بسم الله الرحمن الرحيم

Kamis, 24 Desember 2009

Merayakan Hari Besar Agama Lain

Daden Robi Rahman

Bulan Desember merupakan bulan penutup dari tahun Masehi. Pada bulan ini penganut agama Kristen bersenang-senang, karena hari raya tahunan -hari Natal terjadi pada bulan ini, diikuti perayaan tahun baru Masehi. Berbagai acara dan hiburan dipersiapkan menyambut dua perayaan tersebut. Tidak kalah menarik untuk diperhatikan, berbagai lapisan masyarakat –di Indonesia khususnya-, bukan hanya dari kalangan Kristen, penganut agama yang lainnya (baca: muslim) ikut latah mempersiapkan bahkan merayakan hari besar Nasrani tersebut. Hal itu terjadi di kalangan pejabat sampai rakyat, apalagi artis dan selebritis.

Kebesaran dan kemeriahan natal dan tahun baru terjadi bukan hanya karena mayoritas penduduk dunia beragama Kristen, tetapi juga ditunjang dukungan media, baik elektronik ataupun massa, yang notabene dikuasai mereka, yang turut menggembar-gemborkan mengampanyekan hari raya tersebut lewat iklan dan berbagai macam acara hiburan.

Akhirnya hari raya natal dan tahun baru bukan hanya dirayakan kalangan Kristen, tetapi masyarakat muslim pun tidak sedikit yang merayakan “dua hari besar” tersebut. Lebih jauh dari itu, kalangan instansi pendidikan yang mayoritas peserta didiknya muslim menjadikan moment Natal dan tahun baru ini sebagai hari libur. Bahkan tidak tanggung-tanggung masa liburnya pun relatif lama. Instansi pendidikan Politeknik Bandung (POLBAN) misalnya, memutuskan libur selama dua minggu ketika menyambut natal dan tahun baru. Berbeda dengan hari raya Islam (īdul adha) sebelumnya, POLBAN hanya memutuskan libur selama 3 hari saja.

Realitas diatas mejadi sebuah pemandangan yang terjadi setiap tahunnya. Dimana ada pergeseran perhatian kaum muslimin terhadap hari besarnya, dan lebih memperhatikan hari besar agama lain. Lebih jauh lagi, kondisi sosial yang terjadi dipaksakan pembenarannya oleh sebagian kalangan cendekiawan muslim liberal yang melegalkan perayaan umat agama lain tersebut. Seperti tertera dalam buku Fikih Lintas Agama, yang ditulis oleh tim penulis Paramadina yang terdiri dari Nurcholis Madjid, Kautsar Azhari Noer, Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain. Diantaranya mereka mengatakan bolehnya mengucapkan “Selamat Hari Natal” dan Selamat Hari Raya Agama-agama Lain, bahkan Merayakan Hari Besar Keagamaan agama-agama lain. (Fikih Lintas Agama, 2004).

Kenyataan masyarakat muslim tersebut merupakan sebuah realitas yang membuktikan kurangnya perhatian muslim terhadap Islam. Dengan kata lain, Islam adalah sesuatu dan masyarakat muslim adalah sesuatu yang lain. Oleh karena itu, bagaimana sebenarnya Islam mendudukan masalah merayakan hari raya agama lain?

Imam Ibn Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidhā’ al-Shirāth al-Mustaqīm Mukhālifah Ashhāb al-Jahīm, menyatakan haram hukumnya mengikuti hari besar agama lain. Hal ini beliau sandarkan kepada firman Allah SWT., “Dan mereka (orang-orang mukmin) yang tidak menghadiri kebohongan dan apabila mereka melewati tempat tersebut, maka mereka berlalu dengan sikap sopan.” (QS. Al-Furqan [25]: 72).

Lebih dari seorang dari kalangan tabi’īn dan lain-lain, misalnya Rabi’ ibn Anas menjelaskan bahwa kata zūr (kebohongan) pada ayat diatas adalah hari-hari besar kaum musyrik. Pengertian ini pula diriwayatkan dari ‘Ikrimah, ia mengatakan bahwa zūr (kebohongan) adalah hari bersenang-senang pada zaman Jahiliyyah. Kemudian diriwayatkan dari ‘Āmir ibn Murrah, bahwa ayat “Lā yasyhadūnaz-zūr” (mereka tidak menghadiri kebohongan), artinya mereka tidak menolong golongan musyrik dalam melakukan kemusyrikan mereka dan tidak pula bergaul dengan mereka. Bahkan dalam riwayat ‘Athā’ ibn Yasar dijelaskan bahwa Umar ibn al-Khaththab pernah berkata: “Jauhilah oleh kalian hari-hari besar orang ‘ajam dan jangan kalian mendatangi hari besar kaum musyrik di gereja-gereja mereka.” (Lihat Muhammad ibn ‘Ali al-Dhabi’ī, Bahaya Mengekor Non Muslim, 2003).

Kesenangan orang-orang Kristen pada hari Natal dan tahun baru tidaklah semestinya terjadi pada umat Islam yang memiliki hari raya sendiri, bahkan keistimewaan ini langsung diberikan oleh Allah SWT dan dijelaskan oleh Rasulullah SAW. Sebagaimana halnya pada masa Jahiliyyah di tanah Madinah, mereka selalu merayakan dua hari raya, dimana pada kedua hari tersebut mereka bersenang-senang dan berfoya-foya. Kedua hari tersebut adalah Mihrajan dan Nairuz. Hal ini dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas ibn Malik, bahwa “ketika Rasul SAW. datang ke Madinah, saat itu penduduknya mempunyai dua hari khusus untuk bersenang-senang. Lalu beliau bertanya: “Dua hari apa ini?” Mereka (penduduk Madinah) menjawab: Pada masa jahiliyyah kami biasa bersenang-senang pada dua hari ini. Lalu Rasulullah SAW. bersabda: Sungguh Allah telah menggantikan dua hari ini dengan dua hari yang lebih baik, yaitu hari raya īdul adha dan īdul fitri.” (HR. Abu Dawud).

Artinya, Rasulullah SAW. tidak membenarkan perbuatan orang-orang Jahiliyyah dan membiarkan kebiasaan bersenang-senang pada kedua hari tersebut. Kemudian Rasul SAW. menetapkan īdul adha dan īdul fitri sebagai hari besar menggantikan hari besar yang lain. Dengan kata lain, tidak sepantasnya seorang muslim melaksanakan dan merayakan hari kebesaran agama lain, padahal Allah dan rasul-Nya telah menetapkan hari besar buat mereka. Allah SWT. berfirman, Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.”( QS. Al-Ahzāb [33]: 36).

Sikap senang melihat orang senang adalah dianjurkan. Tetapi dalam masalah keagamaan, seperti ikut dalam perayaan Natal dan tahun baru Masehi misalnya, adalah sesuatu yang mesti dihindari. Mengingat keniscayaan keyakinan seorang muslim terhadap kesempurnaan ajaran Islam menafikan untuk mengikuti agama lain. Hal ini didasarkan kepada keyakinan bahwa Islam telah mencukupi kebutuhan seorang muslim, termasuk kapan ia bersenang-senang merayakan hari besar. Apalagi ikut dan terlibat dalam perayaan hari besar non muslim merupakan sikap tasyabbuh (penyerupaan) terhadap non muslim yang diantisipasi oleh Rasul SAW., sebagaimana diriwayatkan dari Ibn Umar, Rasul SAW. bersabda, “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad).

Sikap tidak ber-tasyabbuh ini pun berlaku meskipun seorang muslim berada di negeri-negeri non muslim. Kalau berbicara Indonesia, tentu sangat tidak wajar kaum muslimin ikut-ikutan merayakan natal dan tahun baru Masehi, karena Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam. Termasuk di negeri mayoritas non muslim pun, keteguhan seorang muslim mesti dipertahankan. Seandainya ia tunduk terhadap realitas masyarakat dengan mengikuti masyarakat kebanyakan, maka ia akan dikumpulkan dengan masyarakat kebanyakan tersebut (non muslim) di hari kiamat. Dengan kata lain, ia akan menuai kecelakaan di akhirat. Abdullah ibn ‘Amr mengatakan: “Barangsiapa menetap di negeri kaum musyrik dan ia mengikuti hari raya dan hari besar mereka, serta meniru perilaku mereka sampai mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat. (HR. Al-Baihaqi).

Kasus lain dengan penekanan yang sama, yakni dalam merayakan hari besar, tergambar dalam asbāb al-wurūd surat al-Baqarah [2]: 208, sebagaimana dijelaskan imam Ibn Jarīr al-Thabarī dalam tafsirnya, ketika Rasulullah saw. kedatangan orang-orang Yahudi yang akan masuk Islam. Diantaranya Tsa'labah, Abdullah ibn Salam, Ibn Yamin, Asad dan Usaid anak Ka'ab, Sya'bah ibn 'Amr, dan Qais ibn Zayd. Mereka meminta kepada Rasulullah dua hal yang menjadi kebiasaan Yahudi untuk mereka lakukan setelah masuk Islam. Mereka berkata: "Wahai Rasulullah, hari sabtu adalah hari yang kami agungkan, maka izinkan kami merayakannya. Taurat adalah kitab Allah, maka izinkan kami amalkan di malam hari." Maka Rasul menjawab dengan firman Allah, "Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah mengikuti langkah-langkah Syetan. Sungguh ia musuh nyata bagimu." (QS. Al-Baqarah [2]: 208).

Riwayat diatas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. sama sekali melarang merayakan hari sabtu (yang merupakan hari yang dibesarkan oleh kaum Yahudi), sebagaimana telah mereka lakukan ketika masih memeluk agama Yahudi. Hal ini karena Islam telah memberikan hari besar yang istimewa yang lebih pantas mereka agungkan, yaitu hari jum’at. Oleh karena itu, tidak sepantasnya seorang muslim merayakan hari kebesaran non muslim, seperti sabtu, rosh hashanah (tahun baru) dan yom kippur (hari penerimaan tobat) untuk agama Yahudi. Ataupun hari minggu, natal dan tahun baru Masehi bagi agama Kristen, hari raya Nyepi bagi agama Hindu, dan lain sebagainya.

Jawaban Rasul SAW. terhadap Abdullah ibn Salam dkk. yang hendak masuk Islam dengan membacakan QS. Al-Baqarah [2]: 208, dapat disimpulkan bahwa setelah pengutusan Nabi Muhammad saw., mengikuti keimanan Yahudi (ataupun agama yang lainnya) dengan mengamalkan sebagian ajaran Yahudi (atau agama lainnya, termasuk merayakan hari Natal dan tahun baru Masehi) merupakan tipu daya Syetan, apalagi mengimani keseluruhannya. (Al-Thabari, 2003, 2: 400).

Disisi lain, perbuatan latah terhadap kebiasaan-kebiasaan non muslim merupakan sikap inferrior yang semestinya tidak terjadi pada diri seorang muslim. Apalagi sikap latah ini tergambar dalam kebiasaan keagamaan, seperti perayaan hari besar keagamaan. Hal ini berlawanan dengan jati diri seorang mukmin yang semestinya berkharisma dan bangga dengan apa yang ada pada dirinya tanpa harus mengekor kepada yang lain. Allah SWT. menyatakan, “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali Imrān [3]: 139).

Dengan demikian, perayaan hari besar keagamaan merupakan ciri dan identitas orang yang merayakannya. Tidak sepantasnya seorang muslim mengikuti hari-hari besar keagamaan agama lain dengan alasan apapun. Hal ini dikarenakan Islam telah memenuhi kebutuhan pemeluknya, termasuk hari besar keagamaannya. Disamping itu, keikutsertaan seorang muslim terhadap perayaan hari besar agama lain merupakan sikap tasyabbuh (penyerupaan) terhadap agama lain yang diancam kedudukannya. Hal itu juga menunjukan sikap inferrior yang mesti dihindari seorang muslim karena mengusung superioritas agama lain, dan sikap yang yang menunjukan terjeratnya seorang muslim oleh tipu daya syetan. Wallahu a’lam.

2 komentar:

Daden Robi Rahman mengatakan...

betul, betul, betul...

Godot Bennington mengatakan...

subhanaloh, kemampuan bertuturmu den, semakin luar biasa....