بسم الله الرحمن الرحيم

Jumat, 07 November 2008

Teori Keropos

Rapuhnya Pondasi Ushul Fiqih Liberal

Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal—mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya—tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan., kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.

Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.
Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci." Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni;
"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan : "Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan : "Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu yang sangat diperlukan oleh siapa saja yang mempunyai kepentingan di dalam proses pengambilan hukum dalam Syareat Islam. Seorang pembaharu agama dituntut untuk memahami ilmu ini dengan baik. Para ulama telah meletakkan ilmu Ushul Fiqih ini sebagai bekal untuk menjawab setiap permasalahan yang akan terus mencuat dan berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Jadi, Ushul Fiqih ini, selain telah mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi pada masa silam dan pada saat ini, juga dipersiapkan untuk generasi masa depan. Ushul Fiqh ini adalah ilmu yang tidak pernah lekang dan rapuh sepanjang masa.
Namun bagaimana jadinya jika ushul fiqih dipergunakan untuk membumikan konsep barat dan liberal?? Apakah kaum liberal juga mempunyai konsep ushul fiqih yang dibenarkan dan sesuai dengan konsep yang benar?? Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih?
Dalam makalah sederhana ini akan kami coba mengupas pertanyaan pertanyaan tersebut sekaligus sebagai kritik dan bantahan terhadap ushul fiqih yang dipahami kaum liberal.
Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, I/23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’i, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tata cara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/10).
Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû‘) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu:
1. Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Quran, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
2. Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar‘î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.
3. Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).
4. Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tata cara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta‘ârudh).
Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal—mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya—tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88)
Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Quran, karena Bible dan al-Quran sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Quran tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).”(AdianHusaini,“Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal,” www.insistnet.com).
Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu‘âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikih (Said, 1995: 266).
Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru. Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal:
(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama‘ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003).
Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal?
Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih—seperti kaidah-kaidah ushul di atas—sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur; bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.
Paradigma Ushul Fikih Liberal
Mengapa ushul fikih mereka rapuh? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekuler.
Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama‘ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.
Paradigma sekuler ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekulerismenya.
Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekuler, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekuler. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dst). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dst). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekuler tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekuler. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan gender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad. (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).
Padahal draft tersebut—yang konon menggunakan ushul fikih alternatif— telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep gender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekuler, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya, ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat. Wallahu a‘alam.

0 komentar: