بسم الله الرحمن الرحيم

Jumat, 30 Oktober 2009

JIHAD DAN TERORISME

Daden Robi Rahman

Dalam kondisi dunia yang terhegemoni kekuatan Barat saat ini, tidak aneh kiranya banyak kita temui para ustadz, kyai, ‘ulama, mujāhid, dan para aktifis Islam lainnya menjadi sasaran para penguasa zhalim. Apalagi isu terrorisme yang berkembang sekarang, dimana isu ini sudah menjadi isu global. Dikarenakan kekuatan global ada di pada kekuasaan-kekuasan tiran yang dikoordinatori Amerika sebagai representasi kekuatan Barat, maka kaum muslimin yang tsiqah pun menjadi sasaran korban kebiadaban mereka. Pemerintahan Amerika dan sekutunya telah mengarahkan pandangan manusia dunia, termasuk negeri-negeri muslim, untuk menyatakan bahwa apa yang dilakukan kaum muslimin dunia yang melaksanakan syari’at Islam, khususnya jihad adalah para teroris yang mesti ditangkap, dipenjarakan, bahkan dibunuh. Dan patut disayangkan, banyak dari kaum muslimin yang termakan makar tersebut, yang akhirnya mereka bukannya membantu para mujahidin, justru mencelanya. Akhirnya kaum muslimin pun khawatir, bahkan takut kalau berbicara jihad, apalagi mengamalkannya.

Bahkan bukan hanya umat Islam saja yang menjadi sasaran, lebih parah lagi Islam diidentikan dengan terorisme. Mereka mencoba membuat opini, wacana, dan makar bahwa Islam sebagai agama adalah dogma, dogma dogma identik dengan fanatisme, fanatisme menimbulkan fundamentalisme, fundamentalisme identik dengan jihad, dan jihad melahirkan terorisme.

Isu terorisme yang selalu dikait-kaitkan dengan kaum muslimin dan Islam ini adalah bentuk peperangan pada ranah opini dan pemikiran atau biasa disebut dengan ghazwul fikry. Seharusnya kita tidak boleh begitu gampang termakan makar. Tetapi begitulah realitas yang menimpa kaum muslimin dunia yang seakan inferior dibawah superioritas Barat. Padahal sangat jelas makar bahwa jihad identik dengan terorisme adalah fitnah yang diarahkan kepada umat Islam. Di satu sisi, ajaran jihad merupakan ajaran yang jelas adanya di dalam Islam. Bahkan jihad mempunyai kedudukan yang teramat mulia di dalam Islam, sebagaimana sabda Rasul SAW,

“Maukah aku kabarkan kepala segala urusan, tiangnya, dan puncak ketinggiannya? Saya (Muadz) berkata: Tentu ya Rasulullah. Rasul bersabda: Kepala setiap urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad fī sabīlillāh” (HR. at-Tirmidzi [no.2616](

Disisi lain, terorisme merupakan sebuah paham yang dikecam oleh Islam, karena paham ini merupakan paham yang mengajarkan kekerasan, menyebarkan ancaman, dan menebarkan permusuhan. Sebagaimana telah dirumuskan Majma’ al-Fiqh al-Islāmy sebagai lembaga fikih internasional, menyatakan terorisme sebagai suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia (agama, darah, harta, dan kehormatannya). Dan ia mencakup berbagai bentuk pemunculan rasa takut, gangguan, ancaman, dan pembunuhan tanpa hak serta apa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk permusuhan, membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di jalan dan segala perbuatan kekerasan dan ancaman. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut dengan gangguan terhadap mereka, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, keamanan, atau kondisi-kondisi mereka. Dan diantara bentuk-bentuknya, melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan umum atau khusus, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya atau asset negara atau umum. Seluruh hal ini tergolong kerusakan di muka bumi yang dilarang Allah SWT. (Qarārāt al-Majma’ al-Fiqh al-Islāmy dalam Dzulqanain ibn Muhammad Sanusi, Meraih Kemuliaan Dengan Jihad, Pustaka as-Sunnah, 2006, hal.165)

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-A’raf:56).

Begitupun dengan pengertian terorisme yang dinyatakan PBB, dimana ia menyatakan bahwa terorisme adalah perbuatan-perbuatan yang membahayakan jiwa manusia yang tidak berdosa atau menghancurkan kebebasan asasi atau melanggar kehormatan manusia.(Haitsam al-Kailāny, Al-Irhāb Yuassis Daulah, hal.17, dalam Muthī’ullah al-Harby, Haqāiq al-Irhāb, hal. 7).

Tetapi yang menjadi masalah adalah definisi teroris itu sendiri pada aplikasinya selalu salah alamat, dan tidak henti-hentinya diarahkan kepada Islam dan umat Islam. Hal ini terjadi bukan salah pada sisi pengertian apa itu terorisme, tetapi siapa yang mendefinisikan terorisme. Karena yang menghegemoni atau merasa superior di dunia sekarang ini adalah Barat yang direpresentasikan Amerika, maka yang menjadi kesimpulan dari pengertian dan aplikasi terorisme adalah kebijakan Amerika. Sedangkan Amerika adalah simbol Barat, sedang Barat bertolak belakang dengan Islam, karena Islam adalah sebuah worldview (pandangan hidup), dan Barat adalah worldview yang lain. Islam adalah sebuah peradaban, dan Barat adalah peradaban yang lain. Dan pada kenyataannya, Islam dan Barat akan terus bergesek dan berbenturan, sebagaimana yang dikatakan Huntington dalam bukunya “The Clash of Civilization” (benturan peradaban), bahwa yang dimaksud dengan benturan tersebut adalah benturan antara peradaban Islam dan Barat. Maka secara otomatis, apa yang diinginkan Amerika dan sekutunya (baca: Barat) adalah terorisme yang menekan dan mendiskreditkan Islam dan umat Islam.

Oleh karena itu, semestinya umat Islam memahami ajarannya dengan benar-benar paham tanpa harus didikte oleh lain dalam mendefinisikan dan mengamalkan ajarannya tersebut. Khususnya mengenai jihad, kajian mengenai ajaran ini mesti lebih pembacaannya, mengingat begitu pentingnya ajaran ini dalam Islam di satu sisi, sebagaimana telah disebutkan dalam sabda Nabi diatas yang menyebutkan jihad sebagai puncak urusan. Di sisi lain, adanya makar dan tipu daya Barat yang mendekonstruksi konsep jihad dengan mengidentikannya dengan terorisme sekaligus memaksa umat Islam untuk menerimanya.

Oleh karena itu, sebuah keniscayaan pemahaman terhadap jihad dan terorisme adalah fondasinya. Perlu kita bertanya, apakah jihad identik dengan terorisme?Sedangkan jihad merupakan sebuah ajaran yang benar adanya di dalam Islam.Bahkan jihad merupakan puncak urusan di dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda kepada Muadz bin Jabal,

“Maukah aku kabarkan kepala segala urusan, tiangnya, dan puncak ketinggiannya? Saya (Muadz) berkata: Tentu ya Rasulullah. Rasul bersabda: Kepala setiap urusan adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak ketinggiannya adalah jihad fī sabīlillāh” (HR. at-Tirmidzi [no.2616](

Maka dalam hal ini perlu kita jelaskan bagaimana posisi jihad dalam Islam secara benar.Apa yang dimaksud dengan jihad? Apa keutamaannya? Bagaimana kita berjihad?Apakah terjadinya pemboman yang terjadi di negeri kita bisa dikatakan jihad?

Jihad dan Keutamaannya

Kata jihad di dalam Al-Qur’an terulang sebanyak empat puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Secara bahasa jihad diambil dari kata جَهَدَ: الْجَهْدُ-الْجُهْدُ = الطَّاقَةُ, الْمَشَقَّةُ, الْوُسْعُyang berarti kekuatan usaha, susah payah, dan kemampuan.[1]Sedangkan menurut syar’i, jihad adalah mencurahkan segala kemampuan dalam menghadapi musuh (اسْتِفْرَاغُ الْوُسْعِ فِى مُدَافَعَةِ الْعَدُوِّ).[2] Ibnu Hajar al-‘Asqalany (w.852 H) mengatakan bahwa jihad menurut syar’i adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang-orang kafir. Jihad juga digunakan untuk melawan hawa nafsu, syaitan, dan orang-orang fasik.[3] Senada dengan itu Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa jihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mencapai apa yang dicintai Allah ta’ala dan menolak semua apa yang dibenci Allah. Dan pada hakikatnya jihad adalah meraih apa yang dicintai oleh Allah berupa iman dan amal shalih, dan menolak apa yang dibenci oleh Allah berupa kekufuran, kefasikan, dan maksiat.[4]

Dari definisi jihad diatas, jihad bisa dibagi kepada empat bagian,[5]

1. Jihād an-Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri)

Jihad ini dijelaskan dalam hadits Fudhālah bin ‘Ubaid ra, bahwa Rasul SAW bersabda,

Seorang mujahid adalah orang yang berjihad memperbaiki dirinya dalam ketaatan kepada Allah.” (HR. at-Tirmidzi: 1621).

Jihad dalam memperbaiki diri mempunyai empat tingkatan.Pertama, jihad mempelajari ilmu syari’at (Al-Qur’an dan al-hadits). Allah berfirman,

“Maka ilmuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu…”( Qs. Muhammad: 19).

Kedua,berjihad dalam mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya. Allah berfirman,

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (Qs. An-Nisā: 66-68).

Ketiga, berjihad dalam mendakwahkan ilmu tersebut. Allah berfirman,

Dan andaikata Kami menghendaki benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul).Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (Qs. Al-Furqan: 51-51)

Keempat, jihad dalam menyabarkan diriketika mendapat cobaan dalam menjalani tingkatan-tingkatan diatas. Allah berfirman,

“Alif Lām Mīm. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (Qs. Al-‘Ankabūt: 1-3).

2. Jihād as-Syaithān (Jihad melawan syetan)

Jihad dalam hal ini dijelaskan dalam firman Allah,

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Qs. Fāthir: 6).

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah mengatakan bahwa perintah (Allah) untuk menjadikan syetan sebagai musuh merupakan perintah (akan harusnya) mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi dan berjihad melawan (syetan). Karena ia laksana musuh yang tak kenal letih, dan tidak pernah kurang memerangi seorang hamba dalam selang beberapa tarikan nafas.[6]Jihad dalam hal ini ada dua tingkatan.Pertama, berjihad membentengi diri dari serangan syubhat dan keraguan yang dapat merusak iman.Kedua, berjihad untuk membentengi diri dari serangan keinginan-keinginan yang merusak dan syahwat.[7]

3. Jihād al-Kuffār wa al-Munāfiqin (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munafik)

Pada jihad ini terdapat empat tingkatan.Pertama, jihad dengan hati dengan membenci sikap kesewenang-wenangan dan sikap mereka yang membenci dan menodai Islam.Kedua, jihad dengan lisan dalam bentuk menjelaskan kesesatan mereka dan menjauhkan mereka dari kaum muslimin.Ketiga, jihad dengan harta dengan menginfakkannya dalam mendukung kegiatan-kegiatan untuk mematahkan makar jahat dan permusuhan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.Keempat, jihad dalam arti memerangi mereka apabila terpenuhi syarat-syarat dalam berperang.[8] Dalam jihad pada bagian ini Allah berfirman,

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka ialah jahannam.Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.”(Qs. Al-Taubah: 73/ al-Tahrīm: 9).

4. Jihād Arbāb az-Zhulm wa al-Bida’ wa al-Munkarāt (Jihad dalam menghadapi orang-orang zhalim, ahli bid’ah, dan pelaku kemunkaran).

Dalam jihad yang keempat ini ada tiga tingkatan, sebagaimana yang dijelaskan Ibnul Qayyim.Pertama, berjihad dengan tangan.Kedua, berjihad dengan lisan (nasihat).Ketiga, berjihad dengan hati, yakni mengingkari kezhaliman, bid’ah dan kemungkaran yang ia lihat bila tidak mampu merubah dengan tangan atau lidahnya. Hal ini didasarkan pada hadits Abu Sa’id al-khudriy ra, beliau berkata: Saya mendengar Rasul SAW bersabda,

“Siapa diantara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, jika tidak mampu, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya keimanan.”[9]

Dan diantara keutamaan jihad sangat banyak sekali, diantaranya adalah:

1. Geraknya mujahid di medan perang diberikan pahala oleh Allah. (Lihat Qs. Al-Taubah: 120-121)

2. Jihad adalah perdagangan yang untung dan tidak pernah rugi. (Lihat Qs. Al-Shaff: 10-13)

3. Jihad lebih utama daripada meramaikan Masjid al-Haram dan memberikan minum kepada jama’ah haji.(Lihat Qs. Al-Taubah: 19-21)

4. Jihad merupakan satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid).(Lihat Qs. Al-Taubah: 52)

5. Jihad adalah jalan menuju surga.(Lihat Qs. ‘Āli ‘Imrān: 142)

6. Orang yang berjihad, meskipun ia telah mati syahid, namun ia tetap hidup dan diberikan rizki. (Lihat Qs. ‘Āli ‘Imrān: 169-171)

7. Orang yang berjihad seperti orang yang berpuasa, tidak berbuka dan melakukan shalat malam terus menerus.[10]

8. Sesunguhnya surga memiliki 100 tingkatan yang disediakan oleh Allah untuk orang yang berjihad di jalan-Nya. Antara satu tingkat dengan yang lainnya berjarak seperti langit dan bumi.[11]

9. Orang yang mati syahid mempunyai 6 keutamaan: (a) diampunkan dosanya sejak tetesan darah yang pertama, (b) dapat melihat tempatnya di surga (c) akan dilindungi dari adza kubur (d) diberikan rasa aman dari ketakutan yang dahsyat pada hari kiamat (e) diberikan pakaian iman dan dinikahkan dengan bidadari (f) dapat memberikan syafa’at kepada 70 orang keluarganya.[12]

10. Orang yang berjihad di jalan Allah itu lebih baikdari dunia dan isinya.[13]

11. Orang yang mati syahid, ruhnya berada di qindil (lampu/lentera) yang berada di surga.[14]

12. Orang yang mati syahid diampunkan seluruh dosanya, kecuali hutang.[15]

Terorisme Dalam Pandangan Islam

Secara bahasa terorisme diambil dari kata terror yang berarti ancaman, dan isme yang berarti paham. Jadi terorisme adalah paham yang mengacam orang lain. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), “Terorisme adalah perbuatan-perbuatan yang membahayakan jiwa manusia yang tidak berdosa atau menghancurkan kebebasan asasi atau melanggar kehormatan manusia.[16]

Dalam pandangan Islam, sebagaimana telah dirumuskan Majma’ al-Fiqh al-Islāmy sebagai lembaga fikih internasional, menyatakan terorisme sebagai suatu permusuhan yang ditekuni oleh individu-individu, kelompok-kelompok, atau negara-negara dengan penuh kesewenang-wenangan terhadap manusia (agama, darah, harta, dan kehormatannya). Dan ia mencakup berbagai bentuk pemunculan rasa takut, gangguan, ancaman, dan pembunuhantanpa hak serta apa yang berkaitan dengan bentuk-bentuk permusuhan, membuat ketakutan di jalan-jalan, membajak di jalan dan segala perbuatan kekerasan dan ancaman. Aplikasinya terjadi pada suatu kegiatan dosa secara individu maupun kelompok, dengan target melemparkan ketakutan di tengah manusia, atau membuat mereka takut dengan gangguan terhadap mereka, atau memberikan bahaya pada kehidupan, kebebasan, keamanan, atau kondisi-kondisi mereka.Dan diantara bentuk-bentuknya, melekatkan bahaya pada suatu lingkungan, fasilitas, maupun kepemilikan umum atau khusus, atau memberikan bahaya pada salah satu sumber daya atau asset negara atau umum.Seluruh hal ini tergolong kerusakan di muka bumi yang dilarang Allah SWT.[17]

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”(Qs. Al-A’raf:56).

Bentuk dari aksi terror bisa dikategorikan kepada dua cara. Pertama, terorisme fisik seperti peristiwa-peristiwa yang sekarang menjadi sorotan, dari mulai peledakan, pemboman, penculikan, bom bunuh diri, pembajakan, dan seterusnya. Hal ini bisa kita lihat bagaimana Amerika dengan arogansinya menyerang negeri-negeri muslim seperti Irak, Afghanistan, dan lainnya tanpa alasan yang jelas. Juga kebiadaban Israel yang terus menerus menjajah, menginvasi, dan membunuh kaum muslimin palestina.Ataupun dilakukan oleh kelompok-kelompok yang mengancam dan meneror dengan bom dengan korban yang tidak punya dosa, baik wanita ataupun anak-anak.Kedua,terorismeideologi (pemikiran/pemahaman). Dimana terorisme macam ini lebih berbahaya daripada terorisme fisik, karena seluruh bentuk terorisme fisik bersumber dari ideologi para pelakunya

Dalam mengantisipasi terorismejuga mesti digerakkan dalam dua aksi.Pertama, aksi perang fisik yang dilakukan dengan cara ketegasan fisik. Dalam hal ini kekuatan mesti dilawan dengan kekuatan.Oleh karena itu berbagai pihak mesti kerjasama dalam memberantas kemunkaran dalam bentuk aksi terorisme.Sebagaimana firman Allah SWT.,

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.“(Qs. Al-Maidah: 2).

Kedua, perang secara ideologi, yakni dengan menjelaskan segala pemikiran menyimpang dan menyempal dari tuntutan yang benar. Sebab ideologi-ideologi tersebut merupakan cikal bakal munculnya terror fisik, dan apabila tidak diberantas akan senantiasa menjadi ancaman serius di masa yang akan datang.

Jihad Bukan Terorisme

Jihad sebagaimana telah dijelaskan diatas, merupakan urusan yang bernilai pahala yang sangat besar.Tetapi hal itu bisa diraih, bukan hanya bermodal niat, semangat, dan keberanian saja. Lebih jauh seorang muslim mesti memperhatikan bagaimana syarat-syarat dan adab-adab berjihad. Dalam tulisan sederhana ini tidak dibahas mengenai syarat-syarat dan adab-adab jihad secara detail.Tetapi yang mesti dijelaskan adalah mengenai adanya tuduhan bahwa gerakan jihad identik dengan gerakan terorisme.

Dalam Islam nyata adanya ajaran jihad, tetapi bukan terorisme dan aksi teror.Jihad dilaksanakan untuk mempertahankan agama Islam, untuk meninggikan kalimatullah hiyal ‘ulyā.Sedangkan terorisme adalah musuh Islam yang ingin menghancurkan Islam.Jihad adalah ibadah yang dilaksanakan untuk menjaga hak-hak kaum muslimin dari penindasan kaum kafirin yang ingin menjajah, menghancurkan, dan membunuh kaum muslimin. Jihad bukan malah menjadikan kaum muslimin sebagai sasaran, sebagaimana aksi terror yang terus menuai korban dari kalangan muslim. Jihad melawan orang kafir dalam posisi defensive (bertahan), apabila pihak musuh menyerang kaum muslimin. Hal dinyatakan dalam firman-Nya,

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Baqarah: 190).

Jihad bukanlah menyerang orang-orang yang tidak bersalah.Sedangkan aksi terorisme adalah bentuk penyerangan dalam bentuk ancaman, pemboman, dan pembunuhan terhadap orang-orang tak bersalah dan tidak punya hak untuk diperangi.Jihad melawan orang kafir adalah dengan memperhatikan siapa orang kafir yang sebenarnya berhak untuk diperangi dan siapa yang justru harus dilindungi.Di dalam Islam ada kafir harbi (kafir yang menyerang Islam) yang mesti diperangi sebagaimana ayat tersebut diatas (Qs. 2:190), ada juga kafir yang tidak mengganggu kaum muslimin yang mesti dilihat hak-haknya untuk tidak dizhalimi. Allah berfirman,

“Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan (sesuatu sebab) yang benar.” (Qs. Al-An’am: 151).

Jihad yang berarti perang meniscayakan untuk memperhatikan adab berperang, yang diantaranya jangan sampai ada korban dari kalangan orang tua, wanita, dan anak kecil.Sebaliknya aksi terorisme selalu menuai korban dari kalangan orang tua, wanita, bahkan anak-anak. Jihad yang berarti perang bertujuan untuk kemaslahatan manusia dengan cara kekuatan untuk melawan kekuatan, meniadakan penjajahan kepada pemakmuran, menghilangkan penindasan kepada penjagaan, dan dari kehinaan nafsu dunia dan kekuasaan kepada kemuliaan di sisi Allah SWT.

Jihad dalam arti perang dilakukan di tempat terjadinya perang, bukan di negeri aman dan bukan medan perang. Jihad ini wajib dilakukan seperti di Irak, Afghanistan, Palestina, Checnia, dan belahan bumi yang lainnya yang mendapat serangan dari kaum kafirin. Tidak berlaku di negeri aman seperti di Indonesia, tidak juga berlaku untuk kalangan non muslim di negeri mayoritas muslim yang bukan medan perang. Tetapi seandainya melakukan peledakan bom dan pembunuhan dengan cara mendatangi orang-orang yang dalam keadaan aman, tentram, dan damai yang tidak punya urusan dengan masalah kekuatan, peperangan , dan kezhaliman, lalu disergap secara tiba-tiba dengan pembunuhan, perusakan harta benda, menimbulkan berbagai macam ketakutan dan kekhawatiran, baik dari kalangan muslim atau non muslim adalah bentuk terorisme.[18]



[1]Lisanul ‘Arab, [II/395-396], Mu’jam al-Wasith, [I/142]

[2] Yazid ibn Abdul Qadir Jawas, Kedudukan Jihad Dalam Islam, Pustaka al-Taqwa: Bogor, 2007, hal.16

[3] Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bāry, VI: 3

[4]Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawā, X/192-193

[5]Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma’ād Fī Hady Khair al-‘Ibād, Muassasah al-Risālah, Cet. 25, 1412, Jilid 3, hal. 10-11

[6] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Zād al-Ma’ād, 3/6

[7] Yazid ibn Abdul Qadir Jawas, Kedudukan Jihad Dalam Islam, Pustaka al-Taqwa: Bogor, 2007, hal.35

[8] Lihat Dzulqanain ibn Muhammad Sanusi, Meraih Kemuliaan Dengan Jihad, Pustaka as-Sunnah, 2006, hal.107dan Yazid ibn Abdul Qadir Jawas, Kedudukan Jihad Dalam Islam, Pustaka al-Taqwa: Bogor, 2007, hal.36

[9]HR. Riwayat Muslim, no. 49

[10] HR. Al-Bukhari, no. 2785

[11] Ibid, no. 2790

[12] HR. Al-Tirmidzī, no. 1663

[13] HR. Bukhari, no. 2792

[14] HR. Muslim, no. 1887

[15] Ibid, no. 1886

[16]Haitsam al-Kailāny, Al-Irhāb Yuassis Daulah, hal.17, dalam Muthī’ullah al-Harby, Haqāiq al-Irhāb, hal. 7

[17]Qarārāt al-Majma’ al-Fiqh al-Islāmy dalam Dzulqanain ibn Muhammad Sanusi, Meraih Kemuliaan Dengan Jihad, Pustaka as-Sunnah, 2006, hal.165

[18] Dzulqanain ibn Muhammad Sanusi, Meraih Kemuliaan Dengan Jihad, Pustaka as-Sunnah, 2006, hal.174

LIBERALISME VS AGAMA

LIBERALISME VERSUS AGAMA

Menyikapi Tarik Ulur RUU Pornografi

Daden Robi Rahman

Liberalisme pemikiran telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Pemikiran yang tercemar dengan hawa nasfu akan merusak tatanan moral masyarakat. Dasar liberalisme yang mengacu kepada rasio, spekulasi filsafat dan memandang makna realitas dan kebenaran dengan memakai kacamata sosial, kultural, empiris, dan rasional telah membuahkan penolakan terhadap kebaikan dan kemaslahatan diri dan masyarakat.

Kasus pornografi yang kian marak hari-hari ini menjadi parameter menjamurnya arus liberalisme pemikiran yang berbuah dekadensi moral. Dengan landasan kebebasan tanpa batas dan hak asasi manusia versi 'manusia' yang meruntuhkan kewajiban manusia, tidak sedikit yang menolak tersahkannya RUU Pornografi.

Berdasar sensus, masyarakat Indonesia merupakan pengonsumsi situs porno terbesar ketiga. Ironis memang, sebagai negara yang identik dengan adat ketimuran dan bahkan penduduk muslim terbesar di dunia menyandang gelar seperti itu. Tetapi kenyataan ini menunjukan adanya indikasi konkrit bahwa negara muslim ini merupakan proyek besar arus liberalisasi.

Ormas dan partai Islam yang sangat bersemangat menggolkan RUU Pornografi menjadi alasan penting terjadinya penolakan. Karena mereka –penolak- seakan mencium isu peraturan berbau syari'ah. Hal tersebut terlihat ketika semangat yang tak kalah teriakannya dari fraksi PDIP dan PDS di DPR yang notabene sebagai partai nasionalis sekuler dan berbasis kristen menolak mentah-mentah RUU Pornografi.

Kedua, kondisi budaya 'telanjang' –baca: busana minim bahan- telah sangat dinikmati oleh pengumbar dan penikmat shahwat syaithani. Katakanlah para artis yang mengais rezeki dari memamerkan aurat, pelacur kelas teri sampai kelas kakap yang selama ini seakan mendapat legitimasi karena mendapat lokalisasi dan julukan PSK, 'penduduk' bali yang mendapat pemasukan hebat dari turis dan wisatawan asing yang biasa dengan budaya 'telanjang', sampai anggota legislatif yang sudah banyak terblow up media karena kasus amoral seperti Yahya Zaeni, Max Muin, dan lain-lain.

Ketiga, sikap apriori bahkan anti pati terhadap agama sebagai simbol pembangun moral yang secara perlahan merasuk jiwa masyarakat yang di usung atheis berbaju agama dan pengusung kesetaraan pembebas kewajiban yang sangat dikembang biakkan oleh berbagai kepentingan barat untuk merusak Islam khususnya dan agama-agama umumnya.

Kemasan penolakan yang diusung dengan dalih seni, kebebasan, dan hak asasi manusia tidaklah tepat. Dari mulai agama, moral, fitrah asasi manusia, dan ketulusan jiwa mana yang mengijinkan pornografi dan porno aksi. Semuanya hanya akan memposisikan manusia pada derajat yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang, karena manusia dikaruniai akal pikiran.

Islam tidak memonopoli larangan pornografi, termasuk Yahudi, Nasrani, Hindu dan bahkan peradaban dulu mengajarkan anti pornografi. Tetapi yang ironis, mengapa seakan umat Islam Indonesia yang hanya memperjuangkan RUU Pornografi.

Dr. Huda Darwish dalam Hijab al-Mar'ah: Bayna al-Adyan wa al-‘Almaniyah menyebutkan bahwa pada masa Fir'aun, para wanitanya memelihara keindahan tubuhnya dengan mengenakan hijab –penutup tubuh- yang menutupi pundak, dada, lengan, dan rambut dengan al-barukah -wig- untuk menjaga dari sinar matahari. Bahkan menurut beliau, dalam ajaran budha diatur interaksi dengan wanita tanpa melihat mereka.

Abul A'la al-Maududi dalam al-Hijab menyatakan bahwa perempuan Yunani memakai hijab yang menutupi seluruh tubuhnya selain kedua matanya.

Abdul Maqshoud dalam al-Mar'ah fi Jami‘i al-Adyan wa al-‘Ushur mengatakan bahwa arkeologi abad II SM menjelaskan adanya prasasti yang menerangkan bahwa perempuan waktu itu menutup kepalanya dan bahkan menunjukan adanya hukum yang memberi sangki perempuan tak berhijab.

Dalam ajaran Yahudi pun tersurat hijab bahkan niqab –penutup wajah-. Kejadian 24:65 menyatakan bahwa pengantin perempuan mesti menutup wajahnya. Kejadian 24:64 menyebutkan kisah Ribka yang menutup wajahnya dengan selendang ketika Ishak datang. Bilangan 13-15 bahwa agama Yahudi melaknat laki-laki yang menyerupai pakaian perempuan.

Dalam ajaran Nasrani pun sama. Paulus menyuruh perempuan Kristen harus menutup kepalanya demi malaikat (Kejadian 24: 65, Bilangan 5: 18, Yesaya 6: 2, Matius 18: 1, dan Efesus 2: 10), karena malaikat ikut ibadah dan belajar di gereja (Efesus 3: 10). Perempuan Kristen harus menutup wajah mereka sebagai penghormatan dan ketundukan kepada Tuhan. (Yesaya 6: 2). Bahkan melihat perempuan dianggap telah zina dalam hati dan paulus melarang perempuan untuk tidak berbicara di gereja. (Korintus 14: 34-36.

Sosiolog Max Weber mengingatkan bahwa sesungguhnya tindakan manusia terbagi kepada dua; sejauh suatu tindakan melibatkan orang lain maka itu sebenarnya yang disebut sebagai tindakan sosial, sejauh suatu tindakan tidak melibatkan orang lain maka cukup tidak termasuk kategori sosial. Persoalan kemudian sangat jarang sebuah tindakan tanpa melibatkan seorang yang lain, kecuali tindakan berhadapan dengan benda-benda fisik-mati, sementara perilaku manusia begitu sering terlibat dengan manusia lainnya sosio-interaksi. Untuk itu Max Weber menegaskan bahwa tindakan yang bermakna subyektif adalah tindakan sosial.

Tindakan melempar batu ke Sungai atau ke sebuah Gedung misalnya, tidak lah termasuk tindakan sosial. Namun ketika lemparan batu itu mengena orang yang sedang memancing ikan misalnya, maka seketika itu juga tindakan menjadi nyata sosial. (Lihat George Ritzer; Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Raja Grafindo Persada; Jakarta 2003. hal 56).

Dalam pornografi, sebuah gambar atau tayangan video yang mengeksploitasi aurat jelas merupakan tindakan sosial yang akan meruntuhkan moral para penikmatnya. Gambar, video, dan lainnya yang memperlihatkan aurat bukanlah masalah seni, tapi moral karena gambar ataupun video tersebut mempengaruhi syahwat laki-laki yang melihatnya. Kalaupun dikatakan respon syahwat laki-laki sangatlah relatif, tetapi jelas gambar atau video yang dibuat sengaja berpose sensual mengundang birahi.

Bur Rasuanto, pengarang, doktor dalam Filsafat Sosial Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika, mengatakan bahwa pengalaman estetika dirumuskan dalam 3D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap. ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya).

Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung moral dengan ketimurannya, apalagi mayoritas penduduknya adalah muslim. Setiap masyarakat di Indonesia mempunyai standar moral tersendiri yang berfungsi melindungi dirinya ataupun masyakatnya. Erotisme para artis dalam gambar atau video adalah bentuk perusakan standar moral yang ada, karena hal tersebut merupakan isu global yang dihempaskan untuk meruntuhkan keutuhan negara ini, khususnya kaum muslimin.

Jadi sekali lagi, pornografi bukanlah masalah seni tapi pertaruhan moral, bukan estetika tapi etika karena mengeksploitasi perempuan sebagai komoditas dan merendahkan martabat kaum perempuan.

Selanjutnya, karena masalah etika dan moral, maka pornografi tidak dapat menggunakan pers untuk perlindungan diri. Kebebasan pers bukan kebebasan subjektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Jadi kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatan ruang sosial bersama. Pers berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakat dan bersifat konstruktif bukan destruktif. Misalnya membongkar kasus pemerkosaan, bukan menggambarkan secara sensasional bagaimana pemerkosaan itu berlangsung.

Pada akhirnya, keputusan tersahkannya RUU Pornografi merupakan kebijakan arif dan tepat sebagai alat untuk menyelamatkan kharisma dan moral bangsa. Tidak ada alasan apapun yang dibenarkan oleh agama, seni, dan pers untu melegitimasi pornografi dan pornoaksi.

Ponorogo, 04 Nopember 2008