dan realitas (akal publik) yang berkembang dapat dibenarkan. Maka disini, diperlukan kebijakan akal yang shaleh dalam memposisikan akal, realitas, dan nash. Konsekuensi dari aplikasi duplikasi teori hermeneutika diatas dapat tergambar, misalnya dari masalah perkawinan. Dari mulai legalisasi perkawinan beda agama, antara wanita muslimah dengan laki-laki kafir dengan alasan persoalan tersebut sebagai wilayah ijtihadi yang terikat dengan konteks tertentu. Diantaranya menyatakan dengan alasan jumlah muslim zaman Nabi saw. tidak sebesar sekarang,[47] untuk mengidentifikasi siapa musuh dan kawan karena konteksnya adalah terjadinya peperangan antara kaum mukmin dan kafir,[48] dan ada juga dengan alasan masalah sosial politik.[49] Berlanjut perkawinan sesama jenis, sebagaimana diusung dua jurnal kontroversial, Jurnal Perempuan dan Justisia. Jurnal Peremepuan mengangkat tema "Seksualitas Lesbian". Didalamnya ditemukan sebuah tulisan, "menarik sekali membaca ayat-ayat al-Qur'an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) disana tidak dijelaskan soal kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian".[50] Jurnal Justisia menulis, “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam penciptaan manusia (karena waktu itu manusia masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus “Nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut. Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalan terus kaum homoseks. Anda di jalan yang benar."[51]



Bahkan sampai muncul sebuah karya tulis yang melegalisasi pelacuran dengan argumentasi emosional dan kepasrahan total terhadap realitas. Buku berjudul "Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur", sebuah buku kontroversial yang didalamnya tercatat argumentasi penulis mengenai statemen-nya, "..apa bedanya pelacur dengan perempuan yang berstatus istri? Posisinya sama. Mereka adalah penikmat dan pelayan seks laki-laki. Seks akan tetap bernama seks meski dilakukan dengan satu atau banyak orang. Tidak, pernikahan adalah konsep aneh, dan menurutku mengerikan untuk bisa kupercaya.”[52]



Argumentasi mashlahah yang disimpangkan, adat yang diagungkan ketimbang ajaran, dan kepasrahan total terhadap realitas dengan memaksakan akal untuk membenarkannya adalah argumentasi batil yang tidak akan ditemukan presedennya di dalam Islam. Seluruh interpretasi yang ada, hanyalah pengejawantahan sebuah pandangan hidup (worldview) yang anti wahyu menuhankan akal dan merendahkannya. Konsep Maqäshid al-syari'ah dan kemaslahatan (maslahah) misalnya, telah dijadikan sandaran untuk menyimpulkan hukum sejak lama. Bahkan dari al-Khulafä' al-Räsyidün (Abu Bakar, Umar bin Khattäb, Utsman bin 'Affän, dan Ali bin Abi Thälib). Seperti pengumpulan ayat-ayat al-Qur'an masa Abu Bakar atas inisiatif Umar, karena banyak penghapal al-Qur'an yang gugur di medan perang Yamamah. Untuk kemaslahatan terjaganya al-Qur'an, maka dikumpulkanlah tulisan-tulisan ayat al-Qur'an dalam shahifah. Dilanjutkan masa Utsman yang membukukan al-Qur'an dalam mushaf Utsmani demi kemaslahatan persatuan umat, dari alasan Hudzaifah yang melihat kaum muslimin berdebat mengenai dialek al-Qur'an.



Kemudian Malik bin Anas (93-179 H) dengan maslahah mursalahnya dan Abu Hanifah dengan istihsannya.[53] Malik bin Anas menjelaskan maslahah sebagai asas dan kaidah untuk mengistinbat hukum fiqih berdasar al-Qur'an, as-Sunnah, dan kaidah kulliyyah. Beliaupun menegaskan bahwa dalil yang semata-mata berdasar akal yang tidak ada kaitannya dengan nash tidak dapat digunakan untuk menetapkan hukum syara'.[54] Maka beliau mensyaratkan kriteria maslahah dalam tiga hal. Pertama, terdapat persesuaian maslahah dengan maqashid al-syari'ah. Kedua, substansinya logis. Ketiga, bertujuan untuk menghilangkan kesempitan dan kesukaran.



Al-Syätiby dalam al-muwäfaqät menyebutkan bahwa maslahah atau maqäshid al-syari'ah terbagi kepada al-mashälih al-dharuriyyah, al-häjiyyah, dan al-tahsiniyyah. Al-mashälih al-dharuriyyah. Menurutnya, sesuatu yang harus ada dalam usaha menegakkan dan menjaga urusan agama serta dunia, yang melingkupi penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Al-Mäshalih al-Häjiyyah ialah segala yang diperlukan manusia agar penghidupan ini menjadi mudah dan lapang, hilanglah kesempitan dan kesukaran, tetapi tidak mengarah kepada kerusakan dan kebinasaan. Sedangkan al-mashälih al-tahsiniyyah adalah segala yang berhubungan dengan keindahan dalam kehidupan, baik bagi individu maupun masyarakat. Jika hal ini tidak ada hanya dipandang kurang baik saja.[55]



Oleh karena itu, penjagaan agama adalah keniscayaan utama dalam mempertimbangkan urusan kemaslahatan. Sedangkan dasar pijakan agama adalah nash yang terdiri dari al-Qur'an dan al-Hadits, diikuti dengan ijma' sahabat dan 'ulama salaf al-shalih lewat ijtihad yang berlandaskan al-Qur'an dan al-Hadits dengan jalan qiyas.[56] Maka dengan empat sumber pijakan dalam mengistinbat hukum tersebut akan melahirkan kemaslahatan karena syari'at mempunyai tujuan kemaslahatan. Dengan kata lain, ketika ada syari'at, pasti akan didapatkan maslahat. Ketika ada yang mengatakan kemaslahatan realitas bertolak belakang dengan syari'at, maka yang mesti dipertanyakan adalah realitas tersebut, bukan syari'at. Karena syari'at mempunyai nilai kebenaran (hakikat) absolut, sedang realitas mengandung spekulasi dan landasan syahwati manusia. Buktinya Islam datang merevolusi sebuah zaman (baca: jahiliyyah) yang bertentangan dengan al-Qur'an. Maka imam al-Syatibi menjelaskan, "Jika terjadi konflik antara naql (wahyu) dan akal dalam persoalan-persoalan syara', maka naql harus diposisikan di depan, dengan demikian ia menjadi ikutan (fayaküna matbü'an), sementara akal berada di posisi belakang menjadi pengikut."[57]



Ibn Asyur dalam al-Maqäshid al-Syar'iyyah al-Islämiyyah menjelaskan maslahah dilihat dari sejauh mana kekuatan nash yang menjadi maslahah kepada tiga bagian. Pertama, al-mäshalih al-qat'iyyah adalah maslahah yang didasarkan kepada yang nash qat'i (jelas/yakin) petunjuknya, sehingga tidak dapat ditakwilkan kepada yang lain. Kedua, al-mashälih al-zhaniyyah adalah maslahah yang didasarkan kepada nash yang zhanni petunjuknya yaitu mungkin ditakwilkan kepada arti yang lain, tetapi kecil kemungkinan diartikan kepada arti lain dibanding kemungkinan tidak dapat ditakwilkan. Ketiga, al-mashälih al-wahmiyyah adalah sesuatu yang mungkin menimbulkan maslahah, tetapi mudharatnya telah nyata.[58]



Lebih jelas lagi al-Ghazäli (450-505 H) mengartikan maslahah dengan mengambil manfaat dan menolak madharat yang sesuai dengan tujuan pencipta syara' (Allah swt) menurunkan syara' kepada manusia. Kadang-kadang suatu manfaat menurut syara' merupakan mudharat bagi manusia, sebaliknya suatu mudharat menurut syara' merupakan manfaat bagi manusia. Tujuan yang ingin dicapai manusia sering dipengaruhi oleh keinginan yang berlebihan, hawa nafsu, subjektifitas, adat istiadat dan sebagainya. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai oleh pencipta syara' adalah tujuan yang berlandaskan pengetahuan yang pasti, hikmah dan kebijaksanaan serta kasih sayang yang tidak terhingga kepada makhluk-Nya.[59]



Dalam fiqih Islam dikenal kaidah "Taghayyur al-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah" (hukum berubah dengan perubahan masa dan tempat), "al-tsäbit bi al-'urf ka al-tsäbit bi al-nash" (adat bisa jadi nash), dan "al-'ädah muhakkamah" (adat bisa menjadi hukum). Kaidah-kaidah ini menunjukan bahwa dimensi waktu dan tempat bisa mempengaruhi ketetapan hukum. Landasan argumentasi kebiasaan dan adat ('urf) bisa dijadikan landasan hukum dengan syarat adat tersebut tidak bersinggungan dengan syari'at yang tersurat (qath'i/eksplisit) dari al-Qur'an dan al-Sunnah yang tidak mengandung multi interpretasi. Ibn 'Abidin menyatakan, 'urf yang bertentangan dengan nash tidak bisa menjadi pertimbangan. Begitupun dengan Ibn Najin menegaskan, 'Urf tidak bisa menjadi bahan pertimbangan pada persoalan yang ada ketetapan nashnya. Oleh sebab itu, hukum haramnya ghibah, dusta, wajibnya shalat, zakat, puasa, haramnya riba, hukum nikah dan talaq, hukum hudud dan qisas, rajam terhadap penzina, dan lain-lain yang telah dikategorikan qath'i al-tsubut wa al-dilälah tidak bisa berubah, meskipun waktu dan tempat berubah.[60]



Dengan begitu jelas para 'Ulama salaf al-shaleh telah menempatkan akal, realitas, dan nash secara proporsional. Dimana nash menempati posisi superior, menundukan akal dan mengubah realita supaya maslahat, bukan sebaliknya.



[1] Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, CIOS ISID Gontor, 2008, 20

[2] Hermeneutika metodologis yang diusung Schleiermacher, Dilthey, dan Betti. Hermeneutika ontologis yang digagas Heidegger dan Gadamer. Hermeneutika kritis yang diusung Habermas. Paul Ricoeur dengan hermeneutika ontologis dan kritis, Rudolf Bultmann dengan hermeneutika teologisnya, dan Derrida dengan hermeneutika dekonstruksi. Seluruh teori hermeneutika tersebut mempunyai landasan dan prinsip epistemologi yang mengagungkan akal, dan bahkan menolak kemampuan akal untuk mengetahui kebenaran yang mengarahkan pada pemikiran matinya Tuhan dan manusia sekaligus

[3] Andreas Chrismann, "Bentuk Teks (Wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) Berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya Dalam al-Kitab wa al-Qur'an" dalam Pengantar Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, terjemah Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, eLSAQ Press: Yogyakarta, 2008, 19. Selanjutnya disingkat Bentuk Teks

[4] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih, 150

[5]Andreas Chrismann, 'Bentuk Teks', 30

[6] Lihat Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah, Dar al-Ahali: Damaskus, 1990, 54, 90,, dan 103

[7] Muhamad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah, Al-Ahali: Damaskus, 2000, 27

[8] Ibid, 30

[9] Syahrur membedakan inzal dan tanzil, sebagaimana al-Qur'an dan Umm al-Kitab, mutasyabihat dan muhkamat, nabawiyyah dan risalah, dan istiqamah dan hanifiyyah. Semua antonym itu, yang pertama menunjukan objektifitas dan ketetapan, dan kedua menunjukan subjektifitas dan perubahan

[10] Ibid, 55

[11] Muhamad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah (Kaioro dan Damaskus: Sina lil al- Nasr, 1992, 44, 47 dalam Wael B. Hallaq Membaca Teori Batas M. Shahrur dalam M. Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah, terjemah Sahiron Syamsuddin Prinsip DasarHermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Jogyakarta,2007, 3

[12] Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, terjemah Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, eLSAQ Press: Yogyakarta, 2008, 97. Selanjutnya disingkat Metodologi Fiqih

[13] Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, Dana Bhakti Prima Yasa bekerjasama dengan The Internatinal Institut of Islamic Thought Indonesia (IIIT) dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 2002, 59

[14] Abu Dawud, Sunan Abi Daud, II, 164

[15] Al-Syaukani, Irsyäd al-Fuhul ilä Tahqïq al-Haqq min 'ilm al-Ushül, Dar al-Fikr: Beirut, t.th, 250

[16] Ibid

[17] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2, Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1999, 267-268 dalam Kutbuddin, Metodologi, 32-34

[18] Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih, 104

[19] Ibid, 106

[20] Ibid, 105

[21] Muhamad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah, Al-Ahali: Damaskus, 2000, 54

[22] Situs berita Al-arabiya, dikutip dari Thoriq, www.hidayatullah.com, publikasi 29 Januari 2008

[23] Ibid

[24] Muhamad Syahrur, Metodologi Fiqih, 106-107

[25] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih, 156-158

[26] Abdul Wahab Khalaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam: Kairo, 1947, 21

[27] Lihat Abdul Wahab Khalaf mengenai kehujahan al-Qur'an, al-Sunnah, ijma, dan qiyas, Ushul Fiqih, Dina Utama Semarang, 1994, 20, 42, 58,68

[28] E. Sumaryono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius: Yogyakarta, 1999, 41

[29] Ibid, 109

[30] Mudjia Raharjo, Dasar-dasar Hermeneutika; Antara Intensionalisme dan Gadamerian, Ar-Ruzz Media Group: Yogyakarta, 2008, 49

[31] Muhamad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an, 47

[32] Muhamad Syahrur, Metodologi Fiqih, 106

[33] Baca Mahir al-Munajjad, Munaqasyat al-Isykaliyyah al-Manhajiyyah fi al-Kitab wa al-Qur'an: Dirasah Naqdiyyah terjemah Burhanudin Dzikri, Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur'an Kontemporer, eLSAQ Press: Yogyakarta, 2008

[34] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih, 150

[35] Mahir al-Munajjad, Munaqasyat, 112-113

[36] Lihat QS. [2]: 135, [3]: 67, 95, [4]: 125, [6]: 79, 161, [10]: 105, [16]: 120, 123 dan kamus bahasa arab Täjul Urüs, Lisan Arab, al-Muhith, Maqayis al-Lughah untuk materi hanafa

[37] Muhamad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah, Al-Ahali: Damaskus, 2000, 370

[38] Ibid, 372-373

[39] Ibid, 376-378 dan al-Kitab wa al-Qur'an, 607

[40] Muhamad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an, 607

[41] al-Arabiya, Dikutip dari www.Hidayatullah.com publikasi Selasa, 29 Januari 2008

[42] kamus bahasa arab Täjul Urüs, Lisan Arab, al-Muhith, untuk materi jayaba

[43] Dikutip dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer (Terj. Oleh Drs. As’ad Yasin), karya Dr. Yusuf Qaradhawi, (Jakarta: GIP, 1995), hal. 431-436

[44] Amin Abdullah, "Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer" dalam Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer, Ar-Ruzz: Yogyakarta, 2002, 118-123

[45] Abdul Moqsit, www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003

[46] Ulil Abshar Abdalla, "JIL, Islam Kaffah Mungkinkah?", dalam milis Islamlib.com. Dikutip dari Qamarul Zaman, "Tanggapan untuk Ulil: JIL, Islam Kaffah, Mungkinkah?" dalam swaramuslim.net, publikasi 19 Februari 2004

[47] Mun'im Sirry (ed), Fiqih Lints Agama, Paramadina dan The Asia Foundation: Jakarta, 2004, 164. Ulil Abshar Abdalla, Gatra, 21 Desember 2002

[48] Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Mizan: Bandung, 2005, 63

[49] Pernyataan Nuryamin Aini, seorang dosen Fakultas Syari'ah UIN Jakarta dalam buku Ijtihad Islam Liberal, Jaringan Islam Liberal: Jakarta, 2005, 220-221



[50] Musdah Mulia, "Allah Hanya Melihat Taqwa, Bukan Orientasi Seksual Manusia" dalam Jurnal Perempuan, edisi 58, Maret 2008, 126

[51] "Indahnya Kawin Sesama Jenis" dalam Jurnal Justisia Edisi 25 Th XI 2004, 1

[52] Muhidin M. Dahlan, Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur; Memoar Luka Seorang Muslimah,..

[53] Menurut Abdul Wahab Khalaf, istihsan Abu Hanifah dan maslahah mursalah Malik bin Anas tidak ada perbedaannya. Lihat Abdul Wahad Khalaf, Maqashid al-Tasyri' Fi mä lä nashsh fĩh, Där al-Qalam: Kuwait, 1972, 75

[54] Dikutip dari Kamal Mukhtar, "Mashlahah sebagaiDalil Penetapan Hukum Islam" dalam Rekonstruksi Metodologi Studi Ilmu-ilmu Keislaman, Suka Press: Yogyakarta, 2003, 221-222

[55] Al-Syatiby, Al-Muwafaqat, Dar Ibn 'Affan, II: 2-5

[56] Lihat Abdul Wahab Khalaf, 'Ilm Ushul al-Fiqh, Dar al-Qalam: Kairo, 1947, 21

[57] Al-Syatiby, Al-Muwafaqat, Dar Ibn 'Affan, 1: 56

[58] Muhammad Tahir Ibn Asyur, Maqashid al-syariah al-Islamiyyah, Tunis: Syarikat Tunisiah, 1978, 56

[59] Abu Hamid Muhammad ibn Ali Muhammad al-Ghazali, al-Mustashfa min 'Ilm al-Usul, Dar al-Sadr: Beirut, t.th, I: 276

[60] Lihat Nirwan Syafrin, "Konstruk Epistemelogi Islam: Tela'ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh" dalam jurnal ISLAMIA, Thn II No. 5/ April-Juni 2005, 48-49