بسم الله الرحمن الرحيم

Jumat, 30 Oktober 2009

FILSAFAT ILMU USHUL FIKIH

FILSAFAT ILMU USHUL FIKIH

Oleh: Daden Robi Rahman

Pendahuluan

Keberadaan filsafat sangat urgen dalam memaksimalkan peran manusia sebagai khalifah di bumi. Filsafat sebagai simbol berpikir mendalam dikenal pula dalam khazanah ilmu-ilmu Islam. Tulisan sederhana ini akan mengurai dengan sederhana filsafat hukum islam, yakni ushul fikih, dalam pandangan filsafat ilmu. Bagaimana ushul fikih bergerak dalam memproduksi hukum syari’at? Apa sumber ilmu yang dipegangnya? Bagimana validitasnya dan tingkat kebenaran ilmu tersebut? Seluruhnya akan dibahas secara ringan dalam tulisan ini.

Gambaran Singkat Filsafat Ilmu

Filsafat ilmu terdiri dari dua kata, yaitu filsafat dan ilmu. Filsafat dalam bahasa Inggris disebut philosophy. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang terdiri dari dua kata, yakni philos yang berarti cinta, atau philia yang berarti persahabatan, tertarik kepada, dan sophos yang berarti hikmah, kebijaksanaan, pengetahuan, keterampilan, pengalaman praktis, dan intelegensi.[2] Sophos yang berarti hikmah (kebijaksanaan). Sedangkan hikmah dalam bahasa Arab, sebagaimana yang dijelaskan Ibn Mandzur dalam Lisān al-‘Arab, adalah terhindar dari kerusakan dan kezaliman, karena hikmah adalah ilmu yang sempurna dan manfaat. Sedangkan Fu’ad Iframi Bustani dalam Munjid al-Thullāb, menyatakan bahwa hikmah secara etimologi adalah al-‘adl (menempatkan sesuatu pada tempatnya), al-hilm (akal baligh/pemikiran yang sempurna), dan al-falsafah.[3] Jadi secara etimologi, filsafat berarti cinta kebijaksanaan , keadilan, atau kebenaran (love of wisdom).

Pelaku yang berfilsafat disebut filosof, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.[4] Adapun pengertian pokok tentang filsafat menurut kalangan filosof, sebagaimana dikutip Lorens Bagus dalam bukunya, Kamus Filsafat, adalah sebagai berikut:

1. Upaya spekulatif untk menyajikan suatu pandangan sistematik serta lengkap tentang seluruh realitas.

2. Upaya untuk melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar serta nyata.

3. Upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengetahuan, baik sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, maupun nilainya.

4. Penyelidikan kritis atas pengandaian-pengandaian dan pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang pengetahuan.

5. Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu anda melihat apa yang anda katakan dan untuk mengatakan apa yang anda lihat.[5]

Sedangkan pengertian filsafat secara terminologi, menurut Al-Farabi (w. 950 M), sebagaimana dikutip Endang Saefuddin Anshari, adalah ilmu tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakikatnya yang sebenarnya.[6] Urgensi filsafat adalah niscaya, sebagaimana dijelaskan Ibn Rusyd (1126-1198 M) filsafat sangat penting sekali dikaji oleh manusia sebagai makhluk yang dikarunia akal. Dimana tujuan manusia berfilsafat adalah untuk menambah dan memperkuat keimanan kepada Allah swt.,[7] lewat pemberdayaan dan pengembangan akalnya yang proporsional. Hal ini senada dengan firman Allah, “Dan Dia memperlihatkan tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti.”[8]

Pembahasan filsafat sebagai ilmu dasar segala pengetahuan, sebagaimana dinyatakan Immanuel Kant (1724-1804), mencakup kepada empat persoalan. Pertama, apa yang dapat kita ketahui. Hal ini dapat dijawab oleh metafisika. Kedua, apakah yang boleh kita kerjakan, yang dijawab oleh etika atau norma. Ketiga, sampai manakah pengharapan kita, yang dijawab oleh agama. Dan yang keempat, apakah yang dinamakan manusia, yang dijawab oleh antropolog.[9]

Sedangkan pengertian ilmu secara terminologi berasal dari bahasa Arab dari kata ‘alima ya’lamu ‘ilman wazan dari fa’ila yaf’alu yang berarti mengerti, memahami dengan benar. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut science yang berasal dari bahasa latin, scientia yang artinya pengetahuan (kata benda) atau scire yang berarti mengetahui (kata kerja). Nama lain dari ilmu (bahasa Arab), science (bahasa Inggris), scientia (bahasa Latin), dalam bahasa Yunani disebut dengan episteme.[10] Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pengertian ilmu dijelaskan dengan pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.[11]

Ciri-ciri utama ilmu perspektif terminologi, sebagaimana dijelaskan Lorens Bagus, ada enam ciri. Pertama, ilmu adalah sebagian pengetahuan yang bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Kedua, ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematis adalah hakikat ilmu. Ketiga, ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapkan. Keempat, ide bahwa metode-metode yang berhasil dan hasil-hasil yang terbukti pada dasarnya harus terbukabkepada semua pencari ilmu. Kelima, metodologis,yaitu pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Keenam, Kesatuan setiap ilmu bersumber di dalam kesatuan objeknya. Teori skolastik mengenai ilmu membuat pembedaan antara objek material dan formal. Yang terdahulu adalah objek konkret yang disimak ilmu. Sedangkan yang belakangan adalah aspek khusus atau sudut pandang terhadap objek material.[12]

Dari penjelasan singkat mengenai filsafat dan ilmu diatas, dapat disimpulkan bahwa filsafat ilmu adalah kajian secara mendalam tentang dasar-dasar ilmu. Filsafat ilmu dapat dipahami dari dua sisi, yaitu sebagai disiplin ilmu dan sebagai landasan filosofis ilmu pengetahuan. Pertama, sebagai disiplin ilmu, filsafat ilmu meripakan cabang dari ilmu filsafat. Dengan demikian, filsafat ilmu merupakan disiplin filsafat khusus yang mempelajari bidang khusus, yakni ilmu pengetahuan. Maka mempelajari filsafat ilmu berarti mempelajari secara filosofis berbagai hal yang terkait dengan ilmu pengetahuan. Disini filsafat ilmu dilihat secara teoritis, yang dimaksudkan untuk menjelaskan “apa”, “bagaimana”, dan “untuk apa” ilmu pengetahuan itu. Tiga persoalan ini lazim disebut dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan.[13] Oleh karena itu, filsafat ilmu sebagai disiplin ilmu perlu menjawab beberapa persoalan berikut:

1. Pertanyaan landasan ontologis yang meliputi; objek apa yang ditela’ah? Bagaimana wujud hakiki dari objek tersebut? Bagaimana korelasi antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa, dan mengindera) yang menghasilkan ilmu? Landasan ontologis ini merupakan dasar untuk mengklasifikasi pengetahuan dan sekaligus bidang-bidang ilmu.

2. Pertanyaan landasan epistemologis yang meliputi pertanyaan; bagaimana proses pengetahuan yang masih berserakan dan tidak teratur itu menjadi ilmu? Bagaimana prosedur dan mekanismenya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut dengan kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Apa saja cara, teknik, sarana yang dapat membantu dalam mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?

3. Pertanyaan landasan aksiologis yang meliputi pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek dan metode yang ditela’ah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana korelasi antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?[14]

Kedua, filsafat ilmu sebagai landasan filosofis bagi ilmu pengetahuan. Disini jelas filsafat ilmu lebih dilihat dalam hal fungsinya, bahkan aplikasinya dalam kegiatan keilmuan. Sebagai landasan filosofis bagi tegaknya suatu ilmu, maka mustahil para ilmuwan menafikan peran filsafat dalam setiap kegiatan keilmuan.[15]

Gambaran Singkat Ushul Fikih

Ushul fikih terdiri dari dua suku kata, ushul dan fikih. Ushul merupakan bentuk jama’ dari ashl yang berarti apa-apa yang dibangun diatasnya yang lainnya, seperti akar yang bercabang darinya ranting-ranting. Fikih secara etimologi adalah pemahaman. Sedangkan secara terminologi adalah mengetahui hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalil yang terperinci.[16]

Sedangkan ushul fikih secara terminologi adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fikih yang umum dan cara mengambil faidah darinya dan kondisi orang yang mengambil faidah.[17] Dengan kata lain, ushul fikih merupakan kaidah-kaidah[18] yang digunakan sebagai alat untuk merumuskan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya.[19] Oleh karena itu harus dibedakan antara fikih dan ushul fikih. Jika fikih membahas hukum yang bersifat praktis dari dalil-dalil yang terperinci (Al-Qur’an dan al-Sunnah), maka ushul fikih adalah kaidah untuk menderivasi hukum dari dalil yang bersifat umum. Dengan kata lain fikih adalah produk hukum praktis, sedang ushul fikih merupakan perangkat teoritik atau metodologi dalam menderivasi atau memproduk hukum.

Dalam aplikasinya, ushul fikih yang tidak bisa dipisahkan dari fikih yang merupakan ilmu yang diderivasi dari al-Qur’an al-Sunnah, adalah merupakan metodologi yang merumuskan terwujudnya hukum syari’at dalam fiqih (ibadah praktis), dengan menyandarkan sumber rujukan kebenaran hukum secara hirarkis dari mulai Al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’,[20] dan Qiyas[21] sebagai adillah (petunjuk dalil) terlahirnya produk hukum yang tidak keluar dari worldview Islam.

Di dalam ushul fikih, seorang ahli ushul membahas masalah qiyas dan kekuatannya sebagai dasar hukum, dalil umum dan yang membatasinya, serta perintah dan yang bermakna perintah. Konkret aplikasi kerjanya kurang lebih seperti berikut. Al-Qur’an adalah dalil syara’ yang pertama untuk semua hukum. Nash (dalil) yang berhubungan dengan syara’ tidak selalu menggunakan satu bentuk saja. Diantaranya berbentuk perintah, larangan, umum, atau mutlak. Semua bentuk tersebut adalah masih berbentuk umum dari macam-macam dalil syara’ yang umum, yakni al-Qur’an al-Karim.. Kemudian ahli ushul fikih membahas semua bentuk tersebut untuk menentukan hukum yang bersifat umum dengan menggunakan metode penelitian terhadap susunan bahasa Arab dan penggunaan hukum-hukum syara’. Jika penelitian dan pembahasan itu telah sampai pada kesimpulan bahwa bentuk perintah menunjukan kewajiban, bentuk larangan menunjukan keharaman, bentuk umum menunjukan ketercakupan unsur umum secara pasti, dan bentuk mutlak menunjukan ketetapan hukum tanpa batas, maka terbentuklah kaidah-kaidah ushul, seperti “Asal di dalam perintah menunjukan wajib”, “Asal di dalam larangan menunjukan haram”, Lapal yang umum menunjukan ketercakupan semua unsur yang pasti”, dan lapal yang mutlak menunjukan ketetapan hukum dengan tanpa batas.”[22]

Ushul Fikih sebagai Filsafat Hukum Islam

Islam yang integral mempunyai hukum yang universal. Universalitas hukum Islam syarat nilai dengan kepentingan Islam itu sendiri sebagai agama tauhid yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan seluruh ciptaan Allah yang ada di alam semesta. Seluruhnya berorientasi kepada pembebasan penghambaan manusia kepada manusia dan alam kepada penghambaan manusia kepada Allah swt. Oleh karena itu sumber kebenaran di dalam Islam bukan ada pada manusia ataupun alam semesta, tetapi ada pada wahyu dan akal yang mu’tabar, yang menyadari keterbatasannya dan menyandarkannya kepada wahyu. Disinilah perbedaan mendasar antara peradaban Islam dan Barat. Ada garis pemisah yang sangat kentara dalam menjustifikasi sebuah kebenaran. Jika hukum Islam yang menjaga dan melindungi masyarakat muslim bersumberkan kepada wahyu Al-Qur’an, al-Sunnah, akal, pengalaman, dan intuisi, dengan pendekatan tawhidi. Berbeda dengan Barat yang bersumberkan kepada rasio dan spekulasi filosofis, dengan pendekatan dikotomis.[23]

Hukum Islam yang terdisiplinkan dalam ilmu fikih yang merupakan ilmu yang diderivasi dari Al-Qur’an dan al-Sunnah, membutuhkan kerangka teoritik atau metodologi berpikir yang disebut dengan ushul fikih. Ushul fikih begitu urgen kedudukannya dalam menderivasi hukum dan karena itu fungsi dan perannya mirip logika dalam filsafat. Jika logika dapat menghindarkan seseorang dari melakukan kesalahan dalam berargumentasi. Maka ushul fikih mencegah seorang faqīh atau mujtahid dari berbuat salah dalam menderivasi hukum.[24] Sehingga para ‘Ulama menetapkan ushul fikih sebagai salah satu syarat yang niscaya dimiliki seorang mujtahid.[25]

Sistematisasi ushul fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu dalam filsafat hukum Islam tidak terlepas dari peran imam Syafi’i (w. 204 H) sebagai peletak dasar-dasar ilmu ini[26] lewat mognum opus-nya yang dinamai dengan al-Risālah. Bahkan Mohammad ‘Abid al-Jabiri menempatkan al-Syafi’i sebagai perumus nalar Islam. Ia mengatakan bahwa di tangan Syafi’i, hukum-hukum bahasa Arab dijadikan acuan untuk menafsirkan teks-teks suci, terutama hukum qiyas, dan dijadikan sebagai salah satu sumber penalaran yang absah untuk memaknai persoalan-persoalan agama dan kemasyarakatan. Maka dalam konteks ini yang dijadikan acuan utama adalah nash (Al-Qur’an dan al-Sunnah). Imam al-Syafi’i sebagaimana dijelaskan al-Jabiri, meletakkan al-ushūl al-bayāniyyah sebagai faktor penting dalam aturan penafsiran wacana.[27] Bahkan al-Jabiri menyamakan al-Syafi’i dengan Rene Descartes. Kalau Descartes meletakkan dasar epistemologi Barat, maka al-Syafi’i meletakkan fondasi pemikiran Islam.[28] Sedangkan Fakhruddin al-Razi menyamakannya dengan Aristoteles dalam kemiripan ushul fikih dengan logika.[29]

Maka berpikir atau bernalar adalah berpikir dalam kerangka nash (Al-Qur’an dan al-Sunnah), tetapi bukan berarti “terkungkung”, justru sebaliknya, terbebas dan tersadarkan bahwa akal dalam bernalar mempunyai keterbatasan memproduksi hukum itu benar atau salah. Bahkan ada juga yang menjustifikasi usaha Syafi’i dalam mensistemisasi ushul fikih ini bukan hanya sekedar sistemisasi tapi juga sebagai upaya rasionalisasi pemahaman terhadap hukum Islam.[30]

Ushul Fikih adalah disiplin ilmu yang memiliki prinsip-prinsip epistemologi, bukan sekedar metodologi penderivasian hukum. Misalnya dalam masalah qath’ī dan zhannī,[31] mutawātir dan ahad, yang merupakan beberapa contoh yang sangat kental muatan epistemologinya, sebab menyangkut persoalan sumber ilmu, validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Secara epistemologis qath’ī berarti pasti, yakin, dan tidak mengandung keraguan dan tidak mungkin dipertanyakan. Berbeda dengan zhannī yang berkemungkinan salah dan benar, tidak pasti seperti qath’ī. Untuk menentukan apakah ilmu tersebut qath’ī atau zhannī tergantung pada sumber ilmu tersebut. Bila sumbernya qath’ī, maka dengan sendirinya ilmu yang dihasilkan juga bersifat qath’ī (pasti dan yakin). Dan begitu juga sebaliknya, bila sumbernya diragukan, maka ilmu yang disandarkan kepadanya sudah tentu diragukan juga.[32]

Kalau menggunakan istilah al-Jabiri, ia menggunakan konsep bayani dalam menjelaskan epistemologi ushul fikih imam al-Syafi’i.[33] Ia menyatakan bahwa imam al-Syafi’i telah menggariskan 5 tingkatan bayan terhadap al-Qur’an. Pertama, bayan yang tidak memerlukan penjelasan. Kedua, bayan yang beberapa bagiannya membutuhkan penjelasan al-Sunnah. Ketiga, bayan yang keseluruhannya bersifat umum dan membutuhkan penjelasan al-Sunnah. Keempat, bayan yang terdapat dalam al-Qur’an, namun terdapat pula dalam al-Sunnah. Kelima, bayan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an ataupun al-Sunnah. Poin kelima inilah yang kemudian memunculkan qiyas sebagai metode ijtihad. Dari lima tingkatan bayan tersebut, imam al-Syafi’i merumuskan dasar pokok agama, yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan qiyas.[34] Dalam karya monumentalnya, al-Risālah, al-Syafi’i dengan jelas menyatakan, “Tak ada seorang pun yang boleh mengatakan sesuatu itu halal atau haram kecuali dengan ilmu. Dan ilmu itu diperoleh melalui khabar yang ada di dalam al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.”[35]

Format hirarkis sumber ilmu dan kebenaran tersebut telah memberikan pengaruh yang cukup besar dalam sejarah pemikiran Islam. Terbukti dalam rentangan sejarah, format hirarkis tersebut tidak menuai protes, kritik, dan gugatan, kecuali hal tersebut terjadi sekarang setelah merebaknya globalisasi yang esensinya westernisasi, yang memaksa kaum muslimin untuk serta merta mengikuti konsep-konsep Barat, termasuk dalam berpikir. Hal ini pun dibenarkan pula oleh ‘ulama setelah al-Syafi’i, seperti al-Ghazali yang menyatakan bahwa dalil-dalil hukum itu adalah Al-Qur’an, al-Sunnah, dan Ijma’.[36]

Hirarki sumber hukum tersebut diatas merupakan konsep referensi teratur dalam naungan worldview Islam yang melihat kebenaran secara proporsional, begitu juga dengan menempatkan posisi akal pada tempatnya, tanpa harus diagungkan melebihi wahyu, ataupun dikucilkan. Justifikasi kebenaran hirarki sumber hukum tersebut diatas merupakan gambaran dari riwayat naqli, yakni hadits Rasulullah saw. ketika mengutus Mu’adz ibn Jabal ke Yaman untuk menjadi qādhī disana.

“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus Mu’ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya diajukan kepadamu suatu perkara? Mu’ādz menjawab: Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur’ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu’ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah Rasūlullāh SAW. dan Kitab Allah? Mu’ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihād dengan nalar (ra’yu) saya. Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasūlullāh SAW. dengan apa yang diridhai Rasūlullāh.”[37]

Kemudian seorang imam madzhab fikih yang dikenal dengan ahl al-ra’y (ahli logika), Abu Hanifah, meskipun dikenal dengan kepiawaiannya dalam berlogika, tetapi ia bukan seorang yang mengedepankan akal atas nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Terbukti Abu Hanifah pernah menulis surat kepada Khalifah al-Mansur untuk menolak tuduhan orang tentang kecenderungannya menggunakan akal. Ia menulis: “.. Ceritanya bukan seperti yang sampai kepadamu ya amīr al-mukminīn. Aku berbuat sesuai dengan Kitab Allah, Sunnah Rasulullah saw, keputusan yang dibuat oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, dan ‘Ali ra., serta sahabat-sahabat yang lain. Aku melakukan qiyas, jika aku mendapati mereka berbeda pendapat.”[38] Jelas hal ini menunjukan bahwa imam Abu Hanifah mengikuti hirarki otoritas dalam epistemologi Islam.

Dengan konsep dan sumber hukum Islam yang khas, akan menafikan adanya penyimpangan dan kesalahan dalam memproduksi hukum. Segala jenis ilmu dari berbagai sumber referensi ilmu, baik al-Sunnah, pengalaman, akal, atau intuisi disesuaikan dengan standar al-Qur’an. Oleh karena al-Qur’an tidak ada persinggungan sedikit pun di dalamnya, baik isi lapad atau pun maknanya, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Maka tidaklah mereka menghayati Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an ini bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.”[39] Maka dalam menyeleksi tafsir ataupun istinbat (derivasi) hukum pun disesuaikan dengan al-Qur’an.

Kesimpulan dan Penutup

Ushul fikih sebagai filsafat hukum Islam mempunyai ciri khas tersendiri dalam menderivasi hukum syari’at. Kekhasan tersebut dapat dilihat dari kaca mata filsafat ilmu, dimana ushul fikih kental dengan muatan epistemologinya. Di dalam ushul fikih dibahas persoalan sumber ilmu, validitas ilmu, dan tingkat kebenaran ilmu. Seluruhnya membentuk sebuah produk hukum yang universal dengan pijakan sumber hukum universal pula. Dimana dalam hirarki sumber dan referensi hukum didasarkan pada wahyu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Standar kebenaran utama ada pada wahyu al-Qur’an dengan keuniversalannya dan prinsip umum yang dimilikinya. Dengan kata lain, apa yang terkandung dalam al-Sunnah, pengalaman, akal, atau pun intuisi, akan diseleksi kebenarannya dengan disesuaikan dengan garis-garis besar yang dituangkan dalam Al-Qur’an.

Khususnya tentang kebebasan akal dan logika, filsafat hukum Islam menempatkannya secara proporsional. Dimana akal dengan potensi luarbiasa dibebaskan untuk berkarya dan berpikir dalam penderivasian hukum dengan naungan dan sinaran wahyu. Oleh karena itu, tidak akan terjadi pengagungan akal, bahkan sampai menuhankannya, ataupun mendiskreditkannya untuk di “kerangkeng” untuk tidak berinisiatif dan jumud. Kemajuan dan tantangan zaman yang berkembang akan menuntut mobilisasi akal dalam merespon dan memberi solusi atas berbagai tantangan tersebut dengan ijtihad-ijtihad yang digariskan ushul fikih, tanpa harus menanggalkan kekuatan iman. Wallāhu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA

× Al-nawawi, Abu Zakariyya Muhy al-Din ibn Syarf, Tahdzīd al-Asmā wa al-Lughāt, Mesir: Idīrah al-Thibā’ah al-Muniriyyah, t.th.

× Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2

× Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004

× __________________, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997

× Salam, Burhanuddin, Pengantar Filsafat, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988

× Anshari, Endang Saefuddin, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987

× Al-Razi, Fakhr al-Din, iManāqib al-Imām al-Syāfi’ī, Beirut: Dār al-Jil, 1993

× Bustani, Fu’ad Iframi, Munjid al-Thullāb, Beirut: Dār al-Masyriq, 1996

× Zarkasyi, Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS-ISID-Gontor, 2008

× Al-Asnawi, Jamal al-Dīn ‘Abd al-Rahīm ibn al-Hasan, Nihāyah al-Suwl fī Syarh Minhāj al-Ushūl li al-Qādhi Bāshir al-Dīn al-Baidhāwī, Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th.

× Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001

× ___________________________, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998

× Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996

× Al-Jabiri, Mohammad ‘Abid, Bunyah al-Aql al-‘Arabī, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993

× Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008

× Al-‘Utsaimin, Muhammad ibn Shalih, al-Ushūl min ‘Ilm al-Ushūl, terjemah Abu Shilah dan Ummu Shilah, “Prinsip Ilmu Ushul Fiqih”, Tholib, 2007

× Biek, Muhammad al-Khudhari, Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “Ushul Fikih”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007

× Al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris, Al-Risālah, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.

× Syafrin, Nirwan, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh” dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005

× Al-Nasysyār, ‘Ali Sāmī, Manāhij al-Bahts ‘Inda Mufakkir al-Islām, Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1966

× ‘Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “ Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003

× Al-Qarādhāwī, Yusuf, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, Kuwait: Dār al-Qalam, al-Thab’ah al-Ūlā, 1996

× Al-‘Ulwani, Thaha Jabir, Ushul al-Fiqh

× Admojo. Wihadi, et.al., Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998

× Mahmashānī, Sobhī, Falsafah al-Tasyrī’ fī al-Islām, terjemah Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976

× al-Ghazālī, Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad, al-Mustashfā min ‘ilm al-Ushūl, jilid 2, Dār al-Fikr, t.th.



[1] Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Ilmu” di Program Pasca Sarjana Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo

[2] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal 4

[3] Fu’ad Iframi Bustani, Munjid al-Thullāb, Beirut: Dār al-Masyriq, 1996, cet. VI, hal. 134

[4] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Jakarta: Logos, 1997, hal. 7

[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 242

[6] Endang Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat, dan Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987, cet. VII, hal. 83

[7] Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988, cet. II, hal. 56

[8] Qs. Al-Baqarah [2]: 73

[9] Lihat Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001, cet. XV, hal. 2

[10] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, cet I, hal. 32

[11] Wihadi Admojo, et.al., Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, cet. I, hal. 324

[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal. 307-308

[13] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008, cet. V, hal. 36

[14] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998, cet I, hal. 33

[15] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008, cet. V, hal. 36

[16] ‘Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “ Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003, hal. 1. Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushūl min ‘Ilm al-Ushūl, terjemah Abu Shilah dan Ummu Shilah, “Prinsip Ilmu Ushul Fiqih”, Tholib, 2007, hal. 2-3

[17] Jamal al-Dīn ‘Abd al-Rahīm ibn al-Hasan al-Asnawi, Nihāyah al-Suwl fī Syarh Minhāj al-Ushūl li al-Qādhi Bāshir al-Dīn al-Baidhāwī, Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.th., cet V, hal. 5. Muhammad ibn Shalih al-‘Utsaimin, al-Ushūl min ‘Ilm al-Ushūl, terjemah Abu Shilah dan Ummu Shilah, “Prinsip Ilmu Ushul Fiqih”, Tholib, 2007, hal. 4

[18] Kaidah adalah rumusan umum yang mencakup bagian-bagiannya ketika menyelidiki hukum-hukumnya, seperti kaidah “Asal di dalam perintah menunjukan wajib”, “Asal di dalam larangan menunjukan haram,” dan lain-lain

[19] Muhammad al-Khudhari Biek, Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “Ushul Fikih”, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hal. 18

[20] Ijma’ adalah suatu kesepakatan dan kesatuan pendapat para mujtahid muslim dalam segala zaman mengenai suatu ketentuan hukum syari’at. Lihat Sobhī Mahmashānī, Falsafah al-Tasyrī’ fī al-Islām, terjemah Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976, hal. 162

[21] Qiyas adalah menetapkan ketentuan hukum yang serupa pada yang lain karena adanya persamaan alasan hukum diantara keduanya pada saat penetapan. Lihat Sobhī Mahmashānī, Falsafah al-Tasyrī’ fī al-Islām, terjemah Ahmad Sudjono, “Filsafat Hukum Dalam Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1976, hal. 162

[22] ‘Abd al-Wahhab Khalaf, ‘Ilm Ushūl al-Fiqh, terjemah Faiz Muttaqin, “ Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani, 2003, hal. 3

[23] Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonialis, Ponorogo: CIOS-ISID-Gontor, 2008, hal. 20

[24] ‘Ali Sāmī al-Nasysyār, Manāhij al-Bahts ‘Inda Mufakkir al-Islām, Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1966, hal. 64-65

[25] Lihat Yusuf al-Qarādhāwī, al-Ijtihād fī al-Syarī’ah al-Islāmiyyah ma’a Nazharāt Tahlīliyyah fī al-Ijtihād al-Mu’āshir, Kuwait: Dār al-Qalam, al-Thab’ah al-Ūlā, 1996, hal. 15-49

[26] Abu Zakariyya Muhy al-Din ibn Syarf al-nawawi, Tahdzīd al-Asmā wa al-Lughāt, Mesir: Idīrah al-Thibā’ah al-Muniriyyah, t.th., jilid 1, hal. 49

[27] Mohammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-‘Arabī, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993, hal. 15

[28] Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh” dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005, hal. 38

[29] Fakhr al-Din al-Razi, iManāqib al-Imām al-Syāfi’ī, Beirut: Dār al-Ji;, 1993, hal. 146 dalam Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh” dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005, hal. 38

[30] Ibid

[31] Qath’ī al-Tsubūt artinya nash (teks) yang dipastikan sumbernya dari Allah SWT. Teks al-Qur’an yang kita baca sekarang sama dengan nash yang diturunkan kepada rasul-Nya SAW., tanpa mengalami perubahan sedikit pun karena diwariskan secara mutawatir (terjamin) dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dari segi indikasinya terhadap hukum, ayat Al-Qur’an dibagi atas dua klasifikasi. Pertama, Qath’ī al-Dilālah, yaitu teks yang berindikasi hanya satu pengertian, tidak mungkin diberi interpretasi lain dari makna harfiahnya. Contohnya ayat-ayat yang menerangkan hukum waris yang menjelaskan bahwa bagian suami yang tidak punya anak adalah separo dari warisan, bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan, hukum hudūd, dan yang lainnya. Kedua, Zhannī al- Dilālah, yaitu nash yang menunjukan satu makna, tapi mungkin ditakwil untuk makna yang lainnya. Contohnya kata quru’ dalam Al-Qur’an, dalam bahasa arab berarti haid atau bersih. Sebagian ‘ulama memaknai haid, yang lainnya memaknai bersih. Meskipun maknanya bisa lebih dari satu, tapi maksud dan tujuannya sama. Lihat penjelasan Daud Rasyid dalam Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Bandung: Syamil, 2006, hal. 103-104. Sedangkan dalam hadits, ada yang Qath’i al-Tsubut, yaitu yang mutawatir (banyak periwayat dalam setiap thabaqat), ada juga yang zhanni al-tsubut, yaitu yang ahad.

[32] Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh” dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005, hal. 38

[33] Menurut ‘Abid al-Jabiri, kajian bayani terbagi kepada dua, yaitu: aturan-aturan penafsiran wacana dan syarat-syarat memproduksi makna.

[34] Mohammad ‘Abid al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-‘Arabī, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1993, hal. 22-23 dalam Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu; Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar, 2008, cet. V, hal. 182-183

[35] Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Al-Risālah, tahqiq Ahmad Muhammad Syakir, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th., hal. 39 dan 508

[36] Al-Imām Abū Hāmid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazālī, al-Mustashfā min ‘ilm al-Ushūl, jilid 2, Dār al-Fikr, t.th., hal. 36

[37] Abu Dāwud, Sunan Abi Dāwud, jilid 2, hal. 168

[38] Thaha Jabir al-‘Ulwani, Ushul al-Fiqh, hal. 77 dalam Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam; Tela’ah Bidang Fiqh dan Ushul al-Fiqh” dalam jurnal ISLAMIA, thn II, no. 5, April-Juni 2005, hal. 41

[39] Qs. Al-Nisā [4]: 82

0 komentar: