بسم الله الرحمن الرحيم

Minggu, 28 Desember 2008

POLIGAMI, Boleh Gak..?

Teringat kejadian 2006, ketika Aa Gim poligami. Kejadian itu tidak jauh dari moment perceraian Dewi Yul dengan suaminya dan kasus selingkuh dan video porno Yahya Zaeni (anggota DPR) dan Maria Eva (artis dangdut).

Mungkin bisa diambil hikmah atas kejadian tersebut, ketika kasus perselingkuhan (baca: perzinahan) Yahya Zaeni dan Maria Eva di blow up media. Waktu itu Maria mengadukan dan membeberkan kejadian zinanya. Terlepas dari apa yang jadi orientasinya, Maria Eva yang artis, yang pezina, yang membuka aibnya sendiri dengan prilaku tidak beradabnya menangis seperti 'korban bencana alam', 'korban penganiayaan', 'korban HAM', dan 'korban lainnya'. Kasus amoral itupun mewarnai infotainment di TV berhari-hari. Akhirnya Maria Eva (artis pezina) pulang ke kampung halaman disambut meriah masyarakat bak 'pahlawan'.

Dewi Yul yang menggugat suaminya cerai, karena tidak menerima untuk dimadu (poligami) dengan alasan keadilan. Dewi berargumen, "bukan masalah mau atau tidak mau, tapi saya masih mampu melayani suami saya. Saya juga tidak yakin kalau suami saya poligami, dia bisa adil." Begtulah kira-kira Dewi Yul beralasan. Cukup logis dan mungkin bisa diterima.

Lain lagi dengan Aa Gim yang seorang ustadz kenamaan dan sohor dengan tablighnya yang simpel, sederhana, dan berisi. Posisinya sebagai seorang ustadz merepresentasikan beliau tahu tentang agama. Posisinya sebagai bisnisman sukses menunjukan beliau cukup dalam harta. Statusnya sebagai suami (teh Ninih: istri pertama) diakui keshalihan, keluhuran budi, kemapanan, dan keadilan suaminya oleh istri pertamanya itu. Bahkan dalam beberapa acara pengajian, seringkali Aa Gim dapat sms atau surat, yang isinya kesediaan seorang perempuan untuk jadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi sesering itu pula Aa Gim menanyakan istrinya yang pertama akan kesiapan itu. Akhirnya, Aa pun berpoligami dengan satu direktur perusahaan yang ditanganinya. Itupun dengan argumentasi dan landasan yang sangat kuat, khawatir akan fitnah dan lain sebagainya. Tetapi apa yang terjadi terhadap Kyai muda ini? Presiden turun tangan angkat bicara soal poligami diikuti mentri-mentrinya, khususnya mentri pemberdayaan perempuan. Bahkan sampai merayap ke wacana amandemen UU perkawinan. Aktifis perempuan, LSM perempuan, dan media pun berjama'ah mencerca Aa. Tetapi beliau pun tenang tidak emosi dengan kondisi itu. Bahkan keluarganya pun tenang setenang wajah Aa. Sungguh luar biasa. Sekarang dapat kita saksikan bagaimana buah dari keteguhan iman seorang Aa, yang tadinya ketika rame-ramenya poligami Aa dihebohkan, sekarang Aa terlihat lebih mantap. Daarut-tauhid –pesantrennya- yang tadinya sedikit banyak ditinggalkan, sekarang ramai dengan aktifis-aktifis yang solid. Subhanallah.

Menanggapi kejadian ironis diatas, sungguh perlu kiranya kita mendudukan poligami secara proporsional. Jangan bicara nafsu, nanti keliru. Jangan bicara perasaan, nanti cemburu. Dudukkan hukumnya dalam syari'at, posisikan momentnya dalam bingkai keluarga, maslahat buat masyarakat dunia dan akhirat.
Hukum poligami adalah mubah, bukan sunat apalagi wajib. Kalau wajib, niscaya yang tidak poligami akan celaka (baca: mendapat siksa). Andaikan sunat, niscaya orang yang tidak poligami rugi karena tidak dapat pahala. Jadi hukum dasarnya adalah mubah, sebagaimana pendapat para 'Ulama.

Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. (Lihat Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV: 206-217 (Beirut : Darul Fikr, 1996) yang membahas tentang pembagian nafkah dan bermalam kepada para isteri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).
Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut-Tahrir menyatakan, "harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan demikian."(Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam. 129).

Abdurrahim Faris Abu Lu’bah mengatakan, "masalah menikah dengan lebih dari satu isteri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap (syar’un tsabit) dan sunnah/jalan yang diikuti (sunnah muttaba’ah). Dan tidaklah ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun mereka berbeda pendapat pada kebanyakan bab dan masalah fikih. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…" (Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360)

Ibnu Hazm menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa apabila seorang muslim menikahi maksimal empat orang perempuan sekaligus maka hukumnya halal. (Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma', hal. 62) (Lihat Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press, 2006], hal 41)

"Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat." (QS. 4: 3)

Imam Suyuthi menjelaskan bahwa pada ayat di atas terdapat dalil, bahwa jumlah isteri yang boleh digabungkan adalah empat saja (fiihi anna al-‘adada alladziy yubahu jam’uhu min al-nisaa’ arba’ faqath) (Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 59).

Berkenaan dengan ayat diatas ada riwayat bahwa Urwah bin Zubair RA bertanya kepada
‘Aisyah tentang ayat QS. 4: 3,

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya." (QS. 4: 3)
Maka ‘Aisyah menjawab,"Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya. Tapi pengasuh itu tidak mau memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini anak-anak yatim itu kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kawin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (terj), VI/136-137).

Hadits diatas menjelaskan bahwa syari'at poligami didasarkan sebab pengasuhan anak. Tetapi sebab yang khusus tidak menjadi dasar hukum, karena yang dijadikan pijakan adalah lapadz umum, sebagaimana kaidah ushul fiqh,
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Yang menjadi pegangan adalah keumuman lapadz, bukan kekhususan sebab

إذا ورد لفظ العموم على سبب خاص لم يسقط عمومه

Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah mengugurkan keumumannya (Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995], Juz II hal. 123)

Hal tersebut terlihat dalam sebuah hadits diriwayatkan, bahwa Nabi saw. berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafy yang telah masuk Islam, sedang dia punya sepuluh istri, "Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikan yang lainnya." (HR. Malik, an-Nasa'I, dan ad-Daruquthni).

Diriwayatkan pula dari Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,"Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,"Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud). (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/139).
Yang menjadi pijakan dalam poligami adalah adil, sebagaimana ayat "dan jika kamu khawatir tidak berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja..". Adil bukanlah syarat poligami, tapi justru kewajiban. Syarat barang tentu mesti dilakukan sebelumnya, sebagaimana wudhu sebagai syarat sholat. Mana mungkin kita akan adil kalau nikahnya saja belum. Tetapi kalau setelah nikah mesti adil, bukan syarat lagi, tetapi kewajiban.

Kemudian ada ayat yang menyatakan,
"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS. 4: 129).
Apakah ayat ini menasakh ayat sebelumnya yang menekankan adil dalam berpoligami (QS. 4:3)?

Adil dalam QS. 4: 3 adalah dalam urusan nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah berarti memenuhi sandang, pangan, dan papan. Mabit berarti menemani dan berkasih sayang, baik jima' atau tidak (Lihat Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-217).

Sedang adil dalam QS. 4: 129 menunjukan kepada rasa cinta (kecenderungan hati). Hal ini tidak mungkin sama. Imam Suyuthi menukil pendapat Ibnu Abbas RA, bahwa "adil" yang mustahil ini adalah : rasa cinta dan bersetubuh (al-hubb wa al-jima’) (Lihat Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 83).

Memahami penjelasan singkat diatas, mungkin kita bisa mengistinbatkan poligami dalam beberapa hal:

1. Poligami adalah salah satu syari'at dalam Islam. Mengingkarinya, berarti mengingkari kesyumulan Islam
2. Poligami hukumnya mubah, bukan sunat, bukan wajib
3. Adil bukan syarat poligami, tapi kewajiban dalam berpoligami
4. QS. 4:3 dan 4: 129 tidak bertentangan. Yang pertama menjelaskan adil dalam nafkah dan mabit. Yang kedua, adil yang tidak mungkin dilakukan dalam kecenderungan hati (cinta)
5. Poligami maksimal 4 istri sesuai QS. 4: 3
6. Poligami adalah syari'at untuk suami yang mampu, mapan, dan mumpuni dalam materi, fisik, terlebih lagi agama. Sebagaimana haji hanya bagi yang mampu saja. Bedanya kalau haji wajib, sedang poligami sunat
7. Poligami adalah solusi masalah umat dari dekadensi moral, sebagaimana barat yang notabene melarang poligami, tetapi seakan melegalkan perselingkuhan (baca: berzina)
8. Poligami solusi bagi masalah individu. Ada sebagian suami yang lebih dalam materi dan syahwat secara bersamaan
9. Poligami solusi bagi masalah sosial, karena perbandingan jumlah laki-laki dan wanita yang berbeda. Katanya sekarang saja 1:6
10. Poligami menyambung keturunan dan memperkuat jaringan Islam

Mungkin bukan masalah mau dan tidak mau yang mesti muncul ketika ada yang bertanya apakah kita sebagai seorang suami mau berpoligami, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kesiapan seorang suami, baik mental, materi, dan kebijakan (keilmuan). Mungkin inilah yang menjadi syarat bagi yang akan poligami. Yang bisa konkrit menilai hal itu, tidak lain adalah seseorang yang dekat dengannya (baca: Istri), kira-kira suaminya ini siap (mampu, mumpuni) nggak?!

Kedua, sejauh mana seorang suami telah mendidik istri dan anak-anaknya dalam menikmati syari'at. Seandainya istri yang paham akan agamanya, insyaAllah tidak akan menolak syari'at kalau tidak menimbulkan mafsadat.

Ketiga, izin seorang istri. Mengapa penting, karena syari'at mempunyai tujuan kemashlahatan. Mana mungkin menjalankan syari'at, kalau toh nantinya menimbulkan madharat yang besar. Meskipun demikian, yang namanya resiko pasti akan ada. Tetapi sejauh mana skala prioritas dan asas perbandingan mashlahat dan mafsadat harus diperhatikan. Apalagi istri pertama, katanya cintanya tak tergantikan, bener gak? Wallahu a'lam. Ada yang bilang, Nabi saw tidak berpoligami selama 25 tahun pernikahannya dengan Siti Khadijah karena beliau istri pertama. Makanya, kalau istri pertama jangan di poligami. Ana kurang setuju kalau istri pertama jangan dimadu dijadikan landasan hukum, karena pernikahan Nabi saw adalah perintah Allah. Tapi jadi pertimbangan penting, khususnya untuk ana dalam mengukur kemashlahatan berkeluarga, insyaAllah. Bahkan, seandainya...sekali lagi seandainya, bukan mau lho..seandainya berpoligami, ana mau istri ana yang memilihnya. Walaupun disisi lain, nikah tanpa izin istri pun sah.

Keempat, tuntutan dakwah. Kondisi dan situasi yang menuntut itu terjadi. Kalau untuk dakwah, apapun itu, kalau ana mampu, insyaAllah ana lakukan sepanjang jauh dari kemudharatan dan dekat dengan mashlahat.

Minggu, 07 Desember 2008

Keselamatan Ahli Kitab

Mempertanyakan Keselamatan Ahli Kitab
(Analisa Kritis Tafsir surat Qs. 2: 62)


Klaim pluralisme agama makin bersemangat ketika menemukan legitimasi ayat yang seolah-olah mendukung “paham syirik” itu. Tampaknya, Qs. al-Baqarah [2]: 62 menjadi ayat pavorit bagi kaum pluralis untuk menjebak kaum Muslimin bahwa bukan hanya Islam agama yang benar. Ahli Kitab pun punya hak keselamatan yang sama di akhirat. Tak heran jika kemudian pentolan pluralis pun berbondong-bondong menguatkan klaim itu.

Syafi’i Ma’arif, misalnya, di Republika (21/11/2006) menurunkan tulisan yang amat ganjil. Menurutnya, setiap agama, baik Yahudi, Nasrani, Shabi’in, bahkan yang tidak beragama sekalipun akan menemui keselamatan, asalkan berbuat kebajikan. Di sini, standar keselamatan itu adalah “kebajikan”

Lain lagi dengan Kautsar Azhari Noer. Dosen UIN Jakarta ini, dalam pelatihan Jaringan Islam Kampus (JARIK) Garut menyatakan bahwa dengan kebajikan universal, dalam semua agama terdapat keselamatan.

Ayat yang selalu dipelintir dan dipaksakan sesuai dengan konsep barat oleh pengusung dan pengasong liberalisme yang menjadi korban globalisasi dan westernisasi tersebut adalah QS.2:6 tersebut di atas,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani,dan orang shabi'in, siapa saja (diantara mereka) yang bermian kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Sejatinya, orang beriman pada ayat di atas memiliki beberapa pendapat. Pertama, orang-orang yang beriman kepada Isa as. yang hidup sebelum Muhammad saw. diutus. Ada yang sempat bertemu Rasul, mengimaninya, dan berlepas diri dari kebatilan Nasrani dan Yahudi, ada pula yang tidak sempat bertemu. (Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, 1993, 1: 46). Kedua, orang munafik yang mengaku beriman. (Al-Zamakhsyari,al-Kasysyaf, 1995, 1:,148, Al-Nasafy, Tafsir al-Nasafiy, 2001, 1:57). Ketiga, orang-orang yang beriman dengan benar kepada Nabi Muhammad saw (Al-Qurtubi, 1:358, Al-Thabari, 1992, 1: 358). Keempat, mencakup orang yang memeluk Islam, baik mukhlis ataupun munafik (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, 1998, 1: 66).

Orang Yahudi adalah pemeluk agama Yahudi (Al-Tibrisi, 1: 258). Menurut al-Zajjaj, secara bahasa kata haadu berarti taba (bertaubat) (Al-Jawzi al-Qurasy, 1987: 78). Dinamai Yahudi karena mereka pernah bertaubat dari menyembah anak sapi. Menurut Ibn Jarir, Abu Hatim, dan Ibn Mas’ud pemberian nama ini karena mereka berkata: Inna hudnaa ilaika (QS.7:156) (Al-Syaukani, Fath al-Qadir, 1:119).

Nashara adalah bentuk plural dari nashraniy. Mereka adalah pengikut Nabi Isa as. Penamaan tersebut disandarkan kepada nama tempat dimana Maryam pernah tinggal tatkala membawa Nabi Isa as ketika masih bayi, yaitu Nashirah atau Nazaret. Termasuk penamaan ini karena diantara mereka ada pengikut setia Isa as. yang siap menjadi para penolong Allah (anshar Allah) yang dalam Al-Qur’an disebut dengan al-Hawariyyun (QS.3: 52).

Sedangkan shabi’ien adalah bentuk plural dari shabi’un. Mereka adalah orang-orang yang menyembah bintang. Secara bahasa artinya keluar atau pindah. Ada yang mengatakan mereka pindah dari agama Yahudi dan Nasrani, dan menyembah Malaikat (Al-Syaukani, 1997, 1: 204, Al-Qurtubi, 1995, 1: 432-433. dan M. Ali Ash-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, 2002, 1: 51).

Para ulama sepakat bahwa Yahudi dan Nasrani adalah Ahli Kitab. Tapi berbeda pendapat dalam Shabi’in. Al-Suddiy, Ishaq bin Rahawaih, dan Ibn Mundzir mengatakan bahwa mereka adalah Ahli Kitab. Sementara al-Khalil menyatakan bahwa mereka sebagai syibh al-Nashara (semi Nasrani), cuma kiblatnya tidak sama. Dan Mujahid, Al-Hasan, dan Ibn Abi Najih mengatakan agama mereka antara Yahudi dan Nasrani. Dan al-Qurtubi menyimpulkan mereka adalah yang mengimani Allah, tapi percaya pengaruh bintang (Al-Qurtubi, 1995, 1: 435). Karena ayat tersebut berbicara mengenai berbagai kepercayaan agama, maka al-shabi’in bisa dikatakan representasi dari agama paganis dan lainnya.

Secara zahir, ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Pertanyaannya adalah: Apakah benar klaim yang menyatakan bahwa semua agama (sebagaimana direpresentasikan ayat di atas) akan sama-sama memperoleh keselamatan?

Menafsirkan ayat ini, penting diperhatikan dalam beberapa hal. Pertama, melihat sibak (ayat yang mendahului), siyaq (konteks), dan lihaq (ayat yang kemudian) ayat. Pada tataran sibaq, ayat ini didahului oleh ayat tentang kemurkaan Allah kepada Bani Israil (Yahudi) karena pengingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Begitupun sisi lihaq, ayat setelahnya menjelaskan pelanggaran Yahudi akan aturan Allah. Pada sisi asbab an-nuzul, menurut riwayat Abu Hatim dari Salman, berhubungan dengan pertanyaan Salman mengenai teman-temannya yang mengimani Taurat sebelum datang Rasul. Nabi saw menjawab: Mereka di neraka. Salman berkata: ”Gelap gulitalah bumi bagiku. Kemudian turun ayat ini, maka terang benderanglah dunia bagiku (Al-Syaukani, 1: 13-14).

Jadi ayat di atas berbicara dalam konteks sebelum bi’tsah (pengutusan Muhammad saw). Adapun setelah bi’tsah, Ahli Kitab merupakan ikon (simbol) dari orang-orang yang diberi kitab, tetapi melanggar dan melakukan tahrif (penyimpangan) terhadap ayat-ayat Allah. Sebagaimana firman Allah,

”Wahai ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang benar dengan yang palsu, dan kamu menyembunyikan yang benar sedang kamu mengetahuinya?” (QS. 3:71).
Ayat yang semakna dapat ditemukan pada 3:19, 4:47, 4:131, 3:187, 2:101, 2:146, 3:69, 3:72, 3:78, 3:100, 5:5, 3:23, 4:51, 13:36, 4:44, 3:71, 3:98, 3:99, 4:171, 5:77, 3:110, 5:62, 5:66, 5:68, 7:169, 2:105, 2:109, 5:59, 5:65, dan 98:6.

Kedua, kesesatan Nasrani sebagai Ahli Kitab ditunjukan oleh sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang surat Nabi saw kepada raja Romawi Heraklius yang beragama Nasrani. Di dalam surat itu disebutkan, “Maka sesungguhnya aku mengajakmu kepada seruan Islam. Masuk Islam lah, niscaya engkau akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu pahala dua kali lipat. Tetapi jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau (berdosa) dan akan menanggung dosa rakyatmu.” Kemudian beliau SAW mengutip firman Allah 3: 64).

Ketiga, manusia yang hidup setelah Nabi diutus, tetapi tidak mengimani Rasul, maka Rasul saw nyatakan sebagai penghuni neraka kelak. Sebagaimana sabda Rasul saw dalam riwayat Muslim, ”Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka." (HR.Muslim). Disamping itu, ada hadits yang menyatakan, "Andaikata saudaraku Musa hidup (saat ini), tentu beliau tidak keberatan kecuali mengikutiku." (HR. Ahmad dan al-Bazzar).

Keempat, dalam QS.2:208 dikatakan,
”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan dan janganlah mengikuti langkah-langkah Syetan. Sungguh ia musuh nyata bagimu."

Asbab an-nuzul ayat tersebut terkait dengan Ahlul Kitab seperti dikatakan Ibn Abbas. Al-Thabari mengutip hadits, “Telah menceritakan kepada kami al-Qasim, dia berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami al-Husen, dia berkata: telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Ibn Juraij dari Ikrimah, firmannya, "Masuklah kalian secara keseluruhan." Dia berkata: Turun kepada Tsa’labah, Abdullah bin Salam, Ibn Yamin, Asad dan Usaid anak Ka’ab, Sya’bah bin ‘Amr, dan Qais bin Zayd, semuanya dari Yahudi. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan, maka izinkan kami merayakannya. Taurat adalah kitab Allah, maka izinkan kami amalkan di malam hari. Maka turunlah ayat tersebut (Al-Thabari, 2003, 2: 400).

Jadi, sangat gamblang bahwa hanya Islam yang memiliki konsep keselamatan (Lihat, QS.3:19, 85) dan yang lainnya akan celaka selama masih berpegang teguh kepada agamanya masing-masing. Ahli Kitab sebelum bi’tsah akan selamat selama mereka berpegang kepada kitabnya tersebut. (Lihat, QS.5: 68). Tetapi setelah bi’tsah, maka kewajiban mereka untuk taat dan mengimani Rasul adalah syarat utama keselamatan mereka, disamping iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Daden Robi Rahman, peserta Pendidikan Kader Ulama (PKU) di Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Gontor, Jawa Timur, utusan PERSIS Garut.

Ijtihad Pluralis

Ijtihad Nikah Beda Agama ala Kaum Pluralis

Salah satu ‘ijtihad’ kaum pluralis adalah “mengubah” konsep dan hukum kawin beda agama alias kawin campur. Jika ulama salaf mengharamkan –berdasarkan ijma’ –bahwa seorang Muslimah haram menikah dengan non-Muslim, kaum pluralis justru sebaliknya. Menurut mereka, pendapat ulama klasik itu tidak toleran dan ketinggalan zaman. Maka, perlu ada ‘ijtihad’ baru, yang lebih kontekstual dan humanis.

Dalam buku Fiqih Lintas Agama, misalnya, jelas-jelas ditulis: “Namun, bila pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, bagaimana dengan yang sebaliknya, yaitu pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik Kristen, Yahudi atau agama-agama non-semitik lainnya? Memang, dalam masalah ini terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik Al-Qur’an, hadis atau kitab fiqih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharîh. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah s.a.w. bersabda, “kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanit kami (Muslimah). Khalifah Umar ibn Khatthab dalam sebuah pesannya, “Seorang Muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.” (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta, 2004: 164).

Lebih lanjut, tentang pernikahan seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, penulis buku Fiqih Lintas Agama ‘berijtihad’: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. (ibid: 164).

Menurut Imam al-Syirazî, seorang Muslim diharamkan untuk menikahi seorang wanita kaum kafir yang tidak memiliki “kitab”, seperti kaum pagan, juga orang-orang murtad dari Islam, beradasarkan firman Allah s.w.t. ‘wa laa tankihul musyrikât hattâ yu’minna’ (Qs. 2: 221) (Syeikh Imam Abu Ishâq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fayrûz Abâdî al-Syîrâzî, al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imâm al-Syâfi‘î, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, ttp.), 2: 44).

Selain Yahudi dan Nasrani, yakni Ahli Kitab, seperti yang beriman kepada kitab Zabur nabi Dawud a.s. dan Shuhuf nabi Syîts, maka hukumnya “tidak halal” bagi seorang Muslim untuk menikahi wanita-wanita merdeka mereka juga budak-budaknya. (Ibid.) Mazhab Imam Syafi‘i dalam hal ini saja sangat keras. Karena seorang Muslim yang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab –apa lagi non-Ahli Kitab—memiliki dampak negatif, terutama dalam keluarga dan masyarakat. (Humaidhi ibn Abdul Aziz ibn Muhammad Al-Humaidhi, Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?: Kupas Tuntas Polemik Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga Beda Agama Menurut 4 Mazhab, terjemah: Mutsanna Abdul Qahhar dan Wahyuddin, (Solo: al-Tibyan, cet. I, 2007: 48-50).

Ini adalah “ijtihad” ngawur dan salah kaprah. Menurut al-Qaradhawi, itu adalah bentuk mazâliq al-ijtihâd al-mu’âshir (ketergelinciran ijtihad kontemporer). Pernikahan seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab (al-kitâbiyyah) tidak bisa disamakan dengan seorang Muslimah menikah dengan seorang laki-laki Ahli Kitab (al-kitâbî). Padahal perbedannya sangat mencolok. Seorang Muslim mengakui dasar agama seorang kitâbiyyah. Sehingga, dia menghormatinya, memelihara haknya dan tidak ‘menyita’ aqidahnya. Sedangkan seorang kitâbî tidak mengakui agama sang Muslimah, tidak mengimani kitabnya (baca: Al-Qur’an) dan tidak mengakui nabinya (Muhammad s.a.w.). Bagaimana mungkin seorang Muslim dapat hidup di bawah ‘payung’ seorang laki-laki yang tidak memandang hak apapun dari istrinya, yang notabene sebagai Muslimah? Pernyataan mereka bahwa Al-Qur’an hanya mengharamkan kaum wanita musyrik (al- musyrikât) dan kitâbiyyât yang tidak musyrikat, dibatalkan oleh ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Jika kalian mengetahui mereka (para wanita itu) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang (suami-suami mereka) yang kafir. Mereka (para wanit itu) tidak halal baginya, dan dia tidak halal bagi mereka.” (Qs. 60:10).

Di sini, hukum itu dibentuk berdasarkan “kekafiran” (al-kufr), bukan atas “kemusyrikan” (al-syirk), dimana Allah s.w.t. menyatakan, “...jangan kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Jika pengambilan hukum (al-’ibrah) lewat kemuman lafaz, maka lafaz “al-kuffâr” (orang-orang, suami-suami kafir), di sini mencakup seorang kitâbî dan seorang pagan (al-watsanî: penyembah berhala). Maka, siapa yang tidak beriman kepada risalah Muhammad s.a.w. maka –menurut hukum-hukum dunia—adalah kafir, tanpa diperdebatkan. (Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihâd al-Mu‘âshir, bayna al-Indhibâth wa al-Infirâth, (Kairo: Dar al-Tawzi‘ wa al-Nasyr al-Islâmiyyah, 1994: 58-59).


Dalam Islam, seorang Muslim dibolehkan mengawini wanita Ahli Kitab (kitâbiyyah). Tetapi “haram” hukumnya seorang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Dalam hal ini tidak ada “ijtihâd” lagi. Ijmak ulama sudah menyatakan hal demikian. (Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, op.cit,: 39-39).

Tidak hanya itu. Sampai hari ini agama Katolik pun belum bisa menerima kawin campur secara jujur. Karena masalah ini menjadi masalah serius dalam tubuh Gereja. Menurut BR. Agung Prihartana, MSF masalah pendidikan iman anak dalam keluarga kawin campur memang merupakan persoalan yang sangat rumit dan dilematis.

Karena itulah Gereja Katolik pernah mengangkat permasalahan ini dalam pertemuan para Uskup sedunia, yang membahas doktrin tentang perkawinan, selama masa persiapan Konsili Vatikan II (1959-1960). Ternyata persoalan ini menjadi topik hangat dalam pertemuan para Uskup tersebut. Beberapa Uskup dari Afrika memohon kepada Takhta Suci, hak untuk menyatakan tidak sahnya sebuah perkawinan campur dan hal menolak memberikan dispensasi bagi pasangan kawin campur beda agama, jika pihak non-baptis menolak memenuhi kewajiannya mendidik anak-anak mereka dalam iman Katolik. Sementara para Uskup Amerika meminta Takhta Suci untuk tidak mudah memberikan dispensasi bagi pasangan kawin campur beda agama, karena perkawinan ini akan sangat merugikan pihak Katolik. (BR. Agung Prihartanan, MSF, Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga Kawin Campur Beda Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2007: 6-7 Agung mengutip pernyataan Gereja tersebut dari Acta et Documenta Concilio Oecumenico Vaticano II, 1960-1969, vol. II, bab V, hlm. 40).

Jadi, Gereja melihat bahwa kawin campur adalah masalah serius dalam tubuh Gereja. Maka sangat aneh jika ada intelektual Muslim yang mencoba untuk mengusung dan “mengasong” budaya kawin campur ini. Bukan saja tidak mendapat legitimasi hukum fiqh, juga tidak mendapat legitimasi dari kaum Kristen (baik Katolik maupun Protestan) yang menjadi sasaran ide ini. Lebih detil Agung mencatat: “Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1917 mulai membedakan secara yuridis istilah kawin campur beda Gereja (mixta religiosa) dan kawin campur beda agama (disparitas cultus). Namun demikian kitag hukum gerejawi ini tidak membedakan secara khusus bentuk pelayanan pastoral terhadap kedua perkawinan campur tersebut, khususnya berkenaan dengan persyaratan untuk mendapatkan izin bagi perkawinan mixta religiosa dan dispensasi bagi perkawinan disparitas cultus dari ordinasi wilayah. Tentang kawin campur disparitas cultus, KHK tahun 1917 menyatakan secara tegas bahwa perkawinan antara orang yang telah dibaptis di dalam Gereja Katolik atau yang sudah bertobat dari bidaah atau skisma dengan non-baptis dianggap tidak ada (null). (ibid: 11)


Dalam masalah pendidikan iman anak dalam kasus kawin campur, Gereja Katolik memiliki dua dokumen penting. Pertama, instruksi tentang perkawinan campur, Matrimonii Sacramentum dari kongregasi untuk urusan iman. Kedua, surat apostolik Matrimonia Mixta dari Paulus VI, yang mana keduanya menjabarkan keadilan dan ketetapan dalam mengajukan persyaratan untuk memperoleh dispensasi dari halangan perkawinan beda agama. Kedua dokumen tersebut menegaskan bahwa hanya pihak Katoliklah yang mempunyai kewajiban dan tanggungjawab berat untuk mempertahankan kesetiaan dalam iman Katolik dan membaptis serta mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik. (ibid: 22-23).

Paus Paulus VI mengingatkan bahwa pihak Katolik sebisa mungkin membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman Katolik. Pernyataan Paus Paulus VI inilah yang kemudian dirumuskan dalam KHK yang baru dengan kalimat “memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik”. (ibid: 23).

Ini sungguh dilematis. Dan Kaum pluralis tidak melihat ini. Yang mereka inginkan hanya “merusak” konsep perkawinan Islam yang sudah mapan. Adalah absurd jika sasaran kawin campur justru menolak untuk bersikap jujur dan adil. Jika objek kawin campur saja menolak, untuk apa kaum pluralis capek-capek mengusung “ijtihad batil” mereka?

Hidup dan Sepak bola

HIDUP DAN SEPAK BOLA
Oleh: Daden Robi Rahman


Jutaan pasang mata menyaksikan pertandingan sepak bola dunia. Fenomena ini bergulir setiap empat tahun sekali. Tetapi, suguhan media TV yang menayangkan berbagai liga di dunia, baik liga Italia, Ingris, Spanyol, Jerman, dan yang lainnya, tidak menyurutkan jumlah penonton yang menyaksikan pertandingan olahraga tersebut, terlebih di Indonesia.

Lebih dari empat puluh ribu penonton memadati stadion Gelora Bung Karno yang hanya berkapasitas empat puluh ribu tempat duduk dalam setiap laga pertandingan sepak bola di Indonesia, apalagi kalau pada laga final jarum super atau liga Indonesia. Lebih dahsyat dari itu, stadion Bernabou Spanyol kandangnya klub kenamaan Spanyol Real Madrid ataupun stadion Old Trapord kandang setan merah Manchester United (MU) Inggris yang mempunyai kapasitas jauh lebih banyak dari gelora bung Karno, tidak menjadi sepi dari penuhnya para supporter dan pecinta bola yang memadati stadion tersebut.

Yang tidak punya kesempatan nonton langsung di lapangan hijau pun tidak ketinggalan untuk menyaksikan pertandingan kesebelasan favoritnya. Meskipun harus mengorbankan waktu tidurnya di tengah malam karena biasanya pertandingan langsung di stasiun televisi tayang sekitar jam 1 atau 2 malam.

Sepakbola sebagai representasi olahraga yang paling disenangi, patut ditafakuri, diambil hikmah, dan dijadikan bahan perenungan untuk mendekatkan hamba kepada Tuhan-Nya.

Dalam ilmu antropologi manusia di sebut juga dengan homodudent yang berarti makhluk bermain. Manusia terlahir untuk bermain, bukan untuk main-main, apalagi dipermainkan. Allah berfirman,

"Dan tidaklah kehidupan dunia ini kecuali permainan belaka".( al-An'am:32)

Tidak salah kalau Ahmad Albar dalam lagunya melantunkan, 'dunia ini panggung sandiwara'. Setiap orang memainkan perannya masing-masing. Ada yang jadi presiden, anggota DPR, tentara, petani, jadi suami, istri, majikan, pembantu, dan lainnya. Semuanya mesti diterima sebagai given yang tak terbantahkan untuk diingkari.

Maka wajar kalau banyak manusia menyukai sepak bola, karena sepak bola merupakan jenis konkrit dari sebuah permainan. Permainan yang menyuguhkan penampilan, intrik, emosi, dan gambaran kehidupan lainnya. Maka antara hidup dan sepak bola merupakan dua hal yang sarat berkait.

Beberapa unsur yang ada dalam sepakbola seperti pemain, bola, wasit, penonton, dan lain sebagainya menarik untuk kita kaji sebagai analogi hidup.
Pemain
Seorang pemain dituntut untuk bermain ketika sudah memasuki lapangan dan peluit tanda dimulai ditiup wasit. Beberapa hal yang mesti diperhatikan pemain sepakbola. Pertama, mengetahui aturan main sepakbola seperti menendang bola, menyundul, stop dada dan lainnya tanpa menggunakan tangan. Tanpa mengetahui aturan ini, katakanlah dia malah membawa atau memukul bola dengan tangan, tidaklah dikatakan dia sedang bermain, tetapi justru main-main. Begitupun dengan hidup, ketika memasuki lapangan dunia, kita dituntut bermain dalam bentuk penghambaan kepada Allah swt (baca: ibadah) dengan syarat mutlak tahu aturan Allah dalam hidup.

"Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah (bermain)."(Adz-Dzariyat:56)

Maka menjadi keniscayaan seorang Muslim untuk mencari ilmu, terlebih ilmu agama. Tanpa mengetahui aturan hidup, dia akan dipermainkan kehidupan, bukan memainkan kehidupan. Bukan mendapat pahala, malah justru mendapat siksa. Cape bekerja tanpa upah berharga. Rasul bersabda,

"Barang siapa yang beramal tanpa ada perintah dan contoh dari kami, maka amalan tersebut tertolak."

Kedua, seorang pemain dituntut bermain seindah mungkin supaya mendapat kepercayaan teman sekawan, disegani lawan, dan pujian penonton. Hidup dengan ibadah yang shahihah akan menuai pahala dari Allah swt, kepercayaan sesama, kharisma dan pujian di tengah masyarakat. Allah berfirman,

"(Allah) yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang paling bagus amalnya (mainnya)."(Al-Mulk:2)

Ketiga, mengetahui siapa kawan, siapa lawan. 22 pemain di lapangan, bukan kawan semuanya, bukan lawan seluruhnya. Hanya sebelas yang menjadi kawan kita, selebihnya ingin menghancurkan gawang kita. Pengetahuan kawan lawan, akan mengkondisikan sistematisnya penyerangan dalam melumpuhkan lawan. Dalam hidup ada ikhwan (kawan), ada 'aduwwan (musuh). Firman Allah swt.,

"Muhamad rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang beriman dan bersikap keras kepada orang-orang kafir."(Al-Fath:29)

Sesama kawan saling bantu menggolkan gawang lawan, menggentarkan musuh untuk meninggikan kalimat Allah.,

"Dan tolong menolonglah kalian dalam jalan kebaikan dan taqwa serta janganlah kalian tolong menolong dalam jalan dosa dan permusuhan." (Al-Maidah:2)
Keempat, sabar dan tenang. Pemain yang buruk akan mendapat teguran teman sekawan, dipermainkan lawan, dan dicemooh penonton. Pemain yang bagus akan mendapat pujian. Tetapi sebagus-bagusnya pemain dunia, seperti Zineddin Zidane tetap saja kritikan teman, lawan, penonton, apalagi komentator akan terus datang.

Luqmanul Hakim ketika mengajak anaknya melakukan perjalanan, beliau membawa kuda. Ketika melewati sebuah kampung, Luqman naik di atas kuda dan anaknya dibawah menuntun kuda. Sontak ada penduduk kampung berteriak, 'orang tua macam apa anda ini, kok anda enak-enakan di atas kuda, anak anda yang lemah menuntun kuda'. Seketika Luqman menyuruh anaknya naik ke atas kuda dan dia pun menuntunnya. Melewati kampung kedua, seorang warga berkata, 'anak macam apa yang tidak menghormati orang tuanya, dia enak duduk diatas kuda, bapaknya terhina menuntun kuda'. Bergegas kembali Luqman merubah posisinya dengan menyuruh anaknya duduk berdua bersama diatas kudanya. Kampung ketiga dilewatinya, tiba-tiba warga kampung bareng-bareng memaki mereka berdua, 'woi..kasihan tuh kuda, udah kecil, lemah, malah ditunggangi bareng-bareng. Dasar manusia tidak berperikebinatangan'. Keempat kalinya Luqman berpikir, lalu diputuskan untuk menyuruh anaknya turun dan sama-sama menuntun kudanya. Kapung keempat sudah dekat kelihatan, teriakan pun begitu jelas terdengar dari orang-orang kampung itu, 'dasar manusia bodoh, tidak punya otak. Ngapain bawa kuda kalau gak ditunggangi'. Luqman pun menghela nafas. Akhirnya Luqman mengajak anaknya duduk dan memberikan pelajaran hikmah dari perjalanannya. Intinya, dalam hidup seburuk dan sebaik apapun kita, akan tetap mendapat penilaian beragam dari orang-orang. Dipuji, dicela, disanjung, dan dicemooh adalah realita kehidupan yang akan dijalani. Allah berfirman,

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan" (al-Anbiya': 35)

Rasul bersabda,

"Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan sabar akan celaan mereka, lebih tinggi derajatnya dari mukmin yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar dari celaan mereka." (HR. Tirmidzi)

Bola
Kulit bundar yang selalu dipermainkan, ditendang, disundul, dibuang sana, buang sini menjadi karakter tersendiri dari sebuah bola. Kenyataan yang dialami bola sungguh tidak nyaman. Manusia pun mungkin ada yang selalu dipermainkan orang, dilecehkan, dihina, dan direndahkan. Banyak alasan yang menyebabkan hal itu, bisa kurangnya harta, rendahnya kedudukan, dan yang paling penting kurangnya iman dan ilmu. Allah berfirman,

"Dan janganlah kamu merasa hina dan sedih karena kamu adalah orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman."(Ali Imran: 139).
"Allah akan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mempunyai ilmu."(AL-Mujadilah: 11).

Penonton
Adalah orang-orang yang berada di luar lapangan yang memberi semangat kepada tim kesayangannya, tetapi kadang mengkritiknya bahkan memaki dan menjelek-jelekkan pemain maupun wasit yang tidak sepaham dan turut keinginannya walaupun dia sendiri tidak bermain dan tidak bisa bermain. Karakter inipun kadang kadang bahkan banyak diminati dan dimiliki manusia dalam hidupnya. Dia hanya bisa berteriak menyuruh dan menasehati, tetapi dia sendiri tidak melakukannya. Karakter penonton seperti ini sangat dibenci Allah,

"Sangatlah di benci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (As-Shaff: 3).

Pemain, bola, dan penonton menjadi analogi menarik dalam kehidupan manusia. Karena hidup tak lepas dari orang yang bermain, dipermainkan, dan hanya main-main saja. Jadi bahan renungan, saat ini dimana kita sedang memainkan peran. Apakah sebagai pemain, bola, atau penonton.

Yang jelas, mumpung waktu masih tersisa, walau tak tahu kapan tiba. Usaha perlu dilakukan sekuat tenaga. Karena seperti ungkapan Ali bin Abi Thalib, 'barangsiapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dia adalah orang celaka. Hari ini sama dengan hari kemarin, dia orang yang rugi. Hari ini yang lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung berbahagia'.

Waktu dalam main bola hanya 2x45 menit. Hidup pun terbatas waktu. Bahkan lebih rumit dari sepakbola, hidup tak kita ketahui kapan akan berakhir. Waspadalah...waspadalah...

Kamis, 27 November 2008

Waria dan "Ulama"

WARIA DAN "ULAMA"
Daden Robi Rahman


Arus liberalisasi pemikiran Islam mengayun berjalan dengan dinamis. Salah satu produk kebanggaanya, faham feminisme dan gender menghasilkan "ijtihad" bahwa homoseksual, baik gay, lesbian, atau pun waria adalah realitas yang mendapat legalitas agama, –meminjam istilah Musdah mulia- sesuatu yang "given" atau dalam bahasa fiqih disebut sunnatullah. (Musdah Mulia, Islam Agama Rahmat Bagi Alam dalam Majalah Tabligh, Muhammadiyyah, Mei, 2008).

Kebebasan dan Hak Asasi Manusia menjadi dasar argumentasi terwujudnya sesuatu yang menentang agama dan kodrat itu. Wacana yang sudah berkembang di negara berpenduduk Islam terbesar ini, menjadi proyek pemasaran budaya barat yang berseberangan dengan wahyu yang menjunjung moral. Sebuah peradaban yang menjadikan realitas sebagai hukum hidup yang disebut empirisisme. Kampanye besar-besaran pun terkoordinasi dengan dukungan penuh media cetak atau pun televisi yang menggembar-gemborkan dagangan barat.

Tayangan televisi yang didominasi hiburan berbau sinetron telah membentuk prilaku masyarakat. Dari anak-anak sampai orang tua sangat menikmati tayangan penghibur nafsu, pembangkit syahwat, pembentuk pola pikir hedonis, dan syarat kepentingan pemilik kekuasaan.

Tidak aneh ketika sebuah sinetron selalu diwarnai peran waria, bahkan kurang menarik kiranya ketika sosok "cewek" berbasis cowok ini tidak ada dalam sinetron. Pada akhirnya, pelan tapi pasti image waria yang negative di masyarakat, menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan.

Baru-baru ini, tepatnya 26 Juli 2008 warga pesantren mesti merasa tertampar ketika mendengar dan menyaksikan sebuah "pesantren" di Notoyudan, kecamatan Ngampingan, Jogyakarta berdiri dengan santri 100% waria, didirikan oleh seorang waria, dan dikepalai waria pula.

Maryani, waria 48 tahun , mantan ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) pencetus sekaligus pemimpin "ponpes" senin kamis waria satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia. Berawal dari keikut sertaannya dalam pengajian KH. Hamrolie Harun MSc di Pathuk, Jogyakarta sepuluh tahun silam. Gagasan mendirikan "pesantren" waria pun muncul dan terlaksana. Sosok KH. Hamrolie tak luput dari pendirian "pesantren" ini dan bahkan beliau mengirim murid-muridnya sebanyak 25 ustadz untuk mengajar di "pesantren" ini. (Surya, 16/11/2008).

Namun orientasi pesantren jadi bias ketika sang pencetus dan pemimpin "pesantren" yang konon telah begitu lama menggeluti dunia pengajian KH Hamrolie masih tetap betah dengan status waria meskipun naik jabatan jadi pemimpin "pesantren". Terlebih dia katakan sebagaimana dikutif Koran Surya 16/11/08 bahwa sebagai waria senior Maryani memiliki pengalaman hidup yang panjang. Termasuk keluar malam alias mencari pelanggan laki-laki hidung belang, mulai dari Yogyakarta, Semarang, Surabaya (kawasan ketabang kali), Solo (kawasan lapangan Manahan), hingga ke Jakarta (Taman Lawang). Pengalamannya itu memberikan toleransi kepada "santri" dipondoknya belum dapat meninggalkan buruk "keluar malam". Dia katakan, "Biar saja masih keluar malam meskipun mereka sudah menjadi santri disini.."

Tujuan mulia pesantren mengarahkan orang berlaku normal dan beradab bergeser jauh menjadi sarana legalisasi prilaku terlaknat waria. Sebuah riwayat hadits mengatakan,

Rasulullah saw. telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad).

Kharisma "Kyai Haji" dan "ustadz" pun perlu dipertanyakan, dengan waktu sepuluh tahun membina pengajian dan membantu pendirian dan pengajaran "santri" waria dibawah orientasi bias pesantren. Mana yang patut disalahkan, apakah kyai yang membina atau waria yang seakan dicetak jadi "kyai"? Apakah waria yang butuh pembinaan atau malah kyainya yang butuh pengajaran orientasi pesantren?

Sebelumnya invasi liberalisme barat ini pun menjadi-jadi di Indonesia, ketika negara ini sudah dua kali mengadakan miss waria Indonesia. Yang pertama berlangsung tertutup dan dijaga ketat puluhan aparat kepolisian Resort Jakarta Pusat dan Kepolisian Sektor Menteng.

Ahad 26 Juni 2008, komunitas banci, bencong, waria, atau wadam berani menggelar hajatan gede-gedean dalam acara pemilihan Miss Waria Indonesia 2005 kedua di Gedung Sarinah Lt. 14, Jakarta. Sebanyak 30 waria dari berbagai daerah mengikuti kontes ini. Mereka menunjukkan kebolehan masing-masing seperti bernyanyi, menari, dan tentunya berperilaku plus berdandan seperti wanita. Olivia, kontestan dari Jakarta, akhirnya terpilih sebagai Miss Waria Indonesia 2005 . Penyematan mahkota langsung dilakukan Miss Waria Indonesia 2004 Megi Megawati. Menurut ketua dewan juri Ria Irawan, salah satu penilaian adalah kesempurnaan fisik peserta yang menyerupai wanita. ( Liputan 6, 27/06/05 ).

Merlyn Sopjan, seorang penulis buku Jangan Lihat Kelaminku . Waria lulusan Institut Teknologi Nasional Malang ini pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif Kota Malang mewakili Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia pada 2003. Waria "cantik" kelahiran Kediri ini bahkan dianugerahi gelar Doktor HC dari Northern California Global University Amerika karena keterlibatannya sebagai aktivis sosial HIV/AIDS. Ketua Ikatan Waria Malang yang pernah menjadi Ratu Waria Indonesia 1995 ini akan mengikuti kontes Miss Internasional Waria di Thailand November mendatang. ( Suara Merdeka, 12/05/2005 ).

Shunniyah Ruhama Habiballah, Sekjen Yayasan Putri Waria Indonesia, waria berkerudung (atau sengaja dikerudungin untuk mengesankan simbol islami?) menulis buku berjudul Jangan Lepas Jilbabku . Waria ini adalah alumni UGM Yogyakarta jurusan sospol dengan predikat cum laude dalam waktu 3 tahun 40 hari. Di Polewali, Agustus lalu, dia menggelar ajang putri-putrian versi waria. Acara Top Model Waria ini merupakan turunan kegiatan dari Yayasan Putri Waria Indonesia.

Di Yogyakarta, kelompok waria melakukan aksi menuntut kesetaraan orientasi seksual dan identitas gender. Aksi yang dilakukan Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan dan Diskriminasi ini, menolak segala tindak kekerasan dan bentuk diskriminasi maupun stigma yang berbasis orientasi seksual dan identitas gender pada Rabu (13/8/08).

Belasan orang yang menutup wajahnya dengan kain hitam itu berunjuk rasa di depan Gedung Agung (Istana Negara) Yogyakarta. Di leher mereka tergantung poster yang bertuliskan `homo seksual bukan kriminal`, `homo seksual bukan penyakit jiwa`, dan `homoseksual = HAM`. Mereka menuntut perlakuan sama dengan lainnya, seperti penerimaan bekerja di sektor formal.

Menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-63, digelar aksi tanding voli antara kaum ibu dan waria di Samarinda. Untuk menarik perhatian, pawai bencong dan lomba-lomba dengan mengenakan pakaian wanita juga digelar.
Realitas yang menghenyak hati menunjukan begitu jauh umat ini dari tuntutan agama. Tidak salah kiranya, berabad-abad lalu Rasul saw. mengatakan bahwa Islam datang dengan asing diterima masyarakat dan akan kembali asing menjelang kiamat, walau umat ini masih berteriak mengaku umat Nabi Muhammad saw.

Islam telah jauh hari dari A sampai Z telah menegaskan bahwa Islam tidak memberikan tempat untuk waria sebagai representasi homoseksualitas. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.'' (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Laknat Rasul saw, pun telah begitu jelas termaksud bahwa waria tidak punya lahan dalam Islam,

Rasulullah saw. telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad).

Dengan melegalkan eksistensi waria, maka keberlangsungan manusia untuk tumbuh berkembang mempunyai keturunan pun terhambat. Islam pun datang dengan tujuan menjaga keturunan (hifzh an-nasl) supaya manusia selalu berada pada rel fitrahnya.

Begitupun dengan rawannya penyakit yang akan ditimbulkan dari kegiatan free sex abnormal yang selalu terdengar dari kaum “cewek” berbasis cowok ini menjadikan resah masyarakat. Dengan mengidap penyakit seperti ini, tidak menutup kemungkinan tersebarnya penyakit yang belum ditemukan obat mujarrabnya sampai kini –HIV aid-.

Anak-anak pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang menjadi pengonsumsi media televisi yang selalu disuguhi tayangan sinetron, komedi, reality show yang tidak luput dari peran-peran waria yang menarik untuk ditonton dan mengundang gelak tawa akan menjadi korban empuk kampanye waria, ketenaran menjadi waria, dan kemudahan mencari uang menjadi waria.

Kepentingan barat dalam menginvasi Islam di jalur pemikiran kentara terlihat dengan berbagai media yang dimiliki, televisi yang dikuasai, dan modal materi yang luar biasa. Gerakan mereka para waria begitu sistematis dipasarkan dengan berbagai event pertunjukan. Beberapa hal menguatkan asumsi ini dan proyek barat ini begitu terkesan terbentuk kokoh di masyarakat.

Pertama , setelah keberadaan mereka dipopulerkan televisi dalam sinetron atau iklan komersil, masyarakat jadi penasaran pengen tahu banyak dengan kehidupan waria. Dari asal-usulnya, suka-dukanya, kesehariannya, sampe masa depan mereka. Liputan tentang diskriminasi terhadap waria dikemas sedemikian rupa untuk memancing emosi dan perasaan kasian pemirsa. Ujung-ujungnya, informasi seputar waria yang disuguhkan lebih diarahkan kepada legalisasi waria di mata masyarakat.

Kedua , maraknya ekspos media terhadap waria menjadi cara yang jitu yang dilakukan musuh-musuh Islam untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kampanye penerapan syariat Islam yang tengah gencar di berbagai daerah di nusantara ini. Aktivitas amar makruf nahyi munkar pun terlupakan. Masyarakat semakin cuek dengan berbagai permasalahan yang muncul akibat diterapkannya sistem sekuler. Jika dibiarkan, boleh jadi negeri kita akan semakin liberal dan mungkin suatu saat nanti legalisasi perkawinan sejenis nggak cuma terjadi di Belanda, Spanyol atau Kanada. Tapi juga di negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini.

Menjadi kewajiban setiap muslim untuk merubah segala bentuk kemunkaran. Hari ini betapa banyak PR yang mesti diselesaikan untuk membumikan ketenangan dan kenyamanan yang membuahkan kemaslahatan dunia akhirat. Setiap orang dituntut untuk merubah kemungkaran tersebut sesuai dengan kemampuannya. Seandainya kita hanya punya kemampuan seperti jari kelingking, maka manfaatkan jari kelingking tersebut untuk mengorek kuping supaya terbebas dari kotoran didalamnya, mengorek kotoran yang ada didalam hidung, ataupun hanya untuk menggaruk. Yang penting ada gerakan untuk mengubah kondisi lebih baik. Rasul saw bersabda,

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وهو أضعف الإيمان

”Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Kalau tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Tetapi merubah kondisi kemungkaran dengan lisan menunjukan lemahnya iman.”

Ancaman diamnya kita terhadap kemunkaran itupun akan mengundang bencana. Maka tidak aneh sampai hari ini, bangsa tercinta kita selalu dilanda bencana tak berkesudahan. Rasul bersabda,

ما ترك قوم الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر إلاّ عامتهم الله العذاب

”Tidaklah suatu kaum meninggalkan amar makruf nahyi munkar,kecuali Allah akan menghinakan kaum tersebut dan menurunkan adzab kepada mereka.”

Terlebih Ulama sebagai sosok kharismatik masyarakat Islam, mesti lebih sistematis membina masyarakat dengan kadar keilmuan yang memadai dan mengejewantahkannya dalam pribadi bermoral istimewa. Karena tuntuna al-Qur’an menjelaskan bahwa Ulama bukan hanya sekedar mempunyai banyak ilmu, tapi yang lebih penting mempunyai rasa takut (khauf/khasyyah) kepada Allah swt. Allah swt. berfirman,

إنما يخشى الله من عباده العلماء

”Sesungguhnya dari hamba-hambanya yang takut kepada Allah adalah Ulama..”

Selasa, 18 November 2008

LIBERALISME VS AGAMA TAUHID

LIBERALISME VERSUS AGAMA TAUHID

Liberalisasi menyerang berbagai bidang kehidupan masyarakat, dari politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, sampai agama. Kerusakan yang terjadi pada berbagai bidang, tidak separah akibat yang ditimbulkan dari liberalisasi agama. Dalam Islam, agama merupakan sumber pemberangkatan dan rujukan dari politik, social, dan moral itu sendiri. Begitupun tak beda jauh dengan agama yang lain, meskipun jelas tidak sama.

Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini Liberal Judaism menjadi aliran resmi Yahudi. Kristen pun menjadi korban liberalisasi peradaban barat. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan klenikisme.

Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50. Paus yang baru, Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan anti-liberal. Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus penting doktrin “Dominus Jesus” yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan, jalan satu-satunya untuk menuju Bapa adalah melalui Yesus Kristus

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Liberalisasi berjalan drastis ketika menemukan keberhasilannya dalam Yahudi Kristen. Langkahnya terus mencari korban, memporakporandakan agama. Islam sebagai satu-satunya agama yang solid, bebas cacat sejarah, dan sebuah peradaban terpanjang dalam sejarah yang menorehkan kemaslahatan pembebasan penghambaan manusia terhadap makhluk kepada Allah swt, menjadi rival terberat arus liberalisasi.

Dalam konteks Indonesia, liberalisasi Islam dimulai sejak 1970-an yang dijalankan melalui tiga bidang dasar dalam Islam. Pertama, liberalisasi aqidah dengan penyebaran pham pluralisme agama. Kedua, liberalisasi bidang syari'ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad. Ketiga, liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur'an.

Gerakan sistemik dan metodologik liberalisasi Islam Indonesia terlihat jelas, ketika Dr. Greg Barton, dalam disertasinya di Monash University, Australia memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. (Disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina, dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).

Aqidah Islam Versus Pluralisme Agama

Islam merupakan satu-satunya agama tauhid yang eksist di dunia ini. Ketika seluruh agama yang ada berbuat syirik. Yahudi dengan pengakuan Uzair anak Allah, Kristen dengan trinitas, apalagi agama lain yang menafikan ketuhanan Allah atau yang tidak percaya Tuhan sama sekali.

Posisi iman dan ketauhidan dalam Islam merupakan pondasi segala amal dan kebaikan. Tanpa keyakinan rububiyyah (Allah pencipta, pengatur, dan pemberi rizki), uluhiyyah (Allah satu-satunya tuhan yang disembah), dan asma wa sifat (Allah mempunyai nama dan sifat sempurna), maka amal apapun tak akan diterima, karena termasuk dosa syirik yang menghapuskan amalan. Sebagaimana Firman Allah,

لئن أشركت ليحبطن عملك
"Jika kamu berbuat syirik, maka terhapuslah amalmu."

Pluralisme agama adalah paham yang mengakui bahwa agama apapun dengan jalan apapun, sekalipun berbeda-beda, semuanya menuju Tuhan yang sama. Agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak. Dengan kerelativannya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya yang paling benar dan yang lain salah.

Charles Kimball mengatakan, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York: Harper San Francisco, 2002).

Paham ini pun sudah meluas di masyarakat Islam Indonesia. Terbukti telah terlahirnya 'tokoh', 'cendekiawan muslim', dan para para pemuja dan pengasong liberalisme.

Ulil Abshar Abdalla mengatakan, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,)

Budhy Munawar Rahman, penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL) menulis “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada “kebenaran semua agama”, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan makna “orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”. Karena itu, sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman. Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu. (Artikel Budhy Munawar Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: JIL, 2002), hal. 51-53).

Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta mengatakan, jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hal. 44).

Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.
Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan. (Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. Xix).

Dr. Alwi Shihab menyatakan, Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. (Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 108-109).

Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004, "banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”

Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas bahwa seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005).

Nuryamin Aini, Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta mengatakan, "Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki." (Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: JIL, 2005), hal. 223).

Relativisme Menyerang Syari'at

Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation menyatakan, “Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” (Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), hal. 150).

M.Khairul Muqtafa pada buku yang sama, mengatakan, bahwa penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari. (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), hal. 58).

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini,

“Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).
Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan. “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery. (Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 51,71-72).
Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).
Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat
Dekonstruksi Al-Qur'an
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadapTeks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).
Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Quran dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”
Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.
Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).
Salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa alQuran Kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak
Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan, Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Al-Quran. (makalah Taufik Adnan Amal berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia” (Jakarta: JIL, 2002), hal. 78).
Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang al-Quran menyatakan, Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa. (Luthfi Assyaukanie, “Merenungkan Sejarah Alquran”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 1).
Sumanto Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, dalam tulisannya dia katakan,
"Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain. (Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi 27/2005).
Di dalam Jurnal Justisia edisi ini, Sumanto juga menulis sebuah artikel berjudul: “Kesucian Palsu Sebuah Kitab”. Maksudnya, al-Quran bukan kitab suci, tetapi kitab suci yang palsu.
Penyerangan terhadap al-Quran di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang sangat menyedihkan. Dulu, beratus-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al-Quran justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang hanya menjiplak dan mengulang-ulang lagu lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele, sebab akan menjadi peluru gratis bagi kalangan orientalis untuk menyerang Islam. Mereka sekarang tinggal ‘ongkang-ongkang kaki’ (istrahat) dan menyaksikan kader-kadernya dari kalangan umat Islam sendiri yang aktif menyerang al-Quran. Bahkan, kadang dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih vulgar dan lebih biadab dari para orientalis.
Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Quran juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Quran dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “al-Quran merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Salah satu murid yang dibanggakannya adalah Dr. Nur Kholish Setiawan, yang baru saja menerbitkan disertasinya dengan judul “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar”. Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” di Program Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Padahal, dalam buku ini, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendekiawan Muslim tidak mau mengikuti para orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik terhadap Bible. Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Quran dan syariat Islam. (Adian Husaini, Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: GIP, 2006).
Dari sini, kaum muslimin mempunyai tugas berat tapi terhormat untuk selalu sigap memperjuangkan kebenaran Islam. Sensitif dengan berbagai gerakan yang menyerang Islam, karena toh mereka melakukan penyerangan dengan keras dan halus. Ali radhiyallahu 'anhu mengatakan, 'kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan kebatilan yang terorganisir'.

Minggu, 16 November 2008

حسن الظن بالله

HUSNUZH-ZHAN KEPADA ALLAH SWT
Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Husnudhdhan adalah bahasa arab yang terdiri dari dua kata, husn berasal dari hasuna yahsunu berarti baik dan adh-dhan berasal dari dhanna yadhunnu berarti sangkaan. Jadi husnudh-dhan adalah berbaik sangka.

Husnudh-dhan merupakan salah satu pengejewantahan dari akhlaq karimah. Pada dasarnya Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda beliau,
إنما بعثت لأتمّم مكارم الأخلاق
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."

Sebaliknya, berburuk sangka merupakan sesuatu yang dilarang bahkan disebut sebagai sebohong-bohongnya perkataan, sebagaimana sabda Rasul SAW
إياكم و الظنّ فإن الظنّ أكذب الحديث
"Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah sebohong-bohongnya perkataan."

Husnudh-dhan adalah kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya, terlebih lagi kepada Tuhannya. Secara eksplisit mewasiatkan umatnya supaya senantiasa berhusnudh-dhan kepada Allah
"لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن بالله الظن".
"Janganlah salah seorang diantara kalian mati, kecuali dalam keadaan berhusn adh-dhan (berbaik sangka) kepada Allah."

Hadits diatas diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya pada kitab al-jannah wa shifatu na'iemiha wa ahliha bab al-amr bi husn adh-dhan billahi ta'ala 'indal maut. Dalam riwayat muslim ini tersebut sebanyak 5 jalan dengan matan yang sama, tetapi sanad yang berbeda dan satu jalan dengan sanad berbeda dan matan yang semakna. Hadits termaksud adalah sebagai berikut

(2877) حدثنا يحيى بن يحيى. أخبرنا يحيى بن ز كرياء عن الأعمش، عن أبي سفيان، عن جابر. قال:سمعت النبي صلى الله عليه وسلم، قبل وفاته بثلاث، يقول "لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن بالله الظن".
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengkhabarkan kepada kami Yahya bin Zakariya dari A'masy dari Abi Sufyan dari Jabir, dia berkata: Aku telah mendengar Rasul SAW bersabda tiga hari sebelum kewafatannya: "Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah."
(2877) وحدثنا عثمان بن أبي شيبة. حدثنا جرير. ح وحدثنا أبو كريب. حدثنا أبو معاوية. ح وحدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا عيسى بن يونس وأبو معاوية. كلهم عن الأعمش، بهذا الإسناد، مثله.

Dan telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jabir tahwil dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah tahwil dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengkhabarkan kepada kami 'Isa bin Yunus dan Abu Mu'awiyah, seluruhnya dari A'masy dengan isnad ini dengan matan yang sama.

(2877) وحدثني أبو داود، سليمان بن معبد. حدثنا أبو النعمان، عارم. حدثنا مهدي بن ميمون. حدثنا واصل عن أبي الزبير، عن جابر بن عبدالله الأنصاري، قال:سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قبل موته بثلاثة أيام، يقول "لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل".

Dan telah menceritakan kepada saya Abu Daud Sulaiman bin Ma'bad, telah menceritakan kepada kami Abu an-Nu'man'Arim, telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun, telah menceritakan kepada kami Washil dari Abi az-Zubair dari Jabir bin Abdillah al-Anshary, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda tiga hari sebelum kematiannya: "Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah 'Azza wa jalla."

Hadits ini juga terdapat dalam sunan Abu Daud kitab al-Janaiz bab maa yustahabbu min husnidh-dhan billah 'indal maut, sunan Ibn Majah kitab az-Zuhd bab at-Tawakkul wa al-yaqin, musnad Ahmad kitab baqie musnad al-mukatstsirien bab musnad Jabir bin Abdillah.

Hadits ini dalam riwayat Abu Daud diriwayatkan dengan matan yang semakna dengan jalan sebagai berikut:

3113ـ حدثنا مسدد، ثنا عيسى بن يونس، ثنا الأعمش، عن أبي سفيان، عن جابر بن عبد اللّه قال:
سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول قبل موته بثلاث، قال: "لايموت أحدكم إلاَّ وهو يحسن الظَّنَّ باللّه".

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami 'Isa bin Yunus, telah menceritakan kepada kami al-A'masy dari Abi Sufyan dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda tiga hari sebelum kematiannya: "Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah."

Dalam riwayat Ibn Majah dengan matan yang semakna juga dengan jalan sebagai berikut:
4167- حدثنا محمد بن طريف. حدثنا أبو معاوية عن الأعمش، عن أبي سفيان، عن؛ قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (لا يمون أحد منكم إلا وهو يحسن الظن بالله).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tharif telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari al-A'masy dari Abi Sufyan dari Jabir, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah Salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam eadaan berbaik sangka kepada Allah."

Sementara dalam musnad Ahmad kitab baqie musnad al-mukatstsirien bab musnad Jabir bin Abdillah.
حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا يحيى بن آدم حدثنا سفيان عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر قال:سمعت النبي صلى الله عليه وسلم قبل موته بثلاث يقول لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن بالله الظن

Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada saya ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari A'masy dari Abi Sufyan dari Jabir, dia berkata: Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda tiga hari sebelum kematiannya: "Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbuat baik kepada Allah."

Hadits diatas adalah marfu' (sampai kepada nabi) dengan sanad bersambung dan shohih gharib karena hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat (Jabir bin Abdillah al-Anshary).

Dalam syarah shahih Muslim, imam an-Nawawi mengatakan bahwa husnudz-dzan kepada Allah adalah peringatan untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah dan selalu termotivasi untuk raja (berharap) mendapatkan rahmat-Nya, khususnya ketika menjelang kematian. Allah berfirman dalam hadits qudsy,
انا عند ظن عبدى بى
"Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku"

Para Ulama mengatakan bahwa makna husnudz-dzan kepada Allah adalah dimana seorang hamba selalu berprasangka bahwa Allah selalu akan memberikan rahmat-Nya dan mengampuni dosa-dosanya. Ketika dalam keadaan sehat, maka rasa takut dan harap selalu ada dalam dirinya. Rasa takut yang selalu memotivasi untuk tidak melakukan kemaksiatan, kejelekan, dan kejahatan dan sebaliknya selalu mengoptimalkan ketaatan dan amal shaleh. Rasa harap yang selalu mengundang ketenangan dan optimis akan rahmat Allah, terlebih ketika tanda-tanda kematian sudah mendekat seperti dalam keadaan sakit.

Imam al-'Aenie dalam 'Aunul Ma'bud syarah sunan Abu Daud mengatakan bahwa husnudzdzan kepada Allah adalah merupakan usaha memperbaiki amal, sebagaimana beliau katakan,
Perbaikilah amal-amal kalian dengan berhusnudz-dzan kepada Allah , maka barang siapa yang jelek amalnya, maka jelek pula persangkaannya. Kadang berhusnudz-dzan kepada Allah, bisa dari sisi raja' (harap) dan mengharap ampunan. Dan Allah ta'ala maha pemurah lagi dermawan, mengampuni dosa hamba-hambanya.

Sebaliknya, ketika seorang hamba berburuk sangka kepada Allah swt, maka hal tersebut menjadi sebab munculnya bencana bagi dirinya di akhirat kelak. Dalam tafsir Aisar at-Tafasier, As'ad Humaid ketika menafsirkan surat fushshilat ayat 23,
وذلكم ظنكم الذى ظننتم بربكم أرداكم فأصبحتم من الخسرين
"Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi."

Ayat ini adalah persangkaan yang rusak yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang hamba-Nya lakukan. Dia yang telah membinasakan kalian dan menjadikan kalian pada hari ini (pembalasan) termasuk golongan yang binasa dan rugi.

Kemudian As'ad Humaid mengutip sabda Rasul,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ ، فَإِنَّ قَوْماً أَرْدَاهُمْ سُوءُ الظَّنِّ بِاللهِ ، فَقَالَ تَعَالَى : وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ . . " ) ( أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَه عَنْ جَابِرٍ ) .

"Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah, karena sesungguhnya berburuk sangka kepada Allah telah membinasakan kaum sebelum kamu. Maka Allah ta'ala berfirman: "Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu…" (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah dari Jabir).

Mengenal Tafsir Az-Zamakhsyarie

MENGENAL TAFSIER
AL-KASYSYAF 'AN HAQAIQ AT-TANZIEL WA 'UYUN AL-AQAWIEL FIE WUJUH AT-TA'WIL
(Az-Zamakhsyarie)

Penyusun kitab tafsir ini adalah Abu al-Qasim: Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmie, al-Imam al-Hanafie al-Mu'tazilie, yang dijuluki dengan sebutan jaarullah (tetangga Allah SWT). Dilahirkan pada bulan Rajab tahun 467 H di Zamakhsyar –sebuah kampung di desa Khawarizm-. Beliau meninggal pada malam 'Arafah tahun 538 H di Jarjaniyah Khawarizm setelah kepulangannya dari Mekkah. Beliau datang ke Baghdad dan bertemu dengan para pembesar dan belajar kepada mereka. Begitupun beliau beberapa kali datang ke Khurasan. Beliau tidak datang ke sebuah negeri, kecuali para penduduknya mendatanginya dan berguru kepadanya. Dan apabila beliau melihat seseorang, beliau selalu mengucapkan salam kepadanya dan berkenalan dengannya.

Beliau pun jadi imam pada zamannya. Beliau dikenal sebagai seorang imam besar dalam tafsir, hadits, nahu, bahasa dan adab, dan pengarang kahot dalam berbagai macam ilmu. Beliau seorang mu'tazilah.Terlihat dari kemu'tazilahannya, sebagaimana yang dikatakan pengarang wafiyyat al-a'yan bahwa apabila ada seseorang yang meminta izin untuk menjadi shohib belaau dan meminta izin masuk, beliau katakan: katakanlah kepadanya Abu al-Qosim al-Mu'tazile ada di pintu.

Ketika beliau menyusun al-Kasysyaf, beliau tulis pada pembukaan khutbahnya: "Alhamdulillah al-ladzi khalaqa al-Qur'an", karena orang-orang pada tidak suka, beliau rubah menjadi "alhamdu lillah al-ladzi ja'alal Qur'an", dan dalam pandangan mereka ja'ala berarti khalaqa. Banyak yang menasakhnya menjadi "alhamdu lillah al-ladzi anzala al-Qur'an" Dan ungkapan itu bukan perbaikan dari beliau, tetapi dari orang-orang.

Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah al-Maidah (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".

Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Pijakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya ketika nash al-Qur'an berbenturan dengan madzhabnya

Pijakan dan pegangan yang digunakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya ketika ada satu ayat yang bertentangan dengan madzhab dan aqidahnya, dia mengambil ayat yang mutasyabih atas ayat yang muhkamat, pijakan inilah yang digunakan ketika az-Zamakhsyari dapatkan dalam firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 7:

{هُوَ ٱلَّذِيۤ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ}..

"Dia yang telah menurunkan al-Qur'an kepadamu (Muhammad) diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat yaitu ummul kitab dan yang lainnya adalah ayat mutasyabihat…"

Muhkamat adalah yang ungkapannya jelas, yakni terpelihara dari makna yang ganda dan serupa. Dan mutasyabih adalah yang mempunyai makna yang tidak jelas dan bermakna banyak. Dan ummul kitab yakni yang asalnya mengandung makna yang banyak dan sulit dan dikembalikan kepadanya dan ditafsirkan dengannya.

Az-Zamakhsyari memberikan perumpamaan untuk mengambil yang mutasyabih atas yang muhkam atas firman Allah SWT dalam al-An'am: 103:
لاَّ تُدْرِكُهُ ٱلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلأَبْصَارَ
"Dia tidak dapat dicapai oleh pengliihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatn itu dan Dia maha halus dan maha teliti"
Dan firmanNya dalam al-Qiyamah: 22-23:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ * إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
"Wajah-wajah (kaum muslimin) pada hari itu berseri-seri melihat Tuhannya."

Dia berpendapat bahwa ayat yang pertama adalah muhkamah dan yang kedua adalah mutasyabih. Maka ayat yang kedua dengan yang pertama saling menguatkan (cocok sesuai) dan tidak ada jalan tentang hal itu, kecuali dengan memaknai yang pertama dengan yang kedua, dan sebaliknya.

Pembelaan az-Zamakhsyari terhadap aqidah mu'tazilah

Sesungguhnya az-Zamakhsyari akan membela madzhab mu'tazilahnya dengan sekuat tenaga dan kekuatannya dalam argumen dan dalil.

Pembelaannya terhadap pandangan mu'tazilah tentang pelaku dosa besar

Contohnya ketika dia menafsirkan firman Allah SWT dalam an-Nisa: 93:

"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin secara disengaja, maka balasannya neraka jahannam yang kekal didalamnya dan Allah sangat marah kepadanya dan menyediakan baginya siksaan yang besar."

Kita mendapatkan bahwa dia dalam menjelaskan ayat ini sangat menunjukan pembelaannnya kepada madzhabnya dan penyerangannya terhadap ahlus-sunnah dan menyangkal mereka ketika mereka mengatakan akan adanya ampunan dosa, walaupun pelakunya tidak bertobat. Bahkan pelaku dosa besar tidak akan kekal di neraka. Maka dia berkata untuk kesempatan ini untuk mengolok-olok dari penyerangannya terhadap ahlus-sunnah: "Ayat ini didalamnya terdapat pembatasan dan pengulangan, ibraq dan ir'ad, urusan yang besar dan pembicaraan yang dalam, dan dari sini telah diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa tobat seorang pembunuh mukmin yang sengaja, tidak akan diterima. Dan dari Sufyan: Keadaan ahli ilmu apabila mereka ditanya, mereka menjawab; tidak ada taubat baginya, dan hal itu mereka pikul atas tuntutan sunnah Allah dalam ketegasan dan kekerasan. Dan jika tidak, maka semua dosa akan terhapus dengan taubat, dan menolakmu dengan penghapusan dosa syirik atas dasar dalil. Dalam hadits disebutkan:

"Hancurnya dunia tidak sebegitu parah ketimbang terbunuhnya seorang muslim".

Dan disebutkan pula didalamnya:

"Seandainya ada seseorang yang terbunuh di timur, dan yang lain yang berada di barat ridha atas pembunuhan itu, maka dia telah ikut dalam menumpahkan darahnya."

Dan disebutkan pula:

"Bahwa manusia ini adalah bangunan Allah, maka akan dilaknat orang yang menghancurkan bangunannya."

Dan disebutkan pula:

"Siapa yang membantu pembunuhan seorang muslim dengan satu kalimat, maka pada hari kiamat, dia tercatat diantara kedua matanya : terputus dari rahmat Allah ."

Dan yang aneh dari kaum yan membaca ayat ini, melihatnya dan mendengar hadits-hadits yang agung dan perkataan Ibn 'Abbas dengan menolak taubat, tidak menopang kefanatikan dan ketamakan mereka yang kosong dan ikutnya mereka terhadap hawa nafsu mereka, mereka tamak dalam ampunan dari yang membunuh seorang mukmin tanpa bertobat:

"Apakah mereka tidak mentadaburi al-Qur'an atau hati mereka terkunci.."

Kemudian Allah menyebutkan taubat dalam pembunuhan yang tidak disengaja (kesalahan) . Jika kau bertanya: Apakah ada dalil atas kekalnya orang yang tidak bertobat dari pelaku dosa besar? Aku jawab: Aku tidak menjelaskan dalil, hal itu termasuk firman Allah:

"Dan siapa yang membunuh.."

Yakni yang terbukti membunuh, baik muslim atau kafir, taubat atau tidak tobat, jika tidak bahwa yang yang bertobat ada dalil yang mengeluarkannya, maka siapa yang menganggap keluarnya muslim tanpa tobat, maka mesti datang dalil seperti itu.

Pembelaannya terhadap madzhab mu'tazilah dalam kebaikan dan kejelekan para rasionalis

Ketika az-Zamakhsyari berkata dengan landasan mu'tazilah dalam kebaikan dan kejelekan para rasionalis, mesti baginya untuk melepaskan dari dhahir dua nash yang meniadakan madzhabnya, dan kedua ayat itu yaitu: Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa: 165:

"Para rasul itu pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alas an bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.”

Dan firman Allah SWT dalam surat al-Isra':15:

"Kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul…."

Kita melihat pada ayat yang pertama secara dhahir bertentangan dengan landasan ini, maka dia akan bertanya dengan pertanyaan ini: "Bagaimana manusia membantah Allah disisi rasul, sedang mereka terhalang dengan apa yang Allah sandarkan dari dalil-dalil yang pandangan didalamnya menyampaikan pada makrifat, dan para rasul dalam diri mereka tidak sampai pada makrifah kecuali dengan analisa pada dalil-dalil itu, dan tidak pula diketahui bahwa mereka para rasul Allah kecuali dengan analisa? Kemudian dia menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan: Aku menjawab: para rasul mengingatkan dari kelalaian dan mencari penelitian/analisa sebagaimana Ulama ahli adil dan tauhid melihat serta menyampaikan apa yang mereka pikul dari rincian urusan agama dan menjelaskan keadaan taklif. Dan mengajarkan syari'at, maka pengutusan mereka untuk menghilangkan 'illat dan penyempurna untuk menetapkan hujjah supaya mereka tidak berkata: Kalaulah kamu tidak diutus kepada kami sebagai rasul, maka dia menasehati kami dari kelalaian dan memperingatkan kami ketika pemberian peringatan itu wajib baginya."

Pembelaannya Terhadap Aqidah Mu'tazilah Dalam Masalah Sihir

Az-Zamakhsyari seperti yang lainnya dari mu'tazilah tidak percaya sihir dan tidak pula meyakini adanya tukang sihir. Oleh karena itu, ketika dia menafsirkan surat al-falaq yang memberi bukti kepada ahli as-sunnah, tetapi ayat yang jelas itu tidak dapat meyakinkannya, tidak menyurutkan intelektualnya dan tidak melemahkan hujjahnya dalam tafsirnya.

Sebagaimana kita mendapatkannya dia bersikeras mengingkari, mengejek, dan menghina ahli as-sunnah yang mengatakan hakikat sihir. Hal itu terbukti ketika dia berkata: an-naffatsat (wanita atau jiwa-jiwa atau rombongan ahli sihir yang mengikat buhul (ikatan) pada kain dan meniup dan memantrainya).

Dan an-nafts: tiupan dari rieq. Dan tidak ada pengaruh untuk hal itu, ya Allah kecuali apabila dia memakan sesuatu yang berbahaya atau menyakitinya atau langsung tersihir olehnya atas beberapa cara, tetapi Allah 'Azza wa jalla melakukan hal itu untuk menguji orang yang memegang kebenaran dari masukan dan kebodohan orang awwam, maka dia menyandarkan masukan dan pengisian itu kepada wanita dan kepada tiupan-tiupan mereka.

Orang-orang yang berpegang teguh dengan ucapan yang kuat tidak akan terpalingkan dengan tiupan-tiupan itu. Jika kamu bertanya: Apa arti berlindung dari kejahatan mereka (p)? Aku menjawab; Didalamnya ada tiga hal: Pertama, Dilindungi dari perbuatan-perbuatan mereka yang dibuat sihir dari dosa-dosa mereka dalam hal itu.

Kedua, Dilindungi dari fitnah mereka dengan sihir mereka (P) dan mereka (P)tidak dapat menipu terhadap mereka (L) dari kebatilan-kebatilan mereka.

Ketiga, Dilindungi dari apa yang Allah timpakan dari kejahatan tiupan-tiupan mereka (p). Dan dia menafsirkan mereka-mereka (p) juga dengan penipu-penipu (al-kayyadat) dari firman Allah:

"Sesungguhnya tipu daya mereka (p) sangatlah besar."

Penyerupaan tipuan-tipuan mereka (p) dengan sihir dan tiupan pada buhul (ikatan) atau yang wanita-wanita yang menguji kaum laki-laki dengan memberikan dan memperlihatkan kecantikan-kecantikan mereka yang menyihir mereka (l) dengan hal itu.

Pada hakikatnya, hal tersebut hanyalah spekulasi intelektual az-Zamakhsyari yang menginginkan di balik itu untuk menyimpangkan kebenaran yang yang termaksud dalam al-kitab dan as-sunnah kepada apa yang sesuai dengan hawa nafsunya dan aqidahnya.

Pembelaannya Terhadap Madzhab Mu'tazilah Dalam Kemerdekaan keinginan dan Penciptaan Amal

Az-Zamakhsyari telah memberi pengaruh dengan pendapat mu'tazilahnya tentang kemerdekaan keinginan dan penciptaan amal, tetapi dia mendapatkan ayat-ayat yang jelas yang bertolak belakang dengan keyakinannya bahwa perbuatan-perbuatan hamba seluruhnya diciptakan oleh Allah Ta'ala. Maka dia ingin berpaling dari benturan ini dan berusaha keluar dari ketentuan besar ini.

Dia memberikan masukan pada apa yang dimaksud oleh makna ini apa yang mu'tazilah berpegang terhadapnya dan memberi banyak manfaat kepada mereka dari berbagai maudhu', yakni al-Lathfu (kelembutan) dari Allah, maka dengan kelembutan dari-Nya berbuat baik akan mudah untuk manusia dan dengan sebaliknya akan sulit atas manusia untuk berbuat baik.

"Kelembutan" ini dan apa yang berhubungan dengan "taufik" membantu az-Zamakhsyari untuk keluar dari kesulitan yang membenturnya ketika menafsirkan ayt-ayat al-Qur'an yang jelas bahwa Allah SWT menciptakan perbuatan-perbuatan manusia baik yang baik atupun yang buruk. Dan ahlus-sunnah memandangnya sebagai senjata yang kuat untuk menghadapi pandangan mu'tazilah ini.

Dalam surat Ali Imran ayat 8, Allah berfirman:

"Ya tuhan kami janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan, setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami…"

Kita dapatkan az-Zamakhsyari menangkap ayat ini bahwa hati-hati hamba itu ada di tangan Allah sebagaimana yang Dia kehendaki, maka barang siapa yang Allah kehendaki hidayah, maka Dia memberikan petunjuk kepadanya, dan siapa yang Allah kehendaki kesesatannya, maka Allah menyesatkannya.

Tetapi dia lari dari makna dhahir ayat ini, dia berkata bahwa firman Allah swt.:

"Ya tuhan kami janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan…"

Jangan Engkau uji kami dengan ujian-ujian yang akan menyondongkan hati-hati kami. ,

"setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami…"

Dan Engkau memberi petunjuk kepada kami disisi-Mu atau Jangan Engkau halangi kelembutan-Mu setelah Engkau memberikan kelembutan pada kami.

Pertarungan dan Benturan Aqidah Az-Zamakhsyari dan Ahlus-sunnah

Kejelasan pertentangan aqidah Zamakhsyari dan ahlus-sunnah sangatlah kentara sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Masing-masing melontarkan tuduhan penyimpangan, sesat, bahkan pada abad pertama Hijriyyah sampai kepada pengkafiran dan pendosa. Tetapi masing-masing berargumen dengan tujuan mensucikan Allah swt dengan segala kesempurnaannya. Itu merupakan hal penting yang jangan sampai terlupakan.

Az-Zamakhsyari menuduh ahlus-sunnah dengan ejekan, olokan yang luar biasa, sifat-sifat yang rendah, dan bahkan menuduh sebagai Jabbariyyah, Hasywiyyah, Musybihah, dan Qadariyyah. Tuduhan tersebut –ahlus-sunnah sebagai Qadariyyah- karena dalam tafsirnya dia mengatakan Qadariyyah sebagai majusi ketika dia menafsirkan fushshilat ayat 17,

"Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan."

Sebaliknya ahlus-sunnah pun menyerang az-Zamakhsyari sebagai representasi dari mu'tazilah, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn al-Qoyyim ketika mengomentari tafsir az-Zamakhsyari terhadap surat al-A'raf ayat 176,

"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.."

Ibn al-Qoyyim mengatakan bahwa hal ini adalah kita mengenalinya sebagai serangan yang jelas dilancarkan dari seorang Qadari yang meniadakan kehendak mutlak (Allah swt) yang merepresentasikan pemikiran mu'tazilah dan Qadariyyah.

Begitu pula ahlus-sunnah yang lainnya seperti Ahmad bin Muhammad bin Mansur al-Munir al-Maliki, seorang Qadhi Iskandariyyah dalam kitabnya al-Intishaf) yang meneliti az-Zamakhsyari dan tafsirnya yang memuat kejelasan tentang kemu'tazilannya, takwil yang dipaksakan dengan aqidah mu'tazilahnya, dan sebagai tafsir yang mengikuti hawa nafsu.

Tetapi dalam masalah fiqh, az-Zamakhsyari tidak fanatik terhadap madzhab hanafinya. Sebagaimana menafsirkan surat al-baqarah ayat 222,

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri"

Dia menampilkan perbedaan pendapat beberapa fuqaha. Dia katakan,

"Diantara beberapa fuqaha ada perbedaan ketika memahami al-I'tizal (menjauhi istri). Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa I'tizal termasuk al-izar (sarungnya). Tetapi Muhammad bin Hasan memahaminya hanya dengan farj (bersetubuh). Muhammad meriwayatkan hadits dari Aisyah bahwa Abdullah bin Umar bertanya kepadanya: Apakah boleh seorang suami mencampuri istrinya ketika dia haid? Aisyah menjawab: hendaklah dikencangkan sarung pada bagian bawahnya, kemudian bercampurlah sesuka dia. Dan riwayat Zaid bin aslam, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. Apa yang halal bagiku ketika istri sedang haid? Rasul bersabda; Kencangkan sarungnya, kemudian campuri sesuka hatimu bagian atasnya. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa pendapat itu adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Dan telah datang yang lebih ringan dari pendapat ini dari Aisyah, dia berkata: beliau menjauhi tempat keluarnya darah, dan yang selainnya didekatinya." Dan dibaca yathahharna dengan tasydid, yakni mereka bersuci dengan dalil faidza tathahharna ..Dan Abdullah membaca: Hatta yatathahharna dan yathhurna dengan takhfif. Dan Tathahhur artinya mandi, sedang ath-thuhru artinya terputusnya darah haid dan dua bentuk bacaan tersebut wajib diamalkan. Imam Abu Hanifah berpendapat bolehnya mendekati istri dalam keadaan haid meskipun sering setelah terputusnya darah, walaupun belum mandi. Dan langka untuk tidak mendekati istri haid sampai dia mandi atau waktu sholatnya berhenti. Imam Syafi'I berpendapat untuk tidak mendekati istri yang sdang haid sehingga berhenti darahnya dan sudah madi dengan menggabungkan keduanya. Dan inilah pendapat yang jelas dan kuat dengan menyandarkannya kepada faidz tathahharna."

Demikianlah sekilas tentang az-Zamakhsyari dan tafsirnya al-Kasysyaf yang diresume dari at-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi.