بسم الله الرحمن الرحيم

Jumat, 30 Oktober 2009

LIBERALISME VS AGAMA

LIBERALISME VERSUS AGAMA

Menyikapi Tarik Ulur RUU Pornografi

Daden Robi Rahman

Liberalisme pemikiran telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Pemikiran yang tercemar dengan hawa nasfu akan merusak tatanan moral masyarakat. Dasar liberalisme yang mengacu kepada rasio, spekulasi filsafat dan memandang makna realitas dan kebenaran dengan memakai kacamata sosial, kultural, empiris, dan rasional telah membuahkan penolakan terhadap kebaikan dan kemaslahatan diri dan masyarakat.

Kasus pornografi yang kian marak hari-hari ini menjadi parameter menjamurnya arus liberalisme pemikiran yang berbuah dekadensi moral. Dengan landasan kebebasan tanpa batas dan hak asasi manusia versi 'manusia' yang meruntuhkan kewajiban manusia, tidak sedikit yang menolak tersahkannya RUU Pornografi.

Berdasar sensus, masyarakat Indonesia merupakan pengonsumsi situs porno terbesar ketiga. Ironis memang, sebagai negara yang identik dengan adat ketimuran dan bahkan penduduk muslim terbesar di dunia menyandang gelar seperti itu. Tetapi kenyataan ini menunjukan adanya indikasi konkrit bahwa negara muslim ini merupakan proyek besar arus liberalisasi.

Ormas dan partai Islam yang sangat bersemangat menggolkan RUU Pornografi menjadi alasan penting terjadinya penolakan. Karena mereka –penolak- seakan mencium isu peraturan berbau syari'ah. Hal tersebut terlihat ketika semangat yang tak kalah teriakannya dari fraksi PDIP dan PDS di DPR yang notabene sebagai partai nasionalis sekuler dan berbasis kristen menolak mentah-mentah RUU Pornografi.

Kedua, kondisi budaya 'telanjang' –baca: busana minim bahan- telah sangat dinikmati oleh pengumbar dan penikmat shahwat syaithani. Katakanlah para artis yang mengais rezeki dari memamerkan aurat, pelacur kelas teri sampai kelas kakap yang selama ini seakan mendapat legitimasi karena mendapat lokalisasi dan julukan PSK, 'penduduk' bali yang mendapat pemasukan hebat dari turis dan wisatawan asing yang biasa dengan budaya 'telanjang', sampai anggota legislatif yang sudah banyak terblow up media karena kasus amoral seperti Yahya Zaeni, Max Muin, dan lain-lain.

Ketiga, sikap apriori bahkan anti pati terhadap agama sebagai simbol pembangun moral yang secara perlahan merasuk jiwa masyarakat yang di usung atheis berbaju agama dan pengusung kesetaraan pembebas kewajiban yang sangat dikembang biakkan oleh berbagai kepentingan barat untuk merusak Islam khususnya dan agama-agama umumnya.

Kemasan penolakan yang diusung dengan dalih seni, kebebasan, dan hak asasi manusia tidaklah tepat. Dari mulai agama, moral, fitrah asasi manusia, dan ketulusan jiwa mana yang mengijinkan pornografi dan porno aksi. Semuanya hanya akan memposisikan manusia pada derajat yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang, karena manusia dikaruniai akal pikiran.

Islam tidak memonopoli larangan pornografi, termasuk Yahudi, Nasrani, Hindu dan bahkan peradaban dulu mengajarkan anti pornografi. Tetapi yang ironis, mengapa seakan umat Islam Indonesia yang hanya memperjuangkan RUU Pornografi.

Dr. Huda Darwish dalam Hijab al-Mar'ah: Bayna al-Adyan wa al-‘Almaniyah menyebutkan bahwa pada masa Fir'aun, para wanitanya memelihara keindahan tubuhnya dengan mengenakan hijab –penutup tubuh- yang menutupi pundak, dada, lengan, dan rambut dengan al-barukah -wig- untuk menjaga dari sinar matahari. Bahkan menurut beliau, dalam ajaran budha diatur interaksi dengan wanita tanpa melihat mereka.

Abul A'la al-Maududi dalam al-Hijab menyatakan bahwa perempuan Yunani memakai hijab yang menutupi seluruh tubuhnya selain kedua matanya.

Abdul Maqshoud dalam al-Mar'ah fi Jami‘i al-Adyan wa al-‘Ushur mengatakan bahwa arkeologi abad II SM menjelaskan adanya prasasti yang menerangkan bahwa perempuan waktu itu menutup kepalanya dan bahkan menunjukan adanya hukum yang memberi sangki perempuan tak berhijab.

Dalam ajaran Yahudi pun tersurat hijab bahkan niqab –penutup wajah-. Kejadian 24:65 menyatakan bahwa pengantin perempuan mesti menutup wajahnya. Kejadian 24:64 menyebutkan kisah Ribka yang menutup wajahnya dengan selendang ketika Ishak datang. Bilangan 13-15 bahwa agama Yahudi melaknat laki-laki yang menyerupai pakaian perempuan.

Dalam ajaran Nasrani pun sama. Paulus menyuruh perempuan Kristen harus menutup kepalanya demi malaikat (Kejadian 24: 65, Bilangan 5: 18, Yesaya 6: 2, Matius 18: 1, dan Efesus 2: 10), karena malaikat ikut ibadah dan belajar di gereja (Efesus 3: 10). Perempuan Kristen harus menutup wajah mereka sebagai penghormatan dan ketundukan kepada Tuhan. (Yesaya 6: 2). Bahkan melihat perempuan dianggap telah zina dalam hati dan paulus melarang perempuan untuk tidak berbicara di gereja. (Korintus 14: 34-36.

Sosiolog Max Weber mengingatkan bahwa sesungguhnya tindakan manusia terbagi kepada dua; sejauh suatu tindakan melibatkan orang lain maka itu sebenarnya yang disebut sebagai tindakan sosial, sejauh suatu tindakan tidak melibatkan orang lain maka cukup tidak termasuk kategori sosial. Persoalan kemudian sangat jarang sebuah tindakan tanpa melibatkan seorang yang lain, kecuali tindakan berhadapan dengan benda-benda fisik-mati, sementara perilaku manusia begitu sering terlibat dengan manusia lainnya sosio-interaksi. Untuk itu Max Weber menegaskan bahwa tindakan yang bermakna subyektif adalah tindakan sosial.

Tindakan melempar batu ke Sungai atau ke sebuah Gedung misalnya, tidak lah termasuk tindakan sosial. Namun ketika lemparan batu itu mengena orang yang sedang memancing ikan misalnya, maka seketika itu juga tindakan menjadi nyata sosial. (Lihat George Ritzer; Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Raja Grafindo Persada; Jakarta 2003. hal 56).

Dalam pornografi, sebuah gambar atau tayangan video yang mengeksploitasi aurat jelas merupakan tindakan sosial yang akan meruntuhkan moral para penikmatnya. Gambar, video, dan lainnya yang memperlihatkan aurat bukanlah masalah seni, tapi moral karena gambar ataupun video tersebut mempengaruhi syahwat laki-laki yang melihatnya. Kalaupun dikatakan respon syahwat laki-laki sangatlah relatif, tetapi jelas gambar atau video yang dibuat sengaja berpose sensual mengundang birahi.

Bur Rasuanto, pengarang, doktor dalam Filsafat Sosial Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika, mengatakan bahwa pengalaman estetika dirumuskan dalam 3D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap. ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya).

Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung moral dengan ketimurannya, apalagi mayoritas penduduknya adalah muslim. Setiap masyarakat di Indonesia mempunyai standar moral tersendiri yang berfungsi melindungi dirinya ataupun masyakatnya. Erotisme para artis dalam gambar atau video adalah bentuk perusakan standar moral yang ada, karena hal tersebut merupakan isu global yang dihempaskan untuk meruntuhkan keutuhan negara ini, khususnya kaum muslimin.

Jadi sekali lagi, pornografi bukanlah masalah seni tapi pertaruhan moral, bukan estetika tapi etika karena mengeksploitasi perempuan sebagai komoditas dan merendahkan martabat kaum perempuan.

Selanjutnya, karena masalah etika dan moral, maka pornografi tidak dapat menggunakan pers untuk perlindungan diri. Kebebasan pers bukan kebebasan subjektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Jadi kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatan ruang sosial bersama. Pers berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakat dan bersifat konstruktif bukan destruktif. Misalnya membongkar kasus pemerkosaan, bukan menggambarkan secara sensasional bagaimana pemerkosaan itu berlangsung.

Pada akhirnya, keputusan tersahkannya RUU Pornografi merupakan kebijakan arif dan tepat sebagai alat untuk menyelamatkan kharisma dan moral bangsa. Tidak ada alasan apapun yang dibenarkan oleh agama, seni, dan pers untu melegitimasi pornografi dan pornoaksi.

Ponorogo, 04 Nopember 2008

0 komentar: