بسم الله الرحمن الرحيم

Minggu, 16 November 2008

Mengenal Tafsir Az-Zamakhsyarie

MENGENAL TAFSIER
AL-KASYSYAF 'AN HAQAIQ AT-TANZIEL WA 'UYUN AL-AQAWIEL FIE WUJUH AT-TA'WIL
(Az-Zamakhsyarie)

Penyusun kitab tafsir ini adalah Abu al-Qasim: Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmie, al-Imam al-Hanafie al-Mu'tazilie, yang dijuluki dengan sebutan jaarullah (tetangga Allah SWT). Dilahirkan pada bulan Rajab tahun 467 H di Zamakhsyar –sebuah kampung di desa Khawarizm-. Beliau meninggal pada malam 'Arafah tahun 538 H di Jarjaniyah Khawarizm setelah kepulangannya dari Mekkah. Beliau datang ke Baghdad dan bertemu dengan para pembesar dan belajar kepada mereka. Begitupun beliau beberapa kali datang ke Khurasan. Beliau tidak datang ke sebuah negeri, kecuali para penduduknya mendatanginya dan berguru kepadanya. Dan apabila beliau melihat seseorang, beliau selalu mengucapkan salam kepadanya dan berkenalan dengannya.

Beliau pun jadi imam pada zamannya. Beliau dikenal sebagai seorang imam besar dalam tafsir, hadits, nahu, bahasa dan adab, dan pengarang kahot dalam berbagai macam ilmu. Beliau seorang mu'tazilah.Terlihat dari kemu'tazilahannya, sebagaimana yang dikatakan pengarang wafiyyat al-a'yan bahwa apabila ada seseorang yang meminta izin untuk menjadi shohib belaau dan meminta izin masuk, beliau katakan: katakanlah kepadanya Abu al-Qosim al-Mu'tazile ada di pintu.

Ketika beliau menyusun al-Kasysyaf, beliau tulis pada pembukaan khutbahnya: "Alhamdulillah al-ladzi khalaqa al-Qur'an", karena orang-orang pada tidak suka, beliau rubah menjadi "alhamdu lillah al-ladzi ja'alal Qur'an", dan dalam pandangan mereka ja'ala berarti khalaqa. Banyak yang menasakhnya menjadi "alhamdu lillah al-ladzi anzala al-Qur'an" Dan ungkapan itu bukan perbaikan dari beliau, tetapi dari orang-orang.

Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah al-Maidah (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".

Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Pijakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya ketika nash al-Qur'an berbenturan dengan madzhabnya

Pijakan dan pegangan yang digunakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya ketika ada satu ayat yang bertentangan dengan madzhab dan aqidahnya, dia mengambil ayat yang mutasyabih atas ayat yang muhkamat, pijakan inilah yang digunakan ketika az-Zamakhsyari dapatkan dalam firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 7:

{هُوَ ٱلَّذِيۤ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ}..

"Dia yang telah menurunkan al-Qur'an kepadamu (Muhammad) diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat yaitu ummul kitab dan yang lainnya adalah ayat mutasyabihat…"

Muhkamat adalah yang ungkapannya jelas, yakni terpelihara dari makna yang ganda dan serupa. Dan mutasyabih adalah yang mempunyai makna yang tidak jelas dan bermakna banyak. Dan ummul kitab yakni yang asalnya mengandung makna yang banyak dan sulit dan dikembalikan kepadanya dan ditafsirkan dengannya.

Az-Zamakhsyari memberikan perumpamaan untuk mengambil yang mutasyabih atas yang muhkam atas firman Allah SWT dalam al-An'am: 103:
لاَّ تُدْرِكُهُ ٱلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلأَبْصَارَ
"Dia tidak dapat dicapai oleh pengliihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatn itu dan Dia maha halus dan maha teliti"
Dan firmanNya dalam al-Qiyamah: 22-23:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ * إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
"Wajah-wajah (kaum muslimin) pada hari itu berseri-seri melihat Tuhannya."

Dia berpendapat bahwa ayat yang pertama adalah muhkamah dan yang kedua adalah mutasyabih. Maka ayat yang kedua dengan yang pertama saling menguatkan (cocok sesuai) dan tidak ada jalan tentang hal itu, kecuali dengan memaknai yang pertama dengan yang kedua, dan sebaliknya.

Pembelaan az-Zamakhsyari terhadap aqidah mu'tazilah

Sesungguhnya az-Zamakhsyari akan membela madzhab mu'tazilahnya dengan sekuat tenaga dan kekuatannya dalam argumen dan dalil.

Pembelaannya terhadap pandangan mu'tazilah tentang pelaku dosa besar

Contohnya ketika dia menafsirkan firman Allah SWT dalam an-Nisa: 93:

"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin secara disengaja, maka balasannya neraka jahannam yang kekal didalamnya dan Allah sangat marah kepadanya dan menyediakan baginya siksaan yang besar."

Kita mendapatkan bahwa dia dalam menjelaskan ayat ini sangat menunjukan pembelaannnya kepada madzhabnya dan penyerangannya terhadap ahlus-sunnah dan menyangkal mereka ketika mereka mengatakan akan adanya ampunan dosa, walaupun pelakunya tidak bertobat. Bahkan pelaku dosa besar tidak akan kekal di neraka. Maka dia berkata untuk kesempatan ini untuk mengolok-olok dari penyerangannya terhadap ahlus-sunnah: "Ayat ini didalamnya terdapat pembatasan dan pengulangan, ibraq dan ir'ad, urusan yang besar dan pembicaraan yang dalam, dan dari sini telah diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa tobat seorang pembunuh mukmin yang sengaja, tidak akan diterima. Dan dari Sufyan: Keadaan ahli ilmu apabila mereka ditanya, mereka menjawab; tidak ada taubat baginya, dan hal itu mereka pikul atas tuntutan sunnah Allah dalam ketegasan dan kekerasan. Dan jika tidak, maka semua dosa akan terhapus dengan taubat, dan menolakmu dengan penghapusan dosa syirik atas dasar dalil. Dalam hadits disebutkan:

"Hancurnya dunia tidak sebegitu parah ketimbang terbunuhnya seorang muslim".

Dan disebutkan pula didalamnya:

"Seandainya ada seseorang yang terbunuh di timur, dan yang lain yang berada di barat ridha atas pembunuhan itu, maka dia telah ikut dalam menumpahkan darahnya."

Dan disebutkan pula:

"Bahwa manusia ini adalah bangunan Allah, maka akan dilaknat orang yang menghancurkan bangunannya."

Dan disebutkan pula:

"Siapa yang membantu pembunuhan seorang muslim dengan satu kalimat, maka pada hari kiamat, dia tercatat diantara kedua matanya : terputus dari rahmat Allah ."

Dan yang aneh dari kaum yan membaca ayat ini, melihatnya dan mendengar hadits-hadits yang agung dan perkataan Ibn 'Abbas dengan menolak taubat, tidak menopang kefanatikan dan ketamakan mereka yang kosong dan ikutnya mereka terhadap hawa nafsu mereka, mereka tamak dalam ampunan dari yang membunuh seorang mukmin tanpa bertobat:

"Apakah mereka tidak mentadaburi al-Qur'an atau hati mereka terkunci.."

Kemudian Allah menyebutkan taubat dalam pembunuhan yang tidak disengaja (kesalahan) . Jika kau bertanya: Apakah ada dalil atas kekalnya orang yang tidak bertobat dari pelaku dosa besar? Aku jawab: Aku tidak menjelaskan dalil, hal itu termasuk firman Allah:

"Dan siapa yang membunuh.."

Yakni yang terbukti membunuh, baik muslim atau kafir, taubat atau tidak tobat, jika tidak bahwa yang yang bertobat ada dalil yang mengeluarkannya, maka siapa yang menganggap keluarnya muslim tanpa tobat, maka mesti datang dalil seperti itu.

Pembelaannya terhadap madzhab mu'tazilah dalam kebaikan dan kejelekan para rasionalis

Ketika az-Zamakhsyari berkata dengan landasan mu'tazilah dalam kebaikan dan kejelekan para rasionalis, mesti baginya untuk melepaskan dari dhahir dua nash yang meniadakan madzhabnya, dan kedua ayat itu yaitu: Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa: 165:

"Para rasul itu pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alas an bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.”

Dan firman Allah SWT dalam surat al-Isra':15:

"Kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul…."

Kita melihat pada ayat yang pertama secara dhahir bertentangan dengan landasan ini, maka dia akan bertanya dengan pertanyaan ini: "Bagaimana manusia membantah Allah disisi rasul, sedang mereka terhalang dengan apa yang Allah sandarkan dari dalil-dalil yang pandangan didalamnya menyampaikan pada makrifat, dan para rasul dalam diri mereka tidak sampai pada makrifah kecuali dengan analisa pada dalil-dalil itu, dan tidak pula diketahui bahwa mereka para rasul Allah kecuali dengan analisa? Kemudian dia menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan: Aku menjawab: para rasul mengingatkan dari kelalaian dan mencari penelitian/analisa sebagaimana Ulama ahli adil dan tauhid melihat serta menyampaikan apa yang mereka pikul dari rincian urusan agama dan menjelaskan keadaan taklif. Dan mengajarkan syari'at, maka pengutusan mereka untuk menghilangkan 'illat dan penyempurna untuk menetapkan hujjah supaya mereka tidak berkata: Kalaulah kamu tidak diutus kepada kami sebagai rasul, maka dia menasehati kami dari kelalaian dan memperingatkan kami ketika pemberian peringatan itu wajib baginya."

Pembelaannya Terhadap Aqidah Mu'tazilah Dalam Masalah Sihir

Az-Zamakhsyari seperti yang lainnya dari mu'tazilah tidak percaya sihir dan tidak pula meyakini adanya tukang sihir. Oleh karena itu, ketika dia menafsirkan surat al-falaq yang memberi bukti kepada ahli as-sunnah, tetapi ayat yang jelas itu tidak dapat meyakinkannya, tidak menyurutkan intelektualnya dan tidak melemahkan hujjahnya dalam tafsirnya.

Sebagaimana kita mendapatkannya dia bersikeras mengingkari, mengejek, dan menghina ahli as-sunnah yang mengatakan hakikat sihir. Hal itu terbukti ketika dia berkata: an-naffatsat (wanita atau jiwa-jiwa atau rombongan ahli sihir yang mengikat buhul (ikatan) pada kain dan meniup dan memantrainya).

Dan an-nafts: tiupan dari rieq. Dan tidak ada pengaruh untuk hal itu, ya Allah kecuali apabila dia memakan sesuatu yang berbahaya atau menyakitinya atau langsung tersihir olehnya atas beberapa cara, tetapi Allah 'Azza wa jalla melakukan hal itu untuk menguji orang yang memegang kebenaran dari masukan dan kebodohan orang awwam, maka dia menyandarkan masukan dan pengisian itu kepada wanita dan kepada tiupan-tiupan mereka.

Orang-orang yang berpegang teguh dengan ucapan yang kuat tidak akan terpalingkan dengan tiupan-tiupan itu. Jika kamu bertanya: Apa arti berlindung dari kejahatan mereka (p)? Aku menjawab; Didalamnya ada tiga hal: Pertama, Dilindungi dari perbuatan-perbuatan mereka yang dibuat sihir dari dosa-dosa mereka dalam hal itu.

Kedua, Dilindungi dari fitnah mereka dengan sihir mereka (P) dan mereka (P)tidak dapat menipu terhadap mereka (L) dari kebatilan-kebatilan mereka.

Ketiga, Dilindungi dari apa yang Allah timpakan dari kejahatan tiupan-tiupan mereka (p). Dan dia menafsirkan mereka-mereka (p) juga dengan penipu-penipu (al-kayyadat) dari firman Allah:

"Sesungguhnya tipu daya mereka (p) sangatlah besar."

Penyerupaan tipuan-tipuan mereka (p) dengan sihir dan tiupan pada buhul (ikatan) atau yang wanita-wanita yang menguji kaum laki-laki dengan memberikan dan memperlihatkan kecantikan-kecantikan mereka yang menyihir mereka (l) dengan hal itu.

Pada hakikatnya, hal tersebut hanyalah spekulasi intelektual az-Zamakhsyari yang menginginkan di balik itu untuk menyimpangkan kebenaran yang yang termaksud dalam al-kitab dan as-sunnah kepada apa yang sesuai dengan hawa nafsunya dan aqidahnya.

Pembelaannya Terhadap Madzhab Mu'tazilah Dalam Kemerdekaan keinginan dan Penciptaan Amal

Az-Zamakhsyari telah memberi pengaruh dengan pendapat mu'tazilahnya tentang kemerdekaan keinginan dan penciptaan amal, tetapi dia mendapatkan ayat-ayat yang jelas yang bertolak belakang dengan keyakinannya bahwa perbuatan-perbuatan hamba seluruhnya diciptakan oleh Allah Ta'ala. Maka dia ingin berpaling dari benturan ini dan berusaha keluar dari ketentuan besar ini.

Dia memberikan masukan pada apa yang dimaksud oleh makna ini apa yang mu'tazilah berpegang terhadapnya dan memberi banyak manfaat kepada mereka dari berbagai maudhu', yakni al-Lathfu (kelembutan) dari Allah, maka dengan kelembutan dari-Nya berbuat baik akan mudah untuk manusia dan dengan sebaliknya akan sulit atas manusia untuk berbuat baik.

"Kelembutan" ini dan apa yang berhubungan dengan "taufik" membantu az-Zamakhsyari untuk keluar dari kesulitan yang membenturnya ketika menafsirkan ayt-ayat al-Qur'an yang jelas bahwa Allah SWT menciptakan perbuatan-perbuatan manusia baik yang baik atupun yang buruk. Dan ahlus-sunnah memandangnya sebagai senjata yang kuat untuk menghadapi pandangan mu'tazilah ini.

Dalam surat Ali Imran ayat 8, Allah berfirman:

"Ya tuhan kami janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan, setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami…"

Kita dapatkan az-Zamakhsyari menangkap ayat ini bahwa hati-hati hamba itu ada di tangan Allah sebagaimana yang Dia kehendaki, maka barang siapa yang Allah kehendaki hidayah, maka Dia memberikan petunjuk kepadanya, dan siapa yang Allah kehendaki kesesatannya, maka Allah menyesatkannya.

Tetapi dia lari dari makna dhahir ayat ini, dia berkata bahwa firman Allah swt.:

"Ya tuhan kami janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan…"

Jangan Engkau uji kami dengan ujian-ujian yang akan menyondongkan hati-hati kami. ,

"setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami…"

Dan Engkau memberi petunjuk kepada kami disisi-Mu atau Jangan Engkau halangi kelembutan-Mu setelah Engkau memberikan kelembutan pada kami.

Pertarungan dan Benturan Aqidah Az-Zamakhsyari dan Ahlus-sunnah

Kejelasan pertentangan aqidah Zamakhsyari dan ahlus-sunnah sangatlah kentara sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Masing-masing melontarkan tuduhan penyimpangan, sesat, bahkan pada abad pertama Hijriyyah sampai kepada pengkafiran dan pendosa. Tetapi masing-masing berargumen dengan tujuan mensucikan Allah swt dengan segala kesempurnaannya. Itu merupakan hal penting yang jangan sampai terlupakan.

Az-Zamakhsyari menuduh ahlus-sunnah dengan ejekan, olokan yang luar biasa, sifat-sifat yang rendah, dan bahkan menuduh sebagai Jabbariyyah, Hasywiyyah, Musybihah, dan Qadariyyah. Tuduhan tersebut –ahlus-sunnah sebagai Qadariyyah- karena dalam tafsirnya dia mengatakan Qadariyyah sebagai majusi ketika dia menafsirkan fushshilat ayat 17,

"Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan."

Sebaliknya ahlus-sunnah pun menyerang az-Zamakhsyari sebagai representasi dari mu'tazilah, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn al-Qoyyim ketika mengomentari tafsir az-Zamakhsyari terhadap surat al-A'raf ayat 176,

"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.."

Ibn al-Qoyyim mengatakan bahwa hal ini adalah kita mengenalinya sebagai serangan yang jelas dilancarkan dari seorang Qadari yang meniadakan kehendak mutlak (Allah swt) yang merepresentasikan pemikiran mu'tazilah dan Qadariyyah.

Begitu pula ahlus-sunnah yang lainnya seperti Ahmad bin Muhammad bin Mansur al-Munir al-Maliki, seorang Qadhi Iskandariyyah dalam kitabnya al-Intishaf) yang meneliti az-Zamakhsyari dan tafsirnya yang memuat kejelasan tentang kemu'tazilannya, takwil yang dipaksakan dengan aqidah mu'tazilahnya, dan sebagai tafsir yang mengikuti hawa nafsu.

Tetapi dalam masalah fiqh, az-Zamakhsyari tidak fanatik terhadap madzhab hanafinya. Sebagaimana menafsirkan surat al-baqarah ayat 222,

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri"

Dia menampilkan perbedaan pendapat beberapa fuqaha. Dia katakan,

"Diantara beberapa fuqaha ada perbedaan ketika memahami al-I'tizal (menjauhi istri). Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa I'tizal termasuk al-izar (sarungnya). Tetapi Muhammad bin Hasan memahaminya hanya dengan farj (bersetubuh). Muhammad meriwayatkan hadits dari Aisyah bahwa Abdullah bin Umar bertanya kepadanya: Apakah boleh seorang suami mencampuri istrinya ketika dia haid? Aisyah menjawab: hendaklah dikencangkan sarung pada bagian bawahnya, kemudian bercampurlah sesuka dia. Dan riwayat Zaid bin aslam, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. Apa yang halal bagiku ketika istri sedang haid? Rasul bersabda; Kencangkan sarungnya, kemudian campuri sesuka hatimu bagian atasnya. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa pendapat itu adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Dan telah datang yang lebih ringan dari pendapat ini dari Aisyah, dia berkata: beliau menjauhi tempat keluarnya darah, dan yang selainnya didekatinya." Dan dibaca yathahharna dengan tasydid, yakni mereka bersuci dengan dalil faidza tathahharna ..Dan Abdullah membaca: Hatta yatathahharna dan yathhurna dengan takhfif. Dan Tathahhur artinya mandi, sedang ath-thuhru artinya terputusnya darah haid dan dua bentuk bacaan tersebut wajib diamalkan. Imam Abu Hanifah berpendapat bolehnya mendekati istri dalam keadaan haid meskipun sering setelah terputusnya darah, walaupun belum mandi. Dan langka untuk tidak mendekati istri haid sampai dia mandi atau waktu sholatnya berhenti. Imam Syafi'I berpendapat untuk tidak mendekati istri yang sdang haid sehingga berhenti darahnya dan sudah madi dengan menggabungkan keduanya. Dan inilah pendapat yang jelas dan kuat dengan menyandarkannya kepada faidz tathahharna."

Demikianlah sekilas tentang az-Zamakhsyari dan tafsirnya al-Kasysyaf yang diresume dari at-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi.

0 komentar: