بسم الله الرحمن الرحيم

Minggu, 07 Desember 2008

Keselamatan Ahli Kitab

Mempertanyakan Keselamatan Ahli Kitab
(Analisa Kritis Tafsir surat Qs. 2: 62)


Klaim pluralisme agama makin bersemangat ketika menemukan legitimasi ayat yang seolah-olah mendukung “paham syirik” itu. Tampaknya, Qs. al-Baqarah [2]: 62 menjadi ayat pavorit bagi kaum pluralis untuk menjebak kaum Muslimin bahwa bukan hanya Islam agama yang benar. Ahli Kitab pun punya hak keselamatan yang sama di akhirat. Tak heran jika kemudian pentolan pluralis pun berbondong-bondong menguatkan klaim itu.

Syafi’i Ma’arif, misalnya, di Republika (21/11/2006) menurunkan tulisan yang amat ganjil. Menurutnya, setiap agama, baik Yahudi, Nasrani, Shabi’in, bahkan yang tidak beragama sekalipun akan menemui keselamatan, asalkan berbuat kebajikan. Di sini, standar keselamatan itu adalah “kebajikan”

Lain lagi dengan Kautsar Azhari Noer. Dosen UIN Jakarta ini, dalam pelatihan Jaringan Islam Kampus (JARIK) Garut menyatakan bahwa dengan kebajikan universal, dalam semua agama terdapat keselamatan.

Ayat yang selalu dipelintir dan dipaksakan sesuai dengan konsep barat oleh pengusung dan pengasong liberalisme yang menjadi korban globalisasi dan westernisasi tersebut adalah QS.2:6 tersebut di atas,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani,dan orang shabi'in, siapa saja (diantara mereka) yang bermian kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Sejatinya, orang beriman pada ayat di atas memiliki beberapa pendapat. Pertama, orang-orang yang beriman kepada Isa as. yang hidup sebelum Muhammad saw. diutus. Ada yang sempat bertemu Rasul, mengimaninya, dan berlepas diri dari kebatilan Nasrani dan Yahudi, ada pula yang tidak sempat bertemu. (Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, 1993, 1: 46). Kedua, orang munafik yang mengaku beriman. (Al-Zamakhsyari,al-Kasysyaf, 1995, 1:,148, Al-Nasafy, Tafsir al-Nasafiy, 2001, 1:57). Ketiga, orang-orang yang beriman dengan benar kepada Nabi Muhammad saw (Al-Qurtubi, 1:358, Al-Thabari, 1992, 1: 358). Keempat, mencakup orang yang memeluk Islam, baik mukhlis ataupun munafik (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, 1998, 1: 66).

Orang Yahudi adalah pemeluk agama Yahudi (Al-Tibrisi, 1: 258). Menurut al-Zajjaj, secara bahasa kata haadu berarti taba (bertaubat) (Al-Jawzi al-Qurasy, 1987: 78). Dinamai Yahudi karena mereka pernah bertaubat dari menyembah anak sapi. Menurut Ibn Jarir, Abu Hatim, dan Ibn Mas’ud pemberian nama ini karena mereka berkata: Inna hudnaa ilaika (QS.7:156) (Al-Syaukani, Fath al-Qadir, 1:119).

Nashara adalah bentuk plural dari nashraniy. Mereka adalah pengikut Nabi Isa as. Penamaan tersebut disandarkan kepada nama tempat dimana Maryam pernah tinggal tatkala membawa Nabi Isa as ketika masih bayi, yaitu Nashirah atau Nazaret. Termasuk penamaan ini karena diantara mereka ada pengikut setia Isa as. yang siap menjadi para penolong Allah (anshar Allah) yang dalam Al-Qur’an disebut dengan al-Hawariyyun (QS.3: 52).

Sedangkan shabi’ien adalah bentuk plural dari shabi’un. Mereka adalah orang-orang yang menyembah bintang. Secara bahasa artinya keluar atau pindah. Ada yang mengatakan mereka pindah dari agama Yahudi dan Nasrani, dan menyembah Malaikat (Al-Syaukani, 1997, 1: 204, Al-Qurtubi, 1995, 1: 432-433. dan M. Ali Ash-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, 2002, 1: 51).

Para ulama sepakat bahwa Yahudi dan Nasrani adalah Ahli Kitab. Tapi berbeda pendapat dalam Shabi’in. Al-Suddiy, Ishaq bin Rahawaih, dan Ibn Mundzir mengatakan bahwa mereka adalah Ahli Kitab. Sementara al-Khalil menyatakan bahwa mereka sebagai syibh al-Nashara (semi Nasrani), cuma kiblatnya tidak sama. Dan Mujahid, Al-Hasan, dan Ibn Abi Najih mengatakan agama mereka antara Yahudi dan Nasrani. Dan al-Qurtubi menyimpulkan mereka adalah yang mengimani Allah, tapi percaya pengaruh bintang (Al-Qurtubi, 1995, 1: 435). Karena ayat tersebut berbicara mengenai berbagai kepercayaan agama, maka al-shabi’in bisa dikatakan representasi dari agama paganis dan lainnya.

Secara zahir, ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Pertanyaannya adalah: Apakah benar klaim yang menyatakan bahwa semua agama (sebagaimana direpresentasikan ayat di atas) akan sama-sama memperoleh keselamatan?

Menafsirkan ayat ini, penting diperhatikan dalam beberapa hal. Pertama, melihat sibak (ayat yang mendahului), siyaq (konteks), dan lihaq (ayat yang kemudian) ayat. Pada tataran sibaq, ayat ini didahului oleh ayat tentang kemurkaan Allah kepada Bani Israil (Yahudi) karena pengingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Begitupun sisi lihaq, ayat setelahnya menjelaskan pelanggaran Yahudi akan aturan Allah. Pada sisi asbab an-nuzul, menurut riwayat Abu Hatim dari Salman, berhubungan dengan pertanyaan Salman mengenai teman-temannya yang mengimani Taurat sebelum datang Rasul. Nabi saw menjawab: Mereka di neraka. Salman berkata: ”Gelap gulitalah bumi bagiku. Kemudian turun ayat ini, maka terang benderanglah dunia bagiku (Al-Syaukani, 1: 13-14).

Jadi ayat di atas berbicara dalam konteks sebelum bi’tsah (pengutusan Muhammad saw). Adapun setelah bi’tsah, Ahli Kitab merupakan ikon (simbol) dari orang-orang yang diberi kitab, tetapi melanggar dan melakukan tahrif (penyimpangan) terhadap ayat-ayat Allah. Sebagaimana firman Allah,

”Wahai ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang benar dengan yang palsu, dan kamu menyembunyikan yang benar sedang kamu mengetahuinya?” (QS. 3:71).
Ayat yang semakna dapat ditemukan pada 3:19, 4:47, 4:131, 3:187, 2:101, 2:146, 3:69, 3:72, 3:78, 3:100, 5:5, 3:23, 4:51, 13:36, 4:44, 3:71, 3:98, 3:99, 4:171, 5:77, 3:110, 5:62, 5:66, 5:68, 7:169, 2:105, 2:109, 5:59, 5:65, dan 98:6.

Kedua, kesesatan Nasrani sebagai Ahli Kitab ditunjukan oleh sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang surat Nabi saw kepada raja Romawi Heraklius yang beragama Nasrani. Di dalam surat itu disebutkan, “Maka sesungguhnya aku mengajakmu kepada seruan Islam. Masuk Islam lah, niscaya engkau akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu pahala dua kali lipat. Tetapi jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau (berdosa) dan akan menanggung dosa rakyatmu.” Kemudian beliau SAW mengutip firman Allah 3: 64).

Ketiga, manusia yang hidup setelah Nabi diutus, tetapi tidak mengimani Rasul, maka Rasul saw nyatakan sebagai penghuni neraka kelak. Sebagaimana sabda Rasul saw dalam riwayat Muslim, ”Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka." (HR.Muslim). Disamping itu, ada hadits yang menyatakan, "Andaikata saudaraku Musa hidup (saat ini), tentu beliau tidak keberatan kecuali mengikutiku." (HR. Ahmad dan al-Bazzar).

Keempat, dalam QS.2:208 dikatakan,
”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan dan janganlah mengikuti langkah-langkah Syetan. Sungguh ia musuh nyata bagimu."

Asbab an-nuzul ayat tersebut terkait dengan Ahlul Kitab seperti dikatakan Ibn Abbas. Al-Thabari mengutip hadits, “Telah menceritakan kepada kami al-Qasim, dia berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami al-Husen, dia berkata: telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Ibn Juraij dari Ikrimah, firmannya, "Masuklah kalian secara keseluruhan." Dia berkata: Turun kepada Tsa’labah, Abdullah bin Salam, Ibn Yamin, Asad dan Usaid anak Ka’ab, Sya’bah bin ‘Amr, dan Qais bin Zayd, semuanya dari Yahudi. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan, maka izinkan kami merayakannya. Taurat adalah kitab Allah, maka izinkan kami amalkan di malam hari. Maka turunlah ayat tersebut (Al-Thabari, 2003, 2: 400).

Jadi, sangat gamblang bahwa hanya Islam yang memiliki konsep keselamatan (Lihat, QS.3:19, 85) dan yang lainnya akan celaka selama masih berpegang teguh kepada agamanya masing-masing. Ahli Kitab sebelum bi’tsah akan selamat selama mereka berpegang kepada kitabnya tersebut. (Lihat, QS.5: 68). Tetapi setelah bi’tsah, maka kewajiban mereka untuk taat dan mengimani Rasul adalah syarat utama keselamatan mereka, disamping iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Daden Robi Rahman, peserta Pendidikan Kader Ulama (PKU) di Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Gontor, Jawa Timur, utusan PERSIS Garut.

0 komentar: