بسم الله الرحمن الرحيم

Minggu, 28 Desember 2008

POLIGAMI, Boleh Gak..?

Teringat kejadian 2006, ketika Aa Gim poligami. Kejadian itu tidak jauh dari moment perceraian Dewi Yul dengan suaminya dan kasus selingkuh dan video porno Yahya Zaeni (anggota DPR) dan Maria Eva (artis dangdut).

Mungkin bisa diambil hikmah atas kejadian tersebut, ketika kasus perselingkuhan (baca: perzinahan) Yahya Zaeni dan Maria Eva di blow up media. Waktu itu Maria mengadukan dan membeberkan kejadian zinanya. Terlepas dari apa yang jadi orientasinya, Maria Eva yang artis, yang pezina, yang membuka aibnya sendiri dengan prilaku tidak beradabnya menangis seperti 'korban bencana alam', 'korban penganiayaan', 'korban HAM', dan 'korban lainnya'. Kasus amoral itupun mewarnai infotainment di TV berhari-hari. Akhirnya Maria Eva (artis pezina) pulang ke kampung halaman disambut meriah masyarakat bak 'pahlawan'.

Dewi Yul yang menggugat suaminya cerai, karena tidak menerima untuk dimadu (poligami) dengan alasan keadilan. Dewi berargumen, "bukan masalah mau atau tidak mau, tapi saya masih mampu melayani suami saya. Saya juga tidak yakin kalau suami saya poligami, dia bisa adil." Begtulah kira-kira Dewi Yul beralasan. Cukup logis dan mungkin bisa diterima.

Lain lagi dengan Aa Gim yang seorang ustadz kenamaan dan sohor dengan tablighnya yang simpel, sederhana, dan berisi. Posisinya sebagai seorang ustadz merepresentasikan beliau tahu tentang agama. Posisinya sebagai bisnisman sukses menunjukan beliau cukup dalam harta. Statusnya sebagai suami (teh Ninih: istri pertama) diakui keshalihan, keluhuran budi, kemapanan, dan keadilan suaminya oleh istri pertamanya itu. Bahkan dalam beberapa acara pengajian, seringkali Aa Gim dapat sms atau surat, yang isinya kesediaan seorang perempuan untuk jadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi sesering itu pula Aa Gim menanyakan istrinya yang pertama akan kesiapan itu. Akhirnya, Aa pun berpoligami dengan satu direktur perusahaan yang ditanganinya. Itupun dengan argumentasi dan landasan yang sangat kuat, khawatir akan fitnah dan lain sebagainya. Tetapi apa yang terjadi terhadap Kyai muda ini? Presiden turun tangan angkat bicara soal poligami diikuti mentri-mentrinya, khususnya mentri pemberdayaan perempuan. Bahkan sampai merayap ke wacana amandemen UU perkawinan. Aktifis perempuan, LSM perempuan, dan media pun berjama'ah mencerca Aa. Tetapi beliau pun tenang tidak emosi dengan kondisi itu. Bahkan keluarganya pun tenang setenang wajah Aa. Sungguh luar biasa. Sekarang dapat kita saksikan bagaimana buah dari keteguhan iman seorang Aa, yang tadinya ketika rame-ramenya poligami Aa dihebohkan, sekarang Aa terlihat lebih mantap. Daarut-tauhid –pesantrennya- yang tadinya sedikit banyak ditinggalkan, sekarang ramai dengan aktifis-aktifis yang solid. Subhanallah.

Menanggapi kejadian ironis diatas, sungguh perlu kiranya kita mendudukan poligami secara proporsional. Jangan bicara nafsu, nanti keliru. Jangan bicara perasaan, nanti cemburu. Dudukkan hukumnya dalam syari'at, posisikan momentnya dalam bingkai keluarga, maslahat buat masyarakat dunia dan akhirat.
Hukum poligami adalah mubah, bukan sunat apalagi wajib. Kalau wajib, niscaya yang tidak poligami akan celaka (baca: mendapat siksa). Andaikan sunat, niscaya orang yang tidak poligami rugi karena tidak dapat pahala. Jadi hukum dasarnya adalah mubah, sebagaimana pendapat para 'Ulama.

Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. (Lihat Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV: 206-217 (Beirut : Darul Fikr, 1996) yang membahas tentang pembagian nafkah dan bermalam kepada para isteri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).
Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut-Tahrir menyatakan, "harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan demikian."(Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam. 129).

Abdurrahim Faris Abu Lu’bah mengatakan, "masalah menikah dengan lebih dari satu isteri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap (syar’un tsabit) dan sunnah/jalan yang diikuti (sunnah muttaba’ah). Dan tidaklah ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun mereka berbeda pendapat pada kebanyakan bab dan masalah fikih. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…" (Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360)

Ibnu Hazm menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa apabila seorang muslim menikahi maksimal empat orang perempuan sekaligus maka hukumnya halal. (Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma', hal. 62) (Lihat Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press, 2006], hal 41)

"Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat." (QS. 4: 3)

Imam Suyuthi menjelaskan bahwa pada ayat di atas terdapat dalil, bahwa jumlah isteri yang boleh digabungkan adalah empat saja (fiihi anna al-‘adada alladziy yubahu jam’uhu min al-nisaa’ arba’ faqath) (Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 59).

Berkenaan dengan ayat diatas ada riwayat bahwa Urwah bin Zubair RA bertanya kepada
‘Aisyah tentang ayat QS. 4: 3,

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya." (QS. 4: 3)
Maka ‘Aisyah menjawab,"Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya. Tapi pengasuh itu tidak mau memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini anak-anak yatim itu kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kawin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (terj), VI/136-137).

Hadits diatas menjelaskan bahwa syari'at poligami didasarkan sebab pengasuhan anak. Tetapi sebab yang khusus tidak menjadi dasar hukum, karena yang dijadikan pijakan adalah lapadz umum, sebagaimana kaidah ushul fiqh,
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Yang menjadi pegangan adalah keumuman lapadz, bukan kekhususan sebab

إذا ورد لفظ العموم على سبب خاص لم يسقط عمومه

Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah mengugurkan keumumannya (Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995], Juz II hal. 123)

Hal tersebut terlihat dalam sebuah hadits diriwayatkan, bahwa Nabi saw. berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafy yang telah masuk Islam, sedang dia punya sepuluh istri, "Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikan yang lainnya." (HR. Malik, an-Nasa'I, dan ad-Daruquthni).

Diriwayatkan pula dari Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,"Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,"Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud). (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/139).
Yang menjadi pijakan dalam poligami adalah adil, sebagaimana ayat "dan jika kamu khawatir tidak berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja..". Adil bukanlah syarat poligami, tapi justru kewajiban. Syarat barang tentu mesti dilakukan sebelumnya, sebagaimana wudhu sebagai syarat sholat. Mana mungkin kita akan adil kalau nikahnya saja belum. Tetapi kalau setelah nikah mesti adil, bukan syarat lagi, tetapi kewajiban.

Kemudian ada ayat yang menyatakan,
"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS. 4: 129).
Apakah ayat ini menasakh ayat sebelumnya yang menekankan adil dalam berpoligami (QS. 4:3)?

Adil dalam QS. 4: 3 adalah dalam urusan nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah berarti memenuhi sandang, pangan, dan papan. Mabit berarti menemani dan berkasih sayang, baik jima' atau tidak (Lihat Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-217).

Sedang adil dalam QS. 4: 129 menunjukan kepada rasa cinta (kecenderungan hati). Hal ini tidak mungkin sama. Imam Suyuthi menukil pendapat Ibnu Abbas RA, bahwa "adil" yang mustahil ini adalah : rasa cinta dan bersetubuh (al-hubb wa al-jima’) (Lihat Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 83).

Memahami penjelasan singkat diatas, mungkin kita bisa mengistinbatkan poligami dalam beberapa hal:

1. Poligami adalah salah satu syari'at dalam Islam. Mengingkarinya, berarti mengingkari kesyumulan Islam
2. Poligami hukumnya mubah, bukan sunat, bukan wajib
3. Adil bukan syarat poligami, tapi kewajiban dalam berpoligami
4. QS. 4:3 dan 4: 129 tidak bertentangan. Yang pertama menjelaskan adil dalam nafkah dan mabit. Yang kedua, adil yang tidak mungkin dilakukan dalam kecenderungan hati (cinta)
5. Poligami maksimal 4 istri sesuai QS. 4: 3
6. Poligami adalah syari'at untuk suami yang mampu, mapan, dan mumpuni dalam materi, fisik, terlebih lagi agama. Sebagaimana haji hanya bagi yang mampu saja. Bedanya kalau haji wajib, sedang poligami sunat
7. Poligami adalah solusi masalah umat dari dekadensi moral, sebagaimana barat yang notabene melarang poligami, tetapi seakan melegalkan perselingkuhan (baca: berzina)
8. Poligami solusi bagi masalah individu. Ada sebagian suami yang lebih dalam materi dan syahwat secara bersamaan
9. Poligami solusi bagi masalah sosial, karena perbandingan jumlah laki-laki dan wanita yang berbeda. Katanya sekarang saja 1:6
10. Poligami menyambung keturunan dan memperkuat jaringan Islam

Mungkin bukan masalah mau dan tidak mau yang mesti muncul ketika ada yang bertanya apakah kita sebagai seorang suami mau berpoligami, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kesiapan seorang suami, baik mental, materi, dan kebijakan (keilmuan). Mungkin inilah yang menjadi syarat bagi yang akan poligami. Yang bisa konkrit menilai hal itu, tidak lain adalah seseorang yang dekat dengannya (baca: Istri), kira-kira suaminya ini siap (mampu, mumpuni) nggak?!

Kedua, sejauh mana seorang suami telah mendidik istri dan anak-anaknya dalam menikmati syari'at. Seandainya istri yang paham akan agamanya, insyaAllah tidak akan menolak syari'at kalau tidak menimbulkan mafsadat.

Ketiga, izin seorang istri. Mengapa penting, karena syari'at mempunyai tujuan kemashlahatan. Mana mungkin menjalankan syari'at, kalau toh nantinya menimbulkan madharat yang besar. Meskipun demikian, yang namanya resiko pasti akan ada. Tetapi sejauh mana skala prioritas dan asas perbandingan mashlahat dan mafsadat harus diperhatikan. Apalagi istri pertama, katanya cintanya tak tergantikan, bener gak? Wallahu a'lam. Ada yang bilang, Nabi saw tidak berpoligami selama 25 tahun pernikahannya dengan Siti Khadijah karena beliau istri pertama. Makanya, kalau istri pertama jangan di poligami. Ana kurang setuju kalau istri pertama jangan dimadu dijadikan landasan hukum, karena pernikahan Nabi saw adalah perintah Allah. Tapi jadi pertimbangan penting, khususnya untuk ana dalam mengukur kemashlahatan berkeluarga, insyaAllah. Bahkan, seandainya...sekali lagi seandainya, bukan mau lho..seandainya berpoligami, ana mau istri ana yang memilihnya. Walaupun disisi lain, nikah tanpa izin istri pun sah.

Keempat, tuntutan dakwah. Kondisi dan situasi yang menuntut itu terjadi. Kalau untuk dakwah, apapun itu, kalau ana mampu, insyaAllah ana lakukan sepanjang jauh dari kemudharatan dan dekat dengan mashlahat.

0 komentar: