بسم الله الرحمن الرحيم

Kamis, 24 Desember 2009

Merayakan Hari Besar Agama Lain

Daden Robi Rahman

Bulan Desember merupakan bulan penutup dari tahun Masehi. Pada bulan ini penganut agama Kristen bersenang-senang, karena hari raya tahunan -hari Natal terjadi pada bulan ini, diikuti perayaan tahun baru Masehi. Berbagai acara dan hiburan dipersiapkan menyambut dua perayaan tersebut. Tidak kalah menarik untuk diperhatikan, berbagai lapisan masyarakat –di Indonesia khususnya-, bukan hanya dari kalangan Kristen, penganut agama yang lainnya (baca: muslim) ikut latah mempersiapkan bahkan merayakan hari besar Nasrani tersebut. Hal itu terjadi di kalangan pejabat sampai rakyat, apalagi artis dan selebritis.

Kebesaran dan kemeriahan natal dan tahun baru terjadi bukan hanya karena mayoritas penduduk dunia beragama Kristen, tetapi juga ditunjang dukungan media, baik elektronik ataupun massa, yang notabene dikuasai mereka, yang turut menggembar-gemborkan mengampanyekan hari raya tersebut lewat iklan dan berbagai macam acara hiburan.

Akhirnya hari raya natal dan tahun baru bukan hanya dirayakan kalangan Kristen, tetapi masyarakat muslim pun tidak sedikit yang merayakan “dua hari besar” tersebut. Lebih jauh dari itu, kalangan instansi pendidikan yang mayoritas peserta didiknya muslim menjadikan moment Natal dan tahun baru ini sebagai hari libur. Bahkan tidak tanggung-tanggung masa liburnya pun relatif lama. Instansi pendidikan Politeknik Bandung (POLBAN) misalnya, memutuskan libur selama dua minggu ketika menyambut natal dan tahun baru. Berbeda dengan hari raya Islam (īdul adha) sebelumnya, POLBAN hanya memutuskan libur selama 3 hari saja.

Realitas diatas mejadi sebuah pemandangan yang terjadi setiap tahunnya. Dimana ada pergeseran perhatian kaum muslimin terhadap hari besarnya, dan lebih memperhatikan hari besar agama lain. Lebih jauh lagi, kondisi sosial yang terjadi dipaksakan pembenarannya oleh sebagian kalangan cendekiawan muslim liberal yang melegalkan perayaan umat agama lain tersebut. Seperti tertera dalam buku Fikih Lintas Agama, yang ditulis oleh tim penulis Paramadina yang terdiri dari Nurcholis Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain. Diantaranya mereka mengatakan bolehnya mengucapkan “Selamat Hari Natal” dan Selamat Hari Raya Agama-agama Lain, bahkan Merayakan Hari Besar Keagamaan agama-agama lain. (Fikih Lintas Agama, 2004).

Kenyataan masyarakat muslim tersebut merupakan sebuah realitas yang membuktikan kurangnya perhatian muslim terhadap Islam. Dengan kata lain, Islam adalah sesuatu dan masyarakat muslim adalah sesuatu yang lain. Oleh karena itu, bagaimana sebenarnya Islam mendudukan masalah merayakan hari raya agama lain?

Imam Ibn Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidhā’ al-Shirāth al-Mustaqīm Mukhālifah Ashhāb al-Jahīm, menyatakan haram hukumnya mengikuti hari besar agama lain. Hal ini beliau sandarkan kepada firman Allah SWT., “Dan mereka (orang-orang mukmin) yang tidak menghadiri kebohongan dan apabila mereka melewati tempat tersebut, maka mereka berlalu dengan sikap sopan.” (QS. Al-Furqan [25]: 72).

Lebih dari seorang dari kalangan tabi’īn dan lain-lain, misalnya Rabi’ ibn Anas menjelaskan bahwa kata zūr (kebohongan) pada ayat diatas adalah hari-hari besar kaum musyrik. Pengertian ini pula diriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia mengatakan bahwa zūr (kebohongan) adalah hari bersenang-senang pada zaman Jahiliyyah. Kemudian diriwayatkan dari ‘Āmir ibn Murrah, bahwa ayat “Lā yasyhadūnaz-zūr” (mereka tidak menghadiri kebohongan), artinya mereka tidak menolong golongan musyrik dalam melakukan kemusyrikan mereka dan tidak pula bergaul dengan mereka. Bahkan dalam riwayat ‘Athā’ ibn Yasar dijelaskan bahwa Umar ibn al-Khaththab pernah berkata: “Jauhilah oleh kalian hari-hari besar orang ‘ajam dan jangan kalian mendatangi hari besar kaum musyrik di gereja-gereja mereka.” (Lihat Muhammad ibn ‘Ali al-Dhabi’ī, Bahaya Mengekor Non Muslim, 2003).

Kesenangan orang-orang Kristen pada hari Natal dan tahun baru tidaklah semestinya terjadi pada umat Islam yang memiliki hari raya sendiri, bahkan keistimewaan ini langsung diberikan oleh Allah SWT dan dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana halnya pada masa Jahiliyyah di tanah Madinah, mereka selalu merayakan dua hari raya, dimana pada kedua hari tersebut mereka bersenang-senang dan berfoya-foya. Kedua hari tersebut adalah Mihrajan dan Nairuz. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik, bahwa “ketika Rasul SAW. datang ke Madinah, saat itu penduduknya mempunyai dua hari khusus untuk bersenang-senang. Lalu beliau bertanya: “Dua hari apa ini?” Mereka (penduduk Madinah) menjawab: Pada masa jahiliyyah kami biasa bersenang-senang pada dua hari ini. Lalu Rasulullah SAW. bersabda: Sungguh Allah telah menggantikan dua hari ini dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari raya īdul adha dan īdul fitri.” (HR. Abu Dawud).

Artinya, Rasulullah SAW. tidak membenarkan perbuatan orang-orang Jahiliyyah dan membiarkan kebiasaan bersenang-senang pada kedua hari tersebut. Kemudian Rasul SAW. menetapkan īdul adha dan īdul fitri sebagai hari besar menggantikan hari besar yang lain. Dengan kata lain, tidak sepantasnya seorang muslim melaksanakan dan merayakan hari kebesaran agama lain, padahal Allah dan rasul-Nya telah menetapkan hari besar buat mereka. Allah SWT. berfirman, Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”( QS. Al-Ahzāb [33]: 36).

Sikap senang melihat orang senang adalah dianjurkan. Tetapi dalam masalah keagamaan, seperti ikut dalam perayaan Natal dan tahun baru Masehi misalnya, adalah sesuatu yang mesti dihindari. Mengingat keniscayaan keyakinan seorang muslim terhadap kesempurnaan ajaran Islam menafikan untuk mengikuti agama lain. Hal ini didasarkan kepada keyakinan bahwa Islam telah mencukupi kebutuhan seorang muslim, termasuk kapan ia bersenang-senang merayakan hari besar. Apalagi ikut dan terlibat dalam perayaan hari besar non muslim merupakan sikap tasyabbuh (penyerupaan) terhadap non muslim yang diantisipasi oleh Rasul SAW., sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Umar, Rasul SAW. bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad).

Sikap tidak ber-tasyabbuh ini pun berlaku meskipun seorang muslim berada di negeri-negeri non muslim. Kalau berbicara Indonesia, tentu sangat tidak wajar kaum muslimin ikut-ikutan merayakan natal dan tahun baru Masehi, karena Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Termasuk di negeri mayoritas non muslim pun, keteguhan seorang muslim mesti dipertahankan. Seandainya ia tunduk terhadap realitas masyarakat dengan mengikuti masyarakat kebanyakan, maka ia akan dikumpulkan dengan masyarakat kebanyakan tersebut (non muslim) di hari kiamat. Dengan kata lain, ia akan menuai kecelakaan di akhirat. Abdullah ibn ‘Amr mengatakan: “Barangsiapa menetap di negeri kaum musyrik dan ia mengikuti hari raya dan hari besar mereka, serta meniru perilaku mereka sampai mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat. (HR. Al-Baihaqi).

Kasus lain dengan penekanan yang sama, yakni dalam merayakan hari besar, tergambar dalam asbāb al-wurūd surat al-Baqarah [2]: 208, sebagaimana dijelaskan imam Ibn Jarīr al-Thabarī dalam tafsirnya, ketika Rasulullah saw. kedatangan orang-orang Yahudi yang akan masuk Islam. Diantaranya Tsa'labah, Abdullah ibn Salam, Ibn Yamin, Asad dan Usaid anak Ka'ab, Sya'bah ibn 'Amr, dan Qais ibn Zayd. Mereka meminta kepada Rasulullah dua hal yang menjadi kebiasaan Yahudi untuk mereka lakukan setelah masuk Islam. Mereka berkata: "Wahai Rasulullah, hari sabtu adalah hari yang kami agungkan, maka izinkan kami merayakannya. Taurat adalah kitab Allah, maka izinkan kami amalkan di malam hari." Maka Rasul menjawab dengan firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah mengikuti langkah-langkah Syetan. Sungguh ia musuh nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 208).

Riwayat diatas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. sama sekali melarang merayakan hari sabtu (yang merupakan hari yang dibesarkan oleh kaum Yahudi), sebagaimana telah mereka lakukan ketika masih memeluk agama Yahudi. Hal ini karena Islam telah memberikan hari besar yang istimewa yang lebih pantas mereka agungkan, yaitu hari jum’at. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim merayakan hari kebesaran non muslim, seperti sabtu, rosh hashanah (tahun baru) dan yom kippur (hari penerimaan tobat) untuk agama Yahudi. Ataupun hari minggu, natal dan tahun baru Masehi bagi agama Kristen, hari raya Nyepi bagi agama Hindu, dan lain sebagainya.

Jawaban Rasul SAW. terhadap Abdullah ibn Salam dkk. yang hendak masuk Islam dengan membacakan QS. Al-Baqarah [2]: 208, dapat disimpulkan bahwa setelah pengutusan Nabi Muhammad saw., mengikuti keimanan Yahudi (ataupun agama yang lainnya) dengan mengamalkan sebagian ajaran Yahudi (atau agama lainnya, termasuk merayakan hari Natal dan tahun baru Masehi) merupakan tipu daya Syetan, apalagi mengimani keseluruhannya. (Al-Thabari, 2003, 2: 400).

Disisi lain, perbuatan latah terhadap kebiasaan-kebiasaan non muslim merupakan sikap inferrior yang semestinya tidak terjadi pada diri seorang muslim. Apalagi sikap latah ini tergambar dalam kebiasaan keagamaan, seperti perayaan hari besar keagamaan. Hal ini berlawanan dengan jati diri seorang mukmin yang semestinya berkharisma dan bangga dengan apa yang ada pada dirinya tanpa harus mengekor kepada yang lain. Allah SWT. menyatakan, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imrān [3]: 139).

Dengan demikian, perayaan hari besar keagamaan merupakan ciri dan identitas orang yang merayakannya. Tidak sepantasnya seorang muslim mengikuti hari-hari besar keagamaan agama lain dengan alasan apapun. Hal ini dikarenakan Islam telah memenuhi kebutuhan pemeluknya, termasuk hari besar keagamaannya. Disamping itu, keikutsertaan seorang muslim terhadap perayaan hari besar agama lain merupakan sikap tasyabbuh (penyerupaan) terhadap agama lain yang diancam kedudukannya. Hal itu juga menunjukan sikap inferrior yang mesti dihindari seorang muslim karena mengusung superioritas agama lain, dan sikap yang yang menunjukan terjeratnya seorang muslim oleh tipu daya syetan. Wallahu a’lam.

Selasa, 15 Desember 2009

TAJDĪD VERSUS MODERNISME

Daden Robi Rahman

Pendahuluan

Kemajuan teknologi dan informasi mengindikasikan perjalanan zaman yang mengalami puncak kesuksesan duniawi dan sekaligus keberakhiran dunia yang semakin dekat. Kemajuan ini pun diiringi dengan persoalan manusia yang semakin kompleks dan menuntutnya untuk selalu eksis dan aktif menjadi problem solver. Maka konsep tajdīd (pembaharuan) menjadi keniscayaan wujudnya dalam menjawab tantangan zaman tersebut. Dalam hal ini, Islam sebagai agama kāmil mutakāmil, syāmil mutasyāmil (sempurna dan paripurna), menjadi pijakan dasar dalam mempelopori setiap jengkal langkah zaman yang menantang pembaharuan.

Keyakinan umat Islam terhadap kesempurnaan Islam dalam menjawab problem dan challenge masa yang kian bergulir, ditanggapi secara beragam dalam aplikasi memahami konsep tajdīd. Diantaranya dapat ditemukan gerakan pembaruan yang mengusung keniscayaan pembaruan dengan meninggalkan ajaran dan doktrin Islam di masa silam (baca: zaman nabi Muhammad saw.) yang dipandang secara subjektif tidak lagi cocok dengan tuntutan zaman modern. Dalam peta pemikiran nasional, Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan representasi kelompok ini. Mereka menilai plagiatisasi ajaran nabi saw. dulu merupakan kemandekan, bersifat puritan, dan anti terhadap reformasi keagamaan.[1] Mereka sangat membanggakan para pemikir liberal yang mereka golongkan berada pada kelompok gerakan ini, seperti Mohammad Arkoun, Fatimah Mernissi, Muhammad Abid al-Jabiri, Aziz Azmeh, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Abdullahi Ahmed An-Naim.[2] Di lain pihak ditemukan pula gerakan yang menginginkan tajdīd dengan kembali kepada Al-Qur’an dan al-Sunnah sesuai tuntunan nabi Muhammad saw.

Meminjam hasil penelitian John L. Esposito dalam karyanya, Islam: The Straight Path, menjelaskan kategori dan klasifikasi pergerakan pembaruan kedalam empat aliran. Pertama, kaum sekuler yang mendukung agama hanya untuk urusan pribadi dan pengucilannya dari kehidupan publik. Kedua, konservatif yang bergerak untuk kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah dengan penekanan mengaplikasikan hukum tradisional, bukan reinterpretasi yang membuka peluang perubahan dalam hukum. Mereka memandang tidak begitu penting merujuk langsung kepada al-Qur'an dan al-sunnah untuk memperoleh jawaban-jawaban baru. Ketiga, neotradisionalis, yang dominan sama dengan konservatif. Tetapi kaum ini disatu sisi menghormati rumusan-rumusan hukum klasik, tetapi tidak terikat dengan rumusan-rumusan tersebut. Mereka merujuk langsung kepada sumber-sumber Islam utama, guna berijtihad dan menerapkan kembali sumber-sumber dimaksud pada kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi kontemporer. Keempat, neomodernis yang membedakan secara tajam antara substansi dan bentuk, antara kaidah dan nilai-nilai wahyu dengan lembaga dan praktik yang terkondisikan oleh sejarah dan kemasyarakatan yang dapat dan harus diubah untuk memenuhi kondisi-kondisi kontemporer.[3]

Keempat gerakan tersebut, mempunyai banyak perbedaan, dan satu persamaan, yakni urgensitas tajīd diperlukan hari ini. Dimana saat ini kaum muslimin seakan gagap dan inferior di bawah hegemoni Barat. Maka tidak aneh kiranya, gerakan neomodernisme –dalam istilah John L. Esposito- seakan mengusung superioritas Barat dan inferioritas Islam, mem-Barat-kan Islam, bukan meng-Islam-kan Barat. Akibatnya, banyak nilai-nilai Islam, bahkan yang bersifat prinsipil dinafikan karena dianggap mengganggu kemajuan peradaban modern dan harus dibuang. Ide-ide seperti sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang marak belakangan ini tidak lebih merupakan bukti atas hal itu.

Oleh karena itu, perlu kiranya ada penjelasan konkret dan pemahaman proporsional mengenai hakikat tajdīd dalam Islam sebagai solusi atas respon zaman yang terus bergulir. Hal ini didasari atas kenyataan merebaknya kepentingan suatu peradaban (baca: Barat) menghancurkan peradaban Islam,[4] atau meminjam istilah Huntington yang disebut dengan Clash of Civilization (benturan peradaban).

Pengertian Tajdīd

Penjelasan tajdīd Busthami Muhammad Sa’id dalam bukunya Mafhūm Tajdīd al-Dīn bisa dikatakan representasi penjelasan yang kredibel dan proporsional. Ia mengantarkan sebuah pembahasan sistematis tentang tajdīd dan berbagai hal yang berkait erat dengannya, seperti mujaddid, modernisme, dan lain sebagainya. Dalam pemaparannya, ia mengawali dengan pembahasan tentang pengertian tajdīd yang benar dan proporsional. Kedua, bahasan tentang pengertian tajdīd yang salah, dan ketiga, kritikan terhadap pengertian tajdīd yang salah tersebut.

Kata tajdīd merupakan bentuk masdar dari fiil jaddada-yujaddidu yang berarti mengembalikan dan pembaharuan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya.[5] Dalam bahasa Arab, jadīd artinya baru dan dikatakan jadīd jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Hal ini senada dengan nash dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Diantaranya Allah berfirman, “Dan mereka berkata, Apakah apabila kita sudah jadi tulang dan barang yang rapuh, maka kita akan dibangkitkan sebagai sesuatu kejadian yang baru?..”.[6] Begitu pula dengan sabda Rasul saw., “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap abad, orang yang memperbaharui agamanya.”[7] Dengan kata lain, sesuai dengan pengertian yang berdasarkan Al-Qur’an dan al-Sunnah, maka tajdīd bisa diartikan sebagai penghidupan dan pembentukan kembali.[8]

Oleh karena itu tajdīd bisa mengandung tiga arti yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pertama, bahwa sesuatu yang diperbaharui tersebut telah ada permulaannya dan dikenal banyak orang. Kedua, bahwa sesuatu itu telah berlalu beberapa waktu, kemudian usang dan rusak. Ketiga, sesuatu itu telah dikembalikan kepada keadaan semula sebelum usang dan rusak.[9] Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali sebagimana keadaannya pada masa salaf pertama (i'ādah al-dīn ilā mā kāna 'alaihi ‘ahd al-salaf al-shalih).[10] Dengan kata lain, hakikat tajdīd yang dimaksud adalah menyebarluaskan ilmu pengetahuan salaf dari generasi ke generasi yang bersih dari perubahan dan selamat dari pemalsuan[11] atau menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal.

Pengertian diatas dikuatkan oleh penjelasan Thahir ibn ‘Asyur yang mengatakan bahwa pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.[12]

Dikarenakan perjalanan masa terus bergulir dan meniscayakan perubahan zaman dengan corak kehidupan yang berubah-ubah dan berkembang, maka persoalan-persoalan baru pun muncul. Perkara-perkara baru tersebut kadang tidak dapat ditemukan kejelasan hukumnya di dalam nash, baik Al-Qur’an maupun al-Sunnah. Oleh karena itu tajdīd meniscayakan adanya ijtihad sebagai respon untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan jawaban pasti tersurat dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah, tanpa harus melepaskan seutuhnya dari peran wahyu keduanya. Oleh karena itu, upaya tajdīd bukan berijtihad pada hal-hal yang sudah jelas kedudukan hukumnya (qath’ī), tetapi pada hal-hal yang samar (zhannī) atau tidak ada kejelasan hukumnya. Maka dalam hal ini ijtihad diartikan sebagai pengerahan kemampuan optimal seorang faqih (mujtahid) dalam menggali hukum-hukum syara’ yang bersifat zhanni, bukan pada masalah hukum yang sudah qath’i dan tetap yang telah termaktub secara eksplisit di dalam al-Qur’an al-Sunnah. Hal ini berpijak pada landasan naqli yang mengisyaratkan adanya ketertiban dalam menggunakan sumber hukum dalam menyimpulkan hukum sebuah persoalan, berdasarkan hadits dibawah ini

“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.” [13]

Modernisme dan Pengusungnya

Modern merupakan sebuah hirarki zaman yang dialami Barat. Dimana Barat mengenal zaman pertengahan dengan sebutan dark ages (zaman kegelapan), dimana agama (gereja) mendominasi ilmu pengetahuan atau akal di subordinasikan di bawah Bible. Kemudian mereka menamakan sejarah peradaban Erofa pada abad ke-15 dan 16 sebagai zaman renaissance (kelahiran kembali) karena akal terbebas dari Bible. Mereka juga menyebut abad ke-18 samapai 19 sebagai zaman european enlightenment (pencerahan Eropa) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari renaissance.[14] Kemudian abad 19, semangat dan pandangan hidup Barat modern yang kadang dikenal juga dengan scientific worldview,[15] dan hari ini Barat sudah mencapai zaman postmodern,[16] yang hakikatnya juga merupakan lanjutan dari Barat modern.

Hubungannya modern dengan pahamnya modernisme sangat erat kaitannya dengan agama. Dimana modernisme agama (baca: pengalaman Barat) adalah setiap pemikiran agama yang berangkat dari keyakinan bahwa kemajuan-kemajuan sains dan kebudayaan modern menuntut adanya reinterpretasi terhadap ajaran-ajaran agama klasik sesuai pemikiran filsafat dan ilmiah yang berlaku.[17] Modernisme agama ini dimotori gerakan liberalisasi agama, yang dalam konteks Barat, meliputi agama Yahudi dan Kristen.

Dalam agama Yahudi gerakan liberalisasi ini pertama kali dilakukan oleh Moses Mende Isshon (1729-1786) yang menyebarkan sains modern di kalangan Yahudi dan memindahkan mereka dari kehidupan terpencil dan cerai berai yang telah mereka jalani selama berabad-abad menuju alur peradaban Barat modern. Ia mempunyai semboyan, “memberikan respons terhadap tradisi-tradisi masyarakat modern serta memelihara dan menerima agama nenek moyang.” Tetapi hal ini tidak disadarinya, bahwa sebenarnya ia telah meletakkan dan mengadakan pertentangan antara tradisi-tradisi Yahudi dan kebudayaan modern.[18]

Kemudian ada Stenheim (1790-1866 M) yang terpengaruh dengan filsafat Kant. Pendapatnya menyatakan bahwa tidak perlu mengambil teks-teks Taurat secara letterlek, tetapi cukup memilih diantara teks-teks itu. Adapun bagaimana caranya memilih, dia tidak mengajukan kaidah yang pasti, tetapi cukup mengikuti bisikan-bisikan iman, yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi suatu masa. Dengan demikian, ia meletakkan dasar pemikiran untuk mengadakan perubahan dan revisi-revisi ajaran Yahudi.[19]

Dilanjtkan oleh Holdeim (1806-1860 M) yang menyatakan bahwa syari’at Tuhan itu sekalipun wahyu Allah, tetapi bersifat temporer sesuai dengan waktu turunnya dan tidak bersifat abadi. Diantara ucapannya, ia mengatakan bahwa “Talmud itu berbicara dan dipengaruhi oleh pemikiran pada zamannya dan itu benar pada waktu itu. Sedangkan saya berbicara beranjak dari pemikiran modern pada masa kini. Jadi untuk masa kini, sayalah yang benar.” Dengan prinsip tersebut Holdeim telah menggeser posisi Talmud dari keberadaannya sebagai sumber hukum yang dikenal di kalangan Yahudi.[20]

Abraham Gieger (1810-1874 M), seorang tokoh Yahudi liberal Jerman yang menyatakan bahwa wahyu Tuhan yang murni pada hakikatnya adalah gabungan ajaran Tuhan dan manusia. Ia berpandangan bahwa agama Yahudi adalah agama yang selalu berkembang atau mengalami proses revolusi terus menerus (judaism is on going revolutionary proces) yang beranjak dari ajaran-ajaran para nabi Ibrani yang dikembangkan oleh ahli agama di masa Talmud. Mereka tidak menganggap bahwa syari’at para nabi itu valid dan abadi, tetapi dengan berbagai inovasi telah mereka sesuaikan dengankebutuhan-kebutuhan pada zamannya.[21]

Liberalisasi agama pun terjadi pada Kristen. Dimana faktor penting yang melatarbelakangi timbulnya gerakan ini adalah penggunaan metode kritis historis dalam mengkritik Bible. Bible ini tunduk di bawah standar-standar pembahasan yang dipakai untuk kitab-kitab dan manuskrip-manuskrip sejarah kuno, yang dinamakan dengan hermeneutika. Paus Paulus X dalam dua selebaran yang terbit tahun 1907 memberi nama gerakan ini dengan modernisme. Ia menuduhnya sebagai kekafiran yang merupakan sarana baru bagi masuknya unsur inovasi dan kepercayaan kuno.[22] Bahkan Paus menilai, “seandainya seseorang berusaha menghimpun semua kesalahan yang sengaja dicari-cari untuk menghujat keimanan, niscaya ia takkan bisa melakukannya lebih dari apa yang dilakukan kaum modernis.”[23]

Inti dari gerakan modernisme dalam agama Kristen adalah keharusan adanya penafsiram kembali terhadap pemahaman Kristen ortodoks sesuai dengan sains. Menurut Busthami, kunci dasar yang digunakan untuk menafsirkan kembali ajaran-ajaran Nasrani adalah aliran-aliran hulul (manunggal) yaitu manunggalnya Tuhan dengan manusia. Bertolak dari pemikiran kaum modernis ini meniscayakan penafsiran setiap doktrin dan hal yang ghaib yang dianggap bertentangan dengan perasaan, pengalaman, dan pengetahuan modern.

Dilanjutkan gerakan modernisme Protestan yang menggugat absolutisme Gereja dalam menafsirkan teks yang dimotori oleh Martin Luther. Dalam pergerakan selanjutnya sebagaimana yang dijelaskan Busthami, tokoh modernisme Protestan, August Spetch (1830-1901 M) mengkritik secara tajam apa yang dinamakan agama absolut dan perlunya pembaharuan agama. Ia menyatakan bahwa pembaharuan agama artinya bahwa pengetahuan agama harus mengikuti perubahan kehidupan dan pemikiran manusia.[24]

Pengalaman suram agama-agama di Barat tersebut ternyata melahirkan intelektual muslim liberal. Bahkan liberalisasi dalam dunia Islam kian bersemangat seiring hegemoni Barat atas dunia secara umum dalam berbagai bidang, khususnya teknologi, sains, dan militer. Seakan superioritas Barat dipaksakan dan mendudukan Islam sebagai inferior. Diantara intelektual muslim yang terpengaruh worldview Barat, sebagaimana yang dijelaskan Busthami M. Said, diataranya Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) yang mengatakan, “dalam lingkup kondisi baru dan perkembangan pengetahuan manusia tidak mungkin kita bersandar pada tafsir-tafsir klasik saja dalam memahami Al-Qur’an yang memuat berbagai khurafat. Tetapi kita harus berpijak pada teks Al-Qur’an itu sendiri yang merupakan firman Allah yang hakiki. Dan dengan pengetahuan dan pengalaman kita masing-masing, kita dapat menafsirkan Al-Qur’an secara modern.[25] Ia juga menuduh bahwa hadits tidak patut dijadikan hujjah, karena tidak dibukukan pada masa Nabi, tetapi pada abad kedua Hijrah, masa yang kacau, penuh dengan pergolakan politik dan berbagai perselisihan di bidang agama.[26] Ahmad Khan menolak Ijma’ sebagai salah satu hukum Islam, karena ia beranggapan bahwa kesepakatan tersebut timbul karena situasi atau kondisi tertentu. Maka dari itu ia mengumandangkan ijtihad dengan prinsip dan kaidah yang ia buat sendiri.[27] Diantara “ijtihad”-nya dalam masalah fiqih bahwa jihad tidak wajib dikarenakan penyerangan kaum kafir, kecuali karena ketika pemaksaan masuk agama lain. Waris dilakukan jika tidak wasiat, tetapi kalau ada wasiat berarti tidak ada waris. Ia menolak hukum rajam, karena hal itu adalah tradisi Arab dan taklid terhadap agama Yahudi, dan lain sebagainya.[28]

Kemudian dilanjutkan Muhammad ‘Abduh (1849-1905) yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan pengetahuan Barat Modern dengan titik tekan pembenarannya terhadap realita. Diantara pendapatnya, ia menghalalkan bunga bank, haramnya poligami, dan seterusnya.[29] Ada juga Qassim Amin (1863-1908 M) yang melarang perempuan muslimah memakai hijab dengan alasan bahwa hal tersenut merupakan sebab kemunduran bangsa Timur dan penanggalan hijab juga merupakan kemajuan Barat.[30] Kemudian Ali Abdul al-Razik dengan sekularismenya yang menyatakan bahwa agama tidak memberi batasan, tidak memerintah atau melarangnya, tetapi diserahkan pada kita untuk mengembalikannya pada rasio, pengalaman, dan politik.[31]

Tajdīd Versus Modernisme

Pembaharuan adalah keniscayaan zaman yang terus berlangsung dan memberi tantangan baru. Tetapi, pembaharuan di dalam Islam bukan berarti skeptik terhadap sesuatu yang qath’ī di dalam syari’at, tetapi justru meyakini kebenarannya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari sepanjang zaman. Hal ini pun tidak menunjukan kemandekan syari’at dalam menjawab tantangan zaman, tetapi sebaliknya, ketika ada perkembangan masalah baru, maka solusi baru pun muncul dari dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum yang digariskan dalam syari’at yang muhkamat dan qath’ī.

Kebenaran pembaharuan dalam Islam (tajdīd), adalah kebenaran yang didasarkan pada keyakinan hirarki sumber hukum Islam yang disepakati ‘ulama Islam, yakni Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Ijtihad (Qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dll). Jadi pada dasarnya, pijakan yang dipegang adalah wahyu objektif bukan logika subjektif dan spekulasi filosofis. Dari sini bisa dinyatakan bahwa Tajdid bukanlah modernisme. Dimana tajdid berkembang di dalam Islam dengan warnanya yang didasari dengan worldview Islam. Sedangkan modernisme berkembang di Barat dengan worldviewnya tersendiri.

Oleh karena itu, salah besar kiranya, jika tajdīd dilakukan di dalam Islam dengan mengacu kepada prinsip dan pengalaman Barat.[32] Islam dan Barat merupakan dua peradaban yang bertolak belakang. Islam dalam menilai sebuah kebenaran bersumberkan kepada wahyu Al-Qur’an, al-Sunnah, akal, pengalaman, dan intuisi, dengan pendekatan tawhidi. Berbeda dengan Barat yang bersumberkan kepada rasio dan spekulasi filosofis, dengan pendekatan dikotomis.[33]

Maka dengan perbedaan worldview Islam dan Barat, ijtihad-ijtihad yang dikemukakan para pemikir liberal muslim seperti Sayyid Ahmad Khan, muhammad Abduh, Qassim Amin, Ali Abdul al-Razik, dan lainnya, Busthami katakan, tidak lebih dari sekedar teori belaka tanpa kenyataan. Seluruhnya adalah korban-korban keterlenaan dan kebanggan terhadap Barat yang mempunyai kekuatan dan hegemoni terhadap peradaban yang lain. Dengan kata lain, mereka membaca Islam dengan kacamata Barat yang mempunyai worldview yang berbeda dengan Islam.

Penutup

Kesalahan dalam berpijak untuk melakukan pembaharuan akan menyebabkan perbedaan mencolok dalam kesimpulan. Realitas benturan peradaban Islam dan Barat merupakan aksioma yang tidak terbantahkan. Dimana Islam dengan patokan pembaharuan yang didasarkan pada wahyu Al-Qur’an dan al-Sunnah, akal, pengalaman dan intuisi dengan pendekatan tawhidi, berbeda dengan Barat yang mendasarkannya pada rasio dan spekulasi filosofis dengan pendekatan dikotomis. Islam mengajarkan keyakinan dari wala dan berakhir dengan keyakinan, sebaliknya Barat mengawalinya dari keraguan dan berakhir dengan keraguan pula.

Maka terlihat jelas perbedaan kerja ilmiah Islam dan Barat dalam menjawab tantangan Barat. Dimana di dalam Islam ada konsep tajdid, di Barat ada modernisme. Islam akan berjalan pada satu rel yang jelas, sebaliknya Barat berada pada rel yang lain. Oleh karena itu, tidak akan ada kompromi antara Islam dan Barat. Yang terjadi hanyalah benturan kedua peradaban tersebut (The Clash of Civilization). Yang pada akhirnya, kenyataan yang terjadi apakah Islamisasi atau Westernisasi? Superioritas Islam dan inferioritas barat atau sebaliknya? Wallāhu a’lam.



[1] Luthfi as-Syaukanie, “Pentingnya Pembaruan Islam”, dalam http://islamlib.com/id/artikel/pentingnya-pembaruan-islam/ pada terbitan 26/02/2006

[2] Umdah el-Baroroh,” Pembaruan Jalur Lambat al-Qardlawi dan az-Zuhaily”, dalam http://islamlib.com/id/artikel/pembaharuan-jalur-lambat-al-qardlawy-dan-az-zuhaily/ pada terbitan 12/09/2007

[3] John L. Esposito, Islam: The Straight Path. Terjemah Arif Maftuhin, Islam Warna Warni; Jalan Ekspresi Menuju Jalan Lurus, Paramadina: Jakarta, 2004, 283-287

[4] Lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Isla; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, CIOS -ISID-Gontor, 2008

[5] Jamaluddin Muhammad ibn Mukram ibn Mandzūr al-Afrīqī, Lisān al-‘Arab, jilid 3, Beirut: Dār al-Shadr, 1994, hal. 113

[6] وَقَالُواْ أَئِذَا كُنَّا عِظَاماً وَرُفَاتاً أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقاً جَدِيداً (Qs. Al-Isrā’: 98)

[7] إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها (HR. Abu Dāud, Sunan Abi Dāud, Thabrānī, al-Mu’jam al-Ausath, Al-Hākim, al-Mustadrak, al-Baihaqi, al-Ma’rifah. Semuanya dari Abu Hurairah. Hadits ini juga dishahihkan oleh Al-Hākim, al-Baihaqi, Ibn Hajar, Nashiruddin al-Albani)

[8] Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, Pembaharu dan Pembaharuan Dalam Islam, Gontor: Pusat Studi Ilmu dan Amal, 1992, hal. 8, 13

[9] Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 3

[10]Pengertian ini merupakan kutipan Busthami dari pengertian yang dilontarkan Sahl al-Sha’luki (w. 387 H). Lihat Busthami Muhammad Said, Mafhum Tajdid Al-Din, , terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 13

[11] Ibid, hal. 18

[12] Muhammad al-Thahir Ibnu ‘Asyur, Tahqiqat wa Anzhar fi al-Qur’an wa al-Sunnah, al-Syarikah al-Tunisiyah, Tunisia, t.th., hal. 112-113

[13] حدثنا حفص بن عمر بن شعبة عن أبي عون عن الحارث بن عمرو بن أخي المغيرة بن شعبة عن أناس من أهل حمص من أصحاب معاذ بن جبل: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما أراد أن يبعث معاذا إلى اليمن قال: كيف تقضي إذا عرض لك قضاء؟ قال: أقضي بكتاب الله. قال: فإن لم تجد في كتاب الله؟ قال: فبسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم. قال: فإن لم تجد في سنة رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا في كتاب الله؟ قال: أجتهد برأيي ولا آلو. فضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم صدره. فقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول الله. (HR.Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2, hal. 168)g

[14] Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal; Dialog Interaktif dengan Aktifis Jaringan Islam Liberal, Jakarta: Gema Insani, 2003, hal. 4

[15] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 6

[16] Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan Barat modern dan postmodern, lihat Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, hal. 4-19

[17] Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 94

[18] Ibid, hal. 95

[19] Ibid, hal. 96

[20] Ibid, hal. 97

[21] Ibid, HAL. 98

[22] The Catholic Encyclopaedia, hal. 394 dalam Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 105

[23]Busthami M. Sa’id, Mafhūm Tajdīd al-Dīn, terjemah Mahsun al-Mundzir, hal. 105

[24] Ibid, hal. 114

[25] Ibid, hal. 123

[26] Ibid, hal. 125

[27] Ibid, hal. 127

[28] Ibid, hal. 131-132

[29] Ibid, hal. 146

[30] Ibid, hal. 149

[31] Ibid, hal. 152.

[32] Di Barat yang awalnya didominasi oleh agama, yakni agama Kristen, akhirnya harus mengakui kemenangan akal dan sains dan menundukan agama dibawah keduanya, karena pada dasarnya di dalam Kristen ataupun Yahudi tidak ditemukan atau diragukan bahwa kedua agama tersebut memiliki pijakan dasar hukum. Yang ada hanyalah anggapan bahwa pijakan itu ada, apadahal tidak ada. Karena hakikatnya, Kitab suci mereka telah mengalami banyak perubahan oleh tangan-tangan manusia yang mengakui punya otoritas dalam agamanya tersebut. Lihat Abbad Husni Muhammad, Al-Fiqh al-Islamy; Āfāquhu wa Tathawwuruhu, Mathba’ah al-Rabithah, Makkah al-Mukarramah, Cetakan kedua, 1414, hal. 91

[33] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS-ISID-Gontor, 2008, hal. 20

POLITIK ISLAM DALAM KACAMATA HASAN AL-BANNA

Daden Robi Rahman

Pendahuluan

Islam sebagai agama universal memiliki kandungan ajaran dan konsep yang integral. Berbagai aspek kehidupan dibahas dan diaturnya. Ia laksana cahaya yang menyinari seluruh lapisan dan bidang kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lainnya. Islam sebagai way of life merupakan peradaban yang tidak mendikotomikan dunia dan akhirat, jasad dan ruh, wadah dan isi, materi dan nilai.

Dalam bidang politik misalnya, Islam mendudukannya sebagai sarana penjagaan urusan umat (ri’āyah syu-ūn al-ummah). Islam dan politik tidak bisa dipisahkan, karena Islam tanpa politik akan melahirkan terbelenggunya kaum muslimin yang tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan melaksanakan syari’at Islam. Begitu pula politik tanpa Islam, hanya akan melahirkan masyarakat yang mengagungkan kekuasaan, jabatan, materi, dan duniawi saja, kosong dari aspek moral dan spiritual. Oleh karena itu kedudukan politik dalam Islam sangat urgent, mengingat kemerdekaan dan kebebasan melaksanakan syari’at Islam dapat diwadahi oleh politik.

Islam dan politik integratif terwujud pada beberapa pemikir dan politisi muslim seperti Al-Mawardi (w.1058 M), Ibn Taimiyyah (w.1328 M) Ibn Khaldun (w.1406 M), Ibn Abd al-Wahhab (w.1793 M), Jamaluddin al-Afghani (w.1897 M), dan Muhammad Abduh (w.1905 M) sebagai contoh adalah beberapa nama pemikir muslim yang menjadi rujukan dalam pemikiran politik. Namun selain beberapa nama itu, tokoh pergerakan Islam dari tanah Mesir, Hasan al-Banna memiliki pemikiran yang menarik dalam bidang politik.

Bahkan beberapa kalangan tokoh muslim seperti Thanthawi Jauhari memandang al-Banna sebagai pemikir, politisi, dan pejuang besar di masanya dan setelahnya. Sebagaimana dikutip Muhammad Abdul Qadir Abu Faris dalam bukunya, Fikih Politik Menurut Imam Hasan al-Banna, Thanthawi Jauhari berkata: “Dalam pandangan saya, Hasan Al-Banna lebih besar dari Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau memiliki temperamen yang menakjubkan yang berupa takwa dan kecerdikan politis, Beliau berhati Ali dan berotak Mu’awiyah. Saya melihat padanya sifat-sifat seorang pemimpin yang mana dunia Islam sedang kehilangan tokoh seperti itu.”

Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan dibahas mengenai pemikiran politik Hasan al-Banna. Bagaimana ia menuangkan ide dan gagasannya, sehingga bisa mewujudkan organisasi Islam yang berpolitik dengan semangat pembaruan pada zamannya dan menjadi cermin dan rujukan pada masa setelahnya.

Mengenal Hasan al-Banna

Hasan al-Banna lahir di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir pada hari Ahad, tanggal 14 Oktober 1906 yang bertepatan dengan 25 Sya’bān 1324. Nama lengkap beliau, Hasan ibn Ahmad ibn ‘Abdurrahman al-Banna. Ia berasal dari keluarga pedesaan kelas menengah.

Al-Banna merupakan pribadi berkharisma yang dikenal cerdas, shaleh, mulia, dan berpengaruh dalam bentangan sejarah, baik di dataran Arab khususnya, dunia Islam umumnya, termasuk dunia Barat.[1] Ia pejuang yang memperjuangkan Islam sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah sampai titik darah penghabisan. Banyak kalangan menilai bahwa beliau dibunuh oleh penembak misterius yang diyakini sebagai penembak “titipan” pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo Mesir. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang luwes dalam berdakwah. Wilayah dakwah beliau bukan hanya di kalangan intelektual, tetapi di kalangan masyarakat yang berpengetahuan rendah sekalipun. Ia sering berdakwah di warung-warung kopi sambil berkumpul dengan masyarakat selepas lelah bekerja seharian. Dimana dengan metode dan cara beliau seperti itulah, efektifitas dakwah berjalan. [2]

Ayahnya bernama Ahmad, putra bungsu kakeknya yang bernama Abdur Rahman, seorang petani. Ahmad dibesarkan dalam suasana yang jauh dari pertanian. Untuk memenuhi keinginan ibunya, ia masuk ke Pesantren Tahfidzul Qur’an di kampungnya kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Ibrahim Pasha di Iskandariyah. Di tengah masa studi, Ahmad juga bekerja di toko reparasi jam hingga menguasai yang terkait dengan jam. Dari profesi inilah kemudian ayahnya dikenal dengan as-Sā’ati (tukang reparasi jam). Selain itu, Ahmad juga menulis sebuah kitab berjudul al-Fath al-Rabbānī fī Tartīb Musnad al-Imām Ahmad bin Hanbal al-Syaibānī.

Sedangkan ibunda dari Hasan al-Banna bernama Ummu Sa’d Ibrahim Saqr. Ibundanya adalah tipologi wanita yang cerdas, disiplin, cerdik dan kokoh pendirian. Apabila telah memutuskan sesuatu sulit bagi Ummu Sa’d untuk menarik mundur keputusannya. Ini senada dengan sebuah pepatah yang berbunyi, “Jika layar terkembang pantang biduk surut ke pantai.” Perhatiannya pada pendidikan membuatnya juga bertekad untuk menyekolahkan Hasan al-Banna hingga ke pendidikan tinggi. Ummu Sa’ad memiliki delapan delapan orang anak, yang masing-masing adalah: Hasan al-Banna, Abdurrahman, Fatimah, Muhammad, Abdul Basith, Zainab, Ahmad Jamaluddin, dan Fauziyah.

Hasan al-Banna menyelesaikan pendidikan dasarnya di Mahmudiyah. Di tahun ketujuh dalam usianya, lelaki yang selalu meraih rangking pertama dalam semua jenjang sekolahnya ini, menyelesaikan hafalan separuh al-Qur’an, kemudian menyempurnakan hafalannya di sekolah diniyah al-Rasyad. Setelah itu, melanjutkan ke sekolah Mu’allimin Awwaliyah di Damanhur, dan menamatkan pendidikan tingginya di Darul Ulum (1923-1927).

Lelaki yang aktif dalam organisasi sosial dan keagamaan ini mempunyai perpustakaan besar. Di dalam perpustakaan ini berisi ribuan kitab dalam berbagai disiplin ilmu dan empat belas majalah berkala yang terbit di Mesir. Al-Muqtathaf, al-Fath, dan al-Manar, adalah beberapa majalah yang ada di perpustakaan tersebut. Hingga sekarang, perpustakaan ini masih tetap berdiri, dan dikelola oleh putranya bernama Saiful Islam.

Pada 1927, setelah menamatkan pendidikan tinggi di Dār al-‘Ulūm, al-Banna menjadi guru Sekolah Dasar di Ismailiyah selama sembilan belas tahun. Di tahun 1946, ia berpindah ke Kairo, kemudian mengundurkan diri dari jabatan sebagai guru negeri. Setelah itu, al-Banna berkonsentrasi pada surat kabar harian al-Ikhwan al-Muslimun.

Jama’ah Ikhwanul Muslimin (selanjutnya disebut Ikhwan) adalah gerakan besar yang didirikan oleh al-Banna. Gerakan ini dibentuk pada bulan Dzulqa’dah 1347 H/1928 di kota Ismailiyah. Gerakan ini tumbuh dengan pesat dan tersebar di berbagai kelompok masyarakat. Sebelum mendirikan Ikhwan, al-Banna juga ikut mendirikan sebuah jamaah sufi bernama Thariqah Hashafiyah dan Jamaah Syubban al-Muslimin. Metode gerakan yang diserukan oleh Ikhwan adalah bertumpu pada tarbiyah (pendidikan) secara bertahap. Tahapan tersebut adalah dengan membentuk pribadi muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim, pemerintah muslim, Negara Islam, Khalifah Islam dan akhirnya menjadi Ustadziyatul ‘Alam (kepeloporan dunia).

Pribadi Hasan al-Banna menarik banyak kalangan. Abul Hasan Ali an-Nadwi, memberikan kesaksian tentang al-Banna: “Pribadi itu telah mengejutkan Mesir, dunia Arab dan dunia Islam dengan gegap gempita dakwah, kaderisasi, serta jihad dengan kekuatannya yang ajaib. Dalam pribadi itu, Allah Swt, telah memadukan antara potensi dan bakat yang sepintas tampak saling bertentangan di mata para psikolog, sejarawan, dan pengamat sosial. Di dalamnya terdapat pemikiran yang brilian, daya nalar yang terang menyala, perasaan yang bergelora, hati yang penuh limpahan berkah, jiwa yang dinamis nan cemerlang, dan lidah yang tajam lagi berkesan. Di situ ada kezuhudan dan kesahajaan, kesungguhan dan ketinggian cita dalam menyebarkan pemikiran dan dakwah, jiwa dinamis yang sarat dengan cita-cita, dan semangat yang senantiasa membara. Di situ juga ada pandangan yang jauh ke depan…”[3]

Pemikiran Politik Hasan al-Banna

Mesir sebagai background perjuangan Hasan al-Banna merupakan wilayah yang syarat dengan tantangan dakwah Islam waktu itu. Dengan sarana perjuangan yang diwadahi Ikhwanul Muslimin –yang notabene organisasi yang didirikannya-, sangat konsen perhatiannya dalam pergerakan politik. Dimana salah satu sisi Tarbiyyah Ikhwanul muslimin yang penting adalah bidang politik. Politik disini, sebagaimana dijelaskan Yusuf al-Qaradhawi, merupakan bidang yang berhubungan dengan urusan hukum, sistem negara, hubungan pemerintah dan rakyat, hubungan antara satu negara dengan yang lainnya dari negara-negara Islam ataupun non Islam, hubungan negara dengan kolonial penjajah, dan hubungan-hubungan yang lainnya dari ketentuan-ketentuan yang sekian banyaknya.[4]

Sebelum adanya dakwah Hasan al-Banna dan berdiri madrasahnya, bidang politik sangat kurang diperhatikan oleh organisasi-organisasi Islam waktu itu. Maka yang terjadi, konsep politik bertolak belakang dengan konsep agama, sebagaimana hitam dan putih. Dengan demikian, pada waktu itu, orang bisa diklasifikasi kepada dua macam, (1) seorang agamawan dan (2) seorang politisi. Begitupun dengan organisasi, ada (1) organisasi keagamaan dan (2) organisasi politik. Seorang agamawan tidak boleh sibuk dengan politik, sebagaimana politisi tidak boleh sibuk dengan agama. Begitu juga yang terjadi pada organisasi.[5]

Hasan al-Banna menembus pemahaman adanya dikotomi agama dan politik tersebut untuk meniadakannya. Ia menganggap bahwa hal tersebut merupakan pemahaman yang didasari kebodohan dan hawa nafsu yang dilestarikan oleh kolonial peradaban. Maka menjadi keniscayaan dalam memerangi dan meniadakan pemikiran berbahaya tersebut dengan pemikiran yang benar, yakni kesempurnaan Islam untuk setiap bidang kehidupan, termasuk politik, sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an, hadits, petunjuk Rasul SAW., sejarah para sahabat, dan amalan umat sepanjang lebih dari 14 abad.

Hasan al-Banna mempertegas, “jika kalian ditanya, kepada apa kalian akan menyeru? Maka jawablah: Kami akan menyeru kepada Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW., dan pemerintahan merupakan bagian dari Islam, dan kemerdekaan adalah suatu keniscayaan dari keniscayaan-keniscayaannya.” Selanjutnya ia menjelaskan, “jika dikatakan kepada kalian: Ini adalah politik. Maka jawablah: Ini adalah Islam. Kami tidak mengenal pembagian-pembagian ini!.”[6]

Pendidikan politik di Madrasah Hasan al-Banna berdiri diatas sejumlah motivasi, diantaranya:

1. Memperkuat kesadaran dan rasa terhadap kewajiban pembebasan tanah Islam dari seluruh kekuasaan asing dan kerakusan kolonial penjajah dari negeri-negeri Islam dengan setiap perantara yang disyari’atkan.[7] Hal ini didasarkan ayat yang menyatakan, “Dan kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya, dan bagi orang-orang yang beriman.”[8] Juga berlandaskan firman Allah, “Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman.”[9]

2. Membangun kesadaran dan rasa kewajiban mendirikan hukum Islam dan keniscayaan-keniscayaannya yang merupakan kewajiban syar’i, dan keniscayaan negeri dan kemanusiaan.[10] Kewajiban ini telah Allah wajibkan kepada para hakim (penguasa) dan rakyatnya supaya kembali kepada hukum-Nya dan hukum Rasul-Nya dalam setiap urusan-urusan mereka. Mengenai kewajiban para hakim (penguasa) Allah berfirman,

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.”[11]

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim.”[12]

“Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”[13]

Sedangkan kewajiban rakyat, Allah jelaskan dalam firman-Nya,

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[14]

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”[15]

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”[16]

Hasan al-Banna dalam karyanya, Ilā al-Syabāb, sebagaimana dikutip Yusuf al-Qaradhawi, mengatakan,

“Kami menginginkan pemerintahan muslim yang menuntun masyarakat ke masjid dan menuntun orang-orang kepada petunjuk Islam setelahnya, sebagaimana pemerintahan Islam telah menuntun para sahabat Rasul SAW, Abu Bakar dan Umar sebelumnya. Oleh karena itu, kami tidak mengetahui sistem hukum mana yang tidak disandarkan atas dasar Islam dan dari Islam. Kami tidak mengetahui partai-partai politik ini dan dengan kesulitan-kesulitan taqlid ini yang dipaksakan kepada kami oleh ahli kufur dan musuh-musuh Islam untuk berhukum dan mengamalkannya.. Dan kami akan mengaplikasikan untuk menghidupkan sistem hukum Islam dengan berbagai aspeknya dan membentuk pemerintahan Islam yang berdasar sistem ini.”[17]

Lebih tegas lagi al-Banna menjelaskan, khususnya ketika ia ditanya mengenai posisi Ikhwanul Muslimin dari hukum, ia menjawab, sebagaimana tertuang dalam karyanya, Risālah al-Mu’tamir al-Khāmis,

Segolongan lain dari masyarakat bertanya: Apakah dalam manhaj al-Ikhwan al-Muslimin akan membentuk pemerintahan dan menuntut pelaksanaan hukum? Apa wasilah mereka untuk hal tersebut? Aku tidak mengajak mereka yang bertanya dalam kebingungan dan kami tidak kikir untuk menjawab pertanyaan mereka. Al-Ikhwan al-Muslimun berjalan pada setiap langkah, harapan, dan amal mereka diatas petunjuk Islam yang lurus sebagaimana mereka pahami dan jelaskan dari pemahaman mereka ini dalam awal kalimat ini –‘Dan Islam ini yang diimani al-Ikhwan al-Muslimun menjadikan pemerintahan sebagai satu rukun dari rukun-rukunnya dan berpegang teguh untuk mengamalkan sebagaimana berpegang teguh atas petunjuk. Dahulu khalifah ketiga radhiyallahu ‘anhu (‘Utsman ibn ‘Affan) berkata: “Sesungguhnya Allah pasti akan menahan dengan kekuasaan apa yang tidak bisa ditahan dengan al-Qur’an.” Dan sesungguhnya Nabi SAW. telah menjadikan hukum sebagai satu lembar dari lembaran-lembaran Islam. Sedangkan hukum terbilang dalam kitab-kitab fikih kami dari persoalan akidah dan ushul, bukan persoalan fikih dan cabang. Maka Islam adalah hukum dan aplikasi (amal), sebagaimana ia merupakan tasyrī’ (undang-undang) dan ta’līm (pengajaran), qānūn (hukum) dan ketentuan. Tidak ada seorang pun yang mengingkari hal itu.”[18]

3. Membangun kesadaran dan rasa kewajiban persatuan Islam dan keniscayaan-keniscayaannya. Persatuan Islam adalah kewajiban agama dan keniscayaan dunia.[19] Kewajiban persatuan Islam adalah niscaya karena Allah menjadikan kaum muslimin sebagai “umat yang satu (ummah wāhidah), sebagaimana firman-Nya, “Dan sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhan kalian, maka bertaqwalah kepada-Ku.”[20] Islam mewajibkan kepada kaum muslimin supaya mereka mempunyai satu imam, meskipun negeri-negeri mereka tersebar. Dimana imam merupakan pemimpin negara dan simbol persatuan mereka, sehingga Rasul SAW. mengatakan, “Barang siapa yang mati dan di pundaknya tidak ada bai’at kepada imam, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah.”[21]

Dalam pemikiran politiknya, setidaknya ada empat hal yang menjadi perhatian beliau dalam mengawal gerak perjuangannya. Keempat point pemikirannya menjadi sisi penting untuk memahami bagaimana ia menggerakan Ikhwanul Muslimin hingga menjadi organisasi Islam yang menjadi panutan dan rujukan pergerakan ormas Islam lain di beberapa penjuru dunia. Pertama, mengenai konsep Arabisme (‘Urubah). Kedua, konsep patriotisme (Wathaniyyah). Ketiga, konsep nasionalisme (Qaumiyyah). Keempat, konsep internasionalisme (Ālamiyyah).

1. Arabisme

Arabisme memiliki tempat tersendiri dan peran yang berarti dalam dakwah Hasan al-Banna. Bangsa Arab adalah bangsa yang pertama kali menerima kedatangan Islam. Dia juga merupakan bahwa yang terpilih. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, “Jika bangsa Arab hina, maka hina pulalah Islam.” Arabisme menurut al-Banna adalah kesatuan bahasa. Ia berkata dalam Muktamar Kelima Ikhwan,“…Bahwa Ikhwanul Muslimin memaknai kata al-‘Urubah (Arabisme) sebagaimana yang diperkenalkan Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Katsir dari Mu’adz bin Jabal ra, Ingatlah, sesungguhnya Arab itu bahasa. Ingatlah, bahwa Arab itu bahasa.”

Dalam riwayat lain lebih dijelaskan mengenai Arabisme yang dimaksud Al-Banna, sebagaimana riwayat yang diterima dari Malik, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Tuhan itu satu, bapak itu satu, dan agama itu satu. Bukanlah Arab di kalangan kamu itu sebagai bapak atau ibu. Sesungguhnya, Arab itu adalah lisan (bahasa), maka barangsiapa yang berbicara dengan bahasa Arab, dia adalah orang Arab.”[22]

Dalam hadits ini, tulis Hasan al-Banna, kita mengetahui bahwa bangsa-bangsa Arab yang membentang dari Teluk Persi sampai Maroko dan Mauritania di Lautan Atlantik, semuanya adalah bangsa Arab. Mereka dihimpun oleh akidah serta dipersatukan oleh bahasa dan teritorial yang satu. Tidak ada yang memisahkan dan membatasinya. Menurut al-Banna, ketika kita beramal untuk Arab, berarti kita juga beramal untuk Islam dan untuk kebaikan dunia seisinya.[23]

Menurut al-Banna, Arab adalah umat Islam yang pertama, yang merupakan bangsa pilihan. Islam, menurutnya, tidak pernah bangkit tanpa bersatunya bangsa Arab. Batas-batas geografis dan pemetaan politis tidak pernah mengoyak makna kesatuan Arab dan Islam. Islam juga tumbuh pertama kali di tanah Arab, kemudian berkembang ke berbagai bangsa melalui orang-orang Arab. Kitabnya datang dengan bahasa Arab yang jelas, dan berbagai bangsa pun bersatu dengan namanya.

Selaras dengan penjelasan tersebut, Abdul Hamid al-Ghazali, dalam bukunya Meretas Jalan Kebangkitan Islam, mengatakan bahwa dapat disimpulkan beberapa unsur dari pemikiran al-Banna bahwa berbangga dengan Arabisme tidak termasuk fanatisme dan tidak berarti merendahkan pihak lain.[24] Arabisme dengan tujuan untuk membangkitkan Islam demi tersebarnya Islam adalah dibolehkan.

2. Patriotisme

Dalam memaknai Wathaniyah (patriotisme), ada tiga arti yang dikemukakan oleh Hasan al-Banna, yaitu: Pertama, Patriotisme Kerinduan (Cinta Tanah Air). Al-Banna berkata: “Jika yang dimaksud dengan patriotisme oleh para penyerunya adalah cinta negeri ini, keterikatan padanya, kerinduan padanya, dan ikatan emosional dengannya, maka hal itu sudah tertanam secara alami dalam fitrah manusia di satu sisi, dan dianjurkan Islam di sisi lainnya.” Kedua, Patriotisme Kemerdekaan dan Kehormatan (Kemerdekaan Negeri). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah keharusan berjuang untuk membebaskan tanah air dari cengkeraman perampok imperialis, menyempurnakan kemerdekaannya, dan menanamkan kehormatan diri dan kebebasan dalam jiwa putra-putra bangsa, maka kami sepakat dengan mereka tentang itu.” Ketiga, Patriotisme Kebangsaan (Kesatuan Bangsa). Al-Banna berkata: “Jika yang mereka maksudkan dengan patriotisme adalah mempererat ikatan antara anggota masyarakat suatu Negara dan membimbingnya ke arah memberdayakan ikatan itu untuk kepentingan bersama, maka kami pun sepakat dengan mereka.”

Patriotisme juga memiliki prinsip di mata Hasan al-Banna. Ia mengatakan: “Suatu kekeliruan bagi orang-orang yang menyangka bahwa Ikhwanul Muslimin berputus asa terhadap kondisi negeri dan tanah airnya. Sesungguhnya kaum Muslimin adalah orang-orang yang paling ikhlas berkorban bagi negara, habis-habisan berkhidmat untuknya, dan menghormati siapa saja yang mau berjuang dengan ikhlas dalam membelanya. Dan anda tahu sampai batas mana mereka menegakkan prinsip patriotisme mereka, serta kemuliaan macam apa yang mereka inginkan bagi umatnya. Hanya saja, perbedaan prinsip antara kaum muslimin dengan kaum yang lainnya dari para penyeru patriotisme murni adalah bahwa asas patriotisme Islam adalah akidah Islamiyah…Adapun tentang patriotisme Ikhwanul Muslimin, cukuplah bahwa mereka menyakini dengan kukuh bahwa sikap acuh terhadap sejengkal tanah yang ditinggali seorang muslim yang terampas merupakan tindakan kriminal yang tidak terampuni, hingga dapat mengembalikannya atau hancur dalam mempertahankannya. Tidak ada keselamatan bagi mereka dari siksa Allah kecuali dengan itu.”

Al-Banna juga mengkiritik pandangan tentang patriotisme yang hanya berpikir untuk membebaskan regionalnya saja. Seperti dalam kasus masyarakat Barat yang lebih cenderung pada pembangunan unsur fisik dalam tatanan kehidupannya, ini tidak dikehendaki oleh Islam. Adapun kami, kata beliau, “kami percaya bahwa di pundak setiap muslim terpikul amanah besar untuk mengorbankan seluruh jiwa, darah, dan hartanya demi membimbing umat manusia menuju cahaya Islam.” Dari sini, kita mendapatkan gambaran bahwa tujuan hidup seorang muslim tidaklah hanya dibatasi oleh region-region tertentu, akan tetapi dalam skala yang lebih luas adalah untuk seluruh umat manusia.

3. Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia.[25]

Menurut Hasan al-Banna ada tiga unsur nasionalisme, yaitu: nasionalisme kejayaan, nasionalisme umat, dan berkata tidak pada nasionalisme jahiliyah. Tentang nasionalisme kejayaan, Al-Banna mendukung nasionalisme yang berarti bahwa generasi penerus harus mengikuti jejak para pendahulunya dalam mencapai kejayaannya. Ini adalah maksud yang baik, menurutnya dan mendukung. Hal ini sejal dengan sabda Rasululllah Saw yang berbunyi, “Manusia seperti tambang. Yang terbaik di antara mereka di masa jahiliahnya adalah juga yang terbaik di masa Islam, jika mereka memahami.”

Menurutnya, jika yang dimaksud dengan nasionalisme adalah anggapan bahwa suatu kelompok etnis atau sebuah komunitas masyarakat adalah pihak yang paling berhak memperoleh kebaikan-kebaikan yang merupakan hasil perjuangannya, maka ia benar adanya. Jika yang mereka maksudkan dengan nasionalisme adalah bahwa setiap kita dituntut untuk bekerja dan berjuang, bahwa setiap kelompok harus mewujudkan tujuannya hingga kita bertemu—dengan izin Allah—di medan kemenangan, maka inilah pengelompokan terbaik. Semua makna nasionalisme ini adalah indah dan mengagumkan, tidak diingkari oleh Islam. Itulah tolak ukur terbaik menurut al-Banna.

Nasionalisme Islam bersumber dari hadits Nabi: “Orang muslim itu saudara muslim yang lain.” Sedangkan sabdanya yang lain mengatakan: ”Orang-orang muslim itu satu darah, orang-orang yang berada di atas bekerja untuk menyantuni yang lain, dan mereka bersatu untuk melawan musuhnya.”[26] Ini berarti bahwa nasionalisme Islam tidak terbatas pada negara saja. Islam datang untuk menghapus budaya jahiliyah. Nasionalisme yang jahiliyah haruslah ditinggalkan oleh umat Islam. Ia berkata bahwa jika yang dimaksudkan dengan nasionalisme adalah menghidupkan tradisi jahiliyah yang sudah lapuk, menegakkan kembali peradaban yang telah terkubur dan digantikan oleh peradaban baru yang telah eksis dan bermanfaat, atau melepaskan dirinya dari ikatan Islam dengan klaim demi nasionalisme dan harga diri kebangsaan, maka pengertian nasionalisme seperti ini adalah buruk, hina akibatnya, dan jelek kesudahannya.

4. Internasionalisme

Kesempurnaan Islam merupakan bukti keparipurnaan ajaran yang dibawa nabi Muhammad SAW. Hal ini didsarkan kepada firman Allah yang menyatakan, “”Dan tidaklah kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”[27] Dengan kata lain, nabi Muhammad SAW. tidak hanya diutus kepada bangsa Arab, tetapi ke seluruh bangsa-bangsa yang ada di dunia. Hal ini menunjukan keuniversalan dan internasionalisme Islam yang tidak mengenal perbedaan suku, bangsa, dan sekat geografi.

Internasionalisme menurut Hasan al-Banna inheren dalam Islam, oleh karena Islam adalah agama yang diperuntukkan untuk seluruh umat manusia. “Adapun dakwah kita disebut internasional, karena ia ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada dasarnya bersaudara; asal mereka satu, bapak mereka satu, dan nasab mereka pun satu. Tidak ada keutamaan selain karena takwa dan karena amal yang dipersembahkannya, meliputi kebaikan dan keutamaan yang dapat dirasakan semuanya,” demikian tulisnya.

Konsep internasionalisme merupakan lingkaran terakhir dari proyek politik al-Banna dalam program ishlāhul ummah (perbaikan umat). Dunia, tidak bisa tidak, bergerak mengarah ke sana. Persatuan antar bangsa, perhimpunan antar suku dan ras, bersatunya sesama pihak yang lemah untuk memperoleh kekuatan, dan bergabungnya mereka yang terpisah untuk mendapatkan hangatnya persatuan, semua itu merupakan pengantar menuju terwujudnya kepemimpinan prinsip internasionalisme untuk menggantikan pemikiran rasialisme dan kesukuan yang diyakini umat manusia sebelum ini. Dahulu memang harus meyakini ini untuk menghimpun unsur-unsur dasar, lalu harus dilepaskan kemudian untuk menggabungkan berbagai kelompok besar, setelah itu terwujudlah kesatuan total di akhirnya. Langkah ini, menurutnya memang lambat, namun itu harus terjadi.

Untuk mewujudkan konsep ini juga Islam telah menyodorkan sebuah penyelesaian yang jelas bagi masyarakat untuk keluar dari lingkaran masalah seperti ini. Langkah pertama kali yang dilakukan adalah dengan mengajak kepada kesatuan akidah, kemudian mewujudkan kesatuan amal. Hal ini sejalan dengan firman Allah SAW., “Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Nabi Ibrahim, Musa dan Isa yaitu ‘Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”[28]

Hasan al-Banna berharap pada negerinya yaitu Mesir yang mendukung upaya dakwah Islamiyah, menyatukan seluruh bangsa Arab untuk kemudian melindungi seluruh kaum muslimin di penjuru bumi.[29]

Penutup

Pemikiran politik Hasan al-Banna merupakan salah satu referensi yang efektif dalam membangun kekuatan umat Islam menuju khilafah ‘alammiyyah (kepemimpinan dunia). Dimana dengan wujudnya persatuan Islam dibawah satu kepemimpinan akan mengembalikan kejayaan Islam dan muslimin (izzatul Islam wa al-muslimin).

Empat hal pokok dalam pemikiran al-Banna yang menjadi landasan politiknya. Pertama, Arabisme menurut Hasan al-Banna adalah karena faktor kesatuan bahasa. Tanpa Arab tidak ada Islam. Islam turun di dunia Arab, olehnya itu maka kaum muslimin perlu menjaga nama baik Arab. Kedua, Patriotisme dalam Islam dibolehkan selama tidak mengarah pada kesempitan pandangan jahiliyah. Kerinduan pada tanah air adalah sesuatu yang fitrawi, namun tetap dikendalikan oleh konsepsi Islam. Ketiga, Nasionalisme terbagi tiga yaitu nasionalisme kejayaan, nasionalisme umat, dan berkata tidak pada nasionalisme jahiliyah. Keempat, Internasionalisme adalah konsep Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil’alamin).



[1] Lihat Khozin Abu Faqih, Bersama 6 Mursyid ‘Am: Mengenal Perintis Kebangkitan Islam Abad 15 H, (Solo: Auliya Press, 2006), hal. 17

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Hasan_al-Banna

[3] Hasan al-Banna, Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin I, cet. 15, (Solo: Era Intermedia, 2008), hal 21

[4] Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah wa Madrasah Hasan al-Bannā, (Kairo: Maktabah Wahbiyyah, 1992), hal. 51-52

[5] Ibid, hal. 52

[6] Ibid, hal. 53

[7] Ibid

[8] QS. Al-Munāfiqūn [63]: 8

[9] QS. Al-Nisā [4]: 141

[10] Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah, hal. 57

[11] QS. Al-Ma’idah [5]: 44

[12] QS. Al-Ma’idah [5]: 45

[13] QS. Al-Ma’idah [5]: 47

[14] QS. Al-Nisā [4]: 65

[15] QS. Al-Ahzāb [33]: 36

[16] QS. Al-Nūr [24]: 51

[17] Yusuf al-Qaradhawi, al-Tarbiyyah al-Islāmiyyah, hal. 59

[18] Ibid

[19] Ibid, hal. 63

[20] QS. Al-Mu’minūn [23]: 52

[21] HR. Muslim

[22] HR. Ibn ‘Asākir

[23] Hasan al-Banna, Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, cet. 15, (Solo: Era Intermedia, 2008), hal. 167-168

[24] ‘Abdul Hamid al-Ghazali, Haula Asāsiyyah al-Masyrū’ al-Islāmī li Nahdhah al-Ummah, terj. Wahid Ahmadi dan Jasiman, (Solo: Era Intermedia), hal. 195

[25] http://id.wikipedia.org/wiki/Nasionalisme

[26] ‘Ali ‘Abdul Hamil Mahmud, Wasā’il al-Tarbiyyah ‘ind Ikhwānul Muslimin Dirāsah Tahlīliyyah Tārikhiyyah, terj. Wahid Ahamadi dkk, “Perangkat-Perangkat Tarbiyyah Ikhwnul Muslimin”, cet. 5, (Solo: Era Intermedia, 2000), hal. 44

[27] QS. Al-Anbiyā [21]: 107

[28] QS. Al-Syūrā [42]: 13

[29] Hasan al-Banna, Majmū’ah al-Rasā’il al-Imām al-Syahīd Hasan al-Banna, terj. Anis Matta dkk, “Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, cet. 15, (Solo: Era Intermedia, 2008), hal. 170