بسم الله الرحمن الرحيم

Jumat, 30 Oktober 2009

KONSEP TAJDĪD DALAM ISLAM

KONSEP TAJDĪD DALAM ISLAM

Pendahuluan

Perubahan dan pergerakan dunia semakin hari semakin sulit untuk dibendung. Hampir setiap hari, kita menemukan hal-hal baru dalam peradaban manusia. Tidak hanya dalam ranah teknologi, namun juga merambah masuk ke dalam sisi-sisi kehidupan lainnya. Politik, hukum, sosial dan budaya; semuanya –secara serta merta- terkena dampak dari derasnya laju perubahan dunia kontemperor ini.

Akibatnya, para penganut agama umumnya mulai mempertanyakan bagaimana posisi agama dalam kancah perubahan yang global ini. Masihkah agama sanggup menjalankan perannya dalam menjawab segala perubahan? Atau mungkin disinilah era agama akan berakhir? Atau memang antara agama dan segala kemajuan zaman itu samasekali tidak memiliki hubungan?

Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja tidak berhenti hingga di situ. Sebagai seorang muslim kita pun tentu akan bertanya: apakah perubahan itu kemudian menyebabkan terjadinya perubahan Syariat Islam? Bila iya, apakah perubahan itu mengharuskan kita merombak semua hukum-hukumnya, atau hanya bagian tertentu yang harus disesuaikan?[1]
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja membutuhkan waktu panjang untuk menjawabnya. Akan tetapi, dalam makalah singkat ini akan diuraikan sekilas tentang pandangan Islam terhadap perubahan itu. Tentu saja, semuanya berangkat dari keyakinan bahwa Syariat Islam adalah syariat samawiyah paripurna yang akan berlaku dan menjawab semua problem kemanusiaan hingga akhir zaman.

KONSEP TAJDID DALAM ISLAM
Ketika zaman perubahan bergulir cepat, dan perkembangan ilmu dan teknologi semakin dahsyat, sebagian pemikir Islam tiba-tiba tergagap-gagap menghadapinya. Tergagap-gagap, karena kemajuan itu terus saja bergerak maju tanpa kompromi, sementara mereka yakin bahwa Islam harus memiliki jawaban untuk itu. Hegemoni barat dan takluknya banyak wilayah Islam –secara politis maupun budaya- justru semakin memperparah ketergagapan itu. Saat rennaisance “meledak” di barat, harus diakui bahwa putaran roda umat Islam sedang berada di bawah –untuk tidak mengatakannya takluk pada barat-. Dan dalam kondisi seperti itu, terbuktilah tesis Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya, bahwa bangsa yang takluk hampir bisa dipastikan akan mengekor –setidaknya secara psikologis- pada bangsa pemenang.

Hal ini kemudian menyebabkan banyak pemikir Islam –dan hingga kini- berusaha keras untuk membuktikan bahwa Islam pun sejalan dengan perkembangan zaman itu. Mereka ingin menunjukkan bahwa Islam tidak ketinggalan zaman. Suara-suara yang menggaungkan isu tajdid (pembaharuan) terhadap Islam menggema di berbagai wilayah kaum muslimin. Sayangnya, niat baik dan upaya keras ini seringkali justru berdampak negatif. Tanpa disadari, upaya tajdid yang mereka lakukan justru adalah “membaratkan Islam” dan bukan “mengislamkan nilai-nilai barat”[2]. Akibatnya, banyak nilai-nilai Islam –bahkan yang bersifat prinsipil- dinafikan, dan karena dianggap “mengganggu” kemajuan peradaban modern harus dibuang. Ide-ide seperti sekulerisme, liberalisme dan pluralisme yang marak belakangan ini –menurut hemat penulis- tidak lebih merupakan bukti (baca: dampak turunan) atas hal itu. Penulis menyebut upaya tajdid semacam ini sebagai “tajdid yang tidak dilandasi oleh rasa ‘izzah (kebanggaan) pada Islam”. Ini adalah tajdid yang berangkat dari perasaan minder dan rendah diri pada barat.
Lalu bagaimana seharusnya tajdid dalam Syariat Islam itu? Terlebih dahulu, kita tentu harus memahami pengertian tajdid itu secara benar. Sebab dalam pandangan sebagian kalangan, kata tajdid dalam praktek nyata pemikiran mereka identik dengan “dekontruksi syariat”.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti “mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”.[3] Dalam bahasa Arab, sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas, Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.[4]

Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil –dan semakin lama semakin batil-, akan ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid. Sebabnya dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini, dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun Syariat agama Yahudi atau Kristen –misalnya-, keduanya tidak mungkin mengalami tajdid, sebab pijakan yang sesungguhnya sudah tidak ada.[5] Yang ada hanyalah “apa yang disangka” sebagai pijakan, padahal bukan. Tidak mengherankan jika kemudian aliran Prostestan menerima “kemenangan” akal dan sains atas agama, sebab gereja pada mulanya tidak menerimanya, sebab teks-teks Injil tidak memungkinkan untuk itu. Dan yang seperti sama sekali tidak dapat disebut sebagai tajdid.
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini, Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan itu. Beliau mengatakan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat ini pada setiap pengujung seratus tahun orang[6] yang akan melakukan tajdid (pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740)
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti dijelaskan oleh Abbas Husni Muhammad[7]- maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa nafsu manusia sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama seperti sediakala” tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya.[8] Itulah sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer. Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain. Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai jawaban terhadap hal itu.[9]
Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang seharusnya.

SYARIAT ISLAM, ANTARA AL-TSABAT (KONSISTENSI)
DAN AL-TAGHAYYUR (PERUBAHAN)
Di samping mekanisme tajdid, kemampuan Syariat Islam menjawab tantangan zaman semakin tidak terbantahkan dengan adanya dua karakteristik khas yang dimilikinya; al-Tsabat dan al-Taghayyur.[10] Masing-masing karakteristik ini memiliki fungsi penyeimbang bagi Syariat Islam. Karakteristik al-Tsabat menjaganya agar tidak menyimpang jauh dari batas-batasnya, sementara karakteristik al-Taghayyur memberikannya jalan untuk dapat menjawab dan menempatkan diri di setiap zaman.

Karakteristik ‘al-Tsabat’

Al-Tsabat artinya sesuatu yang tetap dan konsisten sesuai dengan hakikatnya.[11] Karakteristik ini bagi Islam berarti kebenaran-kebenaran ajarannya tidak akan mungkin berubah dan tergantikan hingga akhir zaman. Allah Ta’ala telah menuntaskan semua syariat yang diturunkan-Nya dengan Syariat Islam melalui Muhammad saw. Dengan demikian, Islam-lah satu-satunya syariat yang tak tergantikan, hukumnya tetap dan kekal, tidak akan mengalami perubahan dan penggantian hingga Hari Kiamat.[12]

Mengapa karakter ini menjadi penting? Sebab kehidupan umat manusia –sebagaimana kehidupan individunya- selalu membutuhkan aturan yang jelas dan konsisten. Aturan yang jelas dan konsisten itulah yang dapat melahirkan ketenangan, keamanan dan kestabilan. Ketiga hal penting ini tidak akan mungkin terwujud, kecuali dengan adanya ketetapan dan konsistensi hukum. Tanpa hukum dan aturan yang konsisten, yang ada hanyalah kekacauan dan ketidakjelasan. Itulah sebabnya, mengapa berbagai negara berusaha menelorkan berbagai undang-undang dan aturan di wilayah mereka masing-masing.

Hanya saja, tidak ada yang dapat menyamai tingkat konsistensi (al-tsabat) Syariat Islam. Ini disebabkan, karena dalam karakter al-tsabat ini terangkum lagi tiga karakteristik penting, yaitu[13]:
1. Al-Khashshiyah al-Ilahiyah (Karakter Ilahiyah)
Artinya tujuan, sumber dan metodenya adalah ilahiyah. Tujuannya untuk merealisasikan penghambaan dan meraih ridha Allah Ta’ala, sumbernya berasal dari Allah, dan metodenya berasal dari arahan-arahan ilahiyah dari al-Qur’an dan al-Sunnah.

Hanya saja, sebagian orientalis memandang bahwa karakter ini menunjukkan bahwa Syariat Islam sebenarnya adalah syariat yang statis (jumud). Mereka menganggap bahwa apapun yang terkait dengan agama akan statis. Di samping itu, -dalam pandangan mereka- agama hanya terbatas pada tataran individu, sementara hukum perundangan seharusnya juga mencakup tataran sosial. Yang pertama bersumber dari Tuhan, sedangkan yang kedua bersumber dari negara.[14]

Di dalam Islam, tasyri’ (penetapan hukum) memang hak Allah sepenuhnya, bukan hak manusia. Namun manusia diberi kesempatan untuk berijtihad dalam wilayah-wilayah hukum tertentu. Seperti ketika berhadapan dengan nash-nash zhanniyah yang tidak dijelaskan dalam nash-nash yang qath’iyyah ataupun ijma’ para ulama, atau pada saat melakukan penerapan terhadap nash dengan permasalahan yang muncul.[15] Yang semacam ini adalah bagian yang memungkinkan mengalami perubahan dan penyesuaian, tergantung pada kondisi, zaman dan tempat, dengan tetap mengikuti batasan yang diatur dalam Syariat, tidak menyelisihi nash, dan tidak bertentangan dengan maqashid al-syari’ah.

Dengan karakter ini, Syariat Islam juga memiliki keistimewaan lain, yaitu: (1) ia tidak mungkin mengalami kontroversi (tanaqudh), (2) hukum-hukumnya tidak didasarkan hawa nafsu dan kepentingan manusia, serta (3) akan mencegah manusia terjatuh dalam penghambaan (dalam arti yang luas) kepada selain Allah.

2. Al-Khashshiyah al-Kamaliyah (Karakter kesempurnaan)
Kesempurnaan dalam arti keutuhan cakupannya terhadap semua yang dibutuhkan manusia. Maka tidak ada satu peristiwa apapun, kapan dan dimanapun terjadi, melainkan Islam memiliki jawaban untuknya. Karena itu, pandangan Husein Ahmad Amin –misalnya- sangat keliru ketika mengatakan bahwa hukum potong tangan hanya berlaku di zaman Nabi saw, tidak untuk masa kini. Dengan alasan, hukuman semacam itu hanya cocok untuk masyarakat badui atau jahili.[16]
Al-Qur’an telah menjelaskan semuanya yang artinya,
“Dan Kami turunkan kepadamu (Muhammad) al-Kitab sebagai penjelasan terhadap segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum beriman.” (QS. Al-Nahl:89)

Hanya saja harus dipahami, bahwa penjelasan al-Qur’an terhadap segala sesuatu itu tidaklah semuanya secara sharih (tegas dan langsung). Sebabnya bila semuanya dirincikan, tentu akan membutuhkan berjilid-jilid al-Qur’an. Karena itu, metode al-Qur’an dalam hal ini adalah menjelaskan secara rinci apa yang tidak akan pernah berubah, dan menjelaskan secara global dan umum apa yang dapat berubah. Dengan demikian, penyempurnaan Islam berarti disempurnakannya kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum agama yang kemudian menjadi landasan untuk menjawab semua kebutuhan manusia di masa datang yang berubah-ubah.[17]

Kesempurnaan cakupan Islam ini juga sepenuhnya didasarkan pada cara pandang Islam terhadap manusia. Manusia dalam pandangan Islam adalah sebuah “bangunan” yang utuh dan tak mungkin dipisah-pisahkan. Jasmani, jiwa dan rohaninya memiliki kebutuhan yang sama. Pemisahan terhadapnya hanya akan mengakibatkan kehancuran. Pandangan-pandangan di luar Islam tidak pernah utuh memandang manusia. Ada yang hanya melihat sisi jasmaniyah, ada pula yang hanya mementingkan rohaninya. Maka hanya Islamlah yang dengan sempurna memberikan jawaban atas semua kebutuhan itu. Tidak mengherankan kemudian, dalam Konferensi Perundangan Internasional di Den Haag pada tahun 1938 disimpulkan bahwa Syariat Islam adalah undang-undang yang sangat detil, lengkap dan rinci, serta dapat dijadikan sebagai landasan penting perundangan modern.[18]

3. Al-Khashshiyah al-Abadiyah (Karakter keabadian).
“Keabadian” artinya bahwa Syariat Islam diturunkan untuk diberlakukan seterusnya hingga akhir zaman. Prinsip-prinsip dasarnya tidak akan berubah mengikuti tempat dan zaman.[19] Itulah sebabnya, sedikitnya ayat-ayat yang bernuansa “undang-undang” oleh para ulama dianggap sebagai bukti “kemudahan” Syariat Islam untuk manusia, agar kemudian ia dapat dijalankan di setiap masa dan tempat.[20] “Kemudahan” itu kemudian diwujudkan dengan dibukanya pintu ijtihad yang dijalankan sesuai dengan dhawabithnya.[21]
Semua karakter ini –sekali lagi- tidak menghalangi perubahan hukum syar’i, ia hanya membatasi dan menjaga agar perubahan itu tidak menghilangkan inti dan prinsip syariat.

Karakteristik ‘al-Taghayyur’

Penjelasan tentang karakter al-Taghayyur sedikit-banyak telah dibahas dalam paparan sebelumnya. Intinya bahwa Syariat Islam dengan konsistensinya pada prinsip-prinsip ilahiyah, sama sekali tidak menutup jalan penyesuain dengan zaman dan tempat yang berubah.
Namun perlu diketahui, bahwa terkait dengan karakter al-Taghayyur ini terdapat tiga pandangan yang berbeda di kalangan ulama Islam:

1. Pendapat yang memandang bahwa hukum syar’i terbagi menjadi dua: hukum yang datang dengan tujuan tasyri’ dan hukum yang datang dengan tujuan menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada pada saat al-Qur’an turun. Bila persoalan itu tuntas, maka hukum yang turun berkenaan dengannya pun tidak berlaku, meskipun ia berupa ketetapan hudud. Mereka memandang bahwa pandangan akan kemashlahatan sesuatu dapat saja didahulukan atas nash-nash syar’i. Salah satu pelopor pendapat ini adalah Najm al-Din al-Thufy (w. 716H).[22]

2. Pendapat yang memandang bahwa tidak ada perubahan dalam Syariat Islam secara mutlak. Mereka menganggap bahwa al-Qur’an tidak menyisakan apapun melainkan telah menjelaskan hukumnya. Maka kemashlahatan, perubahan zaman dan tempat tidak mungkin mempengaruhi Syariat Islam sedikitpun. Pandangan ini didukung oleh madzhab zhahiriyah. [23]
3. Pendapat pertengahan yang memandang bahwa kemashlahatan yang terjadi di suatu masa atau tempat, selama tidak bertentangan dengan nash, maka dapat mempengaruhi terjadinya perubahan hukum. Tentu saja selama tidak ada prinsip yang qath’i dan nash yang tegas dalam masalah itu. Kita juga tidak mungkin menetapkan sesuatu sebagai mashlahat tanpa melihat nash. Atau dengan kata lain, nash adalah panduan untuk mengetahui apakah sesuatu itu mashlahat atau bukan. Jumhur ulama; Abu Hanifah, Malik, al-Syafi’i, Ahmad, dan banyak ulama lainnya mendukung pandangan ini.

Pendapat ketiga inilah yang paling moderat dan lebih dekat kepada yang haq. Dan tentu saja mendatangkan kebaikan bagi Syariat Islam. Inilah yang membuktikan keberhakan Islam memberi jawaban di setiap zaman. Dan ini pula yang membuat Islam tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Itulah sebabnya, Ibn Qayyim al-Jauziyah menyatakan pada awal pembahasannya tentang hal ini,

Penjelasan ini adalah penjelasan yang sangat penting dan bermanfaat. Banyak kekeliruan dan kesalahan yang sangat besar terjadi akibat ketidaktahuan akan hal ini.[24]

PENUTUP

Kajian tentang tajdid dan konsep Islam menjawab tantangan perubahan zaman tidak hanya menarik dikaji, tapi sangat penting untuk dipahami. Dan karena itu, tentu saja membutuhkan pemaparan yang lebih mendalam. Tulisan singkat ini sekedar memberikan gambaran singkat bahwa Syariat Islam sebagai syariat Allah yang paripurna adalah satu-satunya yang dapat menjawab tantangan tersebut. Mekanisme ijtihad yang ditempatkan pada posisi yang semestinya adalah semacam kunci untuk menjawab semua itu. Pemahaman-pemahaman menyimpang yang marak belakangan ini –seperti: liberalisme, pluralisme dan sekulerisme- sesungguhnya adalah dampak yang muncul disebabkan kesalahan dalam memaknai tajdid, dan kekeliruan dalam mengoperasionalkan ijtihad.
Wallahu Ta’ala a’la wa a’lam.


DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Fasy, ‘Ilal., Difa’ ‘an al-Syari‘ah, Mathba’ah al-Risalah, Ribath, Tanpa cetakan, Tahun 1966.
2. Al-Hijjawy, Muhammad ibn al-Hasan al-Fasy., al-Fikr al-Samy fi Tarikh al-Fiqh al-Islamy, Dar al-Turats, Kairo, t.t.
3. Ibnu ‘Asyur, Muhammad al-Thahir., Tahqiqat wa Anzhar fi al-Qur’an wa al-Sunnah, al-Syarikah al-Tunisiyah, Tunisia, t.t.
4. Ibnu Hazm, Abu ‘Ali Muhammad ‘Ali ibn Hamd ibn Sa’id., al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Dar al-Afaq al-Adabiyyah, Beirut, Tahun 1403 H/ 1983 M.
5. Ibnu al-‘Imad al-Hanbaly., Abu al-Falah ‘Abd al-Hayy, Syadzarat al-Dzahab fi Akhbar Man Dzahab, Mathba’ah al-Quds, Kairo, Tahun 1351 H.
6. Ibnu Manzhur, Abu al-Fadhl Muhammad ibn Mukrim., Lisan al-‘Arab, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.
7. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Muhammad ibn Abi Bakr., I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin, Dar al-Kitab al-‘Araby, Beirut, Tahun 1416 H/ 1996 M.
8. Kuksal, Ismail., Taghayyur al-Ahkam fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Mu’assasah al-Risalah, Beirut, Cetakan pertama, Tahun 1421 H/ 2000 M.
9. Khalil, al-Sayyid Ahmad., Fi al-Tasyri’ al-Islamy, Dar al-Tsaqafat, Alexandria, Tahun 1967.
10. Muhammad, Abbad Husni., Al-Fiqh al-Islamy; Afaquhu wa Tathawwuruhu, Mathba’ah al-Rabithah, Makkah al-Mukarramah, Cetakan kedua, Tahun 1414 H.
11. Mutawalli, ‘Abd al-Hamid., Al-Islam wa Nizham al-Hukm fi al-Markisiyah wa al-Dimuqrathiyyah al-Gharbiyyah, Mathba’ah al-Ma’arif, Alexandria, t.t.
12. Al-Sufyany, ‘Abid Muhammad., Ma’alim Thariqah al-Salaf fi Ushul al-Fiqh, Maktabah al-Manarah, Makkah al-Mukarramah, Cetakan pertama, Tahun 1408 H/1988 M.
13. Al-Syathiby, Ibrahim ibn Musa., Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Tahqiq: Abdullah Darraz, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, t.t.
Al-Zarqa’, Ahmad., Al-Fiqh al-Islamy fi Tsaubihi al-Jadid, Mathba’ah al-Insya’, Damaskus, Cetakan kesembilan, Tahun 1383 H/ 1965 M.


[1] Lih. Ismail Kuksal, Taghayyur al-Ahkam fi al-Syari’ah al-Islam, hal.9.

[2] Kata “barat” dalam hal ini maksudnya adalah capaian-capaian kemajuan mereka, pen.

[3] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, 3/111.

[4] Ibn ‘Asyur, Tahqiqat wa Anzhar fi al-Qur’an wa as-Sunnah, hal.112-113.

[5] Muhammad, Abbas Husni., Al-Fiqh al-Islamy, hal. 91. Khalil, As-Sayyid Ahmad, Fi al-Tasyri’ al-Islamy, hal. 170. Ismail Kuksal, Taghayyur al-Ahkam, hal. 32.

[6]Orang” di sini tidaklah berarti bahwa pembaharu yang datang di setiap zaman hanya satu orang, namun boleh jadi dalam satu masa ada beberapa mujaddid. Dan bidang-bidang tajdid itu juga luas, tidak terbatas pada satu ilmu. Demikian dijelaskan oleh para ulama yang mensyarah hadits ini.

[7] Al-Fiqh al-Islamy, hal. 83-86

[8] Lih. Ismail Kuksal, Taghayyur al-Ahkam fi al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 32.

[9] Ibid., hal. 32-33.

[10] Ibid., hal. 36

[11] Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab 2/19. Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in 1/171

[12] As-Sufyany, Ma’alim Thariqah as-Salaf, hal. 109-110

[13] Ismail Kuksal, Taghayyur al-Ahkam fi al-Syariah al-Islamiyah, hal. 38-48

[14] Mutawalli, Abd al-Hamid., Al-Islam wa Mabadi’ Nizham al-Hukm fi al-Marksiyah wa al-Dimuqrathiyyah al-Gharbiyyah, hal. 11.

[15] Dalam ilmu Ushul fikih dikenal dengan istilah tahqiq al-manath.

[16] Lih. Dalam bukunya Haula al-Da’wah ila Tathbiq al-Syari’ah al-Islamiyah, hal. 49

[17] Mutawwali, Al-Islam wa Mabadi’ Nizham al-Hukm, hal. 16. Al-Syathiby, Al-Muwafaqat 1/24.

[18] Kuksal, Ismail., Taghayyur al-Ahkam, hal. 46

[19] Al-Fasy, Difa’ ‘an al-Syari’ah, hal.100

[20] Mutawalli, al-Islam wa Mabadi’ Nizham al-Hukm, hal. 17, Ibrahim Kaksul, Taghayyur al-Ahkam, hal. 46

[21] DR. Ismail Kuksal dalam Taghayyur al-Ahkam menyimpulkan bahwa ijtihad hanya dilakukan pada:

1. Hukum-hukum yang tidak ditetapkan dalam nash.

2. Hukum-hukum yang ditetapkan dalam nash, namun ada qarinah yang menunjukkan bahwa penerapannya tidak bersifat dharury dan abady.

3. Bila hukum yang ditetapkan dalam nash itu adalah satu diantara pemecahan, dan bukan seluruh pemecahan masalah.

4. Dalam kondisi darurat dalam batasannya yang bersifat sementara.

5. Ketika ‘illat hukum tidak ditemukan dalam nash.

[22] Namanya adalah Abu al-Rabi’ Sulaiman ibn ‘Abd al-Qawiy al-Thufy al-Baghdady. Dilahirkan pada tahun 656 H. Ia tumbuh di tengah iklim Ahlussunnah, akan tetapi ia kemudian melenceng dari manhaj itu. Para ulama kemudian berbeda pandangn tentang ideologinya. Syekh Abu Zahrah ketika menulis biografi Imam Malik memasukkan al-Thufy dalam pengikut madzhab Hanbaly. Namun saat ia menulis biografi Imam Ahmad, ia menyebut al-Thufy sebagai pengikut Syi’ah Imamiyah. Akan tetapi hal ini kemudian dibantah oleh Abd al-Husein Syaraf al-Din. Ia mengatakan al-Thufy adalah pengikut Syi’ah ekstrem. Ketidakjelasan ini mungkin disebabkan kebebasan berfikirnya yang berlebihan. Hanya saja perlu dicatat, bahwa ketika berbicara tentang sahabat Nabi, ia mengkritik Syi’ah habis-habisan dan memvonis mereka kufur karena membenci sahabat. Dan semua karya-karya yang ia tulis dalam bidang Fikih dan Ushul fikih mengikuti madzhab Imam Ahmad ibn Hanbal. Jadi mungkin kesimpulan bahwa ia seorang pengikut Syi’ah perlu diteliti lebih lanjut. Lih. Ibn al-‘Imad, Syadzarat al-Dzahab 6/39, al-Zarqa’, al-Fiqh al-Islamy 1/117, Ismail Kuksal, Taghayyur al-Ahkam hal.49.

[23] Ibn Hazm, Al-Ihkam, 5/590. Al-Hijjawy, al-Fikr al-Samy 2/34-38.

[24] I’lam al-Muwaqqi’in 3/5-8.

0 komentar: