بسم الله الرحمن الرحيم

Kamis, 27 November 2008

Waria dan "Ulama"

WARIA DAN "ULAMA"
Daden Robi Rahman


Arus liberalisasi pemikiran Islam mengayun berjalan dengan dinamis. Salah satu produk kebanggaanya, faham feminisme dan gender menghasilkan "ijtihad" bahwa homoseksual, baik gay, lesbian, atau pun waria adalah realitas yang mendapat legalitas agama, –meminjam istilah Musdah mulia- sesuatu yang "given" atau dalam bahasa fiqih disebut sunnatullah. (Musdah Mulia, Islam Agama Rahmat Bagi Alam dalam Majalah Tabligh, Muhammadiyyah, Mei, 2008).

Kebebasan dan Hak Asasi Manusia menjadi dasar argumentasi terwujudnya sesuatu yang menentang agama dan kodrat itu. Wacana yang sudah berkembang di negara berpenduduk Islam terbesar ini, menjadi proyek pemasaran budaya barat yang berseberangan dengan wahyu yang menjunjung moral. Sebuah peradaban yang menjadikan realitas sebagai hukum hidup yang disebut empirisisme. Kampanye besar-besaran pun terkoordinasi dengan dukungan penuh media cetak atau pun televisi yang menggembar-gemborkan dagangan barat.

Tayangan televisi yang didominasi hiburan berbau sinetron telah membentuk prilaku masyarakat. Dari anak-anak sampai orang tua sangat menikmati tayangan penghibur nafsu, pembangkit syahwat, pembentuk pola pikir hedonis, dan syarat kepentingan pemilik kekuasaan.

Tidak aneh ketika sebuah sinetron selalu diwarnai peran waria, bahkan kurang menarik kiranya ketika sosok "cewek" berbasis cowok ini tidak ada dalam sinetron. Pada akhirnya, pelan tapi pasti image waria yang negative di masyarakat, menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan.

Baru-baru ini, tepatnya 26 Juli 2008 warga pesantren mesti merasa tertampar ketika mendengar dan menyaksikan sebuah "pesantren" di Notoyudan, kecamatan Ngampingan, Jogyakarta berdiri dengan santri 100% waria, didirikan oleh seorang waria, dan dikepalai waria pula.

Maryani, waria 48 tahun , mantan ketua Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) pencetus sekaligus pemimpin "ponpes" senin kamis waria satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia. Berawal dari keikut sertaannya dalam pengajian KH. Hamrolie Harun MSc di Pathuk, Jogyakarta sepuluh tahun silam. Gagasan mendirikan "pesantren" waria pun muncul dan terlaksana. Sosok KH. Hamrolie tak luput dari pendirian "pesantren" ini dan bahkan beliau mengirim murid-muridnya sebanyak 25 ustadz untuk mengajar di "pesantren" ini. (Surya, 16/11/2008).

Namun orientasi pesantren jadi bias ketika sang pencetus dan pemimpin "pesantren" yang konon telah begitu lama menggeluti dunia pengajian KH Hamrolie masih tetap betah dengan status waria meskipun naik jabatan jadi pemimpin "pesantren". Terlebih dia katakan sebagaimana dikutif Koran Surya 16/11/08 bahwa sebagai waria senior Maryani memiliki pengalaman hidup yang panjang. Termasuk keluar malam alias mencari pelanggan laki-laki hidung belang, mulai dari Yogyakarta, Semarang, Surabaya (kawasan ketabang kali), Solo (kawasan lapangan Manahan), hingga ke Jakarta (Taman Lawang). Pengalamannya itu memberikan toleransi kepada "santri" dipondoknya belum dapat meninggalkan buruk "keluar malam". Dia katakan, "Biar saja masih keluar malam meskipun mereka sudah menjadi santri disini.."

Tujuan mulia pesantren mengarahkan orang berlaku normal dan beradab bergeser jauh menjadi sarana legalisasi prilaku terlaknat waria. Sebuah riwayat hadits mengatakan,

Rasulullah saw. telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad).

Kharisma "Kyai Haji" dan "ustadz" pun perlu dipertanyakan, dengan waktu sepuluh tahun membina pengajian dan membantu pendirian dan pengajaran "santri" waria dibawah orientasi bias pesantren. Mana yang patut disalahkan, apakah kyai yang membina atau waria yang seakan dicetak jadi "kyai"? Apakah waria yang butuh pembinaan atau malah kyainya yang butuh pengajaran orientasi pesantren?

Sebelumnya invasi liberalisme barat ini pun menjadi-jadi di Indonesia, ketika negara ini sudah dua kali mengadakan miss waria Indonesia. Yang pertama berlangsung tertutup dan dijaga ketat puluhan aparat kepolisian Resort Jakarta Pusat dan Kepolisian Sektor Menteng.

Ahad 26 Juni 2008, komunitas banci, bencong, waria, atau wadam berani menggelar hajatan gede-gedean dalam acara pemilihan Miss Waria Indonesia 2005 kedua di Gedung Sarinah Lt. 14, Jakarta. Sebanyak 30 waria dari berbagai daerah mengikuti kontes ini. Mereka menunjukkan kebolehan masing-masing seperti bernyanyi, menari, dan tentunya berperilaku plus berdandan seperti wanita. Olivia, kontestan dari Jakarta, akhirnya terpilih sebagai Miss Waria Indonesia 2005 . Penyematan mahkota langsung dilakukan Miss Waria Indonesia 2004 Megi Megawati. Menurut ketua dewan juri Ria Irawan, salah satu penilaian adalah kesempurnaan fisik peserta yang menyerupai wanita. ( Liputan 6, 27/06/05 ).

Merlyn Sopjan, seorang penulis buku Jangan Lihat Kelaminku . Waria lulusan Institut Teknologi Nasional Malang ini pernah mencalonkan diri sebagai anggota legislatif Kota Malang mewakili Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia pada 2003. Waria "cantik" kelahiran Kediri ini bahkan dianugerahi gelar Doktor HC dari Northern California Global University Amerika karena keterlibatannya sebagai aktivis sosial HIV/AIDS. Ketua Ikatan Waria Malang yang pernah menjadi Ratu Waria Indonesia 1995 ini akan mengikuti kontes Miss Internasional Waria di Thailand November mendatang. ( Suara Merdeka, 12/05/2005 ).

Shunniyah Ruhama Habiballah, Sekjen Yayasan Putri Waria Indonesia, waria berkerudung (atau sengaja dikerudungin untuk mengesankan simbol islami?) menulis buku berjudul Jangan Lepas Jilbabku . Waria ini adalah alumni UGM Yogyakarta jurusan sospol dengan predikat cum laude dalam waktu 3 tahun 40 hari. Di Polewali, Agustus lalu, dia menggelar ajang putri-putrian versi waria. Acara Top Model Waria ini merupakan turunan kegiatan dari Yayasan Putri Waria Indonesia.

Di Yogyakarta, kelompok waria melakukan aksi menuntut kesetaraan orientasi seksual dan identitas gender. Aksi yang dilakukan Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan dan Diskriminasi ini, menolak segala tindak kekerasan dan bentuk diskriminasi maupun stigma yang berbasis orientasi seksual dan identitas gender pada Rabu (13/8/08).

Belasan orang yang menutup wajahnya dengan kain hitam itu berunjuk rasa di depan Gedung Agung (Istana Negara) Yogyakarta. Di leher mereka tergantung poster yang bertuliskan `homo seksual bukan kriminal`, `homo seksual bukan penyakit jiwa`, dan `homoseksual = HAM`. Mereka menuntut perlakuan sama dengan lainnya, seperti penerimaan bekerja di sektor formal.

Menjelang hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-63, digelar aksi tanding voli antara kaum ibu dan waria di Samarinda. Untuk menarik perhatian, pawai bencong dan lomba-lomba dengan mengenakan pakaian wanita juga digelar.
Realitas yang menghenyak hati menunjukan begitu jauh umat ini dari tuntutan agama. Tidak salah kiranya, berabad-abad lalu Rasul saw. mengatakan bahwa Islam datang dengan asing diterima masyarakat dan akan kembali asing menjelang kiamat, walau umat ini masih berteriak mengaku umat Nabi Muhammad saw.

Islam telah jauh hari dari A sampai Z telah menegaskan bahwa Islam tidak memberikan tempat untuk waria sebagai representasi homoseksualitas. Di dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa praktik homoseks merupakan satu dosa besar dan sanksinya sangat berat. Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.'' (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.
Laknat Rasul saw, pun telah begitu jelas termaksud bahwa waria tidak punya lahan dalam Islam,

Rasulullah saw. telah melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan para wanita yang menyerupai para lelaki. (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ahmad).

Dengan melegalkan eksistensi waria, maka keberlangsungan manusia untuk tumbuh berkembang mempunyai keturunan pun terhambat. Islam pun datang dengan tujuan menjaga keturunan (hifzh an-nasl) supaya manusia selalu berada pada rel fitrahnya.

Begitupun dengan rawannya penyakit yang akan ditimbulkan dari kegiatan free sex abnormal yang selalu terdengar dari kaum “cewek” berbasis cowok ini menjadikan resah masyarakat. Dengan mengidap penyakit seperti ini, tidak menutup kemungkinan tersebarnya penyakit yang belum ditemukan obat mujarrabnya sampai kini –HIV aid-.

Anak-anak pada khususnya dan masyarakat pada umumnya yang menjadi pengonsumsi media televisi yang selalu disuguhi tayangan sinetron, komedi, reality show yang tidak luput dari peran-peran waria yang menarik untuk ditonton dan mengundang gelak tawa akan menjadi korban empuk kampanye waria, ketenaran menjadi waria, dan kemudahan mencari uang menjadi waria.

Kepentingan barat dalam menginvasi Islam di jalur pemikiran kentara terlihat dengan berbagai media yang dimiliki, televisi yang dikuasai, dan modal materi yang luar biasa. Gerakan mereka para waria begitu sistematis dipasarkan dengan berbagai event pertunjukan. Beberapa hal menguatkan asumsi ini dan proyek barat ini begitu terkesan terbentuk kokoh di masyarakat.

Pertama , setelah keberadaan mereka dipopulerkan televisi dalam sinetron atau iklan komersil, masyarakat jadi penasaran pengen tahu banyak dengan kehidupan waria. Dari asal-usulnya, suka-dukanya, kesehariannya, sampe masa depan mereka. Liputan tentang diskriminasi terhadap waria dikemas sedemikian rupa untuk memancing emosi dan perasaan kasian pemirsa. Ujung-ujungnya, informasi seputar waria yang disuguhkan lebih diarahkan kepada legalisasi waria di mata masyarakat.

Kedua , maraknya ekspos media terhadap waria menjadi cara yang jitu yang dilakukan musuh-musuh Islam untuk mengalihkan perhatian masyarakat dari kampanye penerapan syariat Islam yang tengah gencar di berbagai daerah di nusantara ini. Aktivitas amar makruf nahyi munkar pun terlupakan. Masyarakat semakin cuek dengan berbagai permasalahan yang muncul akibat diterapkannya sistem sekuler. Jika dibiarkan, boleh jadi negeri kita akan semakin liberal dan mungkin suatu saat nanti legalisasi perkawinan sejenis nggak cuma terjadi di Belanda, Spanyol atau Kanada. Tapi juga di negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini.

Menjadi kewajiban setiap muslim untuk merubah segala bentuk kemunkaran. Hari ini betapa banyak PR yang mesti diselesaikan untuk membumikan ketenangan dan kenyamanan yang membuahkan kemaslahatan dunia akhirat. Setiap orang dituntut untuk merubah kemungkaran tersebut sesuai dengan kemampuannya. Seandainya kita hanya punya kemampuan seperti jari kelingking, maka manfaatkan jari kelingking tersebut untuk mengorek kuping supaya terbebas dari kotoran didalamnya, mengorek kotoran yang ada didalam hidung, ataupun hanya untuk menggaruk. Yang penting ada gerakan untuk mengubah kondisi lebih baik. Rasul saw bersabda,

من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وهو أضعف الإيمان

”Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Kalau tidak mampu, maka dengan lisannya. Kalau tidak mampu, maka dengan hatinya. Tetapi merubah kondisi kemungkaran dengan lisan menunjukan lemahnya iman.”

Ancaman diamnya kita terhadap kemunkaran itupun akan mengundang bencana. Maka tidak aneh sampai hari ini, bangsa tercinta kita selalu dilanda bencana tak berkesudahan. Rasul bersabda,

ما ترك قوم الأمر بالمعروف و النهي عن المنكر إلاّ عامتهم الله العذاب

”Tidaklah suatu kaum meninggalkan amar makruf nahyi munkar,kecuali Allah akan menghinakan kaum tersebut dan menurunkan adzab kepada mereka.”

Terlebih Ulama sebagai sosok kharismatik masyarakat Islam, mesti lebih sistematis membina masyarakat dengan kadar keilmuan yang memadai dan mengejewantahkannya dalam pribadi bermoral istimewa. Karena tuntuna al-Qur’an menjelaskan bahwa Ulama bukan hanya sekedar mempunyai banyak ilmu, tapi yang lebih penting mempunyai rasa takut (khauf/khasyyah) kepada Allah swt. Allah swt. berfirman,

إنما يخشى الله من عباده العلماء

”Sesungguhnya dari hamba-hambanya yang takut kepada Allah adalah Ulama..”

Selasa, 18 November 2008

LIBERALISME VS AGAMA TAUHID

LIBERALISME VERSUS AGAMA TAUHID

Liberalisasi menyerang berbagai bidang kehidupan masyarakat, dari politik, ekonomi, sosial, informasi, moral, sampai agama. Kerusakan yang terjadi pada berbagai bidang, tidak separah akibat yang ditimbulkan dari liberalisasi agama. Dalam Islam, agama merupakan sumber pemberangkatan dan rujukan dari politik, social, dan moral itu sendiri. Begitupun tak beda jauh dengan agama yang lain, meskipun jelas tidak sama.

Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini Liberal Judaism menjadi aliran resmi Yahudi. Kristen pun menjadi korban liberalisasi peradaban barat. Sebuah buku yang ditulis Herlianto – seorang aktivis Kristen asal Bandung – berjudul Gereja Modern, Mau Kemana? (1995) memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai sekulerisme, modernisme, liberalisme, dan klenikisme.

Kaum Kristen sejak lama menyadari benar akan bahaya ini. Dalam pertemuan misionaris Kristen se-dunia di Jerusalem tahun 1928, mereka menetapkan sekulerisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen. Dalam usaha untuk mengkristenkan dunia, Gereja Kristen bukan hanya menghadapi tantangan agama lain, tetapi juga tantangan sekularisme. (It was made clear that in its efforts to evangelize the world, the Christian Church has to confront not only the rival claims of non-Christian religious system, but also the challenge of secularism). Pertemuan Jerusalem itu secara khusus menyorot sekularisme yang dipandang sebagai musuh besar Gereja dan misinya, serta musuh bagi misi Kristen internasional.Lihat Tomas Shivute, The Theology of Mission and Evangelism, (Helsinki: Finnish Missionary Society, 1980), hal. 42-50. Paus yang baru, Benediktus XVI, juga dikenal sebagai Paus yang konservatif dan anti-liberal. Sebelumnya, tahun 2000, dia termasuk seorang perumus penting doktrin “Dominus Jesus” yang menolak paham Pluralisme Agama dan menegaskan, jalan satu-satunya untuk menuju Bapa adalah melalui Yesus Kristus

Di Amsterdam, misalnya, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja yang dibaptis dan ke gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak terikat lagi dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Perancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katolik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja seminggu sekali.

Pada 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan, bahwa “agama sudah tidak diperlukan lagi.” Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen, hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Juga, hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu.

Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka pada pendeta atau imam Katolik. Di Jerman Barat – sebelum bersatu dengan Jerman Timur — terdapat 30.000 pendeta. Tetapi jumlah peramal (dukun klenik/witchcraft) mencapai 90.000 orang. Di Perancis terdapat 26.000 imam Katolik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000 orang.

Fenomena Kristen Eropa menunjukkan, agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilai-nilai liberalisme, sekulerisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. Misalnya, gereja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris, dalam bukunya berjudul “Homosexuality and a Pastoral Church” mengimbau agar gereja memberikan toleransi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dengan pria atau wanita dengan wanita.

Sejumlah negara Barat telah melakukan “revolusi jingga”, karena secara resmi telah mengesahkan perkawinan sejenis. Parlemen Jerman masih terus memperdebatkan undang-undang serupa. Di berbagai negara Barat, praktik homoseksual bukanlah dianggap sebagai kejahatan. Begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat tidak mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada “kesepakatan” dan “kepantasan” umum yang berlaku.

Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat. Homoseksual dianggap baik dan disahkan oleh negara. Bahkan, pada November 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual.

Liberalisasi berjalan drastis ketika menemukan keberhasilannya dalam Yahudi Kristen. Langkahnya terus mencari korban, memporakporandakan agama. Islam sebagai satu-satunya agama yang solid, bebas cacat sejarah, dan sebuah peradaban terpanjang dalam sejarah yang menorehkan kemaslahatan pembebasan penghambaan manusia terhadap makhluk kepada Allah swt, menjadi rival terberat arus liberalisasi.

Dalam konteks Indonesia, liberalisasi Islam dimulai sejak 1970-an yang dijalankan melalui tiga bidang dasar dalam Islam. Pertama, liberalisasi aqidah dengan penyebaran pham pluralisme agama. Kedua, liberalisasi bidang syari'ah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad. Ketiga, liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap al-Qur'an.

Gerakan sistemik dan metodologik liberalisasi Islam Indonesia terlihat jelas, ketika Dr. Greg Barton, dalam disertasinya di Monash University, Australia memberikan sejumlah program Islam Liberal di Indonesia, yaitu: (a) Pentingnya konstekstualisasi ijtihad, (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaruan, (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama, (d) Pemisahan agama dari partai politik dan adanya posisi non-sektarian negara. (Disertasi Greg Barton diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Paramadina, dengan judul Gagasan Islam Liberal di Indonesia. (1999:xxi).

Aqidah Islam Versus Pluralisme Agama

Islam merupakan satu-satunya agama tauhid yang eksist di dunia ini. Ketika seluruh agama yang ada berbuat syirik. Yahudi dengan pengakuan Uzair anak Allah, Kristen dengan trinitas, apalagi agama lain yang menafikan ketuhanan Allah atau yang tidak percaya Tuhan sama sekali.

Posisi iman dan ketauhidan dalam Islam merupakan pondasi segala amal dan kebaikan. Tanpa keyakinan rububiyyah (Allah pencipta, pengatur, dan pemberi rizki), uluhiyyah (Allah satu-satunya tuhan yang disembah), dan asma wa sifat (Allah mempunyai nama dan sifat sempurna), maka amal apapun tak akan diterima, karena termasuk dosa syirik yang menghapuskan amalan. Sebagaimana Firman Allah,

لئن أشركت ليحبطن عملك
"Jika kamu berbuat syirik, maka terhapuslah amalmu."

Pluralisme agama adalah paham yang mengakui bahwa agama apapun dengan jalan apapun, sekalipun berbeda-beda, semuanya menuju Tuhan yang sama. Agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak. Dengan kerelativannya, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya yang paling benar dan yang lain salah.

Charles Kimball mengatakan, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya sendiri. (Charles Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York: Harper San Francisco, 2002).

Paham ini pun sudah meluas di masyarakat Islam Indonesia. Terbukti telah terlahirnya 'tokoh', 'cendekiawan muslim', dan para para pemuja dan pengasong liberalisme.

Ulil Abshar Abdalla mengatakan, “Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar.” (Majalah GATRA, 21 Desember 2002). Ulil juga menulis: “Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.” (Kompas, 18-11-2002, dalam artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”,)

Budhy Munawar Rahman, penulis buku Islam Pluralis, di buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (terbitan JIL) menulis “Konsep teologi semacam ini memberikan legitimasi kepada “kebenaran semua agama”, bahwa pemeluk agama apa pun layak disebut sebagai “orang yang beriman”, dengan makna “orang yang percaya dan menaruh percaya kepada Tuhan”. Karena itu, sesuai QS 49:10-12, mereka semua adalah bersaudara dalam iman. Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah Pluralisme antar agama, yakni pandangan bahwa siapa pun yang beriman – tanpa harus melihat agamanya apa – adalah sama di hadapan Allah. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu. (Artikel Budhy Munawar Rahman berjudul “Basis Teologi Persaudaraan Antar-Agama”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: JIL, 2002), hal. 51-53).

Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, dosen UIN Yogyakarta mengatakan, jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri terdiri banyak pintu dan kamar. Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya. Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya. Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hal. 44).

Prof. Dr. Nurcholish Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap eksklusif dalam melihat Agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-Agama lain adalah bentuk implisit agama kita). Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-Agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “Agama-Agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau “Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”.
Lalu, tulis Nurcholish lagi, “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan. (Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. Xix).

Dr. Alwi Shihab menyatakan, Prinsip lain yang digariskan oleh Al Quran, adalah pengakuan eksistensi orang-orang yang berbuat baik dalam setiap komunitas beragama dan, dengan begitu, layak memperoleh pahala dari Tuhan. Lagi-lagi, prinsip ini memperkokoh ide mengenai Pluralisme keAgamaan dan menolak eksklusivisme. Dalam pengartian lain, eksklusivisme keAgamaan tidak sesuai dengan semangat Al Quran. Sebab Al Quran tidak membeda-bedakan antara satu komunitas agama dari lainnya. (Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 108-109).

Sukidi, alumnus Fakultas Syariah IAIN Ciputat yang sangat aktif menyebarkan paham Pluralisme Agama, menulis di koran Jawa Pos (11/1/2004, "banyak kebenaran (many truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan mendeklarasikan bahwa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam, Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar Pluralisme Gandhi, seperti pohon yang memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa Pluralisme Agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan, karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima Pluralisme Agama sebagai hukum Tuhan.”

Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas bahwa seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005).

Nuryamin Aini, Dosen Fak. Syariah UIN Jakarta mengatakan, "Tapi ketika saya mengatakan agama saya benar, saya tidak punya hak untuk mengatakan bahwa agama orang lain salah, apalagi kemudian menyalah-nyalahkan atau memaki-maki." (Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: JIL, 2005), hal. 223).

Relativisme Menyerang Syari'at

Paham Pluralisme Agama berakar pada paham relativisme akal dan relativisme iman. Banyak cendekiawan yang sudah termakan paham ini dan ikut-ikutan menjadi agen penyebar paham relativisme ini, khususnya di lingkungan Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, Prof. Dr. Azyumardi Azra, rektor UIN Jakarta menulis dalam sebuah buku terbitan Fatayat NU dan Ford Foundation menyatakan, “Islam itu memang pluralis, Islam itu banyak, dan tidak satu. Memang secara teks, Islam adalah satu tetapi ketika akal sudah mulai mencoba memahami itu, belum lagi mengaktualisasikan, maka kemudian pluralitas itu adalah suatu kenyataan dan tidak bisa dielakkan.” (Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam, (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), hal. 150).

M.Khairul Muqtafa pada buku yang sama, mengatakan, bahwa penafsiran atas sebuah agama (baca: Islam) sendiri tidaklah tunggal. Dengan demikian, upaya mempersamakan dan mempersatukan di bawah payung (satu tafsir) agama menjadi kontraproduktif. Dan pada gilirannya agama kemudian menjadi sangat relatif ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sosial sehari-hari. (Jakarta: Fatayat NU&Ford Foundation, 2005), hal. 58).

Manusia-manusia yang hidup dalam alam pikiran liberal dan kenisbian nilai akan senantiasa mengalami kegelisahan hidup dan ketidaktenangan jiwa. Mereka, pada hakikatnya berada dalam kegelapan, jauh dari cahaya kebenaran. Karena itu, mereka akan senantiasa mengejar bayangan kebahagiaan, fatamorgana, melalui berbagai bentuk kepuasan fisik dan jasmaniah; ibarat meminum air laut, yang tidak pernah menghilangkan rasa haus. Lihatlah kehidupan manusia-manusia jenis ini. Simaklah ucapan-ucapan mereka; tengoklah keluarga mereka; cermatilah teman-teman dekat mereka. Tidak ada kebahagiaan yang abadi dapat mereka reguk, karena mereka sudah membuang jauh-jauh keimanan dan keyakinan akan nilai-nilai yang abadi, kebenaran yang hakiki. Mereka tidak percaya lagi kepada wahyu Tuhan, dan menjadikan akal dan hawa nafsunya sendiri sebagai Tuhan. Al-Quran sudah menggambarkan sikap manusia pemuja nafsu ini,

“Maka pernahkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhan mereka, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (Allah mengetahui bahwa ia tidak dapat menerima petunjuk yang diberikan kepadanya), dan Allah telah menutup pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutup atas penglihatannya. Maka siapakah yang memberinya petunjuk sesudah Allah? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS 45:23).
Sayangnya, paham relativisme kebenaran ini sudah merupakan paham global, dan menjadi musuh semua agama. Sebab, paham ini menghancurkan keyakinan masing-masing pemeluk agama terhadap agamanya sendiri. Puluhan tahun lalu, penyair Pakistan, Dr. Moh. Iqbal sudah mengingatkan, jika manusia kehilangan keyakinan, maka itu lebih buruk dari perbudakan. “Conviction enabled Abraham to wade into the fire; conviction is an intoxicant which makes men self-sacrificing; Know you, oh victims of modern civilization! Lack of conviction is worse than slavery. (Mazheruddin Siddiqi, The Image of the West in Iqbal, (Lahore: Baz-i-Iqbal, 1964), hal. 51,71-72).
Dalam pandangan Islam, paham Pluralisme Agama jelas-jelas merupakan paham syirik modern, karena menganggap semua agama adalah benar. Padahal, Allah SWT telah menegaskan, bahwa hanya Islam agama yang benar dan diterima Allah SWT (QS 3:19); dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima oleh Allah dan di Hari Akhir nanti termasuk orang-orang yang merugi. (QS 3: 85). Dosa syirik merupakan dosa besar, kezaliman besar, dan Allah sangat murka jika diserikatkan dengan yang lain. Allah, misalnya, sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).
Keyakinan akan kebenaran ad-Dinul Islam sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah, adalah konsep yang sangat mendasar dalam Islam. Karena itu, para cendekiawan dan ulama perlu menjadikan penanggulangan paham syirik modern ini sebagai perjuangan utama, agar jangan sampai 10 tahun lagi paham ini menguasai wacana pemikiran dan pendidikan Islam di Indonesia, sehingga akan lahir dosen-dosen, guru-guru agama, khatib, atau kyai yang mengajarkan paham persamaan agama ini kepada anak didik dan masyarakat
Dekonstruksi Al-Qur'an
Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi Kitab Suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan kritik teks Bible telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Buku-buku karya Prof. Bruze M. Metzger, guru besar The New Testament di Princeton Theological Seminary, menunjukkan, bagaimana kuatnya tradisi kajian kritis terhadapTeks Bible. Begitu juga karya Werner Georg Kume, The New Testament: The History of the Investigation of Its Problem, (Nashville: Abingdon Press, 1972).
Pesatnya studi kritis Bible itu telah mendorong kalangan Kristen-Yahudi untuk “melirik” al-Quran dan mengarahkan hal yang sama terhadap al-Quran. Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap al-Qur’an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur’an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures).”
Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi al-Quran bekerja keras untuk menunjukkan bahwa al-Quran adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya, kini, imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan Muslim sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Sesuai paham pluralisme agama, maka semua agama harus didudukkan pada posisi yang sejajar, sederajat, tidak boleh ada yang mengklaim lebih tinggi, lebih benar, atau paling benar sendiri. Begitu juga dengan pemahaman tentang Kitab Suci. Tidak boleh ada kelompok agama yang mengklaim hanya kitab sucinya saja yang suci.
Maka, proyek liberalisasi Islam tidak akan lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Quran. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum Muslim, bahwa al-Quran adalah Kalamullah, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Quran yang menjelaskan tentang otentisitas al-Quran, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain. Ulil Abshar Abdalla, mantan Koordinator Jaringan Islam Liberal menulis di Harian Jawa Pos, 11 Januari 2004: “Tapi, bagi saya, all scriptures are miracles, semua kitab suci adalah mukjizat. (Jawa Pos, 11 Jan. 2004).
Salah satu program sekularisasi adalah upaya desakralisasi, termasuk dalam upaya deskralisasi al-Quran. Kaum Liberal ini menyatakan, bahwa alQuran Kitab suci. Majalah GATRA edisi 1-7 Juni 2006 memberitakan, bahwa pada tanggal 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun, dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa Fakultas Dakwah, menerangkan posisi Al-Quran sebagai hasil budaya manusia. “Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput,” ujarnya. Ia lalu menuliskan lafaz Allah pada secarik kertas sebesar telapak tangan dan menginjaknya dengan sepatu. “Al-Quran dipandang sakral secara substansi, tapi tulisannya tidak sakral,” katanya setengah berteriak
Taufik Adnan Amal, dosen Ulumul Quran di IAIN Makasar, menulis satu makalah berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, yang isinya menyatakan, Uraian dalam paragraf-paragraf berikut mencoba mengungkapkan secara ringkas proses pemantapan teks dan bacaan Alquran, sembari menegaskan bahwa proses tersebut masih meninggalkan sejumlah masalah mendasar, baik dalam ortografi teks maupun pemilihan bacaannya, yang kita warisi dalam mushaf tercetak dewasa ini. Karena itu, tulisan ini juga akan menggagas bagaimana menyelesaikan itu lewat suatu upaya penyuntingan Edisi Kritis Al-Quran. (makalah Taufik Adnan Amal berjudul “Edisi Kritis al-Quran”, dalam buku Wajah Liberal Islam di Indonesia” (Jakarta: JIL, 2002), hal. 78).
Aktivis Islam Liberal, Dr. Luthfi Assyaukanie juga berusaha membongkar konsep dasar Islam tentang al-Quran menyatakan, Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa AlQuran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma’nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan AlQuran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya), dan rekayasa. (Luthfi Assyaukanie, “Merenungkan Sejarah Alquran”, dalam Abd. Muqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal, 2005), hal. 1).
Sumanto Al-Qurtubhy, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, dalam tulisannya dia katakan,
"Di sinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan Alquran sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaring-jaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain. (Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, edisi 27/2005).
Di dalam Jurnal Justisia edisi ini, Sumanto juga menulis sebuah artikel berjudul: “Kesucian Palsu Sebuah Kitab”. Maksudnya, al-Quran bukan kitab suci, tetapi kitab suci yang palsu.
Penyerangan terhadap al-Quran di lingkungan perguruan tinggi Islam merupakan hal yang sangat menyedihkan. Dulu, beratus-ratus tahun, wacana itu hanya berkembang di lingkungan orientalis Yahudi dan Kristen. Tetapi, saat ini, suara-suara yang menghujat al-Quran justru lahir dari lingkungan perguruan tinggi Islam, yang hanya menjiplak dan mengulang-ulang lagu lama yang beratus-ratus tahun disuarakan para orientalis. Tentu, masalah ini tidak bisa dianggap sepele, sebab akan menjadi peluru gratis bagi kalangan orientalis untuk menyerang Islam. Mereka sekarang tinggal ‘ongkang-ongkang kaki’ (istrahat) dan menyaksikan kader-kadernya dari kalangan umat Islam sendiri yang aktif menyerang al-Quran. Bahkan, kadang dilakukan dengan bahasa-bahasa yang lebih vulgar dan lebih biadab dari para orientalis.
Cara yang lebih halus dan tampak akademis dalam menyerang al-Quran juga dilakukan dengan mengembangkan studi kritik al-Quran dan studi hermeneutika di Perguruan Tinggi Islam. Diantara tokoh-tokoh terkenal dalam studi ini adalah Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd dan Mohammed Arkoun. Buku-buku kedua tokoh ini sudah banyak diterjemahkan di Indonesia. Bahkan, Nasr Hamid yang terkenal dengan teorinya “al-Quran merupakan produk budaya Arab (muntaj tsaqafi) sudah memiliki sejumlah murid yang kini mengajar di sejumlah perguruan tinggi Islam di Indonesia. Salah satu murid yang dibanggakannya adalah Dr. Nur Kholish Setiawan, yang baru saja menerbitkan disertasinya dengan judul “Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar”. Buku Arkoun, Rethinking Islam, bahkan dijadikan buku rujukan utama dalam mata kuliah “Kajian Orientalisme terhadap al-Quran dan Hadits” di Program Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Padahal, dalam buku ini, Arkoun secara terang-terangan menyesalkan, mengapa para cendekiawan Muslim tidak mau mengikuti para orientalis Yahudi dan Kristen yang telah melakukan kritik terhadap Bible. Kajian hermeneutika sebagai metode tafsir pengganti ilmu tafsir klasik pun sudah menjadi mata kuliah wajib di Program Studi Tafsir Hadits UIN Jakarta dan sejumlah perguruan tinggi Islam lainnya. Padahal, metode ini jelas-jelas berbeda dengan ilmu tafsir dan bersifat dekonstruktif terhadap al-Quran dan syariat Islam. (Adian Husaini, Hegemoni Kristen dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, (Jakarta: GIP, 2006).
Dari sini, kaum muslimin mempunyai tugas berat tapi terhormat untuk selalu sigap memperjuangkan kebenaran Islam. Sensitif dengan berbagai gerakan yang menyerang Islam, karena toh mereka melakukan penyerangan dengan keras dan halus. Ali radhiyallahu 'anhu mengatakan, 'kebenaran yang tak terorganisir akan dikalahkan kebatilan yang terorganisir'.

Minggu, 16 November 2008

حسن الظن بالله

HUSNUZH-ZHAN KEPADA ALLAH SWT
Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Husnudhdhan adalah bahasa arab yang terdiri dari dua kata, husn berasal dari hasuna yahsunu berarti baik dan adh-dhan berasal dari dhanna yadhunnu berarti sangkaan. Jadi husnudh-dhan adalah berbaik sangka.

Husnudh-dhan merupakan salah satu pengejewantahan dari akhlaq karimah. Pada dasarnya Rasulullah SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabda beliau,
إنما بعثت لأتمّم مكارم الأخلاق
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak."

Sebaliknya, berburuk sangka merupakan sesuatu yang dilarang bahkan disebut sebagai sebohong-bohongnya perkataan, sebagaimana sabda Rasul SAW
إياكم و الظنّ فإن الظنّ أكذب الحديث
"Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah sebohong-bohongnya perkataan."

Husnudh-dhan adalah kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya, terlebih lagi kepada Tuhannya. Secara eksplisit mewasiatkan umatnya supaya senantiasa berhusnudh-dhan kepada Allah
"لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن بالله الظن".
"Janganlah salah seorang diantara kalian mati, kecuali dalam keadaan berhusn adh-dhan (berbaik sangka) kepada Allah."

Hadits diatas diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya pada kitab al-jannah wa shifatu na'iemiha wa ahliha bab al-amr bi husn adh-dhan billahi ta'ala 'indal maut. Dalam riwayat muslim ini tersebut sebanyak 5 jalan dengan matan yang sama, tetapi sanad yang berbeda dan satu jalan dengan sanad berbeda dan matan yang semakna. Hadits termaksud adalah sebagai berikut

(2877) حدثنا يحيى بن يحيى. أخبرنا يحيى بن ز كرياء عن الأعمش، عن أبي سفيان، عن جابر. قال:سمعت النبي صلى الله عليه وسلم، قبل وفاته بثلاث، يقول "لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن بالله الظن".
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah mengkhabarkan kepada kami Yahya bin Zakariya dari A'masy dari Abi Sufyan dari Jabir, dia berkata: Aku telah mendengar Rasul SAW bersabda tiga hari sebelum kewafatannya: "Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah."
(2877) وحدثنا عثمان بن أبي شيبة. حدثنا جرير. ح وحدثنا أبو كريب. حدثنا أبو معاوية. ح وحدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا عيسى بن يونس وأبو معاوية. كلهم عن الأعمش، بهذا الإسناد، مثله.

Dan telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Jabir tahwil dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah tahwil dan telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengkhabarkan kepada kami 'Isa bin Yunus dan Abu Mu'awiyah, seluruhnya dari A'masy dengan isnad ini dengan matan yang sama.

(2877) وحدثني أبو داود، سليمان بن معبد. حدثنا أبو النعمان، عارم. حدثنا مهدي بن ميمون. حدثنا واصل عن أبي الزبير، عن جابر بن عبدالله الأنصاري، قال:سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قبل موته بثلاثة أيام، يقول "لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل".

Dan telah menceritakan kepada saya Abu Daud Sulaiman bin Ma'bad, telah menceritakan kepada kami Abu an-Nu'man'Arim, telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun, telah menceritakan kepada kami Washil dari Abi az-Zubair dari Jabir bin Abdillah al-Anshary, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda tiga hari sebelum kematiannya: "Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah 'Azza wa jalla."

Hadits ini juga terdapat dalam sunan Abu Daud kitab al-Janaiz bab maa yustahabbu min husnidh-dhan billah 'indal maut, sunan Ibn Majah kitab az-Zuhd bab at-Tawakkul wa al-yaqin, musnad Ahmad kitab baqie musnad al-mukatstsirien bab musnad Jabir bin Abdillah.

Hadits ini dalam riwayat Abu Daud diriwayatkan dengan matan yang semakna dengan jalan sebagai berikut:

3113ـ حدثنا مسدد، ثنا عيسى بن يونس، ثنا الأعمش، عن أبي سفيان، عن جابر بن عبد اللّه قال:
سمعت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يقول قبل موته بثلاث، قال: "لايموت أحدكم إلاَّ وهو يحسن الظَّنَّ باللّه".

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami 'Isa bin Yunus, telah menceritakan kepada kami al-A'masy dari Abi Sufyan dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda tiga hari sebelum kematiannya: "Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah."

Dalam riwayat Ibn Majah dengan matan yang semakna juga dengan jalan sebagai berikut:
4167- حدثنا محمد بن طريف. حدثنا أبو معاوية عن الأعمش، عن أبي سفيان، عن؛ قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: (لا يمون أحد منكم إلا وهو يحسن الظن بالله).

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tharif telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah dari al-A'masy dari Abi Sufyan dari Jabir, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah Salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam eadaan berbaik sangka kepada Allah."

Sementara dalam musnad Ahmad kitab baqie musnad al-mukatstsirien bab musnad Jabir bin Abdillah.
حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا يحيى بن آدم حدثنا سفيان عن الأعمش عن أبي سفيان عن جابر قال:سمعت النبي صلى الله عليه وسلم قبل موته بثلاث يقول لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن بالله الظن

Telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada saya ayahku, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari A'masy dari Abi Sufyan dari Jabir, dia berkata: Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda tiga hari sebelum kematiannya: "Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbuat baik kepada Allah."

Hadits diatas adalah marfu' (sampai kepada nabi) dengan sanad bersambung dan shohih gharib karena hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat (Jabir bin Abdillah al-Anshary).

Dalam syarah shahih Muslim, imam an-Nawawi mengatakan bahwa husnudz-dzan kepada Allah adalah peringatan untuk tidak berputus asa dari rahmat Allah dan selalu termotivasi untuk raja (berharap) mendapatkan rahmat-Nya, khususnya ketika menjelang kematian. Allah berfirman dalam hadits qudsy,
انا عند ظن عبدى بى
"Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku"

Para Ulama mengatakan bahwa makna husnudz-dzan kepada Allah adalah dimana seorang hamba selalu berprasangka bahwa Allah selalu akan memberikan rahmat-Nya dan mengampuni dosa-dosanya. Ketika dalam keadaan sehat, maka rasa takut dan harap selalu ada dalam dirinya. Rasa takut yang selalu memotivasi untuk tidak melakukan kemaksiatan, kejelekan, dan kejahatan dan sebaliknya selalu mengoptimalkan ketaatan dan amal shaleh. Rasa harap yang selalu mengundang ketenangan dan optimis akan rahmat Allah, terlebih ketika tanda-tanda kematian sudah mendekat seperti dalam keadaan sakit.

Imam al-'Aenie dalam 'Aunul Ma'bud syarah sunan Abu Daud mengatakan bahwa husnudzdzan kepada Allah adalah merupakan usaha memperbaiki amal, sebagaimana beliau katakan,
Perbaikilah amal-amal kalian dengan berhusnudz-dzan kepada Allah , maka barang siapa yang jelek amalnya, maka jelek pula persangkaannya. Kadang berhusnudz-dzan kepada Allah, bisa dari sisi raja' (harap) dan mengharap ampunan. Dan Allah ta'ala maha pemurah lagi dermawan, mengampuni dosa hamba-hambanya.

Sebaliknya, ketika seorang hamba berburuk sangka kepada Allah swt, maka hal tersebut menjadi sebab munculnya bencana bagi dirinya di akhirat kelak. Dalam tafsir Aisar at-Tafasier, As'ad Humaid ketika menafsirkan surat fushshilat ayat 23,
وذلكم ظنكم الذى ظننتم بربكم أرداكم فأصبحتم من الخسرين
"Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu, Dia telah membinasakan kamu, maka jadilah kamu termasuk orang-orang yang merugi."

Ayat ini adalah persangkaan yang rusak yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang hamba-Nya lakukan. Dia yang telah membinasakan kalian dan menjadikan kalian pada hari ini (pembalasan) termasuk golongan yang binasa dan rugi.

Kemudian As'ad Humaid mengutip sabda Rasul,

لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ ، فَإِنَّ قَوْماً أَرْدَاهُمْ سُوءُ الظَّنِّ بِاللهِ ، فَقَالَ تَعَالَى : وَذَلِكُمْ ظَنُّكُمُ الذِي ظَنَنْتُمْ بِرَبِّكُمْ . . " ) ( أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ وَابْنُ مَاجَه عَنْ جَابِرٍ ) .

"Janganlah salah seorang diantara kalian mati kecuali dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah, karena sesungguhnya berburuk sangka kepada Allah telah membinasakan kaum sebelum kamu. Maka Allah ta'ala berfirman: "Dan yang demikian itu adalah prasangkamu yang telah kamu sangka kepada Tuhanmu…" (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Majah dari Jabir).

Mengenal Tafsir Az-Zamakhsyarie

MENGENAL TAFSIER
AL-KASYSYAF 'AN HAQAIQ AT-TANZIEL WA 'UYUN AL-AQAWIEL FIE WUJUH AT-TA'WIL
(Az-Zamakhsyarie)

Penyusun kitab tafsir ini adalah Abu al-Qasim: Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Umar al-Khawarizmie, al-Imam al-Hanafie al-Mu'tazilie, yang dijuluki dengan sebutan jaarullah (tetangga Allah SWT). Dilahirkan pada bulan Rajab tahun 467 H di Zamakhsyar –sebuah kampung di desa Khawarizm-. Beliau meninggal pada malam 'Arafah tahun 538 H di Jarjaniyah Khawarizm setelah kepulangannya dari Mekkah. Beliau datang ke Baghdad dan bertemu dengan para pembesar dan belajar kepada mereka. Begitupun beliau beberapa kali datang ke Khurasan. Beliau tidak datang ke sebuah negeri, kecuali para penduduknya mendatanginya dan berguru kepadanya. Dan apabila beliau melihat seseorang, beliau selalu mengucapkan salam kepadanya dan berkenalan dengannya.

Beliau pun jadi imam pada zamannya. Beliau dikenal sebagai seorang imam besar dalam tafsir, hadits, nahu, bahasa dan adab, dan pengarang kahot dalam berbagai macam ilmu. Beliau seorang mu'tazilah.Terlihat dari kemu'tazilahannya, sebagaimana yang dikatakan pengarang wafiyyat al-a'yan bahwa apabila ada seseorang yang meminta izin untuk menjadi shohib belaau dan meminta izin masuk, beliau katakan: katakanlah kepadanya Abu al-Qosim al-Mu'tazile ada di pintu.

Ketika beliau menyusun al-Kasysyaf, beliau tulis pada pembukaan khutbahnya: "Alhamdulillah al-ladzi khalaqa al-Qur'an", karena orang-orang pada tidak suka, beliau rubah menjadi "alhamdu lillah al-ladzi ja'alal Qur'an", dan dalam pandangan mereka ja'ala berarti khalaqa. Banyak yang menasakhnya menjadi "alhamdu lillah al-ladzi anzala al-Qur'an" Dan ungkapan itu bukan perbaikan dari beliau, tetapi dari orang-orang.

Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah al-Maidah (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".

Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Pijakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya ketika nash al-Qur'an berbenturan dengan madzhabnya

Pijakan dan pegangan yang digunakan az-Zamakhsyari dalam tafsirnya ketika ada satu ayat yang bertentangan dengan madzhab dan aqidahnya, dia mengambil ayat yang mutasyabih atas ayat yang muhkamat, pijakan inilah yang digunakan ketika az-Zamakhsyari dapatkan dalam firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 7:

{هُوَ ٱلَّذِيۤ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ}..

"Dia yang telah menurunkan al-Qur'an kepadamu (Muhammad) diantaranya ada ayat-ayat yang muhkamat yaitu ummul kitab dan yang lainnya adalah ayat mutasyabihat…"

Muhkamat adalah yang ungkapannya jelas, yakni terpelihara dari makna yang ganda dan serupa. Dan mutasyabih adalah yang mempunyai makna yang tidak jelas dan bermakna banyak. Dan ummul kitab yakni yang asalnya mengandung makna yang banyak dan sulit dan dikembalikan kepadanya dan ditafsirkan dengannya.

Az-Zamakhsyari memberikan perumpamaan untuk mengambil yang mutasyabih atas yang muhkam atas firman Allah SWT dalam al-An'am: 103:
لاَّ تُدْرِكُهُ ٱلأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلأَبْصَارَ
"Dia tidak dapat dicapai oleh pengliihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatn itu dan Dia maha halus dan maha teliti"
Dan firmanNya dalam al-Qiyamah: 22-23:
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ * إِلَىٰ رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
"Wajah-wajah (kaum muslimin) pada hari itu berseri-seri melihat Tuhannya."

Dia berpendapat bahwa ayat yang pertama adalah muhkamah dan yang kedua adalah mutasyabih. Maka ayat yang kedua dengan yang pertama saling menguatkan (cocok sesuai) dan tidak ada jalan tentang hal itu, kecuali dengan memaknai yang pertama dengan yang kedua, dan sebaliknya.

Pembelaan az-Zamakhsyari terhadap aqidah mu'tazilah

Sesungguhnya az-Zamakhsyari akan membela madzhab mu'tazilahnya dengan sekuat tenaga dan kekuatannya dalam argumen dan dalil.

Pembelaannya terhadap pandangan mu'tazilah tentang pelaku dosa besar

Contohnya ketika dia menafsirkan firman Allah SWT dalam an-Nisa: 93:

"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin secara disengaja, maka balasannya neraka jahannam yang kekal didalamnya dan Allah sangat marah kepadanya dan menyediakan baginya siksaan yang besar."

Kita mendapatkan bahwa dia dalam menjelaskan ayat ini sangat menunjukan pembelaannnya kepada madzhabnya dan penyerangannya terhadap ahlus-sunnah dan menyangkal mereka ketika mereka mengatakan akan adanya ampunan dosa, walaupun pelakunya tidak bertobat. Bahkan pelaku dosa besar tidak akan kekal di neraka. Maka dia berkata untuk kesempatan ini untuk mengolok-olok dari penyerangannya terhadap ahlus-sunnah: "Ayat ini didalamnya terdapat pembatasan dan pengulangan, ibraq dan ir'ad, urusan yang besar dan pembicaraan yang dalam, dan dari sini telah diriwayatkan dari Ibn 'Abbas bahwa tobat seorang pembunuh mukmin yang sengaja, tidak akan diterima. Dan dari Sufyan: Keadaan ahli ilmu apabila mereka ditanya, mereka menjawab; tidak ada taubat baginya, dan hal itu mereka pikul atas tuntutan sunnah Allah dalam ketegasan dan kekerasan. Dan jika tidak, maka semua dosa akan terhapus dengan taubat, dan menolakmu dengan penghapusan dosa syirik atas dasar dalil. Dalam hadits disebutkan:

"Hancurnya dunia tidak sebegitu parah ketimbang terbunuhnya seorang muslim".

Dan disebutkan pula didalamnya:

"Seandainya ada seseorang yang terbunuh di timur, dan yang lain yang berada di barat ridha atas pembunuhan itu, maka dia telah ikut dalam menumpahkan darahnya."

Dan disebutkan pula:

"Bahwa manusia ini adalah bangunan Allah, maka akan dilaknat orang yang menghancurkan bangunannya."

Dan disebutkan pula:

"Siapa yang membantu pembunuhan seorang muslim dengan satu kalimat, maka pada hari kiamat, dia tercatat diantara kedua matanya : terputus dari rahmat Allah ."

Dan yang aneh dari kaum yan membaca ayat ini, melihatnya dan mendengar hadits-hadits yang agung dan perkataan Ibn 'Abbas dengan menolak taubat, tidak menopang kefanatikan dan ketamakan mereka yang kosong dan ikutnya mereka terhadap hawa nafsu mereka, mereka tamak dalam ampunan dari yang membunuh seorang mukmin tanpa bertobat:

"Apakah mereka tidak mentadaburi al-Qur'an atau hati mereka terkunci.."

Kemudian Allah menyebutkan taubat dalam pembunuhan yang tidak disengaja (kesalahan) . Jika kau bertanya: Apakah ada dalil atas kekalnya orang yang tidak bertobat dari pelaku dosa besar? Aku jawab: Aku tidak menjelaskan dalil, hal itu termasuk firman Allah:

"Dan siapa yang membunuh.."

Yakni yang terbukti membunuh, baik muslim atau kafir, taubat atau tidak tobat, jika tidak bahwa yang yang bertobat ada dalil yang mengeluarkannya, maka siapa yang menganggap keluarnya muslim tanpa tobat, maka mesti datang dalil seperti itu.

Pembelaannya terhadap madzhab mu'tazilah dalam kebaikan dan kejelekan para rasionalis

Ketika az-Zamakhsyari berkata dengan landasan mu'tazilah dalam kebaikan dan kejelekan para rasionalis, mesti baginya untuk melepaskan dari dhahir dua nash yang meniadakan madzhabnya, dan kedua ayat itu yaitu: Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa: 165:

"Para rasul itu pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alas an bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus.”

Dan firman Allah SWT dalam surat al-Isra':15:

"Kami tidak akan menyiksa sebelum kami mengutus seorang rasul…."

Kita melihat pada ayat yang pertama secara dhahir bertentangan dengan landasan ini, maka dia akan bertanya dengan pertanyaan ini: "Bagaimana manusia membantah Allah disisi rasul, sedang mereka terhalang dengan apa yang Allah sandarkan dari dalil-dalil yang pandangan didalamnya menyampaikan pada makrifat, dan para rasul dalam diri mereka tidak sampai pada makrifah kecuali dengan analisa pada dalil-dalil itu, dan tidak pula diketahui bahwa mereka para rasul Allah kecuali dengan analisa? Kemudian dia menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan: Aku menjawab: para rasul mengingatkan dari kelalaian dan mencari penelitian/analisa sebagaimana Ulama ahli adil dan tauhid melihat serta menyampaikan apa yang mereka pikul dari rincian urusan agama dan menjelaskan keadaan taklif. Dan mengajarkan syari'at, maka pengutusan mereka untuk menghilangkan 'illat dan penyempurna untuk menetapkan hujjah supaya mereka tidak berkata: Kalaulah kamu tidak diutus kepada kami sebagai rasul, maka dia menasehati kami dari kelalaian dan memperingatkan kami ketika pemberian peringatan itu wajib baginya."

Pembelaannya Terhadap Aqidah Mu'tazilah Dalam Masalah Sihir

Az-Zamakhsyari seperti yang lainnya dari mu'tazilah tidak percaya sihir dan tidak pula meyakini adanya tukang sihir. Oleh karena itu, ketika dia menafsirkan surat al-falaq yang memberi bukti kepada ahli as-sunnah, tetapi ayat yang jelas itu tidak dapat meyakinkannya, tidak menyurutkan intelektualnya dan tidak melemahkan hujjahnya dalam tafsirnya.

Sebagaimana kita mendapatkannya dia bersikeras mengingkari, mengejek, dan menghina ahli as-sunnah yang mengatakan hakikat sihir. Hal itu terbukti ketika dia berkata: an-naffatsat (wanita atau jiwa-jiwa atau rombongan ahli sihir yang mengikat buhul (ikatan) pada kain dan meniup dan memantrainya).

Dan an-nafts: tiupan dari rieq. Dan tidak ada pengaruh untuk hal itu, ya Allah kecuali apabila dia memakan sesuatu yang berbahaya atau menyakitinya atau langsung tersihir olehnya atas beberapa cara, tetapi Allah 'Azza wa jalla melakukan hal itu untuk menguji orang yang memegang kebenaran dari masukan dan kebodohan orang awwam, maka dia menyandarkan masukan dan pengisian itu kepada wanita dan kepada tiupan-tiupan mereka.

Orang-orang yang berpegang teguh dengan ucapan yang kuat tidak akan terpalingkan dengan tiupan-tiupan itu. Jika kamu bertanya: Apa arti berlindung dari kejahatan mereka (p)? Aku menjawab; Didalamnya ada tiga hal: Pertama, Dilindungi dari perbuatan-perbuatan mereka yang dibuat sihir dari dosa-dosa mereka dalam hal itu.

Kedua, Dilindungi dari fitnah mereka dengan sihir mereka (P) dan mereka (P)tidak dapat menipu terhadap mereka (L) dari kebatilan-kebatilan mereka.

Ketiga, Dilindungi dari apa yang Allah timpakan dari kejahatan tiupan-tiupan mereka (p). Dan dia menafsirkan mereka-mereka (p) juga dengan penipu-penipu (al-kayyadat) dari firman Allah:

"Sesungguhnya tipu daya mereka (p) sangatlah besar."

Penyerupaan tipuan-tipuan mereka (p) dengan sihir dan tiupan pada buhul (ikatan) atau yang wanita-wanita yang menguji kaum laki-laki dengan memberikan dan memperlihatkan kecantikan-kecantikan mereka yang menyihir mereka (l) dengan hal itu.

Pada hakikatnya, hal tersebut hanyalah spekulasi intelektual az-Zamakhsyari yang menginginkan di balik itu untuk menyimpangkan kebenaran yang yang termaksud dalam al-kitab dan as-sunnah kepada apa yang sesuai dengan hawa nafsunya dan aqidahnya.

Pembelaannya Terhadap Madzhab Mu'tazilah Dalam Kemerdekaan keinginan dan Penciptaan Amal

Az-Zamakhsyari telah memberi pengaruh dengan pendapat mu'tazilahnya tentang kemerdekaan keinginan dan penciptaan amal, tetapi dia mendapatkan ayat-ayat yang jelas yang bertolak belakang dengan keyakinannya bahwa perbuatan-perbuatan hamba seluruhnya diciptakan oleh Allah Ta'ala. Maka dia ingin berpaling dari benturan ini dan berusaha keluar dari ketentuan besar ini.

Dia memberikan masukan pada apa yang dimaksud oleh makna ini apa yang mu'tazilah berpegang terhadapnya dan memberi banyak manfaat kepada mereka dari berbagai maudhu', yakni al-Lathfu (kelembutan) dari Allah, maka dengan kelembutan dari-Nya berbuat baik akan mudah untuk manusia dan dengan sebaliknya akan sulit atas manusia untuk berbuat baik.

"Kelembutan" ini dan apa yang berhubungan dengan "taufik" membantu az-Zamakhsyari untuk keluar dari kesulitan yang membenturnya ketika menafsirkan ayt-ayat al-Qur'an yang jelas bahwa Allah SWT menciptakan perbuatan-perbuatan manusia baik yang baik atupun yang buruk. Dan ahlus-sunnah memandangnya sebagai senjata yang kuat untuk menghadapi pandangan mu'tazilah ini.

Dalam surat Ali Imran ayat 8, Allah berfirman:

"Ya tuhan kami janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan, setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami…"

Kita dapatkan az-Zamakhsyari menangkap ayat ini bahwa hati-hati hamba itu ada di tangan Allah sebagaimana yang Dia kehendaki, maka barang siapa yang Allah kehendaki hidayah, maka Dia memberikan petunjuk kepadanya, dan siapa yang Allah kehendaki kesesatannya, maka Allah menyesatkannya.

Tetapi dia lari dari makna dhahir ayat ini, dia berkata bahwa firman Allah swt.:

"Ya tuhan kami janganlah Engkau condongkan hati kami kepada kesesatan…"

Jangan Engkau uji kami dengan ujian-ujian yang akan menyondongkan hati-hati kami. ,

"setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami…"

Dan Engkau memberi petunjuk kepada kami disisi-Mu atau Jangan Engkau halangi kelembutan-Mu setelah Engkau memberikan kelembutan pada kami.

Pertarungan dan Benturan Aqidah Az-Zamakhsyari dan Ahlus-sunnah

Kejelasan pertentangan aqidah Zamakhsyari dan ahlus-sunnah sangatlah kentara sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Masing-masing melontarkan tuduhan penyimpangan, sesat, bahkan pada abad pertama Hijriyyah sampai kepada pengkafiran dan pendosa. Tetapi masing-masing berargumen dengan tujuan mensucikan Allah swt dengan segala kesempurnaannya. Itu merupakan hal penting yang jangan sampai terlupakan.

Az-Zamakhsyari menuduh ahlus-sunnah dengan ejekan, olokan yang luar biasa, sifat-sifat yang rendah, dan bahkan menuduh sebagai Jabbariyyah, Hasywiyyah, Musybihah, dan Qadariyyah. Tuduhan tersebut –ahlus-sunnah sebagai Qadariyyah- karena dalam tafsirnya dia mengatakan Qadariyyah sebagai majusi ketika dia menafsirkan fushshilat ayat 17,

"Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) daripada petunjuk, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan."

Sebaliknya ahlus-sunnah pun menyerang az-Zamakhsyari sebagai representasi dari mu'tazilah, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibn al-Qoyyim ketika mengomentari tafsir az-Zamakhsyari terhadap surat al-A'raf ayat 176,

"Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.."

Ibn al-Qoyyim mengatakan bahwa hal ini adalah kita mengenalinya sebagai serangan yang jelas dilancarkan dari seorang Qadari yang meniadakan kehendak mutlak (Allah swt) yang merepresentasikan pemikiran mu'tazilah dan Qadariyyah.

Begitu pula ahlus-sunnah yang lainnya seperti Ahmad bin Muhammad bin Mansur al-Munir al-Maliki, seorang Qadhi Iskandariyyah dalam kitabnya al-Intishaf) yang meneliti az-Zamakhsyari dan tafsirnya yang memuat kejelasan tentang kemu'tazilannya, takwil yang dipaksakan dengan aqidah mu'tazilahnya, dan sebagai tafsir yang mengikuti hawa nafsu.

Tetapi dalam masalah fiqh, az-Zamakhsyari tidak fanatik terhadap madzhab hanafinya. Sebagaimana menafsirkan surat al-baqarah ayat 222,

"Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran." Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri"

Dia menampilkan perbedaan pendapat beberapa fuqaha. Dia katakan,

"Diantara beberapa fuqaha ada perbedaan ketika memahami al-I'tizal (menjauhi istri). Abu Hanifah dan Abu Yusuf bahwa I'tizal termasuk al-izar (sarungnya). Tetapi Muhammad bin Hasan memahaminya hanya dengan farj (bersetubuh). Muhammad meriwayatkan hadits dari Aisyah bahwa Abdullah bin Umar bertanya kepadanya: Apakah boleh seorang suami mencampuri istrinya ketika dia haid? Aisyah menjawab: hendaklah dikencangkan sarung pada bagian bawahnya, kemudian bercampurlah sesuka dia. Dan riwayat Zaid bin aslam, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi saw. Apa yang halal bagiku ketika istri sedang haid? Rasul bersabda; Kencangkan sarungnya, kemudian campuri sesuka hatimu bagian atasnya. Az-Zamakhsyari mengatakan bahwa pendapat itu adalah pendapat Imam Abu Hanifah. Dan telah datang yang lebih ringan dari pendapat ini dari Aisyah, dia berkata: beliau menjauhi tempat keluarnya darah, dan yang selainnya didekatinya." Dan dibaca yathahharna dengan tasydid, yakni mereka bersuci dengan dalil faidza tathahharna ..Dan Abdullah membaca: Hatta yatathahharna dan yathhurna dengan takhfif. Dan Tathahhur artinya mandi, sedang ath-thuhru artinya terputusnya darah haid dan dua bentuk bacaan tersebut wajib diamalkan. Imam Abu Hanifah berpendapat bolehnya mendekati istri dalam keadaan haid meskipun sering setelah terputusnya darah, walaupun belum mandi. Dan langka untuk tidak mendekati istri haid sampai dia mandi atau waktu sholatnya berhenti. Imam Syafi'I berpendapat untuk tidak mendekati istri yang sdang haid sehingga berhenti darahnya dan sudah madi dengan menggabungkan keduanya. Dan inilah pendapat yang jelas dan kuat dengan menyandarkannya kepada faidz tathahharna."

Demikianlah sekilas tentang az-Zamakhsyari dan tafsirnya al-Kasysyaf yang diresume dari at-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi.

Jumat, 07 November 2008

LIBERALISME VERSUS AGAMA

LIBERALISME VERSUS AGAMA
Menyikapi Tarik Ulur RUU Pornografi
Daden Robi Rahman

Liberalisme pemikiran telah memporakporandakan sendi-sendi kehidupan. Pemikiran yang tercemar dengan hawa nasfu akan merusak tatanan moral masyarakat. Dasar liberalisme yang mengacu kepada rasio, spekulasi filsafat dan memandang makna realitas dan kebenaran dengan memakai kacamata sosial, kultural, empiris, dan rasional telah membuahkan penolakan terhadap kebaikan dan kemaslahatan diri dan masyarakat.

Kasus pornografi yang kian marak hari-hari ini menjadi parameter menjamurnya arus liberalisme pemikiran yang berbuah dekadensi moral. Dengan landasan kebebasan tanpa batas dan hak asasi manusia versi 'manusia' yang meruntuhkan kewajiban manusia, tidak sedikit yang menolak tersahkannya RUU Pornografi.

Berdasar sensus, masyarakat Indonesia merupakan pengonsumsi situs porno terbesar ketiga. Ironis memang, sebagai negara yang identik dengan adat ketimuran dan bahkan penduduk muslim terbesar di dunia menyandang gelar seperti itu. Tetapi kenyataan ini menunjukan adanya indikasi konkrit bahwa negara muslim ini merupakan proyek besar arus liberalisasi.

Ormas dan partai Islam yang sangat bersemangat menggolkan RUU Pornografi menjadi alasan penting terjadinya penolakan. Karena mereka –penolak- seakan mencium isu peraturan berbau syari'ah. Hal tersebut terlihat ketika semangat yang tak kalah teriakannya dari fraksi PDIP dan PDS di DPR yang notabene sebagai partai nasionalis sekuler dan berbasis kristen menolak mentah-mentah RUU Pornografi.

Kedua, kondisi budaya 'telanjang' –baca: busana minim bahan- telah sangat dinikmati oleh pengumbar dan penikmat shahwat syaithani. Katakanlah para artis yang mengais rezeki dari memamerkan aurat, pelacur kelas teri sampai kelas kakap yang selama ini seakan mendapat legitimasi karena mendapat lokalisasi dan julukan PSK, 'penduduk' bali yang mendapat pemasukan hebat dari turis dan wisatawan asing yang biasa dengan budaya 'telanjang', sampai anggota legislatif yang sudah banyak terblow up media karena kasus amoral seperti Yahya Zaeni, Max Muin, dan lain-lain.

Ketiga, sikap apriori bahkan anti pati terhadap agama sebagai simbol pembangun moral yang secara perlahan merasuk jiwa masyarakat yang di usung atheis berbaju agama dan pengusung kesetaraan pembebas kewajiban yang sangat dikembang biakkan oleh berbagai kepentingan barat untuk merusak Islam khususnya dan agama-agama umumnya.

Kemasan penolakan yang diusung dengan dalih seni, kebebasan, dan hak asasi manusia tidaklah tepat. Dari mulai agama, moral, fitrah asasi manusia, dan ketulusan jiwa mana yang mengijinkan pornografi dan porno aksi. Semuanya hanya akan memposisikan manusia pada derajat yang rendah, bahkan lebih rendah dari binatang, karena manusia dikaruniai akal pikiran.

Islam tidak memonopoli larangan pornografi, termasuk Yahudi, Nasrani, Hindu dan bahkan peradaban dulu mengajarkan anti pornografi. Tetapi yang ironis, mengapa seakan umat Islam Indonesia yang hanya memperjuangkan RUU Pornografi.

Dr. Huda Darwish dalam Hijab al-Mar'ah: Bayna al-Adyan wa al-‘Almaniyah menyebutkan bahwa pada masa Fir'aun, para wanitanya memelihara keindahan tubuhnya dengan mengenakan hijab –penutup tubuh- yang menutupi pundak, dada, lengan, dan rambut dengan al-barukah -wig- untuk menjaga dari sinar matahari. Bahkan menurut beliau, dalam ajaran budha diatur interaksi dengan wanita tanpa melihat mereka.

Abul A'la al-Maududi dalam al-Hijab menyatakan bahwa perempuan Yunani memakai hijab yang menutupi seluruh tubuhnya selain kedua matanya.

Abdul Maqshoud dalam al-Mar'ah fi Jami‘i al-Adyan wa al-‘Ushur mengatakan bahwa arkeologi abad II SM menjelaskan adanya prasasti yang menerangkan bahwa perempuan waktu itu menutup kepalanya dan bahkan menunjukan adanya hukum yang memberi sangki perempuan tak berhijab.

Dalam ajaran Yahudi pun tersurat hijab bahkan niqab –penutup wajah-. Kejadian 24:65 menyatakan bahwa pengantin perempuan mesti menutup wajahnya. Kejadian 24:64 menyebutkan kisah Ribka yang menutup wajahnya dengan selendang ketika Ishak datang. Bilangan 13-15 bahwa agama Yahudi melaknat laki-laki yang menyerupai pakaian perempuan.

Dalam ajaran Nasrani pun sama. Paulus menyuruh perempuan Kristen harus menutup kepalanya demi malaikat (Kejadian 24: 65, Bilangan 5: 18, Yesaya 6: 2, Matius 18: 1, dan Efesus 2: 10), karena malaikat ikut ibadah dan belajar di gereja (Efesus 3: 10). Perempuan Kristen harus menutup wajah mereka sebagai penghormatan dan ketundukan kepada Tuhan. (Yesaya 6: 2). Bahkan melihat perempuan dianggap telah zina dalam hati dan paulus melarang perempuan untuk tidak berbicara di gereja. (Korintus 14: 34-36.

Sosiolog Max Weber mengingatkan bahwa sesungguhnya tindakan manusia terbagi kepada dua; sejauh suatu tindakan melibatkan orang lain maka itu sebenarnya yang disebut sebagai tindakan sosial, sejauh suatu tindakan tidak melibatkan orang lain maka cukup tidak termasuk kategori sosial. Persoalan kemudian sangat jarang sebuah tindakan tanpa melibatkan seorang yang lain, kecuali tindakan berhadapan dengan benda-benda fisik-mati, sementara perilaku manusia begitu sering terlibat dengan manusia lainnya sosio-interaksi. Untuk itu Max Weber menegaskan bahwa tindakan yang bermakna subyektif adalah tindakan sosial.

Tindakan melempar batu ke Sungai atau ke sebuah Gedung misalnya, tidak lah termasuk tindakan sosial. Namun ketika lemparan batu itu mengena orang yang sedang memancing ikan misalnya, maka seketika itu juga tindakan menjadi nyata sosial. (Lihat George Ritzer; Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Raja Grafindo Persada; Jakarta 2003. hal 56).

Dalam pornografi, sebuah gambar atau tayangan video yang mengeksploitasi aurat jelas merupakan tindakan sosial yang akan meruntuhkan moral para penikmatnya. Gambar, video, dan lainnya yang memperlihatkan aurat bukanlah masalah seni, tapi moral karena gambar ataupun video tersebut mempengaruhi syahwat laki-laki yang melihatnya. Kalaupun dikatakan respon syahwat laki-laki sangatlah relatif, tetapi jelas gambar atau video yang dibuat sengaja berpose sensual mengundang birahi.

Bur Rasuanto, pengarang, doktor dalam Filsafat Sosial Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika, mengatakan bahwa pengalaman estetika dirumuskan dalam 3D: disinterestedness (tak berpamrih), detachment (tak terserap), distance (berjarak - secara emosional). Melihat keindahan ciptaan alam, orang akan mendapat pengalaman estetik, pengalaman yang tak berpamrih apa-apa, tak terserap oleh obyek yang dihadapi, dan secara emosional tetap berjarak. Yang sebaliknya terjadi apabila orang melihat gambar-gambar erotis atau pornografi. Foto-foto erotik dan pornografi itu mengundang pamrih, membuat orang terlibat dan terserap. ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya).

Indonesia adalah negara yang sangat menjunjung moral dengan ketimurannya, apalagi mayoritas penduduknya adalah muslim. Setiap masyarakat di Indonesia mempunyai standar moral tersendiri yang berfungsi melindungi dirinya ataupun masyakatnya. Erotisme para artis dalam gambar atau video adalah bentuk perusakan standar moral yang ada, karena hal tersebut merupakan isu global yang dihempaskan untuk meruntuhkan keutuhan negara ini, khususnya kaum muslimin.

Jadi sekali lagi, pornografi bukanlah masalah seni tapi pertaruhan moral, bukan estetika tapi etika karena mengeksploitasi perempuan sebagai komoditas dan merendahkan martabat kaum perempuan.

Selanjutnya, karena masalah etika dan moral, maka pornografi tidak dapat menggunakan pers untuk perlindungan diri. Kebebasan pers bukan kebebasan subjektif yang berkaitan dengan etika privat, melainkan kebebasan yang sifatnya politik berkaitan dengan etika sosial. Jadi kebebasan pers tidak dapat dilepaskan dari keterikatan ruang sosial bersama. Pers berkewajiban memberikan informasi kepada masyarakat dan bersifat konstruktif bukan destruktif. Misalnya membongkar kasus pemerkosaan, bukan menggambarkan secara sensasional bagaimana pemerkosaan itu berlangsung.

Pada akhirnya, keputusan tersahkannya RUU Pornografi merupakan kebijakan arif dan tepat sebagai alat untuk menyelamatkan kharisma dan moral bangsa. Tidak ada alasan apapun yang dibenarkan oleh agama, seni, dan pers untu melegitimasi pornografi dan pornoaksi.


Ponorogo, 04 Nopember 2008

Klasik Tak Selamanya Ketinggalan

Klasik

Klasik bisa dimaknai dengan “kuno”. Atau lawan dari “modern”. Ini makna klasik yang sangat sederhana menurutku. Sehingga orang gampang mengatakan bahwa “jawaban loe “kuno”. Wah, gaya kamu “klasik” banget sih! Jenis musik juga ada yang dinamakan classical music. Celana model ‘Cut Brai’ (ciut/kecil di bagian pinggang/ dan ngagebrai/melebar kata orang Sunda, di bagian bawahnya) juga disebut celana klasik. Perkawinan model Siti Nurbaya dianggap orang sekarang sebagai perkawinan “klasik” bin “kuno” alias ketinggalan zaman.

Tentunya kata “klasik” tak bisa dimaknai sesederhana itu. Aku pun tak ingin membicarakan makna klasik secara simplistic. Aku ingi berbicara tentang makna “klasik” pada ranah yang lebih ilmiah dan scientific dan lebih menarik.

Mengawali itu semua, aku ingin bermusyawarah dulu dengan The New International Webster’s Comprehensive Dictionary of The English Language, (Trident Press International, 1996 Edition). Dalam kamus ini –aku pilih yang lebih tepat untuk pembicaraan ini—disebutkan di sana –beberapa maknanya—bahwa “klasik” itu maknanya: [1] Belonging to the first class or rank in the literature or art; [2] Pertaining to standard and authoritative principles and forms in art, literature, music, etc.; [3] Any author whose work is generally accepted as being a standard of excellence.

Itu beberapa makna “klasik” yang sengaja aku kutip dari kamus Webster di atas. Dari sana tampak tiga hal penting yang berkaitan dengan kata ini: literatur, seni dan musik. Aku ingin mengambil yang pertama: “literatur”.

Dewasa ini, segala hal yang berbau “klasik” banyak ditentang dan ditolak. Khususnya dalam bidang keilmuan dan pemikiran Islam. Ulama-ulama “klasik” (salaf, al-qudama’ atau al-mutaqaddimun) mulai banyak yang dihujat. Al-Risalah karya Imam Syafi’i (150-204 H) dianggap dihujat. Sang Imam pun dituduh mendukung hegemoni suku Quraisy oleh Nasr Hamid Abu Zaid, misalnya. Abu Zaid begitu geram dengan ‘keilmuan’ sang “Nashir al-Sunnah” (Pembela Sunnah) itu. Tuduhan tak berdasarkan terhadap sang imam dia jejalkan di dalam buku khususnya al-Imam al-Syafi’i wa Ta’sis al-Aydulujiyyah al-Wasathiyyah.

Hal yang sama, dilakukan oleh Zakariya Ouzon. Dia juga “menghujat” Imam Syafi’i dalam bukunya yang sangat sarat kebencian, “Jinayat al-Syafi’i: Takhlish al-Ummah min Fiq al-A’immah”. Luar biasa. Apa yang dilakukan oleh Imam Syafi’i –berupa ijtihad—di dalam buku al-Risalah dan al-Umm dianggap sebagai tindak “kriminal” oleh Ouzon. Alasannya sama, ijtihad Imam Syafi’i sudah “kolot” alias “klasik”. Umat perlu diselematkan dari ijtihad dan pendapat sang imam yang sangat dihormati di seluruh dunia Islam itu.

Salah satu literatur klasik yang juga dituduh “memundurkan” umat adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din karya Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali (505 H/1111 M). Ada yang mengatakan buku itu berbahaya. Ada juga yang menilai bahwa sang Hujjat al-Islam terlalu gegabah. Bahkan ada yang menyarankan agar buku itu dicampakkan saja, karena berbahaya bagi kemajuan umat. Mereka ketakutan jika para penuntut ilmu akan menjadi “sufi” seluruhnya. Dan dikhawatirkan mereka hanya mementingkan “akhirat”. Padahal, karya al-Ghazali bukan hanyat Ihya’. Di sana ada al-Mankhul dan al-Mustashfa dalam cabang ilmu Ushul al-Fiqh. Dalam Al-Qur’an al-Ghazali punya telaah yang sangat indah dalam Jawahir al-Qur’an. Gejolak pemikirannya dapat dibaca dalam al-Munqidz min al-Dhalal. Bagaimana hebatnya beliau mengkritik para filsuf dapat dibaca dalam Tahafut al-Falasifah. Mengapa hanya Ihya’ yang ditakuti dan dijauhi?

Imam Ibnu Taimiyyah, menurut penuturan Thaha Jabir al-‘Alwani, pernah dituduh “membenci” Rasulullah s.a.w. dan Ahli Baitnya oleh seorang gurunya ketika beliau masih berada di Bagdad. Al-‘Alwani sempat terlibat debat dengan gurunya itu. Kemudian, al-‘Alwani menghadiahkan karya sang Syeikh al-Islam, “al-Sharim al-Maslul ‘ala Syatim al-Rasul” (Pedang Terhunus Bagi Pencaci Rasul). Guru al-‘Alwani pun berdecak kagum dan mengakui kesalahannya. “Tidak pernah aku membaca buku yang membela Rasulullah lebih indah dan komprehensif dari buku ini,” katanya. Itu dituturkan oleh al-‘Alwani dalam bukunya ‘Ibnu Taimiyyah wa Islamiyyat al-Ma’rifah’.

Imam Syafi’i, al-Ghazali dan Ibnu Taimiyyah adalah contoh ulama “klasik”. Buah pena mereka pun kita sebut “klasik”. Dalam bahasa ilmiahnya disebut dengan turats (Inggris: heritage): khazanah Islam klasik. Mungkin karena “klasik”nya itu banyak yang menilai sudah usang.

Memang, isu-isu “miring” terhadap ulama dan literatur klasik dewasa ini kembali nyaring –atau bahkan sengaja dinyaringkan. Penafsiran para ulama terhadap beberapa ayat Al-Qur’an dianggap bias gender, misalnya oleh Aminah Wadud-Muhsin, Fatimah Mernissi dan Musdah Mulia. Ahli Kitab dalam Al-Qur’an oleh ulama klasik dianggap tidak mendapat porsi yang semestinya. Penafsiran mereka dianggap tidak adil dan berbau kekerasan. Oleh karenanya, mereka terbiasa menjadi “ekletis”. Tafsir Ibnu Katsir jang dikutip. Karena mungkin riwayatnya diseleksi dengan ketat. Al-Maraghi juga jarang ‘dilirik’. Mereka lebih suka menjadikan Syeikh Rasyid Ridha sebagai bumper kepentingan mereka. Padahal, hanya pada Qs. 2: 62 saja beliau menyatakan bahwa keimanan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dalam ayat tersebut tidak menjadi “syarat” bagi keselamatan kaum Ahli Kitab. Kemana penafsiran para ulama klasik yang lain, seperti al-Nisaburi dalam Ghara’ib al-Furqan, misalnya? Atau penafsiran Imam al-Biqa’i dalam Nazhm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar? Tidak dielaborasi dengan jujur. Benar-benar ekletis. Dan tentunya berbau “orientalis”.

Sikap ekletik seperti itu jelas tak menguntungkan. Karena berakhir dengan prinsip ‘tebang-pilih’. Semua diatur oleh interes. Benar-benar bias Habermas. Jika semuanya diatur dalam bahasa “kepentingan”, maka tak akan lahir kejujuran. Jika kejujuran sudah sirna, tak akan pernah ada apersiasi terhadap yang berbau “klasik”. Jilbab “klasik”, tiba saatnya untuk ditinggalkan. Pergi ke masjid “klasik”, serahkan saja kepada orangtua yang sudah ‘beratap seng’. Imam Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Katsir, al-Nisaburi, al-Biqa’i semuanya “klasik”, tiba waktunya untuk mencari “ijtihad” yang berbeda dari mereka. Karena memang lebih menguntungkan. Benar, bahwa kritik terhadap ulama klasik dan khazana klasik itu penting. Tapi bukan “kritik” tanpa “etik”. [Q]

Teori Keropos

Rapuhnya Pondasi Ushul Fiqih Liberal

Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal—mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya—tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan., kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.

Pengertian Ushul Fiqh
Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.
Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci." Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni;
"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan : "Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan : "Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."
Ushul Fiqh adalah salah satu ilmu yang sangat diperlukan oleh siapa saja yang mempunyai kepentingan di dalam proses pengambilan hukum dalam Syareat Islam. Seorang pembaharu agama dituntut untuk memahami ilmu ini dengan baik. Para ulama telah meletakkan ilmu Ushul Fiqih ini sebagai bekal untuk menjawab setiap permasalahan yang akan terus mencuat dan berkembang sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Jadi, Ushul Fiqih ini, selain telah mampu menjawab berbagai masalah yang terjadi pada masa silam dan pada saat ini, juga dipersiapkan untuk generasi masa depan. Ushul Fiqh ini adalah ilmu yang tidak pernah lekang dan rapuh sepanjang masa.
Namun bagaimana jadinya jika ushul fiqih dipergunakan untuk membumikan konsep barat dan liberal?? Apakah kaum liberal juga mempunyai konsep ushul fiqih yang dibenarkan dan sesuai dengan konsep yang benar?? Apakah kaum liberal, seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), mempunyai ushul fiqih?
Dalam makalah sederhana ini akan kami coba mengupas pertanyaan pertanyaan tersebut sekaligus sebagai kritik dan bantahan terhadap ushul fiqih yang dipahami kaum liberal.
Untuk itu, patut diketahui dulu pengertian ushul fikih serta apa saja yang menjadi cakupan studi ushul fikih. Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 3; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, I/23-24). Sedangkan menurut ulama mazhab Syafi’i, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tata cara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, I/10).
Dari berbagai definisi itu, topik (mawdhû‘) ushul fikih menurut Muhammad Husain Abdullah (Abdullah, Al-Wadhîh fî Ushûl al-Fiqh hlm. 29), meliputi 4 (empat) kajian, yaitu:
1. Kajian tentang dalil-dalil hukum yang bersifat global (al-adillah al-ijmâliyyah), misalnya al-Quran, as-Sunnah, Ijma, Qiyas, dan seterusnya.
2. Kajian tentang hukum syariat (al-hukm asy-syar‘î) dan hal-hal yang terkait dengannya, seperti definisi hukum syariat dan macam-macamnya.
3. Kajian tentang cara memahami dalil (fahm al-dalîl) atau pengertian kata (dalâlah al-alfâzh), misalnya tentang manthûq (makna eksplisit) dan mafhûm (makna implisit).
4. Kajian tentang ijtihad dan taklid, termasuk tata cara melakukan tarjîh (analisis) untuk memilih yang terkuat dari sekian dalil yang tampak bertentangan (ta‘ârudh).
Nah, kalau definisi ushul fikih dan cakupan kajiannya itu diterapkan pada ide-ide ushul fikih kaum liberal, apakah mereka memang punya ushul fikih sendiri?
Seorang pakar dan kritikus ide liberal, Dr. Busthami Muhammad Said, menyimpulkan, ijtihad dalam ushul fikih di kalangan kaum liberal—mulai dari Sayyid Ahmad Khan, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, Thaha Husain, dan lainnya—tidak lebih dari sekadar teori belaka, tanpa kenyataan (Said, Mafhûm Tajdîd ad-Dîn (terj.), hlm. 268). Jadi, kaum liberal sebenarnya tidak mempunyai ushul fikih, dalam definisi yang sesungguhnya.
Karya mereka tidak pernah menerangkan dengan jelas, apa sebenarnya dalil syariat (sumber hukum) itu. Buktinya, perilaku pejabat yang suka menghadiri perayaan hari raya non-Islam dijadikan dalil bagi bolehnya merayakan hari raya agama selain Islam (Madjid dkk., 2004: 85-88)
Mereka juga tidak pernah menerangkan dengan tuntas, bagaimana metode penggalian hukum dari dalilnya, selain mengklaim bahwa metodenya adalah hermeneutika (Adnin Armas, Pengaruh Kristen-Orientalis Terhadap Islam Liberal, hlm. 35). Padahal metode ini aslinya adalah untuk menafsirkan Bible (Perjanjian Lama dan Baru); tentu tidak cocok untuk menafsirkan al-Quran, karena Bible dan al-Quran sangat jauh berbeda, seperti bumi dan langit. Tidak aneh jika Norman Daniel (Daniel, Islam and The West: The Making of an Image, hlm. 53) menegaskan, “The Quran has no parallel outside Islam (Al-Quran tidak mempunyai kesejajaran dengan [kitab lainnya] di luar Islam).”(AdianHusaini,“Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal,” www.insistnet.com).
Walhasil, ushul fikih kaum liberal sangat diragukan eksistensinya. Akan tetapi, barangkali ada yang bertanya, bukankah mereka kadang menyampaikan gagasan seputar ushul fikih? Hasan at-Turabi, misalnya, dikenal menyerukan pembaruan (tajdîd) di bidang ushul fikih (At-Turabi, Fiqih Demokratis, Bandung: Mizan, 2003). Jauh sebelum itu, pada 70-an, Jamaluddin Athiyah dalam Majalah Al-Muslim al-Mu‘âshir edisi Nopember 1974, juga Ahmad Kamal Abul Majid, tokoh liberal lainnya, dalam majalah Al-‘Arabi edisi Mei 1977, telah mengajak umat Islam untuk berijtihad dalam ushul fikih, bukan hanya dalam fikih (Said, 1995: 266).
Kaum liberal Indonesia pun kadang menggembar-gemborkan ushul fikih baru. Nurcholish Madjid dkk, misalnya, pernah mengklaim mengikuti metode ushul fiqih Imam asy-Syatibi dalam kitabnya, Al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Ahkâm, ketika menggagas bukunya yang gagal, Fiqih Lintas Agama (2004). Abdul Moqsith Ghazali (aktivis JIL) mencetuskan beberapa kaidah ushul fikih ‘baru’, semisal:
(1) Al-‘Ibrah bi al-maqâshid lâ bi al-alfâzh (Yang menjadi patokan hukum adalah maksud/tujuan syariat, bukan ungkapannya [dalam teks]);
(2) Jawâz naskh nushûsh bi al-mashlahah (Boleh menghapus nash dengan maslahat);
(3) Tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama‘ (Boleh mengoreksi teks dengan akal [pendapat] publik) (www.islamlib.com, publikasi 24/12/2003).
Bukankah ini adalah ushul fikih karya kaum liberal?
Jawabnya tegas: tidak. Sebab, meskipun dalam beberapa hal mereka seolah-olah membahas ushul fikih—seperti kaidah-kaidah ushul di atas—sebenarnya tujuannya sangat tendensius, yaitu menundukkan fikih Islam pada nilai-nilai peradaban Barat yang kufur; bukan untuk melahirkan fikih yang sahih agar bisa menjadi pedoman hidup masyarakat Islam, sebagaimana tujuan para ahli ushul fikih yang sesungguhnya. Jadi, kalau pun bisa disebut ushul fikih, karya kaum liberal itu bukanlah ushul fikih sejati, melainkan pseudo ushul fikih, alias ushul fikih palsu.
Paradigma Ushul Fikih Liberal
Mengapa ushul fikih mereka rapuh? Sebab, paradigmanya bukan Islam, melainkan sekularisme, yang menjadi pangkal peradaban Barat; peradaban kaum penjajah. Ini tampak dalam upaya mereka menjadikan ushul fikih tunduk di bawah nilai-nilai peradaban Barat. Jadi, secara sengaja, ushul fikih diletakkan sebagai subordinat dari peradaban Barat yang sekuler.
Karenanya, tidak aneh, Hasan at-Turabi menyerukan fikih demokratis, sebagai hasil dari adaptasi ushul fikih dengan nilai-nilai demokrasi. Abdul Moqsith Ghazali juga begitu. Kaidah baru yang diusulkannya, seperti tanqîh nushûsh bi ‘aql al-mujtama‘ (Boleh mengoreksi nash dengan akal [pendapat] publik), tidak lain berarti bahwa demokrasi (suara publik), harus menjadi standar bagi teks-teks ajaran Islam. Kalau suatu ayat atau hadis cocok dengan selera publik (baca: demokrasi), bolehlah diamalkan, tetapi kalau tidak cocok, bisa dibuang ke selokan.
Paradigma sekuler ini memiliki akar sejarah panjang, bermula dari kondisi umat Islam yang memuncak kemundurannya pada abad ke-18 M lalu. Karena sangat mundur, Khilafah Utsmaniyah dan umat Islam saat itu mendapat julukan The Sick Man of Europe. Di sisi lain, Barat mengalami kebangkitan dengan sekulerismenya.
Nah, untuk mengobati ‘si sakit’ itu, lalu muncul 2 (dua) macam upaya ‘penyembuhan’ dengan dua paradigma yang sangat berbeda:
Pertama, paradigma sekuler, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Barat yang sekuler. Itulah yang dilakukan oleh mereka yang disebut dengan kaum modernis atau kaum liberal, seperti Sayyid Ahmad Khan, Ameer Ali, Muhammad Abduh, Qasim Amin, Ali Abdur Raziq, dan sebagainya (Busthami M. Said, 1995: 127-161). Mereka berpendapat, umat Islam akan bangkit dan sehat kembali jika meminum ‘obat’ peradaban Barat dan mengikuti nilai-nilainya, seperti sekularisme, liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme (Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, 2004: 19-dst). Ajaran-ajaran Islam harus ditundukkan dan disesuaikan dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, 1997: 147-256).
Kedua, paradigma Islam, yaitu mengambil ‘obat’ dari peradaban Islam. Itulah yang dilakukan oleh para aktivis kebangkitan dan revivalis Islam, seperti Hasan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Taqiyuddin an-Nabhani, Sayyid Quthb, Baqir ash-Shadr, dan sebagainya (Hafizh M. al-Jabari, Gerakan Kebangkitan Islam, 1996: 115-dst). Menurut mereka, kebangkitan umat Islam berarti kembali secara murni pada ideologi Islam, serta lepas dari ideologi Barat yang kufur. Dari pemetaan ini, tampak bahwa paradigma kaum liberal adalah paradigma sekuler tersebut. Tujuannya sangat jelas, yaitu bagaimana agar Islam dapat diubah, diedit, dikoreksi, dan diadaptasikan agar tunduk di bawah hegemoni peradaban Barat sekuler. Sekularisme dan ide-ide Barat lainnya seperti demokrasi, HAM, pluralisme, dan gender, dianggap mutlak benar dan dijadikan standar; tidak boleh diubah. Justru Islamlah yang harus diubah dan dihancurkan.
Sebenarnya, ini modus yang sangat jahat. Akan tetapi, kaum liberal sangat lihai menutupinya dan tidak menyampaikan dengan terus terang kepada umat, bahwa mereka ingin menghancurkan Islam. Agar umat terkelabui, modus mereka dikemas dengan berbagai istilah yang keren dan terkesan hebat, seperti reinterpretasi, dekonstruksi, reaktualisasi, dan bahkan ijtihad. Ketua Tim Pengarusutamaan Gender Depag, Siti Musdah Mulia, tanpa malu berani mengklaim bahwa draft CLD KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam) adalah hasil ijtihad. (Tempo, 7/11/ 2004, hlm. 47).
Padahal draft tersebut—yang konon menggunakan ushul fikih alternatif— telah melahirkan sejumlah pasal yang justru bertentangan dengan Islam; misalnya mengharamkan poligami (pasal 3 ayat 2), menyamakan bagian waris pria dan wanita (pasal 8 ayat 3), menghalalkan perkawinan dalam jangka waktu tertentu (pasal 28), menghalalkan perkawinan antar agama secara bebas (pasal 54), dan sebagainya. Ini semua terjadi karena para penyusun CLD KHI telah menundukkan ushul fikih di bawah nilai-nilai peradaban Barat, yaitu konsep gender, pluralisme, HAM, dan demokrasi. Mengapa semua itu terjadi? Karena ushul fikih kaum liberal adalah ushul fikih palsu yang didasarkan pada paradigma sekuler, mengikuti kaum penjajah yang kafir. Mungkin niatnya baik, tetapi mereka pada dasarnya telah melakukan kejahatan intelektual dan penyesatan opini yang luar biasa. Maksudnya memberi ‘obat’, tetapi sebenarnya memberikan racun. Akibatnya, ‘si sakit’ jelas tidak akan sembuh, tetapi malah akan segera masuk ke lubang kubur. Itulah perilaku kaum liberal yang sangat jahat. Wallahu a‘alam.