بسم الله الرحمن الرحيم

Selasa, 18 Agustus 2009

HOMOSEKSUALITAS -Produk Barat Untuk Dunia-

Barat malang, Barat kurang ajar. Mungkin itulah ungkapan yang pantas diberikan. Betapa tidak, Barat yang merupakan peradaban yang tumbuh dari kombinasi filsafat, nilai-nilai kuno Yunani Romawi, agama Yahudi Nashrani yang dimodifikasi bangsa Eropa ini telah menjadi 'kiblat' dunia. Sejak lama Kristen mendominasi sejumlah agama di wilayah ini. Tapi sekarang bohong kiranya kalau Barat dibangun oleh Kristen. Bahkan mungkin sebaliknya, justru Kristen telah dibentuk oleh Barat. Meskipun ukuran penduduknya masih didominasi Kristen, tapi sebenarnya Barat telah kembali kepada Yunani, karena barat telah berhutang jasa kepadanya yang telah memberi filsafat.

Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, seorang pemikir muslim asal malaysia, memandang problem terbesar yang dihadapi dunia adalah hegemoni dan dominasi keilmuan sekular Barat. Hal tersebut dikarenakan bagi Barat, kebenaran fundamental dari agama dipandang sekedar teoritis, kebenaran absolute dinegasikan dan nilai-nilai relative diterima. Konsekuensinya adalah penegasian Tuhan dan akherat dan menempatkan manusia sebagai satu-satunya yang berhak mengatur dunia.

Kristen sebagai agama terbesar di barat, yang telah mendominasi peradaban sebelumnya hampir saja tidak berkutik dari hegemoni sekularisme hingga charisma dan kegagahannya tunduk, tidak muncul ke permukaan. Dogma-dogma 'kitab suci' mereka pun terkotori infiltrasi kepentingan internal gereja dengan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan pengetahuan modern. Terlebih terkoyak masyarakat secular tercabik tak berdaya.

Katakanlah problematika homoseksualiatas. Dengan alasan Hak Asasi Manusia, homoseksualitas dianggap praktik manusiawi meskipun selama berabad-abad hal tersebut dinilai kotor, maksiat, dan dosa. Padahal dengan jelas bible menyatakan kutukannya terhadap homoseksualitas, seperti termaktub dalam Kitab Kejadian 19:4-11 tentang hukuman Tuhan terhadap kaum Sodom dan Gomorah. Kitab Imamat 20: 13 menyebutkan: "Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri." The Living Bible menulis Leviticus 20:13 menyatakan: "Hukuman bagi perilaku homoseksual adalah mati untuk kedua belah pihak. Mereka telah membawa hukuman itu atas diri mereka sendiri." Sedang dalam King James Version ayat ini ditulis: "Jika seorang pria berbaring dengan pria lain, sebagaimana ia berbaring dengan seorang wanita, keduanya telah melakukan kejahatan: Mereka harus dihukum mati; Darah mereka harus ditumpahkan." Clement of Alexandria, St. John Chrisostom, dan St. Agustine mengutuk perbuatan homoseksual. Agustine menulis: "Perilaku memalukan sebagaimana yang dilakukan di Sodom haruslah tetap dibenci dan dihukum dimanapun selamanya. Seandainya semua bangsa hendak melakukan hal itu, mereka sama bersalahnya didepan hukum Tuhan dan sekaligus tetap melarang kaum laki-laki untuk melakukan hal ini (homoseksualitas)". St. Thomas menyebut sodomi sebagai "contra naturam" yang artinya bertentangan dengan sifat hakiki manusia. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan doktrin "The Vatikan Declaration on Social Ethics", yang hanya mengakui praktik heteroseksual dan menolak pengesahan homoseksual. (William F. Allen, Sexuality Summary, (Ohio: Alba House Communication, 1977, 15).

Ketegasan kutukan bible terhadap ternyata tidak menciutkan arus homoseksualitas. Berangkat dari kelemahan kebijakan gereja yang bertolak belakang dengan fitrah manusia untuk hidup dan mengejawantahkan nafsunya dengan menikah melalui larangan para pendeta untuk menikah. Menantang arus fitrah sangat beresiko, yang pada akhirnya pelampiasan nafsu pun tak terkendali. 27 Februari 2004, The Associated Press Wire menyiarkan satu tulisan berjudul Two Studies Cite Child Sex terhadap anak-anak yang dilakukan oleh 4 persen pastur gereja Katolik. Setelah tahun 1970, 1 dari 10 pastur akhirnya tertuduh melakukan pelecehan seksual itu. Dari tahun 1950 sampai 2002, sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh 4.392 pastur. Studi ini dilakukan oleh The American Chatolik Bishops tahun 2002 sebagai respon terhadap tuduhan adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para tokoh gereja. (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal, Jakarta:Gema Insani, 2005, 6). A.W. Richard Sipe, seorang pendeta Katolik Roma dalam bukunya "Sex, Priests, and Power: Anatomy of A Crisis" (1995) menyebutkan perilaku seksual di kalangan para pendeta dan pastur. Sebagai gambaran, pada tanggal 17 Nopember 1992, TV Belanda menayangkan program 17 menit tentang pelecehan seksual oleh pemuka agama Kristen di Amerika Serikat. Esoknya hanya dalam satu hari, 300 orang menelepon stasiun TV, dan menyatakan bahwa mereka juga mengalami pelecehan seksual oleh para pendeta di Belanda. (A.W.Richard Sipe, Sex, Priests, and Power: Anatomy of A Crisis, London:Cassel,1995, 26. Pada tahun 2002, The Boston Globe menerbitkan buku berjudul "Betrayal: The Crisis in the Catholik Church" yang membongkar habis-habisan pengkhianatan dan sekandal seorang seks para pemuka agama katolik. Pembongkaran skandal-skandal seks ini telah memunculkan krisis paling serius. Sebagai contoh, pada tahun 1992, di Tenggara Massacusetts di temukan seorang pastur yang bernama James R. Porter melakukan seksual terhadap lebih dari 100 anak-anak (pedofilia). Tidak kalah heboh, ketika tahun 2003 Gereja Anglikan di New Hampshire mengangkat Gene Robinson, seorang homoseks, menjadi Uskup. Robinson dikenal sebagai pelaku homoseksual yang terang-terangan. Ia telah hidup bersama dengan pasangan homoseksnya bernama Mark Andrew selama 14 tahun. Bahkan dalam acara penobatan Robinson sebagai Uskup pun, Mark Andrew lah yang menyerahkan topi keuskupan (bishop's miter). Maka gerakan kaum homoseks dengan resmi mendapat legitimasi dari gereja.

Seorang teolog Kristen pendukung homoseksual, John J. McNeill SJ menulis buku "The Church and the Homosexual" memberikan justifikasi moral terhadap praktik homoseksual. Menurutnya, kaum Sodom dan Gomorah dihukum Tuhan bukan karena praktik homoseksual, tetapi karena ketidaksopanan penduduk kota itu terhadap tamu Lot. Teolog lain, Gregory Baum, menyatakan: "Jika kaum homoseks bisa menghidupkan cinta, maka cinta homoseksual tidaklah bertentangan dengan naluri manusia. Bahkan kaum Katolik mendirikan sebuah kelompok gay bernama "Dignity" yang mengajarkan bahwa praktik homoseksual tidak bertentangan dengan ajaran Kristus. Pada tahun 1976, Dignity sudah mempunyai cabang di 22 negara bagian AS, termasuk Kanada. Diberbagai Negara barat, muncul organisasi serupa, seperti Acceptance di Australia, Quest di Inggris, dan Veritas di Swedia. Keanggotaan mereka ketika itu sudah mencapai 5000 orang. Dignity menerbitkan majalah bulanan bernama Dignity. Mereka berjuang untuk mendapatkan pengakuan dari gereja Katolik. Dalam Piagam Iman (The Charter of Beliefe) yang mereka buat tertulis sebagai berikut:

"Kaum Katolik gay adalah anggota dari lembaga mistis Kristus dan termasuk diantara kaum Tuhan…kami memiliki martabat sejati karena Tuhan menciptakan kami dalam baptis, mendirikan kuilnya untuk kami…, karena itu semua, kami memiliki hak, hak istimewa, tugas, untuk menumbuhkan kehidupan suci…kami percaya bahwa kaum gay dapat mengekspresikan kehidupan seksualnya dalam sebuah sikap yang sesuai dengan ajaran-ajaran Kristus.." (William F. Allen, Sexuality Summary, 50-51).

Edisi 6 Januari 1996 majalah The Economist menulis judul "Let them wed", yang menghimbau agar kaum gay atau lesbi diberi hak hukum untuk melakukan perkawinan dengan alasan hak individual. Edisi 28 Februari, 5 Maret 2004, majalah ini mengangkat kasus perkawinan kaum gay sebagai laporan utamanya, dengan sampul bertajuk "The case for gay marriage." Disebutkan bahwa hingga kini, baru Belanda dan Belgia yang memberikan hak hukum penuh terhadap perkawinan sejenis, sebagaimana layaknya pasangan heteroseksual. Kanada, meskipun belum secara resmi memberikan pengakuan hukum secara resmi terhadap pasangan gay atau lesbian, tetapi secara prinsip sudah memberikan dukungan. Pada 1 September 2003, Eramuslim.com menulis satu berita berjudul "Kaum gay Belanda Terbitkan Buku Pedoman Cara Perkawinan Sesama Jenis." Jadi dasar logika kaum homoseksual adalah hak dan kebebasan individu dan tidak merugikan orang lain.

Jadi, berangkat dari isu Hak Asasi Manusia, kebebasan individu, persamaan, dan tidak merugikan inilah peradaban barat berangkat mengusung dan mengasong homoseksualitas sebagai salah satu barang dagangannya. Semuanya berangkat dari dominasi pemikiran sekuler yang diwadahi dengan demokrasi.

Itulah realita barat, lebih khususnya Amerika yang paling depan mengusung demokrasi yang mewadahi sekularisme dan liberalisme. Negara tidak berhak mencampuri urusan agama, begitu pun sebaliknya. Peraturan Negara dan agama pun bisa dibuat atas kesepakatan bersama, walaupun hal itu homoseksualitas, tanpa memandang pelanggaran fitrah dan kepantasan moral.

Gontor, 18 Agustus 2008

Senin, 17 Agustus 2009

Renungan Kemerdekaan

Kemerdekaan Indonesia ke-64 2009 berdekatan dengan bulan kemenangan kaum Muslimin, bulan ramadhan 1430. Betapa indah kiranya, jika kemerdekaan dan kemenangan tersebut teraih tanpa ada yang mesti dikorbankan. Realitas yang kita lihat, kemerdekaan hanya dirasakan pada seberapa besar perhatian masyarakat untuk mengadakan acara hiburan, baik musik -dangdutan, band, dll- ataupun beragam perlombaan. Betapa malang bangsaku, kemerdekaan yang seharusnya dirayakan, hanya mereka kenang sebagai romantisme sejarah. Kemerdekaan yang semestinya disyukuri, malah dikufuri dengan hura-hura dan foya-foya.

Sementara para pahlawan kita begitu bangga walau harus menguras tenaga dan pikiran demi wujudnya kemerdekaan bumi Indonesia. Mengapa mereka berhasil? Yang jelas kemerdekaan tidak mungkin diraih tanpa adanya kemenangan, kemenangan mustahil didapat tanpa adanya perjuangan, perjuangan tidak akan berarti tanpa adanya kebersamaan dan persaudaraan, persaudaraan tidak mungkin tercapai tanpa ketulusan, ketulusan tidak berfaedah tanpa didasari ilmu, dan ilmu menjadi sesat tanpa iman. Begitulah kemerdekaan diraih oleh para pendahulu kita, pahlawan kita, guru kita, para ‘Ulama dan santrinya yang merepresentasikan keniscayaan proses kemerdekaan.

Hari ini kita bertanya, mengapa kemerdekaan yang berumur cukup tua ini terasa hambar dirasakan? Terasa mengawang dibayangkan? Malu kiranya mengaku sebagai bangsa yang merdeka. Toh selama ini rakyat masih menjerit kelaparan, ketakutan, rendah diri tak punya harga diri, mengutang kesana kemari. Apa yang terjadi? Apakah karena umur kemerdekaan yang tua menjadikan negeri ini tidak punya gigi, nyali, ambisi, dan harga diri?

Apa yang salah? Dimana letak kesalahan kita? Dari mana kita harus memulai? Bagaimana caranya? Yang pasti kita harus bangkit. Bangkit dari tidur, iman dari kufur, pintar dari bodoh, ikhlas dari riya, saudara dari musuh, bersama dari berpisah, rajin dan kerja keras dari malas, berani dari takut, merdeka dari terhina. Segalanya belum berakhir. Harapan itu masih ada.

Jumat, 14 Agustus 2009

Khutbah Jum'at

KEMERDEKAAN HAKIKI, KEMENANGAN ABADI
D.R. Rahman
Khutbah Pertama
الحمد لله رب العالمين, نحمده حمدا كما ينبغي لكرم وجهه وعز جلاله, ونستعينه استعانة من لا حول له ولا قوة إلا به, ونستهديه بهداه الذي لا يضل من أنعم به عليه, ونستغفره لما أزلفنا وأخرنا استغفار من يقر بعبوديته. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأن محمدا عبده ورسوله, صلى الله عليه وعلى اله وصحبه وسلم. وبعد.
قال الله تعالى: "يأيها الذين امنوا اتقواالله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون"
"يأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدا, يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً"
قال الرسول: "فإن أصدق الحديث كتاب الله, وخير الهدي هدي محمد, وشر الأمور محدثاتها, وكل محدثة بدعة, وكل ضلالة فى النار"

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah..
Saat ini kaum muslimin Indonesia menghadapi 2 moment besar. Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan merayakan hari kemerdekaan yang ke-64 pada tanggal 17 Agustus 2009 dan menyambut kemenangan bulan suci ramadhan 1430 H. Kemerdekaan Indonesia telah berumur 64 tahun, tentu bukan umur yang muda dalam bentangan sejarah. Tetapi patut disayangkan, kemerdekaan yang diraih dari penjajahan Belanda selama 350 tahun ditambah 3,5 tahun oleh Jepang dahulu, kini hanyalah dikenang, bukan disyukuri oleh mayoritas anak bangsa. Terbukti hari ini kita lihat, banyak masyarakat, khususnya kaum muda yang memaknai kemerdekaan hanya sebatas penciptaan suasana ramai, meriah, dan gebyar dengan hura-hura dan foya-foya. Sebaliknya, semangat juang yang terkandung di dalamnya nyaris terlupakan. Begitu pula dengan bulan kemenangan, bulan ramadhan, yang hanya setahun sekali kita temui, kadang bukan dijadikan waktu untuk memanen pahala, tetapi hanya waktu menahan lapar dan dahaga semata.

Hari kemerdekaan Indonesia ke-64 dan bulan kemenangan ramadhan 1430 H menarik untuk kita renungkan. Sebuah kemerdekaan tidak mungkin diraih tanpa adanya kemenangan, kemenangan mustahil didapat tanpa adanya perjuangan, perjuangan tidak akan berarti tanpa adanya kebersamaan dan persaudaraan, persaudaraan tidak mungkin tercapai tanpa ketulusan, dan ketulusan tidak berfaedah tanpa didasari ilmu. Allah berfirman,

والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. Al-‘Ankabūt: 69)

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai luhur ilmu, ketulusan, kebersamaan, persaudaraan, perjuangan, kemenangan, dan kemerdekaan. Kemerdekaan dalam Islam adalah kemerdekaan sejati manusia, kemerdekaan yang membebaskan, yaitu membebaskan penghambaan manusia kepada manusia, nafsu, dan cinta dunia kepada penghambaan manusia kepada Allah ta’ala. Oleh karena itu, kemerdekaan sejati hanya akan didapatkan apabila kita bisa mengimani, mengilmui, mengamalkan, mendakwahkan, dan sabar dalam memperjuangkan Islam. Allah berfirman,

والعصر, إن الإنسان لفي خسر, إلا الذين امنوا وعملواالصالحات وتواصوابالحق وتواصوابالصبر

“Demi waktu, sesungguhnya manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, mengerjakan kebaikan, dan saling menasihati untuk kebenaran dan kesabaran.” (Qs. Al-‘Ashr: 1-3)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah..
Kemerdekaan Indonesia yang begitu susah payah diraih, ternyata hanyalah romantisme sejarah semata. Karena hari ini kita lihat dan rasakan, 64 tahun hanyalah peralihan dari satu penjajahan kepada berbagai penjajahan lainnya. Betapa tidak, dahulu para pahlawan kita hanyalah menghadapai penjajahan militer. Tetapi sekarang, bangsa Indonesia menghadapi multi penjajahan, dari penjajahan ekonomi, budaya, moral, sampai pemikiran. Bahkan bentuk penjajahan seperti ini lebih besar bahayanya daripada penjajahan militer, karena bahaya yang ditimbulkan jauh lebih komplek dan berdaya rusak tinggi. Bukan fisik yang dirusak, tetapi pola pikir. Itulah yang dinamakan ghazwul fikri (perang pemikiran).

Dalam masalah ekonomi, sampai hari ini kita belum bisa melepaskan krisis dan ketergantungan kepada hutang luar negeri. Bidang budaya, identitas keislaman dan ketimuran bangsa Indonesia terlebur dengan budaya Barat yang menghegemoni. Dalam bidang moral, mulai anak TK sampai mahasiswa, masyarakat sampai pejabat, tidak jarang kita saksikan pemandangan biasa dari tradisi korupsi, pornografi, pornoaksi, bahkan bangga menjadi lesbi, waria, dan wanita tuna susila. Krisis yang paling parah yang melanda kaum muslimin hari ini adalah krisis pemikiran, dimana budaya dekadensi moral tersebut dibenarkan atas nama hak asasi manusia. Maka benarlah apa yang disabdakan Rasulullah saw,

اصبروا فإنه لا يأتي عليكم زمان إلا الذي بعده شر منه حتى تلقوا ربكم

“Bersabarlah kalian, maka sesungguhnya tidak akan datang kepada kalian sebuah zaman, kecuali zaman tersebut lebih rusak dari sebelumnya, sampai kalian menemui Tuhan kalian.” (HR.Bukhari).

Maka menjadi pilihan bagi kita, apakah kita akan mengikuti zaman dengan warna kemaksiatan dan menjadi budak zaman? Atau justru mewarnai zaman dengan warna keshalehan dan menjadi manusia merdeka yang terbebas dari nafsu dunia, yang hanya menghambakan kepada Allah ta’ala? Itulah sejatinya tugas manusia sebagai khalifah di bumi, untuk mewarisi bumi dan memakmurkannya dengan aturan dan celupan Allah,

صبغة الله ومن أحسن من الله صبغة ونحن له عابدون

“Celupan (agama) Allah. Siapa yang lebih baik celupannya daripada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah.” (Qs. Al-Baqarah: 138).

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah..
Dalam memaknai kemerdekaan ini, marilah kita memposisikan diri sebagai hamba Allah yang taat dan beradab, bersuka ria tanpa harus lupa dari semangat kemerdekaan hakiki. Oleh karena itu, sejatinya seorang muslim seharusnya melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

1. Mensyukuri nikmat kemerdekaan bukan mengenang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah kenikmatan dari Allah. Setiap nikmat itu menjadi pembuka atau penutup pintu nikmat lainnya. Kita sering menginginkan nikmat, padahal rahasia yang bisa mengundang nikmat adalah syukur atas nikmat yang ada. Mengenang adalah terlena dengan romantisme sejarah, sedang bersyukur merupakan gairah pengundang kenikmatan yang lebih besar.

لئن شكرتم لأزيدنكم

“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (kenikmatan tersebut) kepada kalian.” (Qs. Al-Hijr: 7).

2. Bebas dari perbudakan nafsu, karena nafsu akan melenyapkan kemerdekaan itu sendiri. Nafsu akan membawa manusia kapada dosa-dosa dan kedzaliman. Bila ke kedzaliman terus berlangsung, Allah swt akan mencabut keberkahan. Bila keberkahan tidak ada, maka penderitaan akan terus menimpa negeri kita. Nafsu akan menyeret manusia kepada kerakusan. Kerakusan melahirkan kekejaman terhadap kemanusiaan. Tidak sedikit pembantaian terhadap kemanusiaan terjadi hanya karena karakusan terhadap harta dan kekuasaan. Nafsu membuat manusia menjadi sekedar binatang. Bila manusia lebih didominasi oleh kebinatanganya, ia akan lebih kejam dan lebih parah dari binatang. Allah berfiman:

أولئك كالأنعام بل هم أضل

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat (dari binatang ternak).” (Qs. Al-A’raf: 179).

3. Tidak diperbudak dunia. Jika kita jadi budak dunia, maka ia akan sibuk dengannya, dan melupakan Allah swt yang memberikan kemerdekaan ini. Cinta dunia mematikan hati nurani. Seringkali hati menjadi keras karena mengagungkan dunia. Sebab dengan mengagungkan dunia, ia akan lupa kepada akhirat. Karenanya dalam Al Qur’an Allah swt berfirman,

بل تؤثرون الحياة الدنيا والاخرة خير وأبقى

“Sedangkan kamu memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat lebih baik dan lebih kekal.”

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah..
Tidak lama lagi bulan ramadhan tiba, inilah saatnya kita meraih kemenangan. Kemenangan iman atas nafsu dan dunia, karena pada bulan ini dibukakan pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggunya syetan-syetan. Rasululllah saw. bersabda,

إذا دخل شهر رمضان فتحت أبواب السماء، وغلقت أبواب جهنم، وسلسلت الشياطين

“Apabila ramadhan datang, maka dibuka pintu-pintu langit, ditutup pintu-pintu neraka, dan dibelenggu syetan-syetan.” (HR. Bukhari).

بارك الله لى ولكم فى القرآن العظيم، ونفعنى وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم
وتقبل منى ومنكم بتلاوته إنه هو السميع العليم، فاستغفروه إنه هو الغفور الرحيم

Khutbah Kedua
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين. أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له, وأن محمدا عبده ورسوله, صلى الله عليه وعلى اله وصحبه وسلم. وبعد.
فيا أيها الناس, اتقوالله حق تقاته, فقد فاز من اتقى, وقد خاب من طغى. ياأيها الذين امنوا صلوا عليه وسلموا تسليما.
اللهم اغفر للمسلمين والمسلمات, والمؤمنين والمؤمنات, الأحياء منهم والأموات, إنك سميع قريب مجيب الدعوات, امين يا قاضي الحاجات. اللهم اجعلنا من مقيمى الصلاة والزكاة والصوم, من عبادك الصالحين حتى أتانا اليقين, برحمتك يا أرحم الراحمين. ربنا اتنا فى الدنيا حسنة وفى الاخرة حسنة, وقنا عذاب النار. عباد الله ! إن الله يأمر بالعدل والإحسان وإيتاء ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغي لعلكم تذكرون, فاذكرواالله يذكركم, واشكروا على نعمه يزدكم, ولذكرالله أكبر. أقيمواالصلاة !

Jejak Sophist Pada Pemikiran Islam Liberal Indonesia

1. Sebagai penyihir kata-kata
Bagi Sophist kata-kata adalah alat bagaimana mereka bisa memenangkan argument dari lawan debatnya. Kegemaran akan perdebatan semacam itu melahirkan banyak istilah yang digunakan untuk mempengaruhi lawan debatnya, karena itulah Sophist dikenal dengan penyihir atau pesulap kata. Hal itu Nampak juga pada kegemaran kelompok Islam Liberal di Indonesia yang menggunakan jargon-jargon indah untuk memenangkan wacana debat, misalnya; “bedakan antara agama dan keberagamaan”, “jangan mensucikan pemikiran keagamaan”, “agama adalah mutlak, sedangkan pemikiran keagamaan adalah relatif”, “manusia adalah relatif, karena itu semua pemikiran produk akal manusia adalah relatif juga”, “tafsir adalah produk akal manusia, sehingga tidak bisa mutlak semutlak seperti wahyu itu sendiri”, “selama manusia masih berstatus manusia maka hasil pemikirannya tetap parsial, kontekstual, dan bisa saja keliru”, dan sebagainya.

Sepintas, kata-kata itu terasa logis, dan tampak indah. Jika tidak berhati-hati dan kurang ilmu, maka bukan tidak mungkin seseorang akan terpengaruh. Apalagi, jika yang mengatakannya adalah seorang doktor atau profesor di bidang studi agama. Sihir-sihir kata itu telah dilakukan oleh Sophist ribuan tahun ketika Yunani masih diliputi oleh banyak paham mitologi, Sihir-sihir itu nampak dalam pernyataan orang-orang Islam Liberal di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Daud Rosyid, seorang pakar hadis di Indonesia, saat mengomentari tulisan-tulisan Nurcholis Madjid; “Sihir-sihir” Nurcholish lebih canggih dan lebih memukau daripada Harun, karena dikemas dengan gaya ilmiah yang menarik”.

2. Argument bukan untuk mencari kebenaran
Diantaranya argument Sophistic yang mereka gunakan adalah menuduh bahwa ulama’ ulama’ menjual figh untuk mendapatkan uang. Alasannya karena memang zaman sekarang adalah zamannya kapitalis.

“Bagi masyarakat Kapitalis modern, menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti fiqih, merupakan cara untuk mengembangkan kapital, sebagaimana tercermin dalam maraknya bank-bank yang menggunakan simbol keagamaan… jadi fiqh merupakan khazanah yang diperebutkan, karena di dalamnya tersimpan semangat teosentrisme. Lalu apa yang terjadi bila fiqih bercorak teosentris? .. kita akan masuk dalam jebakan otoritarianisme”

Yang mereka maksud dengan figh yang tidak bercorak teosentris adalah figh yang bercorak antroposentris, dimana kepentingan manusialah yang harus dijadikan pertimbangan utama . jika istinbath hukum tidak memihak manusia maka harus ditinggalkan. Dengan kata lain, jika seluruh manusia sepakat dengan homoseks, maka ayat-ayat yang mengharamkan homoseksual itu harus ditafsir ulang, agar sesuai dengan kebuTuhan manusia saat itu. baru yang demikian disebut dengan figh yang antroposentris. Alasan mereka bahwa figh yang dihasilkan oleh Ulama’-ulama’ dahulu sarat dengan kepentingan penguasa. Mereka melupakan sejarah betapa banyak dari fuqohÉ’ dipenjara dan disiksa akibat tidak mau mengambil istinbath hukum yang sesuai dengan selara pemerintahan saat itu. Padahal tanpa otoritas, kesetabilan masyarakat tidak akan tercapai. Mereka-pun kalau sakit pergi ke dokter, artinya mereka percaya bahwa dokterlah pemegang otoritas untuk mengatakan seseorang sakit apa tidak, mereka masih percaya otoritas itu, lalu bagaimana mereka - yang pintar itu - bisa menolak otoritas ulama’ yang telah terjaga kredibilitasnya, kalau bukan demi kepentingan tertentu?

3. Menggunakan segala cara tanpa mempertimbangkan moral
Salah satu sifat Sophist yang lain adalah; bahwa argument-argument yang mereka gunakan tidak untuk membela agama atau moral masyarakat tertentu, tidak pula ditujukan untuk menemukan kebenaran, melainkan hanya sekedar kepuasaan mengalahkan argument lawan dengan segenap cara. Perdebatan Adnin Armas dalam sebuah milist, yang ditulis dalam bukunya Pengaruh Kristen Orientalis, terhadap Islam Liberal, bisa dijadikan bukti. Saat itu Adnin Armas mengkritisi Foucoult (tokoh yang dijadikan panutan dalam argument mereka), lebih lengkapnya saya kutip saja kata kata Adnin Armas:

“Saya benar-benar membantah pendapat A.K. Jaelani yang menggunakan diagnosis Foucoult (seorang homoseks yang juga menerima kebenaran homoseksualisme dan lesbianism serta bentuk-bentuk penyikasaan fisik sebelum hubungan seks antar pasangan. Ia juga orang yang mau menerima pendapat orang gila!) untuk mendekonstruksi Al-Qur’an. Saya sendiri heran dengan anda bagimana “gilanya” Foucault dan “gilanya” diagnosis yang digunakannya untuk mendekonstruksi Al-Qur’an”
Inilah argument bantahan mereka:

“Betapa hebatnya, hanya karena orientasi seksual, atau hal-hal lain seperti agama, suku, jenis kelamin, dan pandangan politik, seorang ditolak kesaksiannya, atau seorang tidak masuk surge? Disini pula saya teringat kata bijak dari Ali. R.a., “Undhur ma qaala wala tandhur man qaala.” Terjemahan kasarnya kira-kira, “jangan lihat siapa yang ngomong. Lihatlah apa yang diomongkan. Bermutu apa tidak?”
Adnin menyebut mereka (kelompok liberal) sebagai loss of adab. Disebut demikian karena mereka (kelompok Islam Liberal), dalam mengambil data guna menguatkan argumentnya dari tokoh-tokoh yang moralnya rusak, sehingga moral menjadi bukan hal yang harus dipertimbangkan ketika melakukan perdebatan untuk menemukan kebenaran. Dengan demikian, kelompok liberal meyakini bahwa Ilmu itu bebas nilai (value free), dari siapapun ilmu itu, jika mengandung argumentasi yang kuat tetap saja harus diambil, tanpa perduli lagi tentang baik buruk, jujur dan palsu. Berbeda dengan konsep Islam, bahwa ilmu tidak bebas nilai. Karena tujuan dari pencapaian ilmu adalah peningkatan ketakwaan kepada Allah, maka untuk mendapatkan ilmu yang benar, yang dengannya seseorang semakin dekat kepada Tuhannya adalah dengan mempertimbangankan dari mana ilmu tersebut diambil. Sehingga moral pemilik ilmu lebih dipertimbangkan dari ilmu itu sendiri. Sebab mereka yang tidak mempertimbangkan moral, ketika mengambil ilmu, sama saja dengan tidak menganggap penting moral tersebut, dan yang tidak menganggap penting nilai sebuah moral, apa lagi sebutan yang cocok baginya selain loss of adab itu.

4. Argument culas menipu dengan lembut untuk menyusupkan keraguan pada argument lawan sebagaimana difinisi Sophist
Beberapa tokoh liberal menyebutkan tentang Islam umum-IslÉm Khusus (al-IslÉm al-‛Ómm-al-IslÉm al-KhÉÎ) Argumentasi meraka adalah sebagai berikut:
“Dalam contoh Islam juga sering dikemukakan misalnya istilah dari seorang filusuf Muslim abad XIV, Ibn Taymiyah yang – seperti Karl Rahner di atas - membedakan antara orang-orang dan agama Islam umum (uang non Muslim par excellance), dan orang-orang dengan Agama Islam Khusus (Muslim per excellence) kata Islam sendiri disini diartikan sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan” mengutip Ibn TaymÊyah”
Seakan memang Ibnu Taimiyyah mendifinisakan Islam seperti apa yang mereka katakan itu. Padahal ada kecurangan dalam pengambilan data. Mereka hanya mengambil data yang sesuai dengan ide yang mereka usung. Sebab jika mereka membaca dengan seksama, akan ditemukan dalam bukunya al-JawÉb al-ØaÍÊh, Ibnu Taimiyyah telah menjelaskan kekufuran kaum NaÎrani. Kekufuran itu disebabkan karena mereka mendustakan Nabi Muhammad, sebagaimana kekufuran yang dilakukan oleh Yahudi karena tidak mengakui al-MasÊÍ (Kristus). Keterangan Ibnu Taimiyyah ini tidak mereka sertakan dalam argument. Lebih-lebih Bila kita merujuk dalam berbagai buku Ibnu Taimiyyah, kita akan mendapatkan penjelasan Ibnu Taimiyyah mengenai al-islÉm sebagai agama yang satu. Ibnu Taymiyyah senantiasa menyatakan bahwa dÊn al-anbiyÉÒ wÉÍid: huwa al-islÉm. Dan tidak ada penjelasan bahwa al-islÉm itu agama kepasrahan total, atau ketundukan total. Karena memang sejak awal agama Allah adalah al-IslÉm. al-islÉm yang dibawah oleh seluruh nabi-nabi-Nya disempurnakan oleh Nabi MuÍammad s.a.w.
Benar, bahwa seluruh agama para nabi adalah al-IslÉm, namun bukan al-IslÉm al-KÉmil (Islam Sempurna). Maka, oleh Allah nikmat agama itu disempurkan dengan agama-Nya, al-IslÉm, yang dibawah oleh Nabi MuÍammad s.a.w. Maka, keliru jika makna al-IslÉm al-‛Ómm-al-KhÉÎ yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah disejajarkan dengan The Anonymous Christian yang dicetuskan oleh Karl Rahner, seperti yang dijelaskan oleh Budhy Munawar-Rachman dalam Islam Pluralis-nya. Karena semua agama para rasul memiliki nama yang jelas yaitu; al-IslÉm, Jadi bukan Islam tanpa nama. Seperti itulah Ibnu Taimiyyah menjelaskan makna IslÉm; sebagai agama umat terdahulu yang mengajarkan kepada umatnya untuk beribadah kepada Allah semata, tanpa menyekutukan-Nya. Dan tanda bahwa seseorang mengabdi (beribadah) adalah ia mentaati dan mempercayai seluruh rasul-Nya. Karna itulah agama-agama yang ada sekarang ini tidak bisa disebut sebagai al-IslÉm al-‛Ómm, karena mereka tidak menjalankan lima pilar yang disebut rukun Islam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah ketika ditanya tentang “mÉ huwa islÉm” dalam sebuah hadistnya.

Begitulah argument kelompok liberal lembut dan cerdas dalam keculasannya, bagi mereka yang mengenal sosok Ibnu Taimiyyah sebagai seorang ulama’ yang memiliki kridibilitas dalam membawa pemahaman mengenai Islam, akan terkejut dan bisa jadi akan ikut dengan argument mereka. yang jika dikaji lebih dalam mengandung tipuan-tipuan ala Sophist.

5. Relativisme Sophist dalam pemikiran Islam Liberal
Sophisme telah merasuk jauh keberbagai sector kehidupan modern, terutama di Barat, dan mengarahkan manusia pada konsep relativitas moral serta sikap hidup yang pesimis dan melemahkan sendi-sendi moral, baik pada dataran pengalaman individu, masyarakat, maupaun politik. Joseph Runzo menulis “We live in an age of Relativism”, “Relativisme has be come a dominant element in twentieth century Theology”. Satu diantara contoh yang paling kentara akibat relaitvisme dan kehidupan moral yang tidak menentu ini adalah sikap netral PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) dalam kasus Bosnia-Herzegovina yang mengakibatkan terjadinya, pemerkosaan, dan penyiksaan, yang dalam sejarah modern merupakan tragedy paling dahsyat sejak Perang Dunia Kedua. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan menurut konsepsi Islam tidak sama dengan sikap netral, sebab keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Masalahnya adalah bagaimana seseorang itu dapat berpihak kepada kebenaran jika kewujudan kebenaran itu sendiri masih diragukan?

Post-modernisme dan teori kesatuan transenden semua Agama, yang didasarkan pada keberbagian kebenaran yang diyakini memiliki tingkat kesahihan yang sama adalah bentuk lain dari sophisme ‘Indiyyah’. Post-modernisme lebih cendrung pada sikap antiagama atau relativisme dan nihilism yang tidak beragama sedangkan para transendentalis, jika istilah ini tepat untuk mereka yang mempercayai teori kesatuan seluruh agama, lebih menjurus pada relativisme dalam memahami aspek luar yang terdapat pada semua agama. Seorang transendentalis biasanya mempropagandakan pandangan yang mengatakan bahwa pada lapangan transenden semua agama adalah sama. Perbedaan ajaran dan amalan praktik ritual hanya terjadi pada tingkat yang paling rendah dari pengalaman kita, dan karenanya, tidak begitu penting jika dibandingkan dengan persamaan yang terdapat pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu tingkat transenden.

Relativisme Sophist yang menyusup dalam paham transenden religion sebagaimana yang disebarkan oleh Frithjof Schoun telah mendapatkan pengikutnya di Indonesia, banyak tokoh yang terpengaruh dengan kaum transendentalis tersebut, hal itu dapat kita cermati dari pikiran-pikiran kelompok liberal Islam di Indonesia, diantaranya adalah pemikiran di bawah ini:

“ Hanya saja kita harus ingat, bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat persis sama, hanya saja dengan nilai yang terbalik: benar menjadi palsu, dan palsu menjadi benar, seperti bayangan kita dalam cermin. Kemudian kita juga harus ingat bahwa mereka yang berada dipihak ketiga, yang tidak beragama seperti agama kita atau agama lawan kita, akan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara kedua kepalsuan! Dan inilah “dilemma Wilson” tersebut: yaitu dilema bahwa agama mengajak kepada kebaikan, dan semakin orang yakin kepada agamanya, adalah semakin baik; tapi justru “orang baik” itu semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kepada orang lain, bahkan merasa berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Ia justru menjadi sumber keonaran sendiri.
Bandingkan dengan apa yang dikatakan oleh Frithjof Schoun, dalam karyanya yang berjudul Gnosis-Devine Wisdom (1959) berikut ini:

“Kita melihat bahwasanya kewujudan di dunia ini terdiri dari berbagai ras. Ketika perbedaan yang terdapat di dalamnya dianggap sebagai sesuatu yang “sah”, tidak ada ras yang ‘salah’ sebagai lawan ras yang ‘betul’… adanya bahasa yang beragam dan tidak seorang pun yang menentang keabsahan bahasa-bahasa itu; semuanya sama sama beragapan bahwa sains dan seni adalah baik. Adalah suatu hal yang aneh jika keragaman ini tidak terjadi dalam agama. Dengan kata lain, jika keragaman penerimaan manusia tidak meliputi keragaman kandungan spiritual, dari segi bentuknya dan bukan intinya… setiap agama adalah “agama” berdasarkan kedudukan masing-masing, dengan tidak membandingkan antara satu dengan yang lain, atau tidak memberinya konotasi relative yang sebenarnya tidak bermakna sama sekali; untuk mengatakan “agama” pada hakikatnya adalah mengatakan “agama yang unik”, secara eksplisit mempraktikan suatu agama berarti secara implicit mempraktikan semua agama”.

Kedua pendapat diatas sama-sama mengajak untuk bisa menerima sudut pandang yang berbeda, dan tidak mengklaim kebenarannya sendiri. Pemikiran liberal yang seperti diungkapkan Nurcholish Madjid diatas “bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat persis sama, hanya saja dengan nilai yang terbalik: benar menjadi palsu, dan palsu menjadi benar” hal ini menunjukan bahwa tidak ada ‘agama yang salah’ sebagai lawan dari ‘agama yang betul’ dalam bahasa Schoun ‘tidak ras yang salah sebagai lawan ras yang betul. bagi Kristen Islam adalah agama yang salah, bagi Islam kristenlah agama yang salah, sehingga kebenaran menjadi rilatif. Schoun menyebut hal yang begini sebagai keragaman cara mengungkapkan kebenaran karena perbedaan bahasa ungkap saja. Kedua-duanya sama sama mengajak untuk merelativkan kebenaran yang ada dalam agamanya, dan menggiring untuk membenarkan agama orang lain. Muslim dituntut untuk meyakini bahwa jika orang Kristen taat dengan ajarannya, mereka secara tidak langsung telah menjalankan Islam, demikian juga orang Kristen harus meyakini bahwa orang Islam yang taat dengan ajaran agamanya dengan sendirinya telah menjalankan agama Kristen. Karena itulah, sesama orang orang yang beragama dengan ragam eksprisinya, hendaknya setiap pemeluk agama itu bersikap tolerant terhadap pemeluk agama yang lainnya.

Pandangan mengenai keberbagian kebenaran Agama tersebut bisa jadi adalah pengaruh sains modern, dimana barat dengan worldview yang telah terbentuk dari cara pandang relativenya Sophist sebagai unsur bangunan peradaban Barat yang mengagungkan rasio, yang akhirnya melahirkan banyak penemuan baru dalam bidang sains mengakibatkan cara pandang mereka terhadap Agama sama dengan cara pandang mereka terhadap sains, sebagaimana diterangkan al-Attas Berikut;

“Pandangan tentang adanya keberbagian kebenaran yang sama-sama absah dalam keberbagian dan keragaman agama mungkin berkaitan dengan pernyataan dan kesimpulan filsafat dan sains modern. Filsafat dan sains moder tersebut timbul sejak ditemukannya keberbagiaan dan keragaman hukum yang mengatur alam, yang di dalamnya setiap hukum memiliki tingkat kebenaran yang sama dalam setiap system kosmologi. Adanya tren untuk menyamakan penemuan sains tentang system yang terdapat dalam alam dengan pernyataan yang diaplikasikan kepada masyarakat, budaya, dan norma-norma adalah satu diantara ciri utama kehidupan modern.”

Dengan demikian apa yang menjadi konsen kelompok liberal di Indonesia dalam memperjuangkan Islam Inklusif, Islam Pluralis atau Islam tolerant, secara sadar atau tidak telah tersusupi unsur - unsur Sophist.

Bentuk lain dari penyusupan unsur Shopist dalam pemikiran Islam Liberal yang cukup besar pengaruhnya adalah anggapan bahwa agama dan hukum-hukum agama sebagai produk dari identitas kebudayaan dan sosio-ekonomi tertentu. Mereka kemudian mempengaruhi ummat Islam dengan pendapat; bahwa hukum hudËd hanya mencerminkan kedudukan sosio-ekonomi negeri Arab abad ke-7 yang ketika itu masih berada pada tingkat rendah dalam perkembangan peradaban manusia. Berangkat dari anggapan bahwa peradaban modern jauh lebih beradab daripada peradaban yang ada pada zaman Nabi SAW dan para Sahabat r.a. mereka menganjurkan umat Islam sekarang untuk kembali memahami agama Islam dan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an agar dapat disesuaikan dengan perubahan sekarang. Mereka mengingatkan bahwa apa yang terjadi zaman Rasul sudah tidak layak lagi untuk diterapkan pada zaman kita sekarang, karena hal itu terjadi pada masa peradaban manusia masih pada tingkatan permitif dan kini kita berada pada peradaban yang lebih maju. Pendapat demikian ini agaknya terpengaruh dengan apa yang dikatakan oleh sosiolog barat terkenal Auguste Comte yang membagi fase manusia menjadi tiga seperti yang dijelaskan diatas makalah ini. disamping itu keyakinan kelompok liberal kepada prinsip dialektika hegel mengenai kebenaran yang menyatakan kebenaran adalah on going procces , dimana kebenaran yang dulu akan tidak disebut kebenaran ketika konteks zamannya berubah, pandangan yang demikian ini Nampak jelas jejaknya pada komentar seorang aktivis Islam liberal berikut;

“al-Qur’an disampaikan, dan sekaligus terbentuk dalam ruang dan waktu. Dalam konteks ini teks al-Qur’an dapat dikatakan produk budaya, dalam pengertian bahwa ia terbentuk dengan melibatkan aspek-aspek budaya dimana ia diturunkan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila bahasa dan situasi makna yang terkandung dalam al-Qur’an senantiasa berubah-ubah sesuai dengan siapa yang menjadi penerimanya dalam konteks komunikasinya. Dalam bingkai ini tidaklah mengejutkan apabila al-Qur’an sebagai sebuah proses komunikasi pada dasarnya bersifat spesifik bagi bangsa Arab.. diluar ruang dan waktu tersebut teks kehilangan diri sendiri secara otomatis. Sebab teks yang sama tidak akan pernah muncul dalam situasi yang berbeda. Kalaupun terjadi makna pasti akan berubah dengan sendirinya.”

Terlihat juga tulisan aktifis Islam Liberal saata menjelaskan perbedaan Agama dengan pemahaman keagamaan berikut ini:

“Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif”

Dalam bukunya yang lain, ia menulis, bahwa kebenaran agama memiliki dua pengertian, (1) kebenaran tekstual atau wahyu, yakni kebenaran-kebenaran yang ada dalam kitab-kitab suci, (2) kebenaran empirik, yakni keyakinan manusia beragama berdasarkan penyikapan, pemahaman, dan interpretasi kebenaran tekstual wahyu. Kebenaran pertama bernilai mutlak, sedangkan kebenaran kedua bernilai relatif. dari penjelasan penulis buku ini, bahwa kebenaran akal bersifat relatif, sehingga manusia tentu saja tidak akan pernah sampai pada kebenaran mutlak. Bandingkan dengan relatifnya al-‘indiyah Sophist dan pendapat dibawah ini;

“Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapapun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih dalam level manusia, pastila ‘terbatas’ ‘parsial kontekstual pemahamannya’ serta ‘bisa saja keliru’, … yang menentang hermeneutika hanyalah mereka yang kolot dan gemar mengklaim kebenaran.”

6. Agnosticisme dalam Pemikiran Islam Liberal
Terdapat kelompok Sophist modern jenis lÉ adriyyah, baik di kalangan pendidik muslim kontemporer yang secular, maupun dalam komunitas lain. Mereka cenderung menyempitkan ruang lingkup agama (dÊn) pada permasalahan iman saja, tanpa amal. Mereka percaya bahwa iman adalah masalah hati, dan karenanya bersifat pribadi. Artinya, tidak seorangpun yang dapat mengatakan kepada orang lain bahwa imannya salah atau benar. Sedangkan, para sarjana muslim, rata-rata berpendapat bahwa agama (dÊn) adalah gabungan antara iman dengan Islam dan menerima bahwa ilmu pengetahuan dan amal saleh merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari iman.

Pernyataan kelompok liberal yang terpengaruh model agnosticismnya Sophist diantaranya adalah, pernyataan berikut:

Masalah kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata untuk merujuk kepada “Hukum Tuhan” (sekali lagi; saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya percaya pada nilai-nilai keTuhanan yang universal), tetapi harus merujuk kepada hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakan Allah sendiri dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukum-hukumnya sendiri, bidang ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri dan seterusnya. Yang ada adalah hukum manusia, bukan hukum Tuhan… apa pun penafsiran yang kita butuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji adalah maslahat manusia itu sendiri

Pernyataan tersebut dengan sangat jelas mengingkari akan adanya hukum Tuhan, sebagaimana agnosticism (‘alÉ-adriyah) Sophist. Dengan pemikiran yang sama, Sophist juga menghujat dan menafikan adanya Tuhan yang transenden dan yang mengatur kehidupan masyarakat. Kelompok Sophist membawa permasalahan dunia kepada manusia, manusialah ukuran dari hukum bagi kehidupan mereka, sebagaimana prinsip Protagoras “Human is measure all things”, sehingga baik buruk adalah sangat relative. Pandangan yang demikian kemudian terbawa ke pemikiran filsafat humanist-positivis pada zaman Modern, yang rupanya juga telah diadopsi oleh para pemikir Islam Liberal di Indonesia yang tampak dari pernyataan di atas. Jika pernyataan diatas menafikan adanya hukum Tuhan, dengan begitu menafikan Tuhan sebagai Al-×Ékim, sebagai pemegang satu-satunya otoritas untuk menentukan hukum. Pernyataan mereka yang lain misalnya:
Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama… pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting, karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman tanpa batas itu.
Pernyataan ini sudah mengindikasikan bukan hanya syari’ah saja yang tidak penting dan tidak ada, agama dan ajaran-ajarannya sekalipun dianggap tidak diperlukan lagi. Hal demikian juga yang diajarkan oleh kelompok Sophist kepada remaja-remaja yunani pada pertengahan abad ke-5 SM. Dimana para Sophist menanamkan satu pola pendidikan yang menentang aturan-aturan yang berbau langit (mitos), manusia bisa mencapai kemulyaan (virtue) dengan mengikuti disiplin ketat dalam memperoleh pengetahuan, memberontak terhadap keyakinan umum masyarakat saat itu, bahwa virtue adalah chance yang diberikan dewa-dewa kepada orang yang dipilih, dan hal itu (virtue) tidak bisa didapatkan melainkan dengan cara diwarisi. Kelompok Sophist dengan agnosticismnya menghilangkan apa saja yang tidak mungkin diketahui oleh akal, termasuk menghilangkan ajaran-ajaran yang mereka sebut bersumber pada mitologi. Jadi jelaslah bahwa pernyataan diatas mengisyaratkan keinginan kelompok Islam Liberal untuk membebaskan manusia, agama dan aturan-aturan keagamaan. Orang liberal nampaknya mempercayai kemampuan manusia untuk mengatur dirinya sendiri tanpa petunjuk Tuhan. Malahan agama berubah menjadi semacam aliran kepercayaan yang diciptakan oleh manusia sendiri untuk menuju sesuatu yang transenden. Hal tersebut bisa dicermati dari pernyataan dibawah ini:

Berbeda dengan kalangan fundamentalis dan konservatif yang mempercayai (tepatnya meyakini) agama sebagai ‘produk Tuhan’, kaum liberal berpendapat agama bukanlah produk Tuhan 100% tetapi ada intervensi sejarah, dan wahyu bukan turun di ruang hampa kebudayaan tetapi berkalindan dengan historisitas manusia… Bahkan jika ada ‘ayat-ayat Tuhan’ yang bertabrakan dengan kemaslahatan masyarakat, harus diunggulkan kemaslahatan dan keadilan social.

Juga pada pernyataan dibawah ini

Di ruang public, agama hanya berbicara tentang moralitas dan etika, tidak lebih dari itu. Tentu saja moralitas yang dimaksud adalah moralitas yang telah ‘terobjektivikasi’ dimana semua orang, tanpa melihat agama secara abjektif dapat melihat sesuatu sebagai “baik” atau “buruk” dengan demikian, di ruang public klaim Universalitas agama tidak lagi bersifat absolute, tetapi relative. Karena, bisa jadi masing-masing agama mempunyai klaim berbeda.

Statement dua diatas adalah bentuk ajakan agar masalah agama menjadi urusan pribadi (private), agnostisisme Sophist yang mempangaruhi pola pikir muslim memang akan mengakibatkan penolakan atas campur tangan agama dalam wilayah public, agama hanya bermakna keimanan, dan syari’at dipinggirkan, sebab aturan-aturan yang diterapkan dengan dalih agama tidak bebas dari objetivikasi yang dibuat untuk kepentingan elit penguasa, sehingga agama harus dibebaskan dari campur tangan dalam mengurusi persoalan negara, dalam wilayah public agama hanya sekedar salah satu penyumbang moralitas dan etika. Lebih dari itu, sebenarnya tanpa agama-pun seseorang bisa mengenal baik dan buruk, dengan demikian sesungguhnya Agama tidak dibutuhkan lagi.
Benarkah agama hanya mengurusi persoalan moral saja, seperti apa yang dikatakan mereka? Adian husaini menjawab persoalan ini dengan mengatakan; bahwa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, Nabi tidak menggunakan hukum adat, hukum Persia, atau hukum Romawi untuk memutuskan perkara (mengadili) di antara rakyatnya. Nabi Muhammad saw. Menerapkan hukum cambuk dan rajam bagi pezina. Juga menerapkan hukum baikot sosial terhadap sejumlah warga Negara yang enggan berperang. Beliau saw. Mengirim duta-dutanya ke negara-negara sekitar, dan mengajak mereka masuk Islam. Juga menarik zakat dan pajak dari rakyatnya. jika mereka membandel, maka akan ditetapkan hukum dengan paksa. Menjadi jelas bagi kita bahwa agnostic yang akut akan menjadikan agama tidak dibutuhkan lagi, pelan-pelan disingkirkan, sebab agnostic Sophist itu adalah menolak kebenaran meskipun data-data dan bukti-bukti akan kebenaran itu telah didatangkan. Orang-orang yang terjangkit pengaruh agnostic Sophist ini akan meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan, sesungguhnya yang mereka cari bukan kebenaran melainkan pembenaran. Dan hal tersebut telah terjadi pada peradaban Barat dimana paham agnostic Sophist ini menyebar untuk pertama sekali seperti apa yang dijelaskan Muhammad Asad; “Peradaban Barat modern tidak mengakui perlunya manusia kepada apapun kecuali tuntunan dan tuntutan ekonomi-sosial dan kebangsaan..”

7. Skeptisisme Dalam Pemikiran Islam Liberal
Jenis ketiga dari sophisme adalah ‘in-Édiyyah, terdiri dari dua kelompok di atas, yang tidak mau menerima alasan dan bukti yang masuk akal. oleh sebab itu, jenis sophisme terakhir yang memiliki ciri-ciri sophisme kedua dan berada dalam urutan yang paling bawah ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi agama, pembangunan ilmu pengetahuan, dan akhlak masyarakat. Skeptisisme ini hanya mempersoalkan suatu asumsi atau kesimpulan, sampai bisa diteliti secara mantap. Penekanan pada bahwa semua pengetahuan adalah manusiawi, (humanism) dan bahwa kemampuan manusia adalah lemah dan terbatas dan bahwa indra dan akal keduanya tidak dapat di andalkan. Mereka mengingatkan kepada kita bahwa yang namanya orang-orang ahli dalam segala bidang pun mempunyai pendapat-pendapat yang berbeda secara jauh. Dengan begitu mengingatkan kita perlunya hati-hati, dan bahaya dogmatism (benih anti otoritas). Ia akan berkata “jangan terlalu yakin”. “jangan menjadi dogmatis”. “anda boleh jadi salah”. “Jadilah Orang yang tolerant dan berfikiran terbuka”

Sikap meragukan kebenaran sering nampak dalam cara orang-orang liberal menyatakan pendapat dan opininya. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang mereka lontarkan cendrung untuk menyebarkan paham keragu-raguan ke dalam benak umat Islam. Pertama sekali yang mereka serang adalah agar umat Islam tidak lagi mempercayai otoritas Ulama, pernyataan di bawah ini bisa dijadikan sebagai bukti betapa telah terjadi penyebaran paham skeptic (al-inÉdiyyah)-nya Sophist, dimana mereka sering kali menggunakan argument-argument untuk membawa lawan-lawannya agar meragukan epistimologi yang selama ini diyakininya, dan kemudian terbawa kepada paham yang diinginkannya:
“… Karena itu jenis keagamaan yang jelas sekali dikehendaki dan tidak dapat diterima ialah agama yang membuat seseorang tunduk patuh dan pasrah total kepada sesama manusia, dan yang membuatnya terasing dari dirinya sendiri, meskipun semuanya itu ia lakukan dalam kedok menyembah Tuhan. Sebab Tuhan dapat bermakna macam-macam.”

Pernyataan yang meragukan otoritas ulama. Dimana masyarakat Islam selama ini tunduk dan patuh. Kemampuan mereka dalam memahami Islam jelas lebih baik dibanding dengan pemahaman kita, pertama karena mereka telah melewati syarat-syarat yang sangat ketat untuk menjadi seorang yang memiliki kridibilitas sebagai ulama’ mujtahid dalam masalah masalah agama. Tidak hanya syarat penguasaan ke ilmuan saja yang diperlukan, melainkan juga moral yang baik dengan syarat-syarat yang ketat pula. Sering kali orang-orang liberal begitu kritis terhadap pendapat para mufasir, ulama, bahkan sahabat, namun ketika mereka mengadopsi pemikiran barat; mereka menerima apa yang dikatakan tokoh-tokoh idola mereka (semacam Derrida, Foucault Hebermas, Gadamer dan lain sebagainya) hampir tanpak kritik sama sekali.

Kelompok liberal ini tak ubahnya adalah Sophist jaman ini, ia akan menolak apa saja yang ingin mereka tolak tanpa mempertimbangkan baik-buruk, benar salah. Penolakan hanya didasarkan atas seponsor dibelakangnya, sebagaimana dulu Sophist merusak keilmuan filosof yang jujur zaman yunani, karena pikiran mereka terjual dengan harga sejumlah uang, sehingga kebenaran bisa diarahkan, kesalahan juga bisa ditimpakan kepada kebenaran. Dalam bahasa Dr. Syamsudin Arief, “Meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan” Keragu-raguan itu sesungguhnya adalah penyakit yang telah menjangkiti barat begitu rupa dan sekarang menular ke dalam tubuh pemikiran umat Islam di Indonesia. banyak kalangan Islam Liberal meragukan otensitas syari’at, contoh berikut bisa jadi bukti bahwa sikap skeptic Sophist dalam menolak kebenaran itu telah menjangkiti mereka:

“… Maaf untuk sekarang ini saya lebih percaya dengan buku-buku semacam itu (karangan barat red). Sudah bosan saya baca buku yang “biasa-biasa” saja. Tidak ada kemajuan. sejak kecil juga sudah tahu kalau sholat jum’at itu dua rakaat, shalat harus menghadap kiblat, Tuhan satu, nabi itu orang Arab, rukun Islam ada lima, berbohong masuk neraka, puasa wajib, mau shalat wudhu dulu … semua agama sesat, kecuali Islam. semua orientalis jahat, maka jauhilah. Semua pemikiran baru berbahaya dan bid’ah enyahkanlah. Babi haram, riba juga haram, pemikiran Barat dapat menggagu iman kita, pemikiran sekuler rancu, pemikiran Barat jelek, yang betul al-Ghazali bukan Denny, yang benar al-Bukhari bukan Marnissi, yang harus diikuti syafi’I bukan Laroui. Nah, jika anda ingin mendiskusikan referensi itu disini, saya persilahkan. Atau anda punya refrensi bagus yang dapat meyakinkan saya bahwa syari’at Islam memang betul-betul ada dan unik?”

Pemikiran yang demikian terlihat jelas pengaruh skeptisime Sophistnya, meragukan segala sesuatu yang selama ini dianggap benar dan baik oleh ajaran Islam. Hal tersebut menunjukan adanya kemiripan dengan apa yang dikatakan al-Raniri sebagai mu‘ÉnidËn (mereka yang keras kepala) secara intelektual, spiritual, dan etika memiliki kemiripan dengan mereka yang fanatic buta (muta‘assibÊn) dan keduanya termasuk orang yang bodoh-sombong (sufahÉ). Kata safah dalam al-Qur‘an dan lisÉn al-Arab, tidak ditujukan kepada mereka yang bodoh dalam konteks biasa, tetapi juga kepada mereka yang dengan sengaja menolak sesuatu yang nyata, betul (right), dan benar (true). Menarik untuk diketahui bahwa para muta‘sibÊn adalah orang ekstrem atau fanatik buta, yang secara membabi buta bersama-sama menentang setiap usaha yang bertujuan membetulkan kepercayaan atau amalan mereka yang salah. Mereka juga termasuk orang yang zindiq yang dengan keji berusaha menegakkan sesuatu yang salah.

Ciri-ciri lain dari orang yang keras kepala (mu‘ÉnidËn) adalah suka mendebat orang lain, sedangkan mereka tidak memiliki pengetahuan. Hobi berdebat dan sikap keras kepala adalah faktor-faktor yang merusak logika dan retorika yang dalam aplikasi seterusnya, bahkan dapat mengaburkan hikmah sehingga akhirnya menyesatkan banyak orang.

Berikut ini pemikiran kelompok Islam Liberal yang paling radikal, yang diucapkan oleh tokoh besarnya, dimana pernyataan tersebut menunjukan bukti betapa kerasnya mereka menolak kebenaran; tokoh ini mengatakan bahwa kebebasan beragama berarti kebebasan untuk berpindah agama, berpindah pilihan dari satu agama tertentu ke agama lain. Dan berpindah agama tidak kafir. Istilah kafir bukan berarti beragama lain, tetapi karena menentang perintah Tuhan. Lebih jauh ia menyatakan;

“Apalagi sampai dianggap murtad sebagai hukuman yang mengandung konsekuensi. Misalnya harus bercerai dari istri atau suami, sebagaimana pernah dialami Nasr Hamid Abu Zayd dan Novelis perempuan Nawal El Sadawi di Mesir, yang mengakibatkan Abu Zayd harus berpindah ke belanda yang sekuler dan menjamin kebebasan beragama,”

Seorang tokoh liberal dalam buku catatannya tanggal 15 Juli 1969 menulis:

“saya malah berpendapat bahwa andaikata Nabi Muhammad datang lagi di dunia sekarang, menyaksikan bagian-bagian yang modern dan yang belum, serta melihat pikiran-pikiran manusia yang ada, saya berkepastian bahwa banyak di antara Hadits-hadits Nabi sekarang ini umumnya dipahami secara telanjang oleh pengikut-pengikutnya, akan dicabut oleh Nabi dari peredaran dan diganti dengan hadits-hadits yang lain”
Tanggal 22 agustus 1969, ia menulis sebagai berikut;

“Terus terang, aku kepingin sekali bertemu dengan Nabi Muhammad dan ingin mengajaknya untuk hidup di abad 20 ini dan memberikan jawaban-jawabannya. Aku kurang percaya pada orang-orang yang disebut “pewaris-pewarisnya”

Sikap skeptiknya ini terus berlanjut, karena bagi mereka yang terpengaruh model pemikiran Sophist semacam ini, agak terlalu sulit untuk melepaskan diri sifat meragukan segala hal. Keraguan lebih dicintai dari pada kebenaran, karena untuk mengetahui kebenaran bagi mereka harus dimulai dengan meragukan apapun, masalahnya adalah mereka sepanjang hidupnya tetap bermain dalam keraguan itu, kita lihat catatan harian tokoh ini yang ia tulis pada tanggal 28 maret 1969 menggambarkan rasa ragunya itu berikut ini;

“Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya, aku baru tahu Islam menurut Hamka, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut Subki, Islam menurut yang lain-lain. Dan terus terang aku tidak puas, yang ku cari belum ketemu, belum terdapat, yaitu Islam menurut Allah, pembuatnya. Bagaimana? Langsung studi dari al-Qur‘an dan sunnah? Akan ku coba. Tapi orang-orang lain pun akan beranggapan bahwa yang ku dapat itu adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!”

Kata-kata tokoh ini “Aku harus yakin” menyiratkan kronisnya skeptic Sophist itu mempengaruhi pikirannya. Rupanya keraguan tokoh ini tidak menjangkiti dirinya sendiri, terbukti banyak kalangan Islam Liberal memiliki keraguan yang sama tentang keberagamaannya selama ini, merasa apa yang disampaikan oleh ‘UlamÉ‘-ulamÉ‘ salaf dulu dalam menerangkan dan menjelaskan makna Al-Qur’an terjebak kepada pemahaman yang bias kepentingan, terutama kepentingan penguasa. Bahkan lebih jauh dari itu mereka menuduh Utsman-lah yang menjadikan pesan Allah menjadi salah dimengerti, secara sembunyi-sembunyi mereka menuduh Ustman telah dengan sengaja menghilangkan beberapa ayat dan merubah ayat-ayat demi kepentingan Quraisy. Hal itu dapat kita lihat dari kata-kata mereka berikut ini;

“Setelah kita kembalikan wacana Islam Arab ke dalam dunianya dan melepaskan diri kita dari hegomoni budaya arab, kini saatnya kita melakukan upaya pencarian pesan Tuhan yang terperangkap dalam musÍaf Ustmani, dengan suatu metode dan pendekatan baru yang lebih kreatif dan produktif”

Bisakah kita membayangkan jika mereka yang tidak memiliki kredibilitas memahami Islam dengan keilmuannya sendiri, yang akan terjadi adalah timbulnya beragam agama-agama baru dengan model dan selera yang berbeda dan tidak ada otoritas yang diakui sebagai pemilik pemahaman yang paling mendekati kebenaran seperti apa yang dimaksudkan oleh ajaran-NYA. Islam yang diturunkan Allah melalui Rasulullah Muhammad saw dan memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk menjelaskan inti ajaran-NYa, adalah bukti bahwa Nabi Muhammad saw dipercaya untuk mengemban amanat itu, sebab setiap kali terjadi pemahaman yang salah atas agama yang diinginkan Allah SWT langsung akan ditegur. Ajaran itu kemudian disampaikan kepada para sahabatnya, tidak satupun mereka para sahabat itu yang secara prinsip memiliki perbedaan yang mencolok dalam memahami ajaran Rasulullah, sahabat yang satu kadang belajar kepada sahabat yang lain tentang ajaran Rasulullah yang tidak mereka dengar. Begitupun dengan tÉbi‘ tÉbi‘u t-tÉbi‘ ada syarat-syarat khusus agar pendapat mereka diakui, syarat-syarat itu mencakup syarat moral dan syarat intelektual, mereka yang bodoh tidak diterima keterangannya, juga mereka yang secara moral rusak lebih tidak diterima lagi. Dari situlah terjadi ilmu rijal yang tidak dimiliki barat, sehingga keterangan intelektual itu bisa dipertanggung jawabkan keilmiahannya. Jika otoritas UlamÉ’ di ragukan, kepada siapa lagi kita mengambil ajaran Islam. haruskah kita belajar Islam dari Foucault sang pemabuk dan orang gila yang memiliki kelainan seks, yang matinya karena Aids itu? Ataukah kita belajar Islam dari Derrida orang yang tidak perduli etika dan tidak pernah percaya bahkan kepada dirinya sendiri?

Jejak Sophist Di Era Modern dan Posmodern

Sebagai sebuah nama, Sophist memang sudah selesai ketika memasuki era modern, bahkan ketika Barat berada pada zaman kegelapan (dark era) sudah tidak dikenal lagi istilah Sophist sebagai sebuah kelompok. Namun apa yang dilakukan oleh Sophist dengan pemikiran agnostic, relative dan skeptic–nya bisa kita lacak pada pemikiran-pemikiran filosof Barat dari zaman Socrates hingga abad postmodernisme sekarang. Hal tersebut terjadi karena adanya kesinambungan pemikiran filosof modern dan postmodern kepada pemikiran Plato dan Aristotle sebagai dua orang filosof yang dijadikan refrensi pemikiran filsafat barat secara keseluruhan. Sedangkan pemikiran Plato adalah buah dari pergemulannya dengan Socrates yang bersambung hingga Xenophanes seorang guru Sophist ternama. Dengan demikian Sophist memiliki peranan yang cukup penting bagi tumbuhnya filasafat Barat. Ibarat tanaman; Sophist adalah akar dan para filosof setelah mereka adalah cabang dan ranting-nya. Karena itu, tidak mustahil untuk menemukan pengaruh pemikiran Sophist dalam era Modernism dan postmodernisme, meski jarak tahun antara modernism, postmodernisme dengan Sophist terpaut ribuan tahun.

Barat modern adalah periode sejarah dalam peradaban Barat, yang persisnya terjadi saat kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada periode pencerahan, abad industry dan abad ilmu pengetahuan. Modernisme dihidupkan dengan semangat keilmuan (Scientific), yang diwarnai paham sekulerisasi, rasionalisme, empirisisme, cara berfikir dichotomis, desakralisasi, pragmatisme dan penafian kebenaran metafisis (Agama). Menurut J.W. Schoorl Modernisasi adalah penerapan pengetahuan ilmiah yang ada kepada semua aktifitas, semua bidang kehidupan atau pada semua aspek kehidupan masyarakat.

Sedang Postmodernisme sendiri adalah gerakan pemikiran yang lahir sebagai protes terhadap modernisme ataupun sebagai kelanjutan-nya. Gerakan ini lahir pada abad ke-19 dimana modernitas mulai dipertanyakan oleh gerakan filsafat yang berpegang pada prinsip yang meragukan bahwa realitas memiliki struktur yang dapat difahami oleh manusia. Munculnya eksistensialisme dan filsafat analitik sebagai produk akal post-modern menggantikan sistim metafisika. Silverman menyatakan bahwa penutupan jalan pemikiran metafisika bertepatan dengan berakhirnya era modernisme.

Di zaman modern, Descartes (m. 1650) yang disebut sebagai “Bapak Filsafat Modern” oleh banyak sejarawan Barat, memformulasikan sebuah prinsip, aku berpikir maka aku ada (cogito ergo sum). Dimana dengan prinsip ini, Descartes telah menjadikan rasio satu-satunya kriteria untuk mengukur kebenaran, sebagaimana yang dilakukan oleh Protagoras, Gorgias, Xenophanes, Heraclitus sebagai tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam pemikiran Sophist.

Pada zaman modern, filsafat Immanuel Kant sangatlah berpengaruh. Kant menjawab keraguan terhadap ilmu pengetahuan yang dimunculkan David Humme yang skeptic. Menurut Kant, pengetahuan adalah mungkin, namun metafisika adalah tidak mungkin, karena tidak bersandarkan kepada panca indera. Dalam pandangan Kant, di dalam metafisika, tidak terdapat pernyataan-pernyataan sintetika-a priori seperti yang ada di dalam matematika, fisika dan ilmu-ilmu yang berdasar kepada fakta empiris. Kant menamakan metafisika sebagai “ilusi transenden” (a transcendental illusion). Menurut Kant, pernyataan-pernyataan metafisika tidak memiliki nilai epistemologis (metaphysical assertions are without epistemological value).

Epistemologi Barat modern-sekular semakin bergulir dengan munculnya filsafat dialektika Hegel (m. 1831), yang terpengaruh dengan Kant. Bagi Heggel, pengetahuan adalah on going process, dimana apa yang diketahui dan aku yang mengetahui terus berkembang: tahap yang sudah tercapai “disangkal” atau “dinegasi” oleh tahap baru. sehingga tahap lama itu tidak benar karena terbatas, dan dengan demikian jangan dianggap kebenaran. Tetapi yang benar dalam penyangkalan tetap dipertahankan.
Ludwig Feurbach (1804 – 1872), murid Hegel dan seorang teolog, merupakan salah seorang pelopor faham ateisme abad modern. Feurbach, seorang teolog, menegaskan prinsip filsafat yang paling tinggi adalah manusia. Sekalipun agama (teologi) menyangkal, namun pada hakekatnya, agamalah yang menyembah manusia (Religion that worship man). Dengan demikian makna sebenarnya dari teologi adalah antropologi (The true sense of Theology is Antropology). Agama adalah mimpi akal manusia (Religion is the dream of human mind).

Terpengaruh dengan karya Feurbach, Karl Marx (m. 1883) berpendapat; agama adalah “keluhan makhluk yang tertekan”, Agama adalah candu rakyat. Dalam pandangan Marx, agama adalah faktor sekunder, sedangkan faktor primernya adalah ekonomi. Selain itu, Marx memuji karya Charles Robert Darwin (m. 1882) dalam bidang sains, yang menyimpulkan Tuhan tidak berperan dalam penciptaan. Bagi Darwin, asal-mula sepesis (origin of species) bukan berasal dari Tuhan, tetapi dari “Adaptasi kepada lingkungan” (adaptation to the environment). Menurutnya lagi, Tuhan tidak menciptakan makhluk hidup. Semua sepesis yang berbeda sebenarnya berasal dari satu nenek moyang yang sama. Sepesis menjadi berbeda antara satu dan yang lain disebabkan kondisi-kondisi alam (natural conditions).

Faham ateisme juga berkembang dalam disiplin ilmu sosiologi. Auguste Comte, penemu istilah sosiologi, memandang kepercayaan kepada agama merupakan bentuk keterbelakangan masyarakat. Dalam pandangan Comte, masyarakat berkembang melalui tiga fase teoritis, pertama, fase teologis, bisa juga disebut sebagai fase fiktif. Kedua, fase metafisik, bisa juga disebut sebagai fase abstrak. Ketiga, fase saintifik, bisa juga disebut sebagai fase positif. Kharasteristik dari setiap fase itu bertentangan antar satu dengan yang lain.

Dalam fase teologis, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase metafisik, akal manusia menganggap fenomena dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan abstrak, atau entitas-entitas yang nyata, yang menggantikan kekuatan ghaib. Dalam fase positif, akal manusia menyadari bahwa tidak mungkin mencapai kebenaran yang mutlak. Pendapat Comte, yang menolak agama, diikuti oleh para sosiolog yang lain seperti Emile Durkheim (m. 1917) dan Herbert Spencer. Agama, tegas Spencer, bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di dunia lain.

Pemikiran ataestik-agnostik ikut bergema dalam disiplin psikologi. Sigmund Freud (m. 1939), seorang psikolog terkemuka menegaskan doktrin-doktrin agama adalah ilusi. Agama sangat tidak sesuai realitas dunia. Bukan agama, tetapi hanya karya ilmiah, satu-satunya jalan untuk membimbing kearah ilmu pengetahuan.
Kritik terhadap eksistensi Tuhan juga bergema di dalam filsafat. Di dalam karyanya Thus Spoke Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844 – 1900) menulis: “God died, now we want the overman to live , (Gott ist tot! Gott bleibt tot! Und wir haben ihn getötet! Tot sind alle Götter; nun wollen wir, dass der übermensch lebe.”) Dalam pandang Nietzsche, agama adalah ‘membuat lebih baik sesaat dan membiuskan’ (momentary amelioration and narcotizing). Bagi Nietzsche, agama tidak bisa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Nietzsche menyatakan: “Seseorang tidak dapat mempercayai dogma-dogma agama dan metafisika ini jika seseorang memiliki metode-metode yang ketat meraih kebenaran di dalam hati dan kepala seseorang.

Menegaskan perbedaan ruang lingkup antara agama dan ilmu pengetahuan, Nietzsche menyatakan; “Antara Agama dan sains yang betul, tidak terdapat keterkaitan, persahabatan, bahkan permusuhan: keduanya menetap di bintang yang berbeda” ketika Nietzsche mengkritik, ia merujuk secara lebih khusus kepada agama Kristen.
Para filosof pasca modernis seperti Jacques Derrida, Michel Foucault, Richard Rorty sering menjadikan pemikiran Nietzsche sebagai rujukan. Jika Nietzsche mengumandangkan Gott is tot maka Jacques Derrida pada pertengahan abad ke-20 mendeklarasikan The author is died. Dalam periode ini (postmodernisme) jejak Sophist lebih terlihat lagi pada pandangan relativisme yang kebanyakan dianut oleh para ilmuan dan filosofnya. Yang kesemuanya itu jika dilacak adalah berakar pada pemikiran Xenaphones, Heraclitus, Protagoras, Gorgias serta tokoh-tokoh besar Sophist lainnya yang telah melempar ide tentang keraguan akan kemampuan manusia untuk mendapatkan kebenaran yang universal (absolute), sebagaimana Darrida tidak pernah yakin bahwa seseorang dapat menemukan kebenaran.

Demikianlah pengaruh Sophist telah begitu jelas terlihat dalam pemikiran tokoh-tokoh modernism dan postmodernisme. Pemikiran merekalah yang membentuk worldview Barat, yang kemudian melalui program westernisasi, sekulerisasi ataupun liberalisasi ditawarkan keseluruh peradaban yang mereka anggap sebagai peradaban barbaric dengan jalan misionarisme, orientalisme dan kolonialisme. Tujuan dari mereka adalah menghegomoni peradaban dunia dan menjadikan peradaban Barat sebagai peradaban seluruh dunia, setidaknya Negara-negara yang menjadi target westernisasi tersebut tidak mengganggu kepentingan Barat. Pemikiran Sophist dengan sendirinya tersebar dan mempengaruhi pemikiran mereka yang terkena target westernisasi (Westernized). Karena itu, tidaklah tertutup kemungkinan untuk melihat pengaruh Sophist dalam pemikiran Islam di Indonesia, terutama yang dibawa oleh kelompok Islam Liberal, yang akhir-akhir ini menjadi gerakan yang cukup meresahkan umat dengan statement-statement Sophistnya yang akan penulis ungkap dalam tulisan di bawah ini.

Mengenal Sophist

Makna Sophist dan Kemunculannya

Sophist berasal dari kata yunani Sophistikos, Sophistes berarti “bijaksana, pintar, halus”, dari kata ini Sophist diartikan sebagai seorang yang mencintai kebijaksanaan. Kata Sophist dalam budaya yunani pra-socrates digunakan untuk sinonim dari filosof, professor ataupun guru. Mereka yang memiliki ketrampilan khusus sebagai pembuat kereta perang, senjata dan alat-alat pertempuran disebut sebagai Sophist. Istilah Sophist sudah dikenal bahkan sebelum thales (550 SM) abad ke-6 SM, dengan makna ini Thales bisa disebut juga sebagi seorang Sophist (filosof).

Kata Sophist mengalami perubahan makna ketika memasuki Athena pada pertengahan abad ke-5 SM. Sophist menjadi hanya sebagai nama sebuah gerakan guru keliling yang mengajar untuk mendapatkan uang. Mereka mengajari anak-anak bangsawan Athena, dan mereka yang mampu membayar; cara berdebat, retorika dan orator. Ketrampilan tersebut dibutuhkan oleh masyarakat Athena untuk membela diri dalam persidangan dihadapan dewan mahkamah Athena yang berjumlah 1505 orang dalam arena yang luas sehingga membutuhkan cara mengartikulasikan suara dalam ketrampilan orasi . Athena sejak awal dikenal sebagai negara yang demokratis , meskipun demokrasi Athena belum menyentuh kelompok budak dan wanita, namun dibandingkan Sparta yang menganut pemerintahan oligarki, Athena lebih demokratis.

Perang antara orang-orang Athena dari kota-kota Ionia dengan orang-orang Persia pada permulaan abad ke-5 SM, yang dimenangkan Athena pada pertempuran di Marathon pada tahun 409 SM , memberikan kepercayaan yang luar biasa kepada seluruh masyarakat Athena saat itu. Kemenangan itu memberikan pelajaran bagi penduduk negara-kota Athena, bahwa negara kecil dengan peradaban yang lebih tinggi akan mampu mengalahkan negara besar dengan kebudayaan barbaric atau tradisional. Hal itu mendorong masyarakat Athena untuk mengembangkan diri dengan keilmuan dan ketrampilan. Peluang demikian diambil oleh kelompok Sophist untuk mengajari apa yang mereka butuhkan dengan meminta bayaran. Dari sinilah makna Sophist berubah menjadi kelompok guru keliling yang mengajarkan ketrampilan pidato, retorika, berdebat dan berargumentasi dalam rangka mencari uang.

Kekalahan Athena oleh Sparta pada tahun 404 SM, menyebabkan perubahan landasan nilai-nilai moral yang diyakini selama ini oleh masyarakat Athena. Athena menemukan padanan bagi landasan nilai-nilai masyarakat dengan nilai-nilai yang diyakini masyarakat yang lain. Hal tersebut mengundang perdebatan dalam rangka menemukan nilai hidup yang dianggap paling baik. Jika zaman thales abad ke-6 SM filosof menanyakan; “Terbuat dari apakah dunia?”, “Apa yang membuat dunia bisa bertahan?” maka pada paruh abad ke 5 SM, setelah peristiwa ini, pertanyaan-pertanyaannya adalah; “Bagaimana seharusnya kita hidup?” pertanyaan dasarnya adalah “Apakah kebenaran itu?”. Inilah pertanyaan Socrates; filosof yang hidup saat itu, dengan itulah Socrates dikenal sebagia filosof moral pertama. Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang diajarkan Sophist kepada murid-muridnya dalam rangka menguasai wacana.

Ciri-ciri Seorang Sophist

Plato lah yang paling bertanggung jawab atas pandangan modern terhadap Sophist. Plato menggambarkan ciri-ciri seorang Sophist sebagai: 1) Seorang yang mata duitan 2). Seorang yang memakai sulap retorika dan ambigiusitas bahasa dalam rangka meraih dan mendukung rasionalitas yang menyesatkan. 3). Seorang yang tidak perduli dengan kebenaran dan keadilan, melainkan hanya sekedar mencari kekuasaan dengan segala cara agar menang. 4). Menolak Ilmu dan keyakinan 5). Memiliki cara pandang relative, skeptic dan agnostic dalam rangka mengikuti kemana arah argument mengalir, untuk mendapatkan argumentasi yang paling kuat demi memenangkan perdebatan. 6). Suka membantah (guibber) meski telah ada bukti-bukti yang jelas 7). Menuruti selera pribadinya dan tidak perduli dengan pendapat orang lain.

Bagi Sophist apa yang mereka ajarkan tidak ada sangkut pautnya dengan agama atau keutamaan. Mereka mengajarkan ketrampilan berdebat, dan berbagai pengetahuan yang kiranya bisa menunjang ketrampilan itu. Pada pokoknya, seperti para pengacara modern, mereka siap menunjukan bagaimana berdebat demi mempertahankan atau menggugurkan opini yang manapun, dan tidak merasa harus membela kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri. Sikap kaum Sophist itu sudah barang tentu mengguncangkan mereka yang menjadikan filsafat sebagai pandangan hidup, yang erat kaitannya dengan agama; dimata mereka ini, kaum Sophist tampak sembarangan dan tak bermoral. Upaya pencarian kebenaran yang dilakukan Sophist mengabaikan pertimbangan-pertimbangan moral. Kaum Sophist bersedia mengikuti suatu argument kemanapun argument itu menuju. Seringkali argument itu membawanya kepada skeptisime.

Banyak sarjana modern menganggap kaum Sophist sebagai pelopor teori pendidikan di Barat. Menurut Jarrett, para ahli Sophist meradikalkan pendidikan dengan cara mempopulerkan pengembaraan intelektual, menilai pentingnya retorika secara berlebihan, dan memperluas pendidikan formal kepada para remaja. Mereka akan menggunakan logika, retorika, bahasa dan sejarah untuk mempengaruhi dan memenangkan perdebatan yang mengarah pada kehidupan sekular. Richard Rorty, seorang ahli filsafat moden yang cukup berpengaruh, mengungkapkan prinsip ahli Sophist yang baru tentang ilmu pengetahuan, bahwa hakikat ilmu adalah tidak memiliki hakikat.

Pemikiran Sopist

Xenophanes (550 SM) seorang Sophist terbesar abad itu, ia lahir di pesisir Yunani (Kolophon, Ionia) Asia Kecil, ia mengatakan; “Kebenaran yang pasti, tak seorangpun tahu, tak akan ia tahu, entah tentang dewa-dewa atau tentang segala hal yang ku katakan, kalaupun harus mengungkapkan kebenaran terakhir, ia sendiri tidak mengetahuinya, sebab segalanya hanya dugaan demi dugaan belaka” Kata katanya yang lain berkaitan dengan dewa-dewa; “Kata orang Ethopia, dewa-dewa berhidung pesek berkulit hitam. Kata orang Thracia, dewa-dewa berambut merah. Andai sapi dan kerbau atau kuda atau singa memiliki tangan dan dapat menggambar, dan dapat membuat patung. Maka kuda akan menggambarkan dewa-dewa mereka seperti kuda. Sapi dan kerbau akan mengambarkan dewa-dewa mereka seperti kerbau. Masing-masing akan membuat dewa-dewa seperti bentuk tubuh mereka sendiri”

Herakleitos (540 SM) ia berasal dari Efesus, sebuah kota di pesisir sama dengan Miletos. Masa kejayaannya pada awal abad 6 SM. Ada dua dictum yang membuatnya terkenal. Yang pertama; kesatuan hal-hal yang bertentangan. Kata Herakleitos, “Jalan naik ke bukit dan jalan turun dari bukit bukanlah dua jalan berbeda dengan arah berbeda, melainkan merupakan jalan satu dan sama.” “Herakleitos muda dan herakleitos tua bukanlah dua individu yang berbeda.” Dictum yang kedua; Realitas pada dasarnya tidak stabil. Segalanya adalah flux, aliran, yang terjadi terus menerus sepanjang waktu. Tidak ada sesuatupun di dunia ini yang terus ada seperti adanya sekarang. Segalanya terus berubah sepanjang waktu. Berbagai hal muncul dengan berbagai cara, dan tidak pernah sama dalam dua titik waktu, hingga akhirnya mereka lenyap.

Protagoras (480 – 411 SM) seorang tokoh Sophist yang paling terkenal terutama karena dictumnya “Human is measure of all things” ia lahir di Abdera, kota kelahiran Demokritus, ia menulis buku On the Gods buku itu dimulai dengan kalimat ”Perihal dewa-dewa, saya tak tahu apakah mereka ada atau tidak, dan seperti apa wujud mereka; sebab ada banyak hal yang mengelak dari pengetahuan yang pasti, ketidakjelasan persoalan karena singkatnya hidup manusia” namun kata-kata yang melambungkan namanya adalah “manusia adalah ukuran segalanya, jika manusia mengganggapnya demikian maka demikianlah adanya, jika tak demikian maka tak demikian pula” doktrin ini kemudian ditafsirkan bahwa setiap manusia adalah ukuran segala sesuatu, dan jika manusia saling berbeda pandangan maka tak ada kebenaran objektif sesuai dengan mana yang benar dan mana yang salah.

Gorgias (483 – 376 SM) juga seorang Sophist, pikiran yang terutama sekali adalah yang berkaitan dengan ketidak mampuan manusia untuk mengetahui, menjelaskan, dan memahami kebenaran. Ia mengatakan “benda itu tidak ada, dan jika ada, kita tidak dapat mengetahuinya; dan seandainya kita dapat mengetahuinya, kita tidak dapat menyampaikan informasi tentang pengetahuan itu”

Pyyrho (360 – 270 S) seorang Sophist yang pernah menjadi serdadu dalam pasukan Aleksander, dan pernah bertugas bersama pasukan itu sampai ke India. Pekerjaan itu rupanya telah cukup memberinya banyak pengalaman akan beragam manusia dan pikirannya. Konon ia mengatakan (sebab dengan pintarnya ia tidak menulis satupun buku) “Mustahil terdapat landasan rasional apapun untuk memilih rangkaian tindakan yang satu daripada lainnya” ini bisa diartikan bahwa seseorang bisa saja cocok dengan adat istiadat negeri manapun yang ia tempati.

Dari pemikiran tokoh-tokohnya, secara sistematis pemikiran Sophist dapat dikatagorikan sebagai berikut;

1. Kelompok al-lā adriyyah (Agnostic)
Kelompok Sophist jenis ini selalu ragu-ragu tentang keberadaan sesuatu sehingga menolak kemungkinan seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan (knowledge/certainty). Orang yang seperti ini, pada gilirannya juga akan meragukan sikapnya yang serba meragukan keberadaan segala sesuatu. Istilah yang demikian kemudian dikenal dalam Islam sebagai al-lÉ adriyyah, Disebut dengan demikian karena mereka selalu bilang tidak tahu (lÉ adrÊ, “saya tidak tahu”)

Dalam terminology filsafat Barat; al-lÉ adriyyah adalah mereka yang memiliki faham agnostic, pengertian agnostisisme adalah; keyakinan bahwa mustahil untuk membuktikan ada atau tidak adanya Tuhan. Pengertian yang lainnya adalah; keyakinan akan ketidak mampuan untuk memahami atau memperoleh pengertian, terutama pengertian Tuhan dan tentang asas-asas pokok Agama dan filsafat. Agnostisisme juga diartikan sebagai ajaran yang secara keseluruhan atau sebagian menyangkal kemungkinan untuk mengetahui Alam semesta.

2. Kelompok al-‘indiyyah (Relativ)
Mereka yang selalu bersikap subyektif. Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok ini menerima kemungkinan Ilmu pengetahuan dan kebenaran. Tetapi menolak tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran. Bagi mereka, tujuan ilmu pengetahuan dan kebenaran adalah subjektif (indÊ, yaitu “Menurut saya”), bergantung pada pendapat masing-masing.
Relativisme sendiri kemudian menjadi ajaran yang dianut hampir oleh seluruh filosof barat. Ajaran ini menyatakan bahwa semua kebenaran adalah relative. Relativisme etis berpendapat bahwa tidak terdapat kriteria absolut bagi putusan-putusan moral. Menghubungkan kreteria putusan dengan kebudayaan individual, yang memperlihatkan perbedaan perbedaan individual. Joseph Fletcher menganggap moralitas suatu tindakan relative terhadap kebaikan tujuan tindakan itu.

3. Kelompok al-‘inādiyyah, (Skeptic)
Kelompok Sophist yang keras kepala, yang menafikan realitas segala sesuatu (haqaiq al-asyya) dan menganggapnya sebagai fantasi (Awham) dan hayalan semata-mata. Para Sophist dengan pandangan ini tidak akan pernah dapat menjelaskan kedudukan mereka. Kalaupun dapat, satu-satunya kedudukan yang sesuai untuk mereka adalah mendekonstruksi setiap wacana keilmuan.

Paham ini dalam peradaban Barat disebut dengan paham Skeptisisme, paham yang menyatakan bahwa kita tidak dapat mencapai kebenaran, dan tidak dapat mengetahui realitas. Skeptisisme melebar dari ketidak percayaan komplit serta total akan segala sesuatu ke keraguan tentative akan proses pencapain kepastian.

Pendidikan; fondasi peradaban

Pendidikan biasa dikenal di dalam khazanah Islam dengan istilah tarbiyyah, ta'lim, ataupun ta'dib seperti yang digagas Al-Attas. Posisi pendidikan begitu urgent kedudukannya dalam membentuk pribadi, masyarakat, negara, dan bahkan peradaban. Sebuah peradaban misalnya, akan diakui eksistensinya ketika eksistensi pendidikan hidup dalam bingkai masyarakatnya. Tetapi pada praktiknya ketika pendidikan terlembagakan, orientasi pendidikan menjadi beragam. Seakan ada dikotomi pendidikan agama dan non agama, keakhiratan dan keduniaan, dan sebagainya. Padahal Islam selalu menggantungkan pendidikan pada satu arah tujuan, tauhidullah. Tanpa harus mendikotomikan urusan dunia dan akhirat, justru dalam pendidikan Islam ada persepsi bahwa siapa yang menginginkan dunia, mesti dengan ilmu. Begitupun yang mendambakan kebahagian akhirat, mesti dengan ilmu. Bahkan kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus tidak akan tercapai, melainkan dengan ilmu.

Orientasi pendidikan Islam adalah membentuk pribadi beradab, bukan menjadi warga Negara dan pekerja yang baik. Syed Muhammad Naquib Al-Attas menjelaskan dalam bukunya Islam and Secularism, 1978, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk menanamkan kebaikan dan keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga Negara ataupun anggota masyarakat. Oleh karena itu menurutnya, yang mesti ditekankan adalah nilai manusia sejati, yaitu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab dirinya kepada Tuhannya, yang menunaikan keadilan terhadap dirinya dan orang lain. Sebaliknya yang menjadi orientasi bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi Negara, masyarakat, dan dunia.
Disinilah bedanya bagaimana Islam dan Barat memandang nilai sebuah pendidikan. Pendidikan ala Barat yang hari ini dominan diaplikasikan, lebih mengarahkan pendidikan sebagai alat mobilisasi sosial-ekonomi individu dan negara. Para siswa maupun orang tua pun terjangkit penyakit diploma (diploma disease), yakni usaha dalam meraih suatu gelar pendidikan, bukan karena kepentingan pendidikan, melainkan karena nilai-nilai ekonomi dan sosial. (Roger Dale, The Diploma Disease: Education, Qualification, and Development, 1976).

Maka realitas yang terjadi, Peradaban Barat alpa memandang nilai luhur ilmu sebagai pembangun kepribadian bermoral. Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, guru besar pendidikan dan pemikiran Islam dari Universitas Islam Internasional Malaysia, mencatat kisah Demonsthenes, seorang filosof Yunani, yang mengungkap pandangan kaum cendekiawan yang pintar menjustifikasi amalan bejat: ”Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan, gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.” (Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu; Satu Penjelasan, 2003).
Pendidikan Islam yang berpijak kepada al-Qur'an dan al-hadits meletakkan dasar-dasar yang khas tentang berbagai aspek kehidupan, mulai dari masalah ekonomi, sosial, politik, hukum, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Seluruhnya tidak sebatas berorientasi duniawi, tetapi ukhrawi juga diutamakan. Dalam bidang sosial misalnya, pendidikan Islam menggariskan sistem sosial yang didasarkan atas kesetaraan sebagai hamba Allah, bukan atas perbedaan suku, ras, golongan, bahasa, warna kulit, pangkat, keturunan, harta, dan sebagainya. (QS. 49: 13). Bidang politik, Islam mencita-citakan Negara yang dipimpin orang yang adil, jujur, amanah, dan kredibel. Sehingga dalam praktiknya, ia tidak menyalahgunakan kekuasaannya, menciptakan kemakmuran rakyatnya, serta mendengar dan memperhatikan hati nurani masyarakat yang dipimpinnya. (QS. 16: 90).

Dalam bidang ekonomi, Islam menginginkan keadaan ekonomi yang didasarkan pada pemerataan, anti monopoli, saling menguntungkan, tidak saling merugikan seperti penipuan, pencurian, dan lainnya. (QS. 59: 7). Begitupun dalam aspek lainnya, dimana nilai-nilai keislaman terintegrasikan dalam pribadi yang menjunjung nilai-nilai moralitas keagamaan.

Semua itu tergambar dalam cermin pendidikan Nabi saw., sahabat, dan ulama salaf terdahulu dalam mengemban dakwah dan tarbiyyah ummat. Pendidikan yang berlandaskan wahyu dengan tujuan pembentukan kepribadian berakhlak Islami, juga merupakan tujuan utama pengutusan Rasul saw. Beliau bersabda: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak." (HR. Ahmad: 8595, Malik: 710).

Pendidikan sebagai representasi tradisi ilmu merupakan tonggak utama pembangunan sebuah peradaban. Sejarah membuktikan bagaimana dominasi sebuah peradaban yang kaya dengan tradisi ilmu mempengaruhi dan menjadi idola peradaban lainnya. Hal ini terlihat dalam untaian sejarah kejayaan Islam yang pernah menjadi trendsetter selama kurun waktu hampir 700 tahun. Semenjak kepemimpinan Nabi saw., Khulafā' al-Rasyidūn, Bani Umayyah, Bani 'Abbasiyyah, sampai kepada Turki Osmani. Semua itu terjadi ketika tradisi keilmuan sangat ramai dikumandangkan, karena tuntunan Rasul saw. pun mengarahkan kepada urgensi pendidikan di dalam Islam.

Konsentrasi Rasul saw. telah memberikan motivasi para sahabatnya dalam membudayakan ilmu. Bahkan para sahabat dikenal sebagai orang-orang yang haus ilmu. Di awal pengangkatan Muhammad sebagai rasul, saat itu pula ia memerintahkan untuk menghapal wahyu yang turun secara berangsur-angsur (baca: Al-Qur'an), sekaligus menuliskannya. Tradisi baca tulis pun ramai diminati, disamping hapalan Al-Qur'an yang menajamkan intelegensi masyarakat Islam. Baca tulis juga dijadikan pelajaran wajib bagi anak-anak muslim waktu itu, dimana tebusan tawanan perang Badar disaratkan kepada tawanan untuk mengajarkan baca tulis.

Rasulullah menugaskan Abdullah bin Said bin al Ash untuk mengajarkan tulis menulis di Madinah. Beliau juga memberi mandat Ubadah bin al-Shamit mengajarkan tulis-menulis ketika itu. Bahkan Ubadah pernah diberi hadiah panah dari salah seorang muridnya setelah mengajarkan tulis-menulis kepada Ahli Shuffah. Saad bin Jubair berkata: ”Dalam kuliah-kuliah Ibn Abbas, aku biasa mencatat di lembaran. Bila telah penuh, aku menuliskannya di kulit sepatuku, dan kemudian di tanganku. Ayahku sering berkata: ”Hapalkanlah, tetapi terutama sekali tulislah. Bila telah sampai di rumah, tuliskanlah. Dan jika kau memerlukan atau kau tak ingat lagi, bukumu akan membantumu.” (Mustafa Azami, 2000).

Kecintaan sahabat terhadap ilmu dimotivasi pemahaman mereka terhadap Al-Quran yang mendorong untuk mengoptimalkan akal dan pikiran. (Lihat misalnya QS. 2: 73, 242, 6: 151, 12: 2, 24: 61, 40: 67, 43: 3, 57: 17). Ibnu Taimiyah mencatat banyak sahabat yang tinggal di asrama untuk mengikuti madrasah Rasulullah. Menurutnya, orang yang tinggal di dalam suffah (asrama tempat belajar) mencapai 400 orang. Menurut Prof Azami, Rasulullah mempunyai 65 sekretaris yang bertugas menulis berbagai hal khusus. Termasuk didalamnya Zaid bin Tsabit yang juga Rasul saw. perintahkan untuk mempelajari bahasa Ibrani dan suryani, supaya menjadi interpreter bahasa asing.

Semangat Rasul saw. dan para sahabat dalam menjunjung tinggi pendidikan dan budaya ilmu, diikuti generasi setelahnya. Jabir bin Abdullah misalnya, hanya untuk mencari dan mendapatkan satu hadits saja, ia menempuh perjalanan selama satu bulan dari Madinah ke Arisy di Mesir. Begitupun Ahmad bin Hambal, ia menempuh perjalanan sampai ribuan kilometer hanya untuk mencari satu hadits saja. Padahal disamping konsentrasi menuntut ilmu, ia juga bertani untuk bekal hidupnya. Imam al-Bukhari menulis kitab Shahih-nya selama 16 tahun dan selalu shalat dua rakaat setiap kali menulis satu Hadis, serta berdoa meminta petunjuk Allah. Imam Nawawi (w. 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’, dan Syarah Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar delapan cabang ilmu dari subuh sampai larut malam. Ibn al-Jauzi mempunyai karya tulis yang menjadi pegangan keilmuan umat lebih dari seribu judul.
Dengan kondisi gila ilmu itulah, kaum muslimin periode awal mendulang kejayaan luar biasa. Keniscayaan itu pula yang akan mengembalikan superioritas umat Islam di depan dunia, meninggalkan peradaban Barat dan lainnya yang cenderung mengorientasikan pendidikan sebagai sarana meraih kemapanan ekonomi dan sosial saja.