بسم الله الرحمن الرحيم

Jumat, 14 Agustus 2009

Pendidikan; fondasi peradaban

Pendidikan biasa dikenal di dalam khazanah Islam dengan istilah tarbiyyah, ta'lim, ataupun ta'dib seperti yang digagas Al-Attas. Posisi pendidikan begitu urgent kedudukannya dalam membentuk pribadi, masyarakat, negara, dan bahkan peradaban. Sebuah peradaban misalnya, akan diakui eksistensinya ketika eksistensi pendidikan hidup dalam bingkai masyarakatnya. Tetapi pada praktiknya ketika pendidikan terlembagakan, orientasi pendidikan menjadi beragam. Seakan ada dikotomi pendidikan agama dan non agama, keakhiratan dan keduniaan, dan sebagainya. Padahal Islam selalu menggantungkan pendidikan pada satu arah tujuan, tauhidullah. Tanpa harus mendikotomikan urusan dunia dan akhirat, justru dalam pendidikan Islam ada persepsi bahwa siapa yang menginginkan dunia, mesti dengan ilmu. Begitupun yang mendambakan kebahagian akhirat, mesti dengan ilmu. Bahkan kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus tidak akan tercapai, melainkan dengan ilmu.

Orientasi pendidikan Islam adalah membentuk pribadi beradab, bukan menjadi warga Negara dan pekerja yang baik. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menjelaskan dalam bukunya Islam and Secularism, 1978, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menanamkan kebaikan dan keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga Negara ataupun anggota masyarakat. Oleh karena itu menurutnya, yang mesti ditekankan adalah nilai manusia sejati, yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhannya, yang menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain. Sebaliknya yang menjadi orientasi bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi Negara, masyarakat, dan dunia.
Disinilah bedanya bagaimana Islam dan Barat memandang nilai sebuah pendidikan. Pendidikan ala Barat yang hari ini dominan diaplikasikan, lebih mengarahkan pendidikan sebagai alat mobilisasi sosial-ekonomi individu dan negara. Para siswa maupun orang tua pun terjangkit penyakit diploma (diploma disease), yakni usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan, bukan karena kepentingan pendidikan, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial. (Roger Dale, The Diploma Disease: Education, Qualification, and Development, 1976).

Maka realitas yang terjadi, Peradaban Barat alpa memandang nilai luhur ilmu sebagai pembangun kepribadian bermoral. Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar pendidikan dan pemikiran Islam dari Universitas Islam Internasional Malaysia, mencatat kisah Demonsthenes, seorang filosof Yunani, yang mengungkap pandangan kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: ”Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan, gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.” (Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu; Satu Penjelasan, 2003).
Pendidikan Islam yang berpijak kepada al-Qur'an dan al-hadits meletakkan dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari masalah ekonomi, sosial, politik, hukum, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Seluruhnya tidak sebatas berorientasi duniawi, tetapi ukhrawi juga diutamakan. Dalam bidang sosial misalnya, pendidikan Islam menggariskan sistem sosial yang didasarkan atas kesetaraan sebagai hamba Allah, bukan atas perbedaan suku, ras, golongan, bahasa, warna kulit, pangkat, keturunan, harta, dan sebagainya. (QS. 49: 13). Bidang politik, Islam mencita-citakan Negara yang dipimpin orang yang adil, jujur, amanah, dan kredibel. Sehingga dalam praktiknya, ia tidak menyalahgunakan kekuasaannya, menciptakan kemakmuran rakyatnya, serta mendengar dan memperhatikan hati nurani masyarakat yang dipimpinnya. (QS. 16: 90).

Dalam bidang ekonomi, Islam menginginkan keadaan ekonomi yang didasarkan pada pemerataan, anti monopoli, saling menguntungkan, tidak saling merugikan seperti penipuan, pencurian, dan lainnya. (QS. 59: 7). Begitupun dalam aspek lainnya, dimana nilai-nilai keislaman terintegrasikan dalam pribadi yang menjunjung nilai-nilai moralitas keagamaan.

Semua itu tergambar dalam cermin pendidikan Nabi saw., sahabat, dan ulama salaf terdahulu dalam mengemban dakwah dan tarbiyyah ummat. Pendidikan yang berlandaskan wahyu dengan tujuan pembentukan kepribadian berakhlak Islami, juga merupakan tujuan utama pengutusan Rasul saw. Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." (HR. Ahmad: 8595, Malik: 710).

Pendidikan sebagai representasi tradisi ilmu merupakan tonggak utama pembangunan sebuah peradaban. Sejarah membuktikan bagaimana dominasi sebuah peradaban yang kaya dengan tradisi ilmu mempengaruhi dan menjadi idola peradaban lainnya. Hal ini terlihat dalam untaian sejarah kejayaan Islam yang pernah menjadi trendsetter selama kurun waktu hampir 700 tahun. Semenjak kepemimpinan Nabi saw., Khulafā' al-Rasyidūn, Bani Umayyah, Bani 'Abbasiyyah, sampai kepada Turki Osmani. Semua itu terjadi ketika tradisi keilmuan sangat ramai dikumandangkan, karena tuntunan Rasul saw. pun mengarahkan kepada urgensi pendidikan di dalam Islam.

Konsentrasi Rasul saw. telah memberikan motivasi para sahabatnya dalam membudayakan ilmu. Bahkan para sahabat dikenal sebagai orang-orang yang haus ilmu. Di awal pengangkatan Muhammad sebagai rasul, saat itu pula ia memerintahkan untuk menghapal wahyu yang turun secara berangsur-angsur (baca: Al-Qur'an), sekaligus menuliskannya. Tradisi baca tulis pun ramai diminati, disamping hapalan Al-Qur'an yang menajamkan intelegensi masyarakat Islam. Baca tulis juga dijadikan pelajaran wajib bagi anak-anak muslim waktu itu, dimana tebusan tawanan perang Badar disaratkan kepada tawanan untuk mengajarkan baca tulis.

Rasulullah menugaskan Abdullah bin Said bin al Ash untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah. Beliau juga memberi mandat Ubadah bin al-Shamit mengajarkan tulis-menulis ketika itu. Bahkan Ubadah pernah diberi hadiah panah dari salah seorang muridnya setelah mengajarkan tulis-menulis kepada Ahli Shuffah. Saad bin Jubair berkata: ”Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata: ”Hapalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.” (Mustafa Azami, 2000).

Kecintaan sahabat terhadap ilmu dimotivasi pemahaman mereka terhadap Al-Quran yang mendorong untuk mengoptimalkan akal dan pikiran. (Lihat misalnya QS. 2: 73, 242, 6: 151, 12: 2, 24: 61, 40: 67, 43: 3, 57: 17). Ibnu Taimiyah mencatat banyak sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah. Menurutnya, orang yang tinggal di dalam suffah (asrama tempat belajar) mencapai 400 orang. Menurut Prof Azami, Rasulullah mempunyai 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai hal khusus. Termasuk didalamnya Zaid bin Tsabit yang juga Rasul saw. perintahkan untuk mempelajari bahasa Ibrani dan suryani, supaya menjadi interpreter bahasa asing.

Semangat Rasul saw. dan para sahabat dalam menjunjung tinggi pendidikan dan budaya ilmu, diikuti generasi setelahnya. Jabir bin Abdullah misalnya, hanya untuk mencari dan mendapatkan satu hadits saja, ia menempuh perjalanan selama satu bulan dari Madinah ke Arisy di Mesir. Begitupun Ahmad bin Hambal, ia menempuh perjalanan sampai ribuan kilometer hanya untuk mencari satu hadits saja. Padahal disamping konsentrasi menuntut ilmu, ia juga bertani untuk bekal hidupnya. Imam al-Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu shalat dua rakaat setiap kali menulis satu Hadis, serta berdoa meminta petunjuk Allah. Imam Nawawi (w. 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’, dan Syarah Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar delapan cabang ilmu dari subuh sampai larut malam. Ibn al-Jauzi mempunyai karya tulis yang menjadi pegangan keilmuan umat lebih dari seribu judul.
Dengan kondisi gila ilmu itulah, kaum muslimin periode awal mendulang kejayaan luar biasa. Keniscayaan itu pula yang akan mengembalikan superioritas umat Islam di depan dunia, meninggalkan peradaban Barat dan lainnya yang cenderung mengorientasikan pendidikan sebagai sarana meraih kemapanan ekonomi dan sosial saja.

0 komentar: