بسم الله الرحمن الرحيم

Minggu, 28 Desember 2008

POLIGAMI, Boleh Gak..?

Teringat kejadian 2006, ketika Aa Gim poligami. Kejadian itu tidak jauh dari moment perceraian Dewi Yul dengan suaminya dan kasus selingkuh dan video porno Yahya Zaeni (anggota DPR) dan Maria Eva (artis dangdut).

Mungkin bisa diambil hikmah atas kejadian tersebut, ketika kasus perselingkuhan (baca: perzinahan) Yahya Zaeni dan Maria Eva di blow up media. Waktu itu Maria mengadukan dan membeberkan kejadian zinanya. Terlepas dari apa yang jadi orientasinya, Maria Eva yang artis, yang pezina, yang membuka aibnya sendiri dengan prilaku tidak beradabnya menangis seperti 'korban bencana alam', 'korban penganiayaan', 'korban HAM', dan 'korban lainnya'. Kasus amoral itupun mewarnai infotainment di TV berhari-hari. Akhirnya Maria Eva (artis pezina) pulang ke kampung halaman disambut meriah masyarakat bak 'pahlawan'.

Dewi Yul yang menggugat suaminya cerai, karena tidak menerima untuk dimadu (poligami) dengan alasan keadilan. Dewi berargumen, "bukan masalah mau atau tidak mau, tapi saya masih mampu melayani suami saya. Saya juga tidak yakin kalau suami saya poligami, dia bisa adil." Begtulah kira-kira Dewi Yul beralasan. Cukup logis dan mungkin bisa diterima.

Lain lagi dengan Aa Gim yang seorang ustadz kenamaan dan sohor dengan tablighnya yang simpel, sederhana, dan berisi. Posisinya sebagai seorang ustadz merepresentasikan beliau tahu tentang agama. Posisinya sebagai bisnisman sukses menunjukan beliau cukup dalam harta. Statusnya sebagai suami (teh Ninih: istri pertama) diakui keshalihan, keluhuran budi, kemapanan, dan keadilan suaminya oleh istri pertamanya itu. Bahkan dalam beberapa acara pengajian, seringkali Aa Gim dapat sms atau surat, yang isinya kesediaan seorang perempuan untuk jadi istri kedua, ketiga, dan seterusnya. Tapi sesering itu pula Aa Gim menanyakan istrinya yang pertama akan kesiapan itu. Akhirnya, Aa pun berpoligami dengan satu direktur perusahaan yang ditanganinya. Itupun dengan argumentasi dan landasan yang sangat kuat, khawatir akan fitnah dan lain sebagainya. Tetapi apa yang terjadi terhadap Kyai muda ini? Presiden turun tangan angkat bicara soal poligami diikuti mentri-mentrinya, khususnya mentri pemberdayaan perempuan. Bahkan sampai merayap ke wacana amandemen UU perkawinan. Aktifis perempuan, LSM perempuan, dan media pun berjama'ah mencerca Aa. Tetapi beliau pun tenang tidak emosi dengan kondisi itu. Bahkan keluarganya pun tenang setenang wajah Aa. Sungguh luar biasa. Sekarang dapat kita saksikan bagaimana buah dari keteguhan iman seorang Aa, yang tadinya ketika rame-ramenya poligami Aa dihebohkan, sekarang Aa terlihat lebih mantap. Daarut-tauhid –pesantrennya- yang tadinya sedikit banyak ditinggalkan, sekarang ramai dengan aktifis-aktifis yang solid. Subhanallah.

Menanggapi kejadian ironis diatas, sungguh perlu kiranya kita mendudukan poligami secara proporsional. Jangan bicara nafsu, nanti keliru. Jangan bicara perasaan, nanti cemburu. Dudukkan hukumnya dalam syari'at, posisikan momentnya dalam bingkai keluarga, maslahat buat masyarakat dunia dan akhirat.
Hukum poligami adalah mubah, bukan sunat apalagi wajib. Kalau wajib, niscaya yang tidak poligami akan celaka (baca: mendapat siksa). Andaikan sunat, niscaya orang yang tidak poligami rugi karena tidak dapat pahala. Jadi hukum dasarnya adalah mubah, sebagaimana pendapat para 'Ulama.

Para imam yang empat, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, rahimahumullah, sepakat bahwa poligami itu mubah. (Lihat Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV: 206-217 (Beirut : Darul Fikr, 1996) yang membahas tentang pembagian nafkah dan bermalam kepada para isteri (mabahits al-qasm bayna al-zawjat fi al-mabit wa al-nafaqah wa nahwihima).
Taqiyuddin an-Nabhani, pendiri Hizbut-Tahrir menyatakan, "harus menjadi kejelasan, bahwa Islam tidak menjadikan poligami sebagai kewajiban atas kaum muslimin, bukan pula suatu perbuatan yang mandub (sunnah) bagi mereka, melainkan sesuatu yang mubah, yang boleh mereka lakukan jika mereka jika mereka berpandangan demikian."(Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam. 129).

Abdurrahim Faris Abu Lu’bah mengatakan, "masalah menikah dengan lebih dari satu isteri menurut para fuqaha, adalah ketentuan syariah yang sudah tetap (syar’un tsabit) dan sunnah/jalan yang diikuti (sunnah muttaba’ah). Dan tidaklah ada keanehan dalam masalah ini, hingga mereka tidak berbeda pendapat sama sekali dalam hukum ini, meskipun mereka berbeda pendapat pada kebanyakan bab dan masalah fikih. Sebab hukum ini didasarkan pada dalil qath’i tsubut (pasti bersumber dari Rasulullah) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) dan tidak ada lapangan ijtihad padanya…" (Abdurrahim Faris Abu Lu’bah dalam kitabnya Syawa`ib al-Tafsir fi al-Qarni al-Rabi’ ‘Asyara al-Hijri hal. 360)

Ibnu Hazm menyatakan bahwa para ulama sepakat bahwa apabila seorang muslim menikahi maksimal empat orang perempuan sekaligus maka hukumnya halal. (Ibnu Hazm, Maratib al-Ijma', hal. 62) (Lihat Ariij Binti Abdurrahman As-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami), [Jakarta : Darus Sunnah Press, 2006], hal 41)

"Maka nikahilah oleh kalian wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat." (QS. 4: 3)

Imam Suyuthi menjelaskan bahwa pada ayat di atas terdapat dalil, bahwa jumlah isteri yang boleh digabungkan adalah empat saja (fiihi anna al-‘adada alladziy yubahu jam’uhu min al-nisaa’ arba’ faqath) (Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 59).

Berkenaan dengan ayat diatas ada riwayat bahwa Urwah bin Zubair RA bertanya kepada
‘Aisyah tentang ayat QS. 4: 3,

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat pada tidak berbuat aniaya." (QS. 4: 3)
Maka ‘Aisyah menjawab,"Wahai anak saudara perempuanku, yatim di sini maksudnya anak perempuan yang ada di bawah asuhan walinya yang hartanya bercampur dengan harta walinya, dan harta serta kecantikan yatim itu membuat pengasuh anak yatim itu senang kepadanya lalu ingin menjadikan perempuan yatim itu sebagai isterinya. Tapi pengasuh itu tidak mau memberikan mahar (maskawin) kepadanya dengan adil, yakni memberikan mahar yang sama dengan yang diberikan kepada perempuan lain. Karena itu pengasuh anak yatim seperti ini dilarang mengawini anak-anak yatim itu kecuali kalau mau berlaku adil kepada mereka dan memberikan mahar kepada mereka lebih tinggi dari biasanya. Dan kalau tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan kawin dengan perempuan-perempuan lain yang disenangi." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, an-Nasa`i, dan at-Tirmidzi) (Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunah (terj), VI/136-137).

Hadits diatas menjelaskan bahwa syari'at poligami didasarkan sebab pengasuhan anak. Tetapi sebab yang khusus tidak menjadi dasar hukum, karena yang dijadikan pijakan adalah lapadz umum, sebagaimana kaidah ushul fiqh,
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب

Yang menjadi pegangan adalah keumuman lapadz, bukan kekhususan sebab

إذا ورد لفظ العموم على سبب خاص لم يسقط عمومه

Jika terdapat bunyi redaksional yang umum karena sebab yang khusus, maka sebab yang khusus itu tidaklah mengugurkan keumumannya (Abdul Qadir Ad-Dumi tsumma Ad-Dimasyqi, Nuzhatul Khathir Syarah Raudhatun Nazhir wa Junnatul Munazhir, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 1995], Juz II hal. 123)

Hal tersebut terlihat dalam sebuah hadits diriwayatkan, bahwa Nabi saw. berkata kepada Ghailan bin Umayyah ats-Tsaqafy yang telah masuk Islam, sedang dia punya sepuluh istri, "Pilihlah empat orang dari mereka, dan ceraikan yang lainnya." (HR. Malik, an-Nasa'I, dan ad-Daruquthni).

Diriwayatkan pula dari Harits bin Qais berkata kepada Nabi SAW,"Saya masuk Islam bersama-sama dengan delapan isteri saya, lalu saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW maka beliau bersabda,"Pilihlah dari mereka empat orang." (HR Abu Dawud). (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid VI/139).
Yang menjadi pijakan dalam poligami adalah adil, sebagaimana ayat "dan jika kamu khawatir tidak berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja..". Adil bukanlah syarat poligami, tapi justru kewajiban. Syarat barang tentu mesti dilakukan sebelumnya, sebagaimana wudhu sebagai syarat sholat. Mana mungkin kita akan adil kalau nikahnya saja belum. Tetapi kalau setelah nikah mesti adil, bukan syarat lagi, tetapi kewajiban.

Kemudian ada ayat yang menyatakan,
"Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian." (QS. 4: 129).
Apakah ayat ini menasakh ayat sebelumnya yang menekankan adil dalam berpoligami (QS. 4:3)?

Adil dalam QS. 4: 3 adalah dalam urusan nafkah dan mabit (giliran bermalam). Nafkah berarti memenuhi sandang, pangan, dan papan. Mabit berarti menemani dan berkasih sayang, baik jima' atau tidak (Lihat Syaikh Abdurrhaman Al-Jaziry, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah Juz IV, hal. 206-217).

Sedang adil dalam QS. 4: 129 menunjukan kepada rasa cinta (kecenderungan hati). Hal ini tidak mungkin sama. Imam Suyuthi menukil pendapat Ibnu Abbas RA, bahwa "adil" yang mustahil ini adalah : rasa cinta dan bersetubuh (al-hubb wa al-jima’) (Lihat Imam Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, [Kairo : Darul Kitab Al-Arabiy, t.t.], hal. 83).

Memahami penjelasan singkat diatas, mungkin kita bisa mengistinbatkan poligami dalam beberapa hal:

1. Poligami adalah salah satu syari'at dalam Islam. Mengingkarinya, berarti mengingkari kesyumulan Islam
2. Poligami hukumnya mubah, bukan sunat, bukan wajib
3. Adil bukan syarat poligami, tapi kewajiban dalam berpoligami
4. QS. 4:3 dan 4: 129 tidak bertentangan. Yang pertama menjelaskan adil dalam nafkah dan mabit. Yang kedua, adil yang tidak mungkin dilakukan dalam kecenderungan hati (cinta)
5. Poligami maksimal 4 istri sesuai QS. 4: 3
6. Poligami adalah syari'at untuk suami yang mampu, mapan, dan mumpuni dalam materi, fisik, terlebih lagi agama. Sebagaimana haji hanya bagi yang mampu saja. Bedanya kalau haji wajib, sedang poligami sunat
7. Poligami adalah solusi masalah umat dari dekadensi moral, sebagaimana barat yang notabene melarang poligami, tetapi seakan melegalkan perselingkuhan (baca: berzina)
8. Poligami solusi bagi masalah individu. Ada sebagian suami yang lebih dalam materi dan syahwat secara bersamaan
9. Poligami solusi bagi masalah sosial, karena perbandingan jumlah laki-laki dan wanita yang berbeda. Katanya sekarang saja 1:6
10. Poligami menyambung keturunan dan memperkuat jaringan Islam

Mungkin bukan masalah mau dan tidak mau yang mesti muncul ketika ada yang bertanya apakah kita sebagai seorang suami mau berpoligami, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, kesiapan seorang suami, baik mental, materi, dan kebijakan (keilmuan). Mungkin inilah yang menjadi syarat bagi yang akan poligami. Yang bisa konkrit menilai hal itu, tidak lain adalah seseorang yang dekat dengannya (baca: Istri), kira-kira suaminya ini siap (mampu, mumpuni) nggak?!

Kedua, sejauh mana seorang suami telah mendidik istri dan anak-anaknya dalam menikmati syari'at. Seandainya istri yang paham akan agamanya, insyaAllah tidak akan menolak syari'at kalau tidak menimbulkan mafsadat.

Ketiga, izin seorang istri. Mengapa penting, karena syari'at mempunyai tujuan kemashlahatan. Mana mungkin menjalankan syari'at, kalau toh nantinya menimbulkan madharat yang besar. Meskipun demikian, yang namanya resiko pasti akan ada. Tetapi sejauh mana skala prioritas dan asas perbandingan mashlahat dan mafsadat harus diperhatikan. Apalagi istri pertama, katanya cintanya tak tergantikan, bener gak? Wallahu a'lam. Ada yang bilang, Nabi saw tidak berpoligami selama 25 tahun pernikahannya dengan Siti Khadijah karena beliau istri pertama. Makanya, kalau istri pertama jangan di poligami. Ana kurang setuju kalau istri pertama jangan dimadu dijadikan landasan hukum, karena pernikahan Nabi saw adalah perintah Allah. Tapi jadi pertimbangan penting, khususnya untuk ana dalam mengukur kemashlahatan berkeluarga, insyaAllah. Bahkan, seandainya...sekali lagi seandainya, bukan mau lho..seandainya berpoligami, ana mau istri ana yang memilihnya. Walaupun disisi lain, nikah tanpa izin istri pun sah.

Keempat, tuntutan dakwah. Kondisi dan situasi yang menuntut itu terjadi. Kalau untuk dakwah, apapun itu, kalau ana mampu, insyaAllah ana lakukan sepanjang jauh dari kemudharatan dan dekat dengan mashlahat.

Minggu, 07 Desember 2008

Keselamatan Ahli Kitab

Mempertanyakan Keselamatan Ahli Kitab
(Analisa Kritis Tafsir surat Qs. 2: 62)


Klaim pluralisme agama makin bersemangat ketika menemukan legitimasi ayat yang seolah-olah mendukung “paham syirik” itu. Tampaknya, Qs. al-Baqarah [2]: 62 menjadi ayat pavorit bagi kaum pluralis untuk menjebak kaum Muslimin bahwa bukan hanya Islam agama yang benar. Ahli Kitab pun punya hak keselamatan yang sama di akhirat. Tak heran jika kemudian pentolan pluralis pun berbondong-bondong menguatkan klaim itu.

Syafi’i Ma’arif, misalnya, di Republika (21/11/2006) menurunkan tulisan yang amat ganjil. Menurutnya, setiap agama, baik Yahudi, Nasrani, Shabi’in, bahkan yang tidak beragama sekalipun akan menemui keselamatan, asalkan berbuat kebajikan. Di sini, standar keselamatan itu adalah “kebajikan”

Lain lagi dengan Kautsar Azhari Noer. Dosen UIN Jakarta ini, dalam pelatihan Jaringan Islam Kampus (JARIK) Garut menyatakan bahwa dengan kebajikan universal, dalam semua agama terdapat keselamatan.

Ayat yang selalu dipelintir dan dipaksakan sesuai dengan konsep barat oleh pengusung dan pengasong liberalisme yang menjadi korban globalisasi dan westernisasi tersebut adalah QS.2:6 tersebut di atas,
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani,dan orang shabi'in, siapa saja (diantara mereka) yang bermian kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.

Sejatinya, orang beriman pada ayat di atas memiliki beberapa pendapat. Pertama, orang-orang yang beriman kepada Isa as. yang hidup sebelum Muhammad saw. diutus. Ada yang sempat bertemu Rasul, mengimaninya, dan berlepas diri dari kebatilan Nasrani dan Yahudi, ada pula yang tidak sempat bertemu. (Al-Baghawi, Tafsir al-Baghawi, 1993, 1: 46). Kedua, orang munafik yang mengaku beriman. (Al-Zamakhsyari,al-Kasysyaf, 1995, 1:,148, Al-Nasafy, Tafsir al-Nasafiy, 2001, 1:57). Ketiga, orang-orang yang beriman dengan benar kepada Nabi Muhammad saw (Al-Qurtubi, 1:358, Al-Thabari, 1992, 1: 358). Keempat, mencakup orang yang memeluk Islam, baik mukhlis ataupun munafik (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baydhawi, 1998, 1: 66).

Orang Yahudi adalah pemeluk agama Yahudi (Al-Tibrisi, 1: 258). Menurut al-Zajjaj, secara bahasa kata haadu berarti taba (bertaubat) (Al-Jawzi al-Qurasy, 1987: 78). Dinamai Yahudi karena mereka pernah bertaubat dari menyembah anak sapi. Menurut Ibn Jarir, Abu Hatim, dan Ibn Mas’ud pemberian nama ini karena mereka berkata: Inna hudnaa ilaika (QS.7:156) (Al-Syaukani, Fath al-Qadir, 1:119).

Nashara adalah bentuk plural dari nashraniy. Mereka adalah pengikut Nabi Isa as. Penamaan tersebut disandarkan kepada nama tempat dimana Maryam pernah tinggal tatkala membawa Nabi Isa as ketika masih bayi, yaitu Nashirah atau Nazaret. Termasuk penamaan ini karena diantara mereka ada pengikut setia Isa as. yang siap menjadi para penolong Allah (anshar Allah) yang dalam Al-Qur’an disebut dengan al-Hawariyyun (QS.3: 52).

Sedangkan shabi’ien adalah bentuk plural dari shabi’un. Mereka adalah orang-orang yang menyembah bintang. Secara bahasa artinya keluar atau pindah. Ada yang mengatakan mereka pindah dari agama Yahudi dan Nasrani, dan menyembah Malaikat (Al-Syaukani, 1997, 1: 204, Al-Qurtubi, 1995, 1: 432-433. dan M. Ali Ash-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, 2002, 1: 51).

Para ulama sepakat bahwa Yahudi dan Nasrani adalah Ahli Kitab. Tapi berbeda pendapat dalam Shabi’in. Al-Suddiy, Ishaq bin Rahawaih, dan Ibn Mundzir mengatakan bahwa mereka adalah Ahli Kitab. Sementara al-Khalil menyatakan bahwa mereka sebagai syibh al-Nashara (semi Nasrani), cuma kiblatnya tidak sama. Dan Mujahid, Al-Hasan, dan Ibn Abi Najih mengatakan agama mereka antara Yahudi dan Nasrani. Dan al-Qurtubi menyimpulkan mereka adalah yang mengimani Allah, tapi percaya pengaruh bintang (Al-Qurtubi, 1995, 1: 435). Karena ayat tersebut berbicara mengenai berbagai kepercayaan agama, maka al-shabi’in bisa dikatakan representasi dari agama paganis dan lainnya.

Secara zahir, ayat tersebut menjelaskan bahwa orang yang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in akan selamat selama mereka beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh. Pertanyaannya adalah: Apakah benar klaim yang menyatakan bahwa semua agama (sebagaimana direpresentasikan ayat di atas) akan sama-sama memperoleh keselamatan?

Menafsirkan ayat ini, penting diperhatikan dalam beberapa hal. Pertama, melihat sibak (ayat yang mendahului), siyaq (konteks), dan lihaq (ayat yang kemudian) ayat. Pada tataran sibaq, ayat ini didahului oleh ayat tentang kemurkaan Allah kepada Bani Israil (Yahudi) karena pengingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar. Begitupun sisi lihaq, ayat setelahnya menjelaskan pelanggaran Yahudi akan aturan Allah. Pada sisi asbab an-nuzul, menurut riwayat Abu Hatim dari Salman, berhubungan dengan pertanyaan Salman mengenai teman-temannya yang mengimani Taurat sebelum datang Rasul. Nabi saw menjawab: Mereka di neraka. Salman berkata: ”Gelap gulitalah bumi bagiku. Kemudian turun ayat ini, maka terang benderanglah dunia bagiku (Al-Syaukani, 1: 13-14).

Jadi ayat di atas berbicara dalam konteks sebelum bi’tsah (pengutusan Muhammad saw). Adapun setelah bi’tsah, Ahli Kitab merupakan ikon (simbol) dari orang-orang yang diberi kitab, tetapi melanggar dan melakukan tahrif (penyimpangan) terhadap ayat-ayat Allah. Sebagaimana firman Allah,

”Wahai ahli Kitab, mengapa kamu mencampuradukkan yang benar dengan yang palsu, dan kamu menyembunyikan yang benar sedang kamu mengetahuinya?” (QS. 3:71).
Ayat yang semakna dapat ditemukan pada 3:19, 4:47, 4:131, 3:187, 2:101, 2:146, 3:69, 3:72, 3:78, 3:100, 5:5, 3:23, 4:51, 13:36, 4:44, 3:71, 3:98, 3:99, 4:171, 5:77, 3:110, 5:62, 5:66, 5:68, 7:169, 2:105, 2:109, 5:59, 5:65, dan 98:6.

Kedua, kesesatan Nasrani sebagai Ahli Kitab ditunjukan oleh sebuah riwayat al-Bukhari dan Muslim tentang surat Nabi saw kepada raja Romawi Heraklius yang beragama Nasrani. Di dalam surat itu disebutkan, “Maka sesungguhnya aku mengajakmu kepada seruan Islam. Masuk Islam lah, niscaya engkau akan selamat dan Allah akan memberikan kepadamu pahala dua kali lipat. Tetapi jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau (berdosa) dan akan menanggung dosa rakyatmu.” Kemudian beliau SAW mengutip firman Allah 3: 64).

Ketiga, manusia yang hidup setelah Nabi diutus, tetapi tidak mengimani Rasul, maka Rasul saw nyatakan sebagai penghuni neraka kelak. Sebagaimana sabda Rasul saw dalam riwayat Muslim, ”Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka." (HR.Muslim). Disamping itu, ada hadits yang menyatakan, "Andaikata saudaraku Musa hidup (saat ini), tentu beliau tidak keberatan kecuali mengikutiku." (HR. Ahmad dan al-Bazzar).

Keempat, dalam QS.2:208 dikatakan,
”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kedalam Islam secara keseluruhan dan janganlah mengikuti langkah-langkah Syetan. Sungguh ia musuh nyata bagimu."

Asbab an-nuzul ayat tersebut terkait dengan Ahlul Kitab seperti dikatakan Ibn Abbas. Al-Thabari mengutip hadits, “Telah menceritakan kepada kami al-Qasim, dia berkata: ‘Telah menceritakan kepada kami al-Husen, dia berkata: telah menceritakan kepadaku Hajjaj, dari Ibn Juraij dari Ikrimah, firmannya, "Masuklah kalian secara keseluruhan." Dia berkata: Turun kepada Tsa’labah, Abdullah bin Salam, Ibn Yamin, Asad dan Usaid anak Ka’ab, Sya’bah bin ‘Amr, dan Qais bin Zayd, semuanya dari Yahudi. Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang kami agungkan, maka izinkan kami merayakannya. Taurat adalah kitab Allah, maka izinkan kami amalkan di malam hari. Maka turunlah ayat tersebut (Al-Thabari, 2003, 2: 400).

Jadi, sangat gamblang bahwa hanya Islam yang memiliki konsep keselamatan (Lihat, QS.3:19, 85) dan yang lainnya akan celaka selama masih berpegang teguh kepada agamanya masing-masing. Ahli Kitab sebelum bi’tsah akan selamat selama mereka berpegang kepada kitabnya tersebut. (Lihat, QS.5: 68). Tetapi setelah bi’tsah, maka kewajiban mereka untuk taat dan mengimani Rasul adalah syarat utama keselamatan mereka, disamping iman kepada Allah dan Rasul-Nya. Wallahu a’lamu bi al-shawab.

Daden Robi Rahman, peserta Pendidikan Kader Ulama (PKU) di Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS), Gontor, Jawa Timur, utusan PERSIS Garut.

Ijtihad Pluralis

Ijtihad Nikah Beda Agama ala Kaum Pluralis

Salah satu ‘ijtihad’ kaum pluralis adalah “mengubah” konsep dan hukum kawin beda agama alias kawin campur. Jika ulama salaf mengharamkan –berdasarkan ijma’ –bahwa seorang Muslimah haram menikah dengan non-Muslim, kaum pluralis justru sebaliknya. Menurut mereka, pendapat ulama klasik itu tidak toleran dan ketinggalan zaman. Maka, perlu ada ‘ijtihad’ baru, yang lebih kontekstual dan humanis.

Dalam buku Fiqih Lintas Agama, misalnya, jelas-jelas ditulis: “Namun, bila pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita non-Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, bagaimana dengan yang sebaliknya, yaitu pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik Kristen, Yahudi atau agama-agama non-semitik lainnya? Memang, dalam masalah ini terdapat persoalan serius, karena tidak ada teks suci, baik Al-Qur’an, hadis atau kitab fiqih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharîh. Yang ada justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah s.a.w. bersabda, “kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanit kami (Muslimah). Khalifah Umar ibn Khatthab dalam sebuah pesannya, “Seorang Muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.” (Mun’im A. Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta, 2004: 164).

Lebih lanjut, tentang pernikahan seorang wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim, penulis buku Fiqih Lintas Agama ‘berijtihad’: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya. (ibid: 164).

Menurut Imam al-Syirazî, seorang Muslim diharamkan untuk menikahi seorang wanita kaum kafir yang tidak memiliki “kitab”, seperti kaum pagan, juga orang-orang murtad dari Islam, beradasarkan firman Allah s.w.t. ‘wa laa tankihul musyrikât hattâ yu’minna’ (Qs. 2: 221) (Syeikh Imam Abu Ishâq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fayrûz Abâdî al-Syîrâzî, al-Muhadzdzab fî Fiqh al-Imâm al-Syâfi‘î, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, ttp.), 2: 44).

Selain Yahudi dan Nasrani, yakni Ahli Kitab, seperti yang beriman kepada kitab Zabur nabi Dawud a.s. dan Shuhuf nabi Syîts, maka hukumnya “tidak halal” bagi seorang Muslim untuk menikahi wanita-wanita merdeka mereka juga budak-budaknya. (Ibid.) Mazhab Imam Syafi‘i dalam hal ini saja sangat keras. Karena seorang Muslim yang menikahi wanita-wanita Ahli Kitab –apa lagi non-Ahli Kitab—memiliki dampak negatif, terutama dalam keluarga dan masyarakat. (Humaidhi ibn Abdul Aziz ibn Muhammad Al-Humaidhi, Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?: Kupas Tuntas Polemik Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga Beda Agama Menurut 4 Mazhab, terjemah: Mutsanna Abdul Qahhar dan Wahyuddin, (Solo: al-Tibyan, cet. I, 2007: 48-50).

Ini adalah “ijtihad” ngawur dan salah kaprah. Menurut al-Qaradhawi, itu adalah bentuk mazâliq al-ijtihâd al-mu’âshir (ketergelinciran ijtihad kontemporer). Pernikahan seorang Muslim dengan wanita Ahli Kitab (al-kitâbiyyah) tidak bisa disamakan dengan seorang Muslimah menikah dengan seorang laki-laki Ahli Kitab (al-kitâbî). Padahal perbedannya sangat mencolok. Seorang Muslim mengakui dasar agama seorang kitâbiyyah. Sehingga, dia menghormatinya, memelihara haknya dan tidak ‘menyita’ aqidahnya. Sedangkan seorang kitâbî tidak mengakui agama sang Muslimah, tidak mengimani kitabnya (baca: Al-Qur’an) dan tidak mengakui nabinya (Muhammad s.a.w.). Bagaimana mungkin seorang Muslim dapat hidup di bawah ‘payung’ seorang laki-laki yang tidak memandang hak apapun dari istrinya, yang notabene sebagai Muslimah? Pernyataan mereka bahwa Al-Qur’an hanya mengharamkan kaum wanita musyrik (al- musyrikât) dan kitâbiyyât yang tidak musyrikat, dibatalkan oleh ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Jika kalian mengetahui mereka (para wanita itu) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang (suami-suami mereka) yang kafir. Mereka (para wanit itu) tidak halal baginya, dan dia tidak halal bagi mereka.” (Qs. 60:10).

Di sini, hukum itu dibentuk berdasarkan “kekafiran” (al-kufr), bukan atas “kemusyrikan” (al-syirk), dimana Allah s.w.t. menyatakan, “...jangan kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Jika pengambilan hukum (al-’ibrah) lewat kemuman lafaz, maka lafaz “al-kuffâr” (orang-orang, suami-suami kafir), di sini mencakup seorang kitâbî dan seorang pagan (al-watsanî: penyembah berhala). Maka, siapa yang tidak beriman kepada risalah Muhammad s.a.w. maka –menurut hukum-hukum dunia—adalah kafir, tanpa diperdebatkan. (Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihâd al-Mu‘âshir, bayna al-Indhibâth wa al-Infirâth, (Kairo: Dar al-Tawzi‘ wa al-Nasyr al-Islâmiyyah, 1994: 58-59).


Dalam Islam, seorang Muslim dibolehkan mengawini wanita Ahli Kitab (kitâbiyyah). Tetapi “haram” hukumnya seorang wanita Muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim. Dalam hal ini tidak ada “ijtihâd” lagi. Ijmak ulama sudah menyatakan hal demikian. (Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, op.cit,: 39-39).

Tidak hanya itu. Sampai hari ini agama Katolik pun belum bisa menerima kawin campur secara jujur. Karena masalah ini menjadi masalah serius dalam tubuh Gereja. Menurut BR. Agung Prihartana, MSF masalah pendidikan iman anak dalam keluarga kawin campur memang merupakan persoalan yang sangat rumit dan dilematis.

Karena itulah Gereja Katolik pernah mengangkat permasalahan ini dalam pertemuan para Uskup sedunia, yang membahas doktrin tentang perkawinan, selama masa persiapan Konsili Vatikan II (1959-1960). Ternyata persoalan ini menjadi topik hangat dalam pertemuan para Uskup tersebut. Beberapa Uskup dari Afrika memohon kepada Takhta Suci, hak untuk menyatakan tidak sahnya sebuah perkawinan campur dan hal menolak memberikan dispensasi bagi pasangan kawin campur beda agama, jika pihak non-baptis menolak memenuhi kewajiannya mendidik anak-anak mereka dalam iman Katolik. Sementara para Uskup Amerika meminta Takhta Suci untuk tidak mudah memberikan dispensasi bagi pasangan kawin campur beda agama, karena perkawinan ini akan sangat merugikan pihak Katolik. (BR. Agung Prihartanan, MSF, Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga Kawin Campur Beda Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2007: 6-7 Agung mengutip pernyataan Gereja tersebut dari Acta et Documenta Concilio Oecumenico Vaticano II, 1960-1969, vol. II, bab V, hlm. 40).

Jadi, Gereja melihat bahwa kawin campur adalah masalah serius dalam tubuh Gereja. Maka sangat aneh jika ada intelektual Muslim yang mencoba untuk mengusung dan “mengasong” budaya kawin campur ini. Bukan saja tidak mendapat legitimasi hukum fiqh, juga tidak mendapat legitimasi dari kaum Kristen (baik Katolik maupun Protestan) yang menjadi sasaran ide ini. Lebih detil Agung mencatat: “Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1917 mulai membedakan secara yuridis istilah kawin campur beda Gereja (mixta religiosa) dan kawin campur beda agama (disparitas cultus). Namun demikian kitag hukum gerejawi ini tidak membedakan secara khusus bentuk pelayanan pastoral terhadap kedua perkawinan campur tersebut, khususnya berkenaan dengan persyaratan untuk mendapatkan izin bagi perkawinan mixta religiosa dan dispensasi bagi perkawinan disparitas cultus dari ordinasi wilayah. Tentang kawin campur disparitas cultus, KHK tahun 1917 menyatakan secara tegas bahwa perkawinan antara orang yang telah dibaptis di dalam Gereja Katolik atau yang sudah bertobat dari bidaah atau skisma dengan non-baptis dianggap tidak ada (null). (ibid: 11)


Dalam masalah pendidikan iman anak dalam kasus kawin campur, Gereja Katolik memiliki dua dokumen penting. Pertama, instruksi tentang perkawinan campur, Matrimonii Sacramentum dari kongregasi untuk urusan iman. Kedua, surat apostolik Matrimonia Mixta dari Paulus VI, yang mana keduanya menjabarkan keadilan dan ketetapan dalam mengajukan persyaratan untuk memperoleh dispensasi dari halangan perkawinan beda agama. Kedua dokumen tersebut menegaskan bahwa hanya pihak Katoliklah yang mempunyai kewajiban dan tanggungjawab berat untuk mempertahankan kesetiaan dalam iman Katolik dan membaptis serta mendidik anak-anaknya dalam iman Katolik. (ibid: 22-23).

Paus Paulus VI mengingatkan bahwa pihak Katolik sebisa mungkin membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman Katolik. Pernyataan Paus Paulus VI inilah yang kemudian dirumuskan dalam KHK yang baru dengan kalimat “memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam Gereja Katolik”. (ibid: 23).

Ini sungguh dilematis. Dan Kaum pluralis tidak melihat ini. Yang mereka inginkan hanya “merusak” konsep perkawinan Islam yang sudah mapan. Adalah absurd jika sasaran kawin campur justru menolak untuk bersikap jujur dan adil. Jika objek kawin campur saja menolak, untuk apa kaum pluralis capek-capek mengusung “ijtihad batil” mereka?

Hidup dan Sepak bola

HIDUP DAN SEPAK BOLA
Oleh: Daden Robi Rahman


Jutaan pasang mata menyaksikan pertandingan sepak bola dunia. Fenomena ini bergulir setiap empat tahun sekali. Tetapi, suguhan media TV yang menayangkan berbagai liga di dunia, baik liga Italia, Ingris, Spanyol, Jerman, dan yang lainnya, tidak menyurutkan jumlah penonton yang menyaksikan pertandingan olahraga tersebut, terlebih di Indonesia.

Lebih dari empat puluh ribu penonton memadati stadion Gelora Bung Karno yang hanya berkapasitas empat puluh ribu tempat duduk dalam setiap laga pertandingan sepak bola di Indonesia, apalagi kalau pada laga final jarum super atau liga Indonesia. Lebih dahsyat dari itu, stadion Bernabou Spanyol kandangnya klub kenamaan Spanyol Real Madrid ataupun stadion Old Trapord kandang setan merah Manchester United (MU) Inggris yang mempunyai kapasitas jauh lebih banyak dari gelora bung Karno, tidak menjadi sepi dari penuhnya para supporter dan pecinta bola yang memadati stadion tersebut.

Yang tidak punya kesempatan nonton langsung di lapangan hijau pun tidak ketinggalan untuk menyaksikan pertandingan kesebelasan favoritnya. Meskipun harus mengorbankan waktu tidurnya di tengah malam karena biasanya pertandingan langsung di stasiun televisi tayang sekitar jam 1 atau 2 malam.

Sepakbola sebagai representasi olahraga yang paling disenangi, patut ditafakuri, diambil hikmah, dan dijadikan bahan perenungan untuk mendekatkan hamba kepada Tuhan-Nya.

Dalam ilmu antropologi manusia di sebut juga dengan homodudent yang berarti makhluk bermain. Manusia terlahir untuk bermain, bukan untuk main-main, apalagi dipermainkan. Allah berfirman,

"Dan tidaklah kehidupan dunia ini kecuali permainan belaka".( al-An'am:32)

Tidak salah kalau Ahmad Albar dalam lagunya melantunkan, 'dunia ini panggung sandiwara'. Setiap orang memainkan perannya masing-masing. Ada yang jadi presiden, anggota DPR, tentara, petani, jadi suami, istri, majikan, pembantu, dan lainnya. Semuanya mesti diterima sebagai given yang tak terbantahkan untuk diingkari.

Maka wajar kalau banyak manusia menyukai sepak bola, karena sepak bola merupakan jenis konkrit dari sebuah permainan. Permainan yang menyuguhkan penampilan, intrik, emosi, dan gambaran kehidupan lainnya. Maka antara hidup dan sepak bola merupakan dua hal yang sarat berkait.

Beberapa unsur yang ada dalam sepakbola seperti pemain, bola, wasit, penonton, dan lain sebagainya menarik untuk kita kaji sebagai analogi hidup.
Pemain
Seorang pemain dituntut untuk bermain ketika sudah memasuki lapangan dan peluit tanda dimulai ditiup wasit. Beberapa hal yang mesti diperhatikan pemain sepakbola. Pertama, mengetahui aturan main sepakbola seperti menendang bola, menyundul, stop dada dan lainnya tanpa menggunakan tangan. Tanpa mengetahui aturan ini, katakanlah dia malah membawa atau memukul bola dengan tangan, tidaklah dikatakan dia sedang bermain, tetapi justru main-main. Begitupun dengan hidup, ketika memasuki lapangan dunia, kita dituntut bermain dalam bentuk penghambaan kepada Allah swt (baca: ibadah) dengan syarat mutlak tahu aturan Allah dalam hidup.

"Dan tidaklah Aku (Allah) menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah (bermain)."(Adz-Dzariyat:56)

Maka menjadi keniscayaan seorang Muslim untuk mencari ilmu, terlebih ilmu agama. Tanpa mengetahui aturan hidup, dia akan dipermainkan kehidupan, bukan memainkan kehidupan. Bukan mendapat pahala, malah justru mendapat siksa. Cape bekerja tanpa upah berharga. Rasul bersabda,

"Barang siapa yang beramal tanpa ada perintah dan contoh dari kami, maka amalan tersebut tertolak."

Kedua, seorang pemain dituntut bermain seindah mungkin supaya mendapat kepercayaan teman sekawan, disegani lawan, dan pujian penonton. Hidup dengan ibadah yang shahihah akan menuai pahala dari Allah swt, kepercayaan sesama, kharisma dan pujian di tengah masyarakat. Allah berfirman,

"(Allah) yang telah menciptakan mati dan hidup untuk menguji siapa di antara kalian yang paling bagus amalnya (mainnya)."(Al-Mulk:2)

Ketiga, mengetahui siapa kawan, siapa lawan. 22 pemain di lapangan, bukan kawan semuanya, bukan lawan seluruhnya. Hanya sebelas yang menjadi kawan kita, selebihnya ingin menghancurkan gawang kita. Pengetahuan kawan lawan, akan mengkondisikan sistematisnya penyerangan dalam melumpuhkan lawan. Dalam hidup ada ikhwan (kawan), ada 'aduwwan (musuh). Firman Allah swt.,

"Muhamad rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap lemah lembut kepada orang-orang yang beriman dan bersikap keras kepada orang-orang kafir."(Al-Fath:29)

Sesama kawan saling bantu menggolkan gawang lawan, menggentarkan musuh untuk meninggikan kalimat Allah.,

"Dan tolong menolonglah kalian dalam jalan kebaikan dan taqwa serta janganlah kalian tolong menolong dalam jalan dosa dan permusuhan." (Al-Maidah:2)
Keempat, sabar dan tenang. Pemain yang buruk akan mendapat teguran teman sekawan, dipermainkan lawan, dan dicemooh penonton. Pemain yang bagus akan mendapat pujian. Tetapi sebagus-bagusnya pemain dunia, seperti Zineddin Zidane tetap saja kritikan teman, lawan, penonton, apalagi komentator akan terus datang.

Luqmanul Hakim ketika mengajak anaknya melakukan perjalanan, beliau membawa kuda. Ketika melewati sebuah kampung, Luqman naik di atas kuda dan anaknya dibawah menuntun kuda. Sontak ada penduduk kampung berteriak, 'orang tua macam apa anda ini, kok anda enak-enakan di atas kuda, anak anda yang lemah menuntun kuda'. Seketika Luqman menyuruh anaknya naik ke atas kuda dan dia pun menuntunnya. Melewati kampung kedua, seorang warga berkata, 'anak macam apa yang tidak menghormati orang tuanya, dia enak duduk diatas kuda, bapaknya terhina menuntun kuda'. Bergegas kembali Luqman merubah posisinya dengan menyuruh anaknya duduk berdua bersama diatas kudanya. Kampung ketiga dilewatinya, tiba-tiba warga kampung bareng-bareng memaki mereka berdua, 'woi..kasihan tuh kuda, udah kecil, lemah, malah ditunggangi bareng-bareng. Dasar manusia tidak berperikebinatangan'. Keempat kalinya Luqman berpikir, lalu diputuskan untuk menyuruh anaknya turun dan sama-sama menuntun kudanya. Kapung keempat sudah dekat kelihatan, teriakan pun begitu jelas terdengar dari orang-orang kampung itu, 'dasar manusia bodoh, tidak punya otak. Ngapain bawa kuda kalau gak ditunggangi'. Luqman pun menghela nafas. Akhirnya Luqman mengajak anaknya duduk dan memberikan pelajaran hikmah dari perjalanannya. Intinya, dalam hidup seburuk dan sebaik apapun kita, akan tetap mendapat penilaian beragam dari orang-orang. Dipuji, dicela, disanjung, dan dicemooh adalah realita kehidupan yang akan dijalani. Allah berfirman,

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan" (al-Anbiya': 35)

Rasul bersabda,

"Seorang mukmin yang bergaul dengan masyarakat dan sabar akan celaan mereka, lebih tinggi derajatnya dari mukmin yang tidak bergaul dengan masyarakat dan tidak pula sabar dari celaan mereka." (HR. Tirmidzi)

Bola
Kulit bundar yang selalu dipermainkan, ditendang, disundul, dibuang sana, buang sini menjadi karakter tersendiri dari sebuah bola. Kenyataan yang dialami bola sungguh tidak nyaman. Manusia pun mungkin ada yang selalu dipermainkan orang, dilecehkan, dihina, dan direndahkan. Banyak alasan yang menyebabkan hal itu, bisa kurangnya harta, rendahnya kedudukan, dan yang paling penting kurangnya iman dan ilmu. Allah berfirman,

"Dan janganlah kamu merasa hina dan sedih karena kamu adalah orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman."(Ali Imran: 139).
"Allah akan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mempunyai ilmu."(AL-Mujadilah: 11).

Penonton
Adalah orang-orang yang berada di luar lapangan yang memberi semangat kepada tim kesayangannya, tetapi kadang mengkritiknya bahkan memaki dan menjelek-jelekkan pemain maupun wasit yang tidak sepaham dan turut keinginannya walaupun dia sendiri tidak bermain dan tidak bisa bermain. Karakter inipun kadang kadang bahkan banyak diminati dan dimiliki manusia dalam hidupnya. Dia hanya bisa berteriak menyuruh dan menasehati, tetapi dia sendiri tidak melakukannya. Karakter penonton seperti ini sangat dibenci Allah,

"Sangatlah di benci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (As-Shaff: 3).

Pemain, bola, dan penonton menjadi analogi menarik dalam kehidupan manusia. Karena hidup tak lepas dari orang yang bermain, dipermainkan, dan hanya main-main saja. Jadi bahan renungan, saat ini dimana kita sedang memainkan peran. Apakah sebagai pemain, bola, atau penonton.

Yang jelas, mumpung waktu masih tersisa, walau tak tahu kapan tiba. Usaha perlu dilakukan sekuat tenaga. Karena seperti ungkapan Ali bin Abi Thalib, 'barangsiapa hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dia adalah orang celaka. Hari ini sama dengan hari kemarin, dia orang yang rugi. Hari ini yang lebih baik dari hari kemarin, dialah orang yang beruntung berbahagia'.

Waktu dalam main bola hanya 2x45 menit. Hidup pun terbatas waktu. Bahkan lebih rumit dari sepakbola, hidup tak kita ketahui kapan akan berakhir. Waspadalah...waspadalah...