بسم الله الرحمن الرحيم

Jumat, 20 Februari 2009

Pembaruan Interpretasi Fazlur Rahman dalam Studi Al-Qur'an (tinjauan kritis)

Pembaruan menjadi ikon penting bagi sejumlah harakah Islamiyyah (pergerakan umat Islam) saat ini. Semua harakah sepakat dengan pembaruan tersebut, tetapi terjadi perbedaan dalam memandang bagaimana pembaruan tersebut diaplikasikan. Metodologi pembaruan yang digunakan bermacam-macam, bahkan ada pula pergerakan pembaruan yang menggunakan epistemologi yang berbasis worldview (pandangan dunia) di luar Islam (baca: Barat), yang menyebabkan kesimpulan-kesimpulan interpretasi al-Qur'an misalnya, berseberangan dengan prinsip-prinsip dan mainstereem Islam.

John L. Esposito dalam karyanya, Islam: The Straight Path, menjelaskan kategori dan klasifikasi pergerakan pembaruan kedalam empat aliran. Pertama, kaum sekuler yang mendukung agama hanya untuk urusan pribadi dan pengucilannya dari kehidupan publik. Kedua, konservatif yang bergerak untuk kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah dengan penekanan mengaplikasikan hukum tradisional, bukan reinterpretasi yang membuka peluang perubahan dalam hukum. Mereka memandang tidak begitu penting merujuk langsung kepada al-Qur'an dan al-sunnah untuk memperoleh jawaban-jawaban baru. Ketiga, neotradisionalis, yang dominan sama dengan konservatif. Tetapi kaum ini disatu sisi menghormati rumusan-rumusan hukum klasik, tetapi tidak terikat dengan rumusan-rumusan tersebut. Mereka merujuk langsung kepada sumber-sumber Islam utama, guna berijtihad dan menerapkan kembali sumber-sumber dimaksud pada kebutuhan-kebutuhan dan kondisi-kondisi kontemporer. Keempat, neomodernis yang membedakan secara tajam antara substansi dan bentuk, antara kaidah dan nilai-nilai wahyu dengan lembaga dan praktik yang terkondisikan oleh sejarah dan kemasyarakatan yang dapat dan harus diubah untuk memenuhi kondisi-kondisi kontemporer.[1]

Terlepas tepat tidaknya pengklasifikasian diatas, yang jelas yang menjadi permasalahan paling signifikan penting bukan pada ragam penafsiran yang dihasilkan, melainkan pergeseran dan perbedaan worldview. Dari keempat aliran diatas, jika dilihat dari kacamata worldview bisa disederhanakan menjadi dua. Pertama, yang masih berada pada jalur worldview Islam dengan realitas tidak ada penyimpangan dari mainstreem Islam, yakni yang disebut Esposito dengan kaum konservatif dan neomodernis. Kedua, yang sudah di luar jalur worldview Islam, yakni sekuler dan neomodernis. Keduanya menggunakan pendekatan interpretasi dengan worldview Barat yang menghasilkan kesimpulan-kesimpulan hukum yang sudah tidak relevan lagi dengan suara Islam.

Klaim pembaruan yang diusung kaum liberal mengarahkan konsentrasinya dalam studi al-Qur'an melalui interpretasi. Hermenutika sebagai teori dijadikan pisau pembedah bahkan pendekonstruksi syari'ah. Menurut mereka fiqih yang selama ini dipakai, dinilai sebagai faktor kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini.[2] Salah satu kritik terhadap fiqih adalah bahwa fiqih bersikap diskriminatif terhadap non Muslim. Diantaranya mengatakan, "Banyak konsep fiqih yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang umat Islam, sehingga berimplikasi meng-exclude atau mendiskreditkan mereka."[3] Sejumlah pemikir liberal muslim menilai bahwa proses pembaruan ini tidak bisa dilakukan selama perangkat teoritiknya, yaitu ushul fiqih tidak diperbaharui. Oleh karena itu pembaruan ushul fiqih menjadi agenda utama. Diantara mereka yang mengusung pembaruan ini adalah Hasan at-Turabi yang menilai bahwa ushul fiqih tidak relevan lagi untuk sekarang ini.[4] Kemudian ada Abdul Hamid Abu Sulayman yang mensinyalir beberapa kelemahan ushul fiqih klasik. Diantaranya textual dan linguistic oriented sehingga cenderung melupakan unsur historisitas teks, dimensi waktu dan tempat.[5]

Agenda dekonstruksi ushul fiqih ini merupakan salah satu program dari grand program liberalisai Islam di Indonesia. Sebagaimana yang dinyatakan Greg Barton bahwa program liberalisasi Islam di Indonesia meliputi empat hal yang meliputi pentingnya kontekstualisasi ijtihad, komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, penerimaan terhadap pluralisme agama, dan pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non sektarian negara.[6] Senada dengan itu, hasil penelitian dari salah seorang peneliti INSIST menyatakan program liberalisasi meliputi tiga hal, yakni liberalisasi dalam aqidah Islamiyyah- Pluralisme agama-, liberalisasi konsep wahyu –menggugat otentisitas mushaf Utsmani-, dan liberalisasi syaria't dan akhlak Islam.[7] Ternyata dalam realitas dan prakteknya, pemikir liberal Indonesia lebih liberal ketimbang pendahulunya, bahkan lebih liberal ketimbang Barat liberal.

Plagiatisasi terhadap pemikiran Barat yang membabi buta, telah membuat pencemaran nama baik Islam di panggung dunia. Secara langsung atau tidak langsung, disadari atau tidak, meskipun dengan dalih pembaruan, mereka -cendekiawan liberal- telah merendahkan martabat kaum muslimin. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat, tidaklah mensyaratkan peradaban Barat yang beradab, karena peradaban itu hakikatnya pemberontakan terhadap agama dan anti wahyu. Fazlur Rahman (1919-1988) asal Pakistan[8], pengajar di Universitas Chicago Amerika Serikat sebagai salah satu tokoh rujukan kaum liberal Indonesia telah mengingatkan akan kelemahan gerakan kaum modernis Muslim yang menyebabkan mereka gagal untuk membawa masyarakat kepada apa-apa yang mereka idamkan. Ia menjelaskan, "Isu-isu khusus yang dipilih kaum modernis pada dasarnya adalah isu-isu yang menjadi persoalan di dan bagi masyarakat di Barat. Meskipun kaum modernis tersebut jujur dalam mengadopsi persoalan tersebut, sikap ad-hoc (pilih bulu) mereka ini bagaimanapun juga telah meninggalkan kesan yang sangat kuat bahwa kaum modernis tersebut adalah mereka yang terbaratkan ataupun telah menjadi orang Barat."[9]

Tetapi realitanya, Rahman pun terjebak dalam kelemahan ini. Dalam praktiknya, dia terlibat aktif mengangkat isu-isu Barat. Teori double movement Rahman misalnya, merupakan salah satu bukti bagaimana ia merepresentasikan gaya Barat dalam melakukan liberalisasi pada syari'at Islam atas nama pembaruan.

Dalam mengaplikasikan teorinya tersebut, sebelumnya Rahman mempunyai pandangan yang perlu dicermati ketika mendengungkan pembaruan dalam Islam. Pandangannya terhadap pembaruan, dia sikapi dengan prinsip kesesuaian wahyu dengan realitas. Ia mengusulkan supaya pembaruan (reformasi/tajdid) mestilah kembali kepada al-Qur'an dan al-sunnah. Tetapi al-Qur'an yang ia pahami tidaklah seperti yang diyakini oleh kaum muslimin pada umumnya. Ia menyatakan bahwa al-Qur'an merupakan firman Allah yang pada dasarnya adalah satu kitab mengenai prinsip-prinsip dan nasehat-nasehat keagamaan dan moral bagi manusia, dan bukan sebuah dokumen hukum, meskipun ia mengandung sejumlah hukum-hukum dasar seperti shalat, puasa, dan haji.[10] Dari awal hingga akhir menurutnya, al-Qur'an selalu memberikan penekanan pada semua aspek-aspek moral yang diperlukan bagi tindakan kreatif manusia. Oleh karenanya, kepentingan sentral al-Qur'an adalah manusia dan perbaikannya.[11]

Begitu pula dengan pandangannya terhadap sunnah Nabi saw., dimana pada intinya sunnah Nabi merupakan substansi perbaikan manusia. Oleh karena itu, menghidupkan al-sunnah adalah keniscayaan dalam melakukan pembaruan. Sunnah yang hidup adalah praktik aktual yang dilakukan umat Islam yang secara ideal bersumber dari teladan Nabi. Oleh karena itu, konsep ini bersifat dinamis dan berkembang sesuai tuntutan lingkungan dan masanya.[12] Dengan kata lain, sejumlah aturan-aturan hukum didalam al-Qur'an dan al-hadits tidak bersifat final dan berlaku untuk selamanya. Tetapi senantiasa berubah dengan landasan utama kesesuaiannya dengan alam realitas yang selalu berubah pula, baik waktu atau tempatnya.

Teori double movement Fazlur Rahman menjadi salah satu referensi muslim liberal Indonesia. Ia gunakan teorinya ini untuk memahami dan menginterpretasi al-Qur'an, khususnya hukum Islam.[13] Hubungan timbal balik antara wahyu ketuhanan (divine relation) yang suci dan sejarah kemanusiaan (human history) yang profane menjadi tema sentral. Gerak pertama dari teori ini adalah dari situasi sekarang menuju ke masa turunnya al-Qur'an, yakni upaya yang sungguh-sungguh untuk memahami konteks mikro dan makro pada saat al-Qur'an diturunkan. Dengan pemahaman itu akan dapat melahirkan makna original yang dikandung oleh wahyu di tengah-tengah konteks sosial-moral era kenabian, sekaligus dapat menghasilkan gambaran situasi dunia yang lebih luas pada umumnya saat itu. Penelitian dan pemahaman tersebut, akhirnya menghasilkan rumusan narasi atau ajaran al-Qur'an yang koheren tentang prinsip-prinsip umum dan sistemik serta nilai-nilai yang melandasi berbagai perintah-perintah yang bersifat normatif. Sedang gerak kedua dari teori double movement adalah dari masa turunnya al-Qur'an kembali ke masa kini untuk menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai sistematis dan umum dalam konteks pembaca al-Qur'an era kontemporer sekarang ini dengan menggunakan ilmu-ilmu sosial modern dan humanitis kontemporer sebagai alat yang cukup baik untuk memberikan pemahaman yang baik pula tentang sejarah.[14]

Dalam teori tersebut, Rahman membedakan dua hal, yaitu "ideal moral" dan ketentuan "legal spesifik" al-Qur’an. Untuk menemukan dua hal tersebut, dalam berbagai penjelasannya, Rahman mengusulkan agar dalam memahami pesan al-Qur’an sebagai satu kesatuan adalah mempelajarinya dengan sebuah latar belakang, sehingga al-Qur’an dapat dipahami dalam konteks yang tepat.[15] Aplikasi pendekatan kesejarahan ini telah membuat Rahman menekankan akan pentingnya tujuan atau ideal moral al-Qur’an dengan legal spesifiknya. Ideal moral yang dimaksud al-Qur’an lebih pantas untuk diterapkan ketimbang ketentuan legal spesifik.[16] Dengan kata lain, dalam teorinya ini, ia melakukan tiga langkah dalam memahami dan menginterpretasi ayat-ayat ahkam, sebagaimana dijelaskan Birt dalam "The Message of Fazlur Rahman". Pertama, memahami dan memaknai pernyataan dengan melihat situasi sosio-historis pada saat pernyataan itu muncul. Kedua, membuat kesimpulan terhadap pernyataan tersebut dengan mengklasifikasikan aspek ideal moral dan legal formal yang spesifik. Ketiga, ideal moral yang didapatkan sebagai kesimpulan terhadap pemaknaan dan pemahaman pernyataan tersebut dibawa ke konteks sekarang sesuai dengan sosio-historisnya.[17]

Rahman berkeyakinan bahwa sebuah pemahaman dan ilmu pengetahuan tidaklah bersifat final, tetapi akan selalu berubah menyesuaikan dengan waktu yang relatif dinamis. Hal ini pun ditegaskan Wan Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya "The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas", bahwa Fazlur Rahman menggunakan pendekatan terbuka -yakni sekuler- terhadap isu mengenai validitas ilmu pengetahuan.[18] Terlihat dalam salah satu stetemen Fazlur Rahman, ia mengatakan,



"Adalah jelas bahwa sekali suatu penafsiran diterima, tidak seharusnya terus menerus diterima; disini selalu ada ruang dan keperluan akan penafsiran-penafsiran baru, dan ini merupakan proses yang berlangsung terus dalam kebenaran"[19]



Oleh karena itu, Fazlur Rahman menolak ide Islamisasi ilmu pengetahuan dengan alasan akan membelenggu intelektualitas, karena menurutnya keilmuan keislaman yang dipahami, berorientasi masa lalu. Ia mengajukan perlunya penggunaan intelek yang bebas dari dogma dan batas-batas kultural yang membelenggu.[20]

Hal ini dibantah oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas yang menjelaskan bahwa penafsiran-penafsiran yang berkembang dan terjadi perubahan hanya terbatas untuk penafsiran aspek-aspek saintifik al-Qur'an dan fenomena alam. Menurutnya, ilmu pengetahuan adalah universal dalam hal kepastiannya dan bukan dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan keraguan atau prasangka, maka karena itu bersifat final. Ia tidak terbuka untuk di revisi oleh generasi sesudahnya, kecuali hanya untuk pembahasan dan pelaksanaan lebih lanjut. Ilmu pengetahuan mengenai masalah kepercayaan yang mendasar, seperti hakikat Tuhan, wahyu, agama, manusia takdirnya, masalah etika dan hukum-hukum mendasar seperti yang telah dtetapkan oleh al-Qur'an (muhkamät) dan hadits-hadits Nabi serta penjelasan-penjelasan ulama yang memiliki otoritas di bidangnya, tidak terbuka lagi untuk di revisi dan di koreksi lebih lanjut. Al-Attas menganggap dimensi saintifik al-Qur'an termasuk dalam kelompok mutasyäbihät dan karena itu terbuka untuk dapat ditafsirkan dan direvisi kembali berdasarkan makna-makna yang telah dijelaskan oleh sumber-sumber yang diwahyukan.[21]

Ada klaim, bahwa teori double movement Rahman sebagai kesinambungan antara peran akal dan teks pada periode kontemporer,[22] memunculkan wacana dan klaim bahwa teori ini sama dengan teori qiyas dalam hal memperlakukan teks agama, yaitu mengarahkan suatu pemikiran tentang substansi teks dengan menemukan rasio legis ('illat hukum) atau ideal moral.[23]

Hakikatnya jauh panggang dari api ketika teori double movement disamakan dengan qiyas. Konsep qiyas merupakan solusi yang dijadikan landasan pengambilan hukum (istibath al-ahkam) ketika sebuah kasus yang menuntut ketegasan hukum amali tidak didapatkan di dalam nash, baik al-Qur'an maupun al-hadits dan tidak ditemukan pula ijma' tentang penegasan hukum kasus tersebut dengan cara menemukan 'illat hukumnya yang sama dengan semangat kasus tersebut. Statemen ini seiring dengan penjelasan para ulama ushul seperti Abu Zahrah, Abdul Wahhab Khallaf, dan lain sebagainya dalam buku-bukunya yang menyatakan bahwa qiyas diartikan dengan menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nashnya tentang suatu hukum kepada perkara lain yang ada nash hukumnya, karena keduanya berserikat dalam 'illat hukum.[24] Sedangkan teori Rahman adalah teori yang mendekonstruksi qiyas itu sendiri dengan mendekonstruksi ayat-ayat hukum tersurat dan qath'i dalam nash yang berakibat perubahan hukum-hukum pasti (qath'i) dengan alasan ideal moral sebagai pijakan, bukan legal formal.

Dengan teorinya ini, Rahman bisa saja menganulir hukum tersurat dalam al-Qur'an yang qath'i. Karena yang menjadi pertimbangan utama teori ini adalah realitas dan sosio-historis, ketimbang syari'at tersurat yang disebutnya sebagai legal formal. Meskipun awalnya, ia berpegang kepada teks al-Qur'an yang dianggap sebagai ideal moral saja, tanpa keyakinan legal formal atau hukum tersurat menjadi landasan kemaslahatan, baik untuk dulu ataupun sekarang. Jadi, penjelasan finalitas hukum Islam yang digambarkan al-Qur'an dalam ayat-ayat hukum yang qath'i, sebagaimana termaksud dalam QS. [5]: 3, "..Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.." dianggap sebagai bahan rujukan yang tidak mesti sama dalam prakteknya. Ketika berbicara Al-Qur'an sebagai landasan hukum, Rahman menyatakan bahwa hukum dalam al-Qur'an disesuaikan dengan situasi moral dan sosial arab waktu itu. Dia menyatakan, "Al-Qur'an adalah respon ilahi atas masa al-Qur'an, melalui pemikiran Nabi, terhadap situasi moral dan sosial nabi Arab, khususnya permasalahan komersial masyarakat Mekkah pada saat itu."[25]

Hal ini menggambarkan bagaimana Rahman menampilkan teori Hermeneutika yang diaplikasikan Gadamer, dalam upaya menjelaskan bagaimana cara tradisi intelektual muncul ke permukaan dan berkembang dalam sejarah.[26] Dalam pandangan Gadamer manusia tidak dapat dipisahkan dari sejarah serta tidak ada jarak antara dunia dan manusia. Efek kesadaran sejarah mengakibatkan kondisi yang non-objektifikasi, meskipun kondisi itu selalu mengiringi proses pemahaman.[27] Jika hermeneutika ontologis Gadamer diterapkan dalam teks, dalam hal ini al-Qur'an, khususnya dalam ayat-ayat ahkam mesti ditinjau dari tiga aktifitas eksistensi manusia, yakni subtilitas intellegendi yang berarti ketepatan memahami (understanding), subtilitas explicandi yang berarti ketepatan menjelaskan atau menguraikan makna tersirat menjadi makna tersurat, dan subtilitas applicandi yang berarti menerapkan atau mengaitkan makna suatu teks dengan situasi baru dan kini.[28]

Tetapi persamaan relatifitas pemahaman antara Rahman dan Gadamer merupakan satu sisi perhatian. Di lain pihak, bahkan yang menjadi penilaian dasar adalah adanya perbedaan diantara keduanya. Gadamer menyatakan bahwa pemahaman adalah kejadian yang bersifat linguistik, dialektikal, dan historis. Oleh karena itu, tujuan hermeneutika bukanlah untuk mengemukakan aturan-aturan pemahaman yang valid-objektif, namun untuk memahami "pemahaman" itu sendiri sekomprehensif mungkin.[29] Sementara Fazlur Rahman menolak adanya penegasian objektivitas karena menurutnya, pengetahuan yang objektif itu benar-benar ada.[30]

Berangkat dari keyakinan Rahman akan objektivitas pemahaman, maka teori hermeneutikanya cenderung meniru hermeneutika metodologis objektif Emilio Betti (1890-1968) yang sangat perhatian terhadap interpretasi yang objektif, bahkan dengan menggunakan teori yang sama, yakni double movement.[31] Dalam pandangan Betti, interpretasi merupakan sarana dalam memahami. Dalam kaitannya dengan itu, seperti ditegaskan Josef Bleicher dalam Contemporary Hermeneutics, Betti berkeyakinan bahwa interpretasi objektif akan membantu mengatasi kendala pemahaman, dan memberikan ketepatan kembali dari pikiran objektif yang ada pada subjek lain. Selanjutnya, pengetahuan yang relatif objektif mensyaratkan seorang penafsir untuk memasuki hubungan subjek-subjek dan pokok bahasan, misalnya teks yang akan ditafsirkan.[32] Dalam praktek interpretasi objektif dan pemahamannya, Betti memperhatikan empat aspek penting yang bersifat teoritis yang mesti ada dalam proses interpretasi. Pertama, aspek filologi, yakni rekonstruksi terhadap koherensi suatu ungkapan dari sisi gramatikal dan logika. Kedua, aspek kritik yang dihadapkan pada hal-hal yang perlu dipertanyakan seperti statemen yang tidak logis atau adanya gap dalam sekumpulan argumen yang muncul. Ketiga, aspek psikologis yang diberlakukan ketika interpreter meletakkan dirinya dalam diri pengarang, yakni ketika memahami dan menciptakan kembali personalitas dan posisi intelektual pengarang. Keempat, aspek morfologi teknis yang ditujukan kepada pemahaman isi (ideal moral) objektif dalam hubungannya dengan logika khusus dan prinsip-prinsip yang digunakannya. Dalam hal ini, objek dipandang apa adanya tanpa dikaitkan dengan sifat atau faktor-faktor eksternal.[33] Setelah keempat teori tersebut terlibat dalam proses penafsiran, maka terdapat tiga jenis penafsiran yang terjadi, yaitu rekognitif untuk memahami kembali pengetahuan pengarang ketika menjabarkan sebuah statemen yang ditulisnya yang dipengaruhi konteks sejarah, reproduksi untuk menghasilkan pengetahuan baru, dan aplikasi normatif untuk menerapkan pemahaman isi objektif dengan memperhatikan prinsip-prinsip dasar (ideal moral).

Dengan teori double movement Rahman sebagai aplikasi dari hermeneutika metodologis Emilio Betti akan berakibat perubahan bahkan dekonstruksi hukum ayat-ayat ahkam yang qath'i dalam al-Qur'an ataupun sunnah nabawiyyah. Perubahan tersebut senantiasa berlanjut mengiringi perbedaan waktu dan tempat sesuai dengan konteks sosio-historisnya yang berakibat terjadinya relatifitas penafsiran. Meskipun dengan metodologi keduanya yang dianggap sistematis, namun relatifitas interpretasi dan subjektifitas penafsir tidak dapat dihindarkan.

Relatifitas penafsiran yang menundukan nash di bawah "telunjuk" akal dan menempatkan akal potensial di bawah telunjuk realitas dan sosio-historis yang berujung pada kebenaran yang bias. Disinilah bagaimana Rahman terjerembab dalam pemikiran Barat yang mengagungkan akal dan mengesampingkan bahkan menegasikan wahyu. Misalnya dalam "ijtihad"nya, dia menyatakan bahwa poligami itu terlarang, meskipun ia mengakui adanya eksistensi dan legalisasi poligami dalam al-Qur'an dalam QS. [4]: 3. Tetapi ia beralasan bahwa ayat tersebut telah di nasakh QS [4]: 129, terlebih lagi bahwa adanya poligami hanya pada zaman awal Islam, dimana struktur sosial Arab tentang kebiasaan hidup berpoligami, tetapi ideal moralnya adalah monogami. Ketika ditarik pada masa sekarang, ayat itu pun dengan sendirinya ternegasikan dengan kondisi realitas sosial. Padahal kalau ia jujur, realitas yang terjadi di tataran sosial sekarang, ketika meruaknya kasus perselingkuhan dan perzinahan ditambah sensus laki-laki dan perempuan yang lumayan tinggi perbandingan kuantitasnya, poligami bisa dijadikan solusi sesuai perspektif ideal moralnya.

Contoh kasus lainnya yang dia angkat dalam interpretasi kritik sosio-historisnya misalnya ketika menafsirkan ayat tentang hukuman bagi pencuri yang tersurat dalam al-Qur'an dengan hadd potong tangan. Ayat ini termaktub dalam QS. [5]: 38,



"Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana"



Menurut Rahman, kata faqtha'u aidiyahuma (potonglah tangan keduanya) sebagai bentuk perintah untuk menghalangi tangan-tangan pencuri melalui perbaikan ekonomi. Dengan demikian, yang menjadi ideal moral dalam kasus ini adalah memotong kemampuan pencuri agar tidak mencuri lagi. Bahkan ketika Rahman berkunjung ke Indonesia dan diwawancarai majalah Tempo, ia mengatakan, "sangat mengerikan (potong tangan), ia merupakan tradisi yang lahir di Arab Saudi sebelum adanya Islam. Jadi bukan hukum Islam."[34]

Interpretasi tersebut menegasikan hukum tersurat dan menyalahi hadits, para ulama tafsir, baik dari sahabat, tabi'in, dan seterusnya. Karena kata aidiyahuma dalam ayat tersebut adalah hakiki bukanlah majazi (kiasan) yang bisa diganti dengan makna lain. Ibn Jarir al-Thabary meriwayatkan dari Abdul Mukmin dari Najdah al-Hanafi, beliau bertanya kepada Ibn Abbas tentang ayat hukum potong tangan ini, 'Apakah ayat itu bersifat umum atau khusus? Ia menjawab bahwa ayat tersebut bersifat umum. Dengan kata lain ayat tersebut berlaku bukan hanya untuk masyarakat Arab abad ke-7 Masehi saja.[35] Walaupun memang hukum potong tangan telah ada sebelum Islam datang, tetapi hal ini dipertahankan dalam Islam dengan pada masa Islam dengan menambah beberapa pertimbangan dan syarat yang ketat, termasuk ukuran minimal harta curian dan motif pencurian tersebut.[36] Jadi dalam hukum Islam tidak semua pencuri di potong tangan, apalagi kalau mencuri untuk sekedar mempertahankan hidup.

Sebagaimana pendahulunya Fazlur Rahman dengan teori double movement (gerak ganda), Nurcholis Madjid, salah seorang pelopor Islam liberal Indonesia menyerukan pembaruan pemikiran Islam dengan menyatakan, "(untuk)..memberi respon kepada tantangan zaman, harus terlebih dahulu kita menangkap isi pesan dalam kitab suci. Karena (seperti dikatakan)..Fazlur Rahman, kita memiliki kriteria tertentu untuk melangkah, dan kriteria itu dengan sendirinya harus bersumber dari al-Qur'an. Selanjutnya dia katakan, pertama-tama kita harus menilai tradisi kita sendiri, benar dan salahnya, kemudian kita harus menilai tradisi Barat."[37] Pelopor Islam Liberal ini bermaksud melakukan pembaruan dengan menangkap kemajuan Barat yang rasional dan anti wahyu sebagai alat untuk merubah tradisi Islam, yang selama ini dianggapnya beku. Padahal dengan sikapnya tersebut, disadari atau tidak, dia telah melakukan westernisasi (pembaratan) pemikiran dalam dunia Islam.

Diantara pemikir liberal lainnya menyatakan pujian terhadap sosok Nurcholis Madjid yang diklaim sebagai pelopor pembaruan Islam di Indonesia itu, "bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan 'tradisi' (turats) dalam bingkai analisis yang kritis dan sistematis. Pemikiran para tokohnya didasari kepedulian yang sangat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran al-Qur'an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab suci dan konteks masyarakat modern yang memerlukan bimbingannya. Maka hasilnya adalah apresiasi yang cukup mendalam terhadap syari'ah atau fiqih dengan cara melakukan kontekstualisasi fiqih dalam perkembangan zaman."[38]

Padahal hakikatnya, Nurcholis Madjid sama sekali tidak pernah menulis tentang metodologi fiqih dan hanya melakukan dekonstruksi terhadap beberapa hukum Islam yang tidak disetujuinya. Ia pun hanya mengikuti jejak gurunya, Fazlur Rahman yang yang menggunakan metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur'an.[39] Dari pembuntutan metodologi dari proyek westernisasi ini, lahirlah dari buah pemikirannya buku Fiqih Lintas Agama yang memberikan hukum baru dalam pemahaman mengenai perkawinan beda agama, do'a bersama, mengucapkan salam kepada non-Muslim, menghadiri dan mengucapkan selamat natal, dan persoalan-persoalan yang terkait langsung dengan hubungan umat Islam dengan umat agama-agama lain. Westernisasi melalui hermeneutika dapat dibuktikan dari pernyataan penggagas lain dari munculnya buku ini yang memberi argumentasi bahwa peluncuran 'ijtihad' baru dalam bidang fiqih ini dilandasi realitas sosial yang terjadi, dimana telah terjadinya perkawinan agama, pengucapan selamat natal, do'a bersama, dan lain-lain. Ia mengatakan,



"Tema-tema itu tidak datang dengan sendirinya. Kita mengambilnya dari realitas sosial yang terjadi di masyarakat kita sehari-hari. Kita sering menyaksikan -misalnya- para pejabat yang menghadiri peringatan natal dan mengucapkan selamat natal. Pembawa acara televisi pun umumnya tak sungkan mengucapkan selamat natal. Kita secara ringan saja mengucapkan salam kepada non-muslim, atau ada juga yang melakukan perkawinan agama. Nah, semua itu merupakan persoalan-persoalan yang real di masyarakat. Tapi sayangnya, belum ada fiqih yang membicarakan persoalan tersebut secara agak tuntas." Nah, ada persoalan-persoalan lain seperti do'a bersama, yang juga perlu dibahas. Saya tidak tahu, apakah pada zaman Nabi dulu, do'a bersama punya preseden atau tidak. Sekarang praktik itu sering dilakukan orang. Kalau kita lihat, yang melakukan itu justru tokoh-tokoh dari semua agama. Itu persoalan real. Perlu ada jawaban konkret."[40]



Maka jelaslah, yang berlaku sebenarnya bukan landasan hukum Islam berdasar al-Qur'an dan as-Sunnah, tetapi realitaslah yang dijadikan pijakan hukum. Rasionalisasi pun jadi bias, karena pada intinya bukan pengoptimalan akal untuk membuat solusi permasalahan masyarakat, tetapi akal dipaksa untuk membenarkan realitas dengan mencari pembenaran dari nash. Metodologi yang ditawarkan kelihatan begitu meyakinkan, hanya karena ditawarkan oleh orang-orang berpendidikan dengan bahasa intelektual. Padahal dibalik itu semua, terkandung kepentingan dekonstruksi syari'at yang menyebabkan runtuhnya eksistensi ajaran tauhid Islam.



[1] John L. Esposito, Islam: The Straight Path. Terjemah Arif Maftuhin, Islam Warna Warni; Jalan Ekspresi Menuju Jalan Lurus, Paramadina: Jakarta, 2004, 283-287

[2] Jamal al-Bannä, Nahw Fiqh Jadid, Där al-Fikr al-Islämï: Kairo, t.th, 8

[3] Mun'im A. Sirry (ed), Fikih Lintas Agama, Yayasan Paramadina: Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004, ix

[4] Lihat Nirwan Safrin, "Konstruk Epistemologi Islam: Tela'ah Bidang Fiqh dan Ūshul Fiqh" dalam Jurnal ISLAMIA, Th II No. 5, April-Juni 2005, 46

[5]Abdul Hamid Abu Sulayman, Azmah al-'Aql al-Muslim, Al-Ma'had al-Älami li al-fikr al-Islämï, 1994, 73

[6] Gagasan Islam Liberal Indonesia, Paramadina: Jakarta, 1999

[7] Adian Husaini, Liberalisasi Islam di Indonesia Fakta dan Data, DDII, 2006, 44. Selanjutnya disingkat Liberalisasi Islam

[8] Lahir 21 September 1919 di Barat Pakistan. Meraih M.A. dari Universitas Punjab, Lahore dalam Bahasa Arab dan Doktor di Oxford tentang Psikologi Ibn Sina. Ia merupakan dosen di Studi Persia dan Filsafat Islam di Universitas Durham, Inggris, 1950-1958, asisten Profesor di Institut Studi Islam, Universitas McGill, Montreal, 1958-1961, Profesor tamu di Central Institute of Islamic Research, Pakistan, 1961-1962 dan Direktur, 1962-1968, Profesor tamu di U.C.L.A. 1969, dan Profesor di Universitas Chicago, 1969

[9] Fazlur Rahman, Islam: Challenges and Opportunities, dalam Alford T. Welch dan Pierre Chachia (eds), Islam: Past Influence and Present Challenge, Edinburgh University Press: Edinburgh, 1979, 324 Dikutip dari Nirwan Syafrin, Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syari'at Islam, dalam Jurnal Tsaqafah ISID- Gontor, Vol. 4, N0. 2, R. Tsani 1429, 276

[10] Fazlur Rahman, "The Message and the Messenger" dalam Marjorie Kelly (ed), Islam: The Religious and Political Life of a World Community, Praeger Publisher: New York, 1984, 46. Dikutip dari Abd A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Paramadina: Jakarta, 2003, 82

[11] Ibid

[12] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, Adam Publisher & Distributors: Delhi, 1994, v. Lihat Abd A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal, Paramadina: Jakarta, 2003, 94

[13] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, (Chicago and London: The University of Chicago, 1982), hlm. 5

[14] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, Fakultas Syari'ah Press dan Forum Studi Hukum Islam: Yogyakarta, 2004, 142-143. Selanjutnya disingkat Neo Ushul Fiqih. Abd A'la, Dari Neomodernisme Ke Islam Liberal, Paramadina: Jakarta, 2003, 84. Selanjutnya disingkat Dari Neomodernisme

[15] Fazlur Rahman, Interpreting the Qur'an, dalam Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo Modernisme Islam Dewasa Ini, Mizan: Bandung, 1993, 55-56

[16] Taufik Adnan Amal, Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neo Modernisme Islam Dewasa Ini, Mizan: Bandung, 1993, 21

[17] Abd A'la, Dari Neomodernisme, 71

[18] Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas, terjemah Hamid Fahmi dkk, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas, Mizan: Bandung, 2003, 409. Selanjutnya di singkat The Educational Philosophy

[19] Fazlur Rahman, "Islamic Modernism: Its Scope, Method, and Alternatives", International Journal of Middle Eastern Studies I, 1970, 145

[20] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih, 143

[21] Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy, 409-410

[22] Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation og Intellectual Tradition, The University of Chicago: Chicago and London, 1982, 5

[23] Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neo modernisme Islam Fazlur Rahman, cet-5, Mizan: Bandung, 62

[24] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, 173. Hal senada dijelaskan Abdul Wahab Khallaf, 'Ilm Ushul, 52 juga Al-Baidhawi, Shadru al-Syari'ah, Abu Hasan al-Basyri, al-Amidi, Ibn al-Hajib, Ibn al-Hummam, Ibn Qudamah, dan Qadhi Abu Bakar seperti dikutip Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, jilid 2, Logos Wacana Ilmu: Jakarta, 1999, 145-147

[25] Fazlur Rahman, Islam and Modernity, Oxford University Press: Oxford, 1979, p. 2

[26] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih, 145

[27] Joel C. Weinsheimer, Gadamer Hermeneutics: A Reading of Truth and Methode, New Haven: Yale University, 1985, 169

[28] Van A. Harvey, "Hermeneutic" dalam Marcea Eliade, The Enciclopedy of Religions, Mac Milan Publishing: New York, vol. 6, 280. Dikutip dari Mamat S. Burhanuddin, Hermeneutika al-Qur'an ala Pesantren, UII Press: Yogyakarta, 2006, 59

[29] Richard E. Palmer, Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleiermacher, Dilthey, Heidegger, and Gadamer, Northwestern University Press: Evanston, 1969, 215. Selanjutnya disingkat Hermeneutics

[30] Abd A'la, Dari Neomodernisme, 86

[31] Richard E. Palmer, Hermeneutics, 56

[32] Abd A'la, Dari Neomodernisme, 85

[33] Ibid

[34] Lihat Hermeneutika al-Qur'an Fazlur Rahman, Jalasutra: Yogyakarta, 2007, 80-81

[35] Ibn Jarir, Tafsir Jami'ul Bayan QS. 5:38

[36] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Azhim QS. 5:38

[37] Nurcholis Madjid, "Ajaran Nilai Etis dalam Kitab Suci dan Relevansinya bagi Kehidupan Modern", dalam "Islam Doktrin dan Peradaban", Paramadina: Jakarta, 1992, 485-486

[38] Lihat Azyumardi Azra dalam pengantar buku Abd A'la, Dari Neo Modernisme ke Islam Liberal, Paramadina: Jakarta, 2003, xi-xii

[39] Adian Husaini, Liberalisasi Islam, 46-47

[40] Kautsar Azhari Noer yang diwawancarai Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu Jaringan Islam Liberal (JIL) pada Kamis 17 Oktober 2003. Dikutip dari Parjono Wiro Putro, Membongkar Kesesatan Pemikiran Islam Liberal, Bina Insani Press: Solo, 2004, 180

0 komentar: